27 C
Padang
Rabu, Mei 15, 2024
spot_imgspot_img
Beritasumbar.com

TAN GINDO NAMAKU
T

Kategori -
- Advertisement -

“Lanjutkan perjuangan hingga ajal menjemput,
meski sedikit yang penting berarti,
selebihnya berarti mati…”

Pagi itu, seorang lelaki kurus berambut lujur, bercelana levis dan berkaos biru duduk disebuah pojok Cafe Asbuy favoritnya. Kala itu suasana Café tidak kelihatan begitu rame, lelaki ini ditemani oleh seorang pemuda desa separuh baya, dari raut wajahnya pemuda desa ini sepertinya berumur seperempat umurnya. Cocoknya seperti anak dan bapak yang sedang berdiskusi ringat tapi serius, kelihatan bak seorang teman akrab saja. Pemuda ini bertanya banyak hal tentang lelaki itu dengan penuh antusias untuk ingin lebih mengenal lebih dalam.

Pemuda desa itu bernama Hafiz, dia memulai pertanyaanya tentang identitas lelaki yang tepat berada di depannya dan bermulalah bercakapan ringan. “Panggilanku Gindo, lengkapnya Tan Gindo” ujar lelaki tua itu. Lelaki tua itu boleh dikatakan tua tanggung, muda lewat tua pun belum, lebih kurang sekitar 42 tahunan. “Asli namaku bukan begitu sebenarnya” lanjut lelaki itu sambil mengusap kepala, meminum seteguk kopi pahit kesukaannya dan menghisap sebatang rokok Dji Sam Soe favoritnya semenjak umur berkepala berkepala empat.

Layaknya lelaki minang pada umumnya kecil punya nama kalau sudah besar akan mendapat gelar kehormatan khususnya bagi yang sudah menikah (ketek banamo gadang bagala). “Kecilku bernama Fandi, lengkapnya Gus Afandi, kebetulan KTP saya masih tertulis seperti itu adanya, kalau gak percaya saya bisa buka dompet lusuh dipantat saya, he.he.he” ujarnya bicara sedikit berbