Minggu terakhir bulan puasa hingga pekan pertama hari raya, kegiatan kita yang tinggal di kampung meningkat. Sebagian keluarga membersihkan rumahnya. Cat lama diganti. Pagar dan sofa dipugari. Demikian pula dengan aneka aksesoris ruang tamu. Sembari itu, aktivitas berbelanja pun meninggi dari hari-hari biasa. Hari raya akan tiba. Keluarga yang berada di rantau akan pulang. Tamu akan banyak. Makanya, perlengkapan kue demi kue dan aneka masakan khas hari raya mesti disiapkan.
Sebagian dari keluarga kita yang lain, yang tengah berada di rantau, sepanjang bulan puasa, dari pagi hingga petang memeras keringat, membanting tulang, menyiapkan sejumlah finansial untuk keperluan pulang kampung. Nah, Pulang kampung inilah yang ingin dibicarakan dalam tulisan ini. Mengapa pulang kampung itu penting? Untuk apa kita pulang kampung? Dan di mana kampung kita sebenarnya?
Ada dua ruang yang saling terkait ketika membicarakan pulang kampung ini. Ruang pertama bernama kampung asal; ranah kelahiran. Ruang kedua dikenal dengan rantau; tanah pencarian; tempat yang jauh dari kampung asal, di sana peruntungan diadu. Jadi, musabab pulang kampung ialah saat di mana seorang yang sudah lama berada di perantauan disergap kerinduan kembali menginjakkan kaki di kampung asal. Dalam lirik sejumlah lagu Minang, ranah tapian, kampuang mandeh, sering menjadi pemantiktaragak, rindu yang alang-kepalang mengusik jiwa. Merantau bukanlah untuk pergi dan hilang. Merantau mengandung tekad untuk suatu ketika akan pulang dengan warna hidup yang baru. Ayah dan ibu, adik dan kakak serta seluruh dunsanak dan orang sekampung akan dibuat bangga dengan keberhasilan si perantau. Jika peruntungan belum membaik, badan sedang melarat di rantau orang, kemungkinan besar, si perantau tidak akan pulang. Pulang tanpa warna keberhasilan dalam situasi ini menjadi aib, sesuatu yang memalukan. Jika keadaan badan sama saja dengan orang yang tinggal di kampung, apa artinya merantau?
Di sinilah letak pentingnya pulang kampung. Puncak pembuktian diri perantau terjadi ketika pulang kampung. Secara tidak langsung, akan terjadi ajang penguatan eksistensi antarperantau yang pulang. Akan ada tabiat berlomba-lomba menampakkan keberhasilan di perantauan. Orang di kampung diposisikan sebagai penyaksi yang menonton dengan bangga. Ota di lapau secara massif akan mengulas model-model keberhasilan sejumlah perantau yang dikategorikan “mandapek di rantau urang”. Pun tidak disisakan, siapa saja perantau yang masih tauncang, sedang jatuh tapai dan tidak bisa pulang di hari raya.
Untuk memuaskan hasrat eksistensi inilah pulang kampung menjadi kegiatan yang memiliki nilai tersendiri. Di ranah kebudayaan Minangkabau, tidak terdeteksi lagi, kapan tradisi merantau ini bermula. Gejala yang selalu tampak, setiap hari raya tiba, hanyalah keramaian yang gempita. Dapat disimpulkan, inilah saat-saat paling bahagia bagi seorang perantau sekaligus momen berharga bagi orang di kampung yang menanti.
Keramaian yang menggembirakan itu; kebersamaan yang dirindukan itu, biasanya tidak berlangsung lama. Standar waktu bagi perantau untuk betah di kampung paling lama satu pekan. Setelah sepekan berlalu, sanak saudara di kampung sudah mulai bertanya: kapan akan kembali ke rantau? Pada konteks inilah, sebuah pertanyaan muncul: di mana kampung si perantau sesungguhnya?
