Beritasumbar.com-Kiai Muhammad Muchtar Mu’thi bin KH Abdul Mu’thi, dari Pondok Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah, Losari, Ploso, Jombang, Jawa Timur, mengungkapkan bahwa kurang lebih lima bulan jelang kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamirkan oleh Dwi Tunggal: Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, keduanya telah menemui empat orang ulama tasawuf yang mukasyafah (terbuka mata batinnya). Empat ulama tasawuf itu adalah Syeikh Musa dari Sukanegara, Cianjur; KH Abdul Mu’thi dariPloso (ayahanda Kiai Muchtar); Sang Alif atau Raden Mas Panji Sosrokartono yang sudah mukim di Bandung; dan Hadratusysyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, Jombang (pendiri Nahdlatul Ulama).
Kesimpulan dari pertemuan Sukarno dengan empat ulama tasawuf tersebut adalah:
Akan ada berkat Rahmat Allah yang besar turun di Indonesia, pada Jumat legi, 9 Ramadhan 1364 Hijriah. Bila meleset, harus menunggu tiga abad lagi.
Titimangsa itu sama persis dengan Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Nama Hatta kerap diabaikan sebagai bagian penting sejarah Proklamasi. Padahal dialah yang menyusun teks Proklamasi itu dan Sukarno yang membacanya. Hal ini bisa kita temukan dalam tulisan Hatta di otobiografinya, Untuk Negeriku, yang ia rampungkan penulisannya sebelum wafat pada 1980. Atas sumbangsih Hatta itulah, maka menjadi sah julukan yang diembannya sebagai dwitunggal RI.
Ungkapan Kiai Muchtar di atas, sejajar dengan yang dikatakan Prof. Mansur Suryanegara saat diwawancarai situs Eramuslim pada 11 Syawal 1434 H/17 Agustus 2013, yang menguraikan siapa saja ulama penyokong pembacaan Proklamasi.
“Pertama. Syeikh Musa, ulama dari Sukanegara, Cianjur Selatan. Kedua. Drs. Sosrokartono, kakaknya RA Kartini. Ketiga. KH Abdul Mukti, dan keempat, KH Hasyim Asy’ari. Mereka inilah yang memberi tahu bahwa Jepang tidak akan mengganggu Indonesia lagi. Kiai Hasyim pada waktuitu juga mengatakan bahwa presiden pertama Indonesia adalah Bung Karno, dan hal itu telah disetujui angkatan laut Jepang.” Dari deretan nama tersebut, hanya Syeikh Musa saja yang belum terjelaskan dengan baik dalam catatan sejarah. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait hal ini.
Prof. Mansur Suryanegara masih memberi tambahan data lagi selain peran empat orang pembesar di atas. “Jadi ketika 10 Ramadhan atau 18 Agustus 1945, Pancasila sebagai dasar negara dikukuhkan oleh tiga orang, KH Wahid Hasyim (NU), Ki Bagus Hadi Kusumo, dan Kasman Singodimejo (keduanya dari Muhammadiyah). Mereka itulah yang membuat kesimpulan Pancasila sebagai adicita negara, dan UUD ‘45 sebagai konstitusi. Kalau tidak ada mereka, BPUPKI takkan mencapai kata sepakat, walaupun diketuai oleh Bung Karno sendiri. Dari situ pula, Bung Karno diangkat jadi presiden, dan Bung Hatta sebagai wakilnya. Jadi negara ini yang memberi kesempatan Proklamasi seperti itu adalah ulama.”
Terkait hubungan Sukarno dengan RMP Sosrokartono, memang sangat sedikit buku sejarah yang mencatatnya. Bagi Sukarno, Sosrokartonoyang poliglot itu, tak hanya sekadar guru bahasanya, melainkan juga guru spiritual yang memang ia akui. Posisi penting Sosrokartono itu bisa kita amini ketika Sukarno dan tiga pembelanya di Landraad (Pengadilan) Bandung pada 18 Agustus 1930, ketika membacakan “Indonesia Klaagt Aan” (Indonesia Menggugat), yang ia susun di Penjara Banceuy, mendatangi rumah sekaligus balai pengobatan Sosrokartono—semalamsebelum putusan pengadilan dijatuhkan.
Kedatangan mereka secara diamdiam itu, ternyata telah diketahui lebih dulu oleh Sosrokartono melalui mukasyafah-nya. Di dalam rumah, telah disediakan empat bangku kosong. Sedang Sosrokartono telah duduk mendahului tamunya. Sebelum para tamu yang gelisah itu angkat bicara, tuan rumah seketika berujar.
“Sukarno adalah seorang satria. Pejuang seperti satria boleh saja jatuh, tetapi ia akan bangkit kembali. Waktunya tidak lama lagi.”
Apa yang terjadi keesokan harinya? Sukarno dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Paling berat di antara tiga kawan seperjuangannya, Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata, yang hanya diganjar hukuman separuh dari waktu yang harus dilalui Sukarno. Meski mereka berupaya mengajukan banding ke Raud van Justitie (Pengadilan Tinggi), namun hasilnya nihil. Hukuman Sukarno telah mantap dikukuhkan.
Di sebuah rumah panggung di Jalan Pungkur No. 7, Bandung (sekarang tepat di seberang terminal Kebon Kalapa), pernah berdiri rumah pengobatan bernama Pondok Darussalam. Rumah inilah yang menjadi pelabuhan terakhir Sosrokartono setelah pengembaraannya di Eropa selama 27 tahun.
Rumah panggung itu terbuat dari kayu berdinding bambu. Dibangun memanjang membentuk huruf L. Sosrokartono diminta menempati gedung itu oleh RM Suryodiputro, adik Ki Hajar Dewantara.
Gedung inilah yang menjadi saksi kesaktian Sosrokartono mengobati pasiennya hanya dengan mencelupkan telunjuk ke dalam air di gelas. Jari telunjuk itu adalah simbolisasi dari huruf alif (١) yang jadi ciri khasnya saat mengobati orang sakit. Kenapa huruf alif?
Ja’far Ash-Shadiq ra (dalam Schimmel, 1996: 230) mengungkapkan: ”Tuhan membuat huruf Hijaiyyah sebagai induk segala benda; indeks dari segala sesuatu yang bisa dilihat… Segala sesuatu bisa diketahui melalui huruf.”
Kemampuan ajaib Sosrokartono inilah yang membuat ia digelari persoonlijke magnetisme oleh seorang dokter yang anak kerabatnya disembuhkan Sosrokartono ketika masih melanglang buana di Eropa.
Menurut Budya Pradipta, Ketua Paguyuban Sosrokartanan Jakarta dan dosen tetap bahasa, sastra, dan budaya Jawa, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, “Darussalam adalah bekas gedung Taman Siswa, Bandung. Eyang Sosro di sana karena diminta menjadi pimpinan Nationale Middelbare School (Sekolah Menengah Nasional) milik Taman Siswa.”Para guru di sekolah Taman Siswa itu antara lain, Ir. Sukarno, Dr. Samsi, Mr. Sunario SH, dan Mr. Usman Sastroamijoyo.
RMP Sosrokartono juga ikut aktif dalam kegiatan politik saat zaman pergerakan nasional Indonesia. Kegiatan Sosrokartono dapat dilihat dari laporan para pejabat kolonial Belanda.Dalam laporan rahasia yang dibuat Van Der Plas pejabat Adviseur Voor Inlandse Zaken tertulis, kalau (Doctorandus) Drs. Sosrokartono termasuk pelopor gerakan nasional Indonesia dan tidak dapat dipercaya oleh pemerintah kolonial Belanda.
Ada lagi laporan dari Komisi Istimewa yang terdiri Herwerden dan Toxopeus langsung kepada Ratu Wilhelmina, yang berisi kalau Sosrokartono penganjur swadesi dan sangat berbahaya bagi berlangsungnya ketenteraman dan kedamaian di Hindia Belanda.
Kelak, gedung ini juga pernah dipakai oleh Partai Nasional Indonesia pimpinan Sukarno, dan Indonesisch Nationale Padvinders Organisastie pimpinan Abdul Rachim, mertua Bung Hatta.Kayanto Soepardi, 63 tahun, putra seorang asisten Sosrokartono, menuturkan ingatannya, “Darussalam tak pernah sepi. Tamunya beragam. Sedari orang Belanda, pribumi, hingga Cina peranakan. Ia juga pernah melihat Sukarno datang menemui Sosrokartono.
