Ibarat manumbok kain lapuak (seperti menambal kain lapuk), kian dijahit makin robek. Begitulah kondisi pusat pertokoan bertingkat Kota Payakumbuh. Pemko merencanakan bakal melakukan revitalisasi pertokoan ini. Dan studi kelayakan beserta perencanaanya pun sudah disiapkan. Selain itu, sepanjang 2013 Pemko juga sudah dua kali mengajukan Ranperda tentang perubahan hak sewa retribusi toko/kios. Tapi, masih saja ditolak DPRD Payakumbuh.
Walikota Riza Falepi, ketika dihubungi di Payakumbuh, Sabtu (3/5), mengaku, prihatin dengan kondisi pusat pertokoan bertingkat itu. Menurutnya, beban APBD terhadap biaya perawatan pusat pertokoan tidak sebanding dengan penerimaan yang diterima dari retribusi pasar. Kepada Pimpinan SKPD terkait, sudah diperintahkan, agar mensosialisasikan rencana revitalisasi pusat pertokoan bertingkat itu. Hanya saja, masih banyak pro dan kontranya, aku Riza.
Kepala Dinas Koperasi UKM Industri Perdagangan Indra Syofyan, SE, MM dan Kabid Pengelola Pasar Devitra, S.Sos, M.Si, di tempat terpisah menginformasikan, untuk mendapatkan hak sewa toko/kios di pusat pertokoan pada dekade 70-an dan 80-an, pedagang hanya membayar satu kali pengambilan hak sewa toko/kios, tanpa adanya batas waktu berakhirnya hak sewa dimaksud.
Regulasi yang mengaturnya di era pemerintahan tersebut sangat lemah sekali. Sehingga pedagang berasumsi, kepemilikan toko/kios itu, seolah-olah miliknya seumur hidup. Padahal, status kepemilikan hanyalah hak sewa. Akibatnya, pemerintahan sekarang yang menanggung bebannya. Hingga kini, sudah 30 tahun lebih regulasi yang mengatur tentang pengambilan hak sewa toko/kios tersebut belum pernah diperbaharui, dan menjadi catatan negatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Sumbar.
Dikatakan, saat ini pedagang hanya dibebani kewajiban retribusi sewa bulanan, dan K3, yang tarifnya bervariasi, antara Rp43.000 sampai Rp154.000. Besarannya, disesuaikan dengan besar dan letak toko/kios. Ironisnya, kewajiban pedagang itu pun, banyak yang menunggak. Sementara itu, dana operasional dan pemeliharaan kawasan pasar, toko/kios lebih kurang Rp1,9 Miliar per tahun, guna perbaikan sistem drainase, atap yang bocor serta pengecatan toko/kios dan honor petugas trantib dan gaji pegawai pasar.
Target PAD dari sektor retribusi pasar grosir (pusat pertokoan bertingkar, Red) hanya Rp744.581.450. “Jauh di bawah biaya pemeliharaan yang harus dikeluarkan Pemko setiap tahun,” ungkap Indra Syofyan.
Penilaian Dinas PU Payakumbuh, ketimbang melakukan rehabilitasi bangunan pusat pertokoan, akan lebih efesien dengan membangun baru. Karena, melakukan perbaikan, ibarat mengobati sakit kepala, hanya mengurangi rasa sakit sementara. Habis obat, penyakit kambuh lagi. Idealnya, akan lebih bagus dibuat pusat pertokoan yang lebih representatif, berlantai empat atau lebih, dengan lahan parkir di lantai atas pusat pertokoan ini.
Pusat pertokoan bertingkat pada kedua blok barat dan timur, memiliki toko/kios 1.093 petak. Hingga sekarang, hanya 72% (786) petak yang diisi pedagang. Sisanya, 307 petak, meski sebagiannya sudah punya hak sewa toko/kios, tapi tak dioperasionalkan pedagang bersangkutan. Pedagang yang punya hak sewa ini, banyak tak membayar kewajiban retribusi bulanannya.
Dikatakan, kondisi pasar itu sangat crowded sekali. Terutama terbatasnya areal perparkiran. Selain itu, space buat pedagang kaki lima juga amat terbatas, tidak sesuai dengan pertumbuhan pedagang kaki lima yang terus bertambah tiap tahun. Makanya, pilihan paling tepat untuk memperbaiki tatanan pusat pertokoan itu dilakukan revitalisasi yang komprehensif.
“Kita optimis, jika pembangunan pasar berlantai lima, plus bangunan hotel pada lantai berikutnya, akan memberikan solusi yang tepat menyelesaikan persoalan yang terjadi saat ini. Karena itu, pemahaman dan dukungan pedagang sangat kita butuhkan dalam membangun pusat pertokoan bertingkat ini,” simpul Indra dan Davitra.