Bisa jadi, dengan sadar atau tidak, kita sesungguhnya tengah membalikkan makna pulang. Pulang hari ini bukan lagi ke kampung kelahiran, melainkan ke rantau. Ke kampung kita hanya untuk balik sejenak. Memutar ingatan masa lalu atau memberi penghargaan kepada ranah kelahiran. Setelah sanak saudara bertanya: kapan kembali ke rantau, tersirat pesan, bahwa kampung kita tidak patut kita huni bersama. Maka bersiap-siaplah kembali ke perantauan. Yang tahan tinggal di kampung hanya orang-orang yang kebal dengan “hujan batu”. Sementara, bagi anak-anak nagari yang tidak tahan dengan hujan batu itu, sebaiknya memang pergilah merantau. Di rantau orang, ada hujan emas yang menggiurkan.
Pertanyaan yang lain, yang juga sering muncul dalam lirik dendang saluang dan rabab, jika memang kampung itu penting, mengapa ditinggalkan? Benarkah dengan meninggalkan kampung itu artinya menampakkan sayang pada kampung, sayang jo kampuang ditinggakan? Inilah di antara cara berpikir di kebudayaan minang yang unik. Secara praktis, semestinya, jika memang sayang dengan kampung, berdiri dan tinggallah di kampung itu dengan kepala yang tegak. Bangunlah apa yang mungkin dan patut dibangun. Kembangkanlah segala potensi kampung yang ada. Gunakanlah pula segenap sumber daya untuk kemajuan kehidupan di kampung. Tagak kampuang paga kampuang.
Menghayati kampung perlu dibuktikan dengan eksistensi diri di realitas kampung. Bukan dengan pergi meninggalkan kampung itu. Merantau dalam pengertian ini sesungguhnya menutup kesempatan untuk terus-menerus menghayati kehidupan di kampung. Menyumbat pemahaman terhadap kehidupan seperti apa yang dicita-cita masyarakat di kampung. Merantau dalam pengertian mengisolasi diri dari kampung ini sepertinya harus dihentikan.
Apalagi bila muncul indikasi bahwa dengan keberhasilan di rantau lantas seseorang menjadi elit sosial yang dengan keberadaannya bisa saja membeli kampung asalnya? Status dan stratanya lebih tinggi dari orang yang tinggal di kampung. Setiap kali pulang kampung lebih banyak mencibir dengan sudut bibir yang miring. Mengumbar klaim demi klaim yang merendahkan kualitas kehidupan di kampung. Tidak sampai di situ, ketika klaim terhadap keadaan kampung yang buruk itu menguat, perantau elit itu menyatakan ketertarikannya untuk membantu. Dirinya dibutuhkan untuk memperbaiki keadaan. Setelah ia membantu, secara tersirat, orang kampung diminta mengelu-elukan tentang Si Anu yang telah pulang membawa keberhasilan.
Pada akhirnya, apapun yang terjadi di seputar konteks merantau dan pulang kampung ini, suasana kemenangan di hari raya tidak patut pula di rusak. Mari bergembira. Selanjutnya, kita tetap saja akan berhadapan dengan jutaan kepala yang sepanjang kehidupannya akan bersilang-pintang dari kampung ke rantau dan dari rantau ke kampung. Ini akan selalu menandai pergerakan kebudayaan Minangkabau. Tinggal menyuling inti dari pemaknaan kampung halaman dan tanah perantauan. Bagaimana potensi keduanya di padu-padankan dengan budaya kekinian di Minangkabau.
Jika tidak demikian, makna pulang kampung akan jadi dangkal. Potensi merantau pun hannya akan menjadi keramaian sesaat. Setelah interaksi terjadi, terutama ketika berkumpul di hari raya, setiap kepala itu kembali lagi ke kesunyiannya masing-masing. Tidak akan pernah ditemukan kearifan budaya, untuk apa kampung ditinggalkan? Merantau tidak lagi menampakkan visi membangun kampung. Lebih sumbang maknanya ketika pulang itu tidak lagi ke kampung kelahiran, melainkan ke tanah perantauan. Padahal, jika dibongkar sebongkah lagi, kita di bumi Tuhan ini sesungguhnya sedang sama-sama merantau. Kampung halaman kita sama, sehamparan surga di kampung akhirat. Kiranya, berhari raya menyentuh pemaknaan yang satu ini. Paling tidak, pikiran kita sama- sama tertuju pada kepulangan yang sesungghnya itu. Selamat Berhari Raya. Mari berbagi maaf lahir dan batin. (*)
oleh:Â @zelfeniwimra