Oleh : Galant Victory (Presiden Mahasiswa Universitas Negeri Padang)
[dropcap color=”#000000″ font=”0″]T[/dropcap]inggal menghitung hari genderang Pilkada serentak 2015 di seluruh Indonesia akan segera ditabuh. Berbagai wilayah di Indonesia ikut larut dalam euforia menyongsong pemimpin-pemimpin baru yang diharapkan mampu membawa perubahan bagi daerahnya masing-masing.
Memang negeri ini bukan sekali ini saja melaksanakan pemilu atau pilkada. Namun yang menjadi istimewa pada kali ini ialah pemilihan kepala daerah yang akan dilakukan secara serentak di berbagai daerah di Indonesia. Tentu ini menjadi daya tarik tersendiri karena baru pertama kali diadakan di Indonesia.
Sumatera Barat juga tak mau ketinggalan, berbagai persiapan dilakukan guna menyambut alek gadang yang sebentar lagi akan digelar. Mulai dari iklan baliho sampai media massa, para bakal calon bak selebriti saling berlomba untuk eksis dengan berbagai macam gaya guna menampilkan citra yang positif kepada masyarakat. Belum lagi upaya saling klaim dukungan dari berbagai tokoh untuk mempengaruhi masyarakat.
Tradisi yang sepertinya belum akan hilang dari setiap pergelaran pemilihan umum maupun kepala daerah ialah tradisi obral janji para calon pemimpin. Rakyat dibuai oleh kata-kata yang memikat, dibawa bermimpi setinggi langit sebelum kemudian dihempaskan oleh kenyataan ketika realisasi janji tak sesuai harapan. Ada juga praktek money politic yang hampir selalu mewarnai setiap agenda pemilihan di negeri ini. Mereka yang “mengemis” kekuasaan, seakan membodohi rakyatnya sendiri ketika serangkaian agenda demokrasi dinodai oleh perilaku yang justru hanya akan menjatuhkan martabatnya sendiri di mata masyarakat.
Setiap momen pergantian kepemimpinan memang menjadi proses yang penting dan harus dilalui. Namun, yang menjadi persoalan ialah apakah momentum pergantian kepemimpinan kali ini benar-benar akan mampu membawa perbaikan dan perubahan yang besar bagi masyarakat atau hanya sekedar menjadi seremonial belaka ketika rakyat kembali dijadikan objek para peminta amanah untuk sekedar meraih kedudukan tinggi dan kekuasaan yang besar.
Refleksi Demokrasi
Tujuh belas tahun sudah berlalu sejak reformasi digulirkan dan Indonesia telah memasuki masa 70 tahun kemerdekaan. Namun, serangkaian pencapaian agenda reformasi dan cita-cita kemerdekaan masih jauh dari harapan. Demokrasi saat ini dihadapkan pada tantangan egoisentris yang tinggi. Perebutan kekuasaan sudah menjadi tradisi, partai-partai politik tumbuh subur bak jamur di musim hujan, ribuan orang saling “sikut” berlomba-lomba menunjukkan bahwa dirinyalah yang paling layak menjadi pemimpin. Tak terhitung lagi jumlah poster yang memasang foto-foto orang-orang yang seakan haus kekuasaan. Padahal pertanggungjawaban di dunia dan di akhirat sudah siap menanti bagi mereka yang tidak mampu menyelesaikan amanah dengan baik.
Kali ini, demokrasi di Indonesia memasuki episode baru ketika Pilkada Serentak 2015 akan segera dilaksanakan. Dengan sosialisasi pilkada yang memakan dana yang tidak sedikit, bahkan terbesar sepanjang sejarah karena semua atribut sosialisasi calon dibiayai oleh negara, publik dihadapkan pada ekspektasi tinggi berharap konsolidasi demokrasi yang dicita-citakan akan segera terwujud.
Jangan Hanya Seremonial
Dengan berbagai pemberitaan terlebih baru-baru ini publik juga dibuat kecewa oleh kasus korupsi yang menjerat beberapa pimpinan daerah, demokrasi sebagai sistem yang diharapkan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang akan membawa bangsa ini menuju cita-cita kemerdekaan sepertinya belum akan menunjukkan keberhasilannya. Yang terjadi justru sebaliknya, distrust kepemimpinan semakin menjadi-jadi disebabkan perilaku para pemimpin negeri yang jauh dari harapan. Hampir setiap hari selalu saja ada pejabat yang silih berganti menghiasi pemberitaan karena tersandung berbagai kasus dan lain sebagainya.
Data dari KPU menunjukkan sebagian besar tingkat partisipasi dalam berbagai pemilihan umum maupun kepala daerah di Indonesia mengalami tren yang negatif. Menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap proses demokrasi menandakan bahwa sebagian publik sudah mulai merasa jenuh dengan serangkaian agenda demokrasi yang tak kunjung banyak membawa perbaikan. Publik merasa demokrasi hanya sebatas sistem seremonial belaka yang kemeriahannya hanya dirasakan saat serangkaian agenda pemilihan digelar. Sekali lagi rakyat akan dijadikan alat untuk memperoleh kekuasaan dan setelah itu dilupakan.
Para pemimpin di negeri ini harus segera melakukan evaluasi kenapa semakin hari partisipasi politik masyarakat terus berkurang. Tak bisa dipungkiri meski banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, citra kepemimpinan mengambil peranan yang cukup besar dalam menentukan partisipasi masyarakat dalam politik. Para pemangku kekuasaan harus fokus kepada kerja-kerja nyata dalam menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Dibutuhkan pemimpin yang tulus berkerja dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Seluruh elit partai politik juga harus melakukan evaluasi karena bisa jadi ini akibat partai politik yang sering sembarangan dalam menempatkan kader-kadernya untuk mengisi berbagai posisi di pemerintahan. Jangan hanya karena bermodal besar atau terkenal tanpa jelas kapasitasnya, secara instant kemudian partai politik menjadikan seseorang untuk maju dalam pemilihan. Revitalisasi partai politik harus segera dilakukan untuk mengembalikan fungsi partai sebagai pencetak kader-kader pemimpin yang betul-betul membawa perbaikan.
Yang paling penting publik harus mampu bergerak aktif untuk terus mengevaluasi dan mempelajari siapapun calon yang maju sebelum menentukan pilihan. Jangan hanya karena kaos gratis, uang beberapa puluh ribu atau sekedar ikut-ikutan publik kemudian memilih. Siapapun pemimpin yang terbukti tidak membawa perbaikan dan berperilaku tidak sesuai harapan, maka hukum mereka dengan bersama-sama tidak memilihnya kembali dalam pemilihan.
Momentum Pilkada serentak kali ini harus dijadikan agenda besar bersama untuk mengganti para pemimpin yang tidak bertanggungjawab dengan mereka yang memang tulus sepenuh hati memperbaiki negeri. Semoga agenda pergantian pemimpin di tahun ini tidak berakhir sebatas euforia seremonial belaka tanpa ada kinerja maksimal dan tulus dalam mengisi kepemimpinan tersebut. Sehingga rakyat tidak kembali menjadi korban ketika semua harapan pupus seiring perilaku mengecewakan para pemimpin di negeri ini.