Saat itu Sosrokartono sedang menggoreskan huruf alif di atas kertas putih seukuran prangko dan menyelipkannya ke dalam peci Sukarno muda, entah untuk apa. Saat itu, Sukarno dan kawan seperjuangannya sudah kerap datang ke Darussalam guna belajar bahasa pada Sosrokartono.
Hubungan mesra Sukarno dengan para ulama tasawuf sebelum kemerdekaan, juga bisa kita lacak dari laporan Jose Hendra untuk Majalah Historia pada Rabu, 1 Juni 2016, yang berjudul Sila Ketuhanan dari Ulama Padang Japang.
Syeikh Abbas Abdullah adalah tokoh yang memberi wejangan kepada Sukarno terkait sila pertama Pancasila. Kala itu, ia berkunjung ke Perguruan Darul Funun el Abbasiyah (DFA) di Puncakbakuang, Padang Japang, yang didirikan Syeikh Abbas.
“Bung Karno berkunjung ke madrasah Darul Funun, dengan tujuan meminta saran kepada Syeikh Abbas Abdullah tentang apa sebaiknya landasan bagi negara Indonesia yang akan didirikan kelak, bila kemerdekaan sungguh benar tercapai. Syeikh Abbas menyarankan negara yang akan didirikan kelak haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” tulis Muslim Syam dalam Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, terbitan Islamic Centre Sumatera Barat (1981).
Syeikh Abbas, yang juga dikenal dengan sebutan Buya (Syeikh) Abbas Padang Japang, menambahkan kalau hal demikian diabaikan, revolusi takkan membawa hasil yang diharapkan.
Fachrul Rasyid HF, yang turut menulis dalam buku tersebut, mengatakan, tidak banyak orang tahu pembicaraan mereka berdua sebelum Syeikh Abbas mengungkapkannya tiga hari kemudian, “Di hadapan guru dan siswa DFA—usaishalat Jumat di Masjid al-Abbasyiah. Syeikh Abbas mengatakan kedatangan Sukarno ke DFA untuk membicarakan konsep dasar dan penyelenggaraan negara. Persisnya, Syeikh Abbas menyarankan bahwa negara harus berdasar ketuhanan,”ujar Fachrul menirukan kembali cerita yang ia dapat dari keluarga Syeikh Abbas dan masyarakat setempat.
Kedatangan Sukarno ke Padang Japang masih menjadi ingatan kolektif masyarakat Padang Japang saat ini. Yulfian Azrial, anggota Masyarakat Sejarahwan Indonesia Sumatera Barat, mengatakan, Darul Funun merupakan madrasah yang cukup berpengaruh berkat kebesaran dua syeikhnya, yakni Syeikh Abbas Padang Japang dan Syeikh Mustafa Abdullah.Kebesaran kedua syeikh yang bersaudara ini membuat Sukarno merasa perlu ke Padang Japang, setelah bebas dari pembuangan di Bengkulu.
Syeikh Abbas dan Syeikh Mustafa adalah murid ulama Minangkabau terkemuka di Makkah, Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Syeikh Abbas juga berkawan dekat dengan Syeikh Abdul Karim Amarullah atau Inyiak Rasul. Bersama Abdullah Ahmad dan beberapa ulama lain, Syeikh Abbas mendirikan Madrasah Sumatera Thawalib.
Pada 1930, Syeikh Abbas mengubah Sumatera Thawalib di Padang Japang menjadi DFA karena menolak bergabung dengan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi). Syeikh Abbas sendiri kala itu bukan sekadar ulama melainkan juga panglima jihad Sumatera Tengah. Pasukan jihad ini didirikan DFA sebagai basis perjuangan menghadapi Belanda. Anggotanya adalah Hizbul Wathan dan Laskar Hizbullah.Sementara sekolah tetap menjadi basis untuk menggapai dan mengisi kemerdekaan.
“Wajar Sukarno menemui Syeikh Abbas, karena ia bukan saja ulama tapi panglima perang,” tukas Fachrul, wartawan senior di Sumatera Barat. Menurut Fachrul, perjumpaan Sukarno dengan Syeikh Abbas hanya berlangsung sebentar. Ia datang sekitar pukul satu siang, lalu balik sore hari. Sukarno berada di Padang ketika era transisi Belanda ke Jepang. Ia berada di Sumatera Barat selama lima bulan, sedari Februari 1942 hingga Juli 1942.
Ketika sudah menjabat sebagai presiden Indonesia, Sukarno masih terus melakukan kontak dengan para ulama kawakan, terutama dari barisan Nahdliyin. Dua di antaranya yang paling terkenal rapat dengan Sukarno adalah KH.Abdul Wahab Chasbullah dan KH Muhammad Hasyim Asy’ari. Kemerdekaan Indonesia yang masih terus dirongrong Belanda dengan membonceng tentara Sekutu, membuat Sukarno dan para tetua bangsa kita, resah dan cemas. Maka Sukarno, Mohammad Hatta, dan Jenderal Sudirman pun meminta wejangan pada KH Wahab terkait hukummempertahankan kemerdekaan pada awal Oktober 1945.
KH Wahab yang mumpuni di bidangushul fiqih menyatakan, bahwa kemerdekaan yang telah diraih bangsa ini wajib dipertahankan. Guru Bangsa, HOS Cokroaminoto, juga merupakan satu dari sekian banyak tokoh yang pernah urun rembuk dengan Kiai Wahab terkait persoalan kebangsaan yang tengah dihadapi bersama.
Kiai Wahab dan Kiai Hasyim memang memiliki hubungan darah yang cukup erat. Secara silsilah, dua kiai sepuh ini merupakan keturunan dari Kiai Sikhah. Anak buah Pangeran Diponegoro yang kemudian masuk ke Kabupaten Jombang saat Perang Jawa meletus. Mereka berdua pernah satu pesantren namun beda angkatan, yakni ketika nyantri di pesantren Syaikhona Kholil, Bangkalan, Madura.
Sejauh yang bisa kita telusuri, mungkin hanya Sukarno satusatunya presiden dunia yang berhubungan baik dengan para ulama. Bahkan kecenderungan itu sudah ia lakukan tanpa sadar sejak masih usia belia, saat keluarganya menetap di Pojokkrapak, Jombang. KH Abdul Mu’thi yang pernah ia temui sebelum kemerdekaan, misal, adalah sahabat kental sekaligus guru ayahnya, Raden Sukeni. Wajar bila sosok kharismatik itu didatangi lagi oleh Sukarno ketika ia harus mengambil keputusan besar bagi bangsa ini: mendirikan satusatunya negara tauhid di dunia.
HOS Cokroaminoto yang juga induk semang sekaligus cermin utama bagi Sukarno, juga pegiat tasawuf. Sebelum tampil sebagai Raja Jawa Tak Bermahkota, ia sudah lebih dulu belajar pada Kiai Ageng Muhammad Besari (Hasan Besari I) yang adalah buyutnya sendiri. Kiai Hasan Besari, adalah panglima perang Pangeran Diponegoro yang sangat ditakuti Belanda. Jadi antara Kiai Hasan Besari, Kiai Wahab Chasbullah, dan Kiai Hasyim, terjadi hubungan unik. Ketiganya, punya keterkaitan dengan Pangeran Diponegoro. Mereka bertiga adalah kiai pejuang yang tangguh pada zamannya.
Atas dasar itulah, menjadi sah jika sebelum dan semasa menjabat sebagai presiden Indonesia, Sukarno cenderung menampung semua aspirasi yang berdatangan ke kursi kekuasaannya. Peran sebagai Manusia Indonesia (bukan Nusantara) Pertama, ia jalankan sesuai fungsi. Anak-anak republik yang baru lahir, punya hak yang sama untuk tumbuh. Barisan agamis, nasionalis, sosialis, komunis, ia gandeng erat. Corak tasawuf dalam kepemimpinannya bahkan masih terasa ketika Suharto berusaha mengudeta pemerintahan. Demi alasan menghindari perang saudara, Sukarno angkat kaki secara sukarela dari Istana Negara, dan kembali pada fitrah kebangsaannya menjadi rakyat jelata.
Penulis adalah pecinta Indonesia dengan melakukan studi atasnya(Ren Muhammad) by NU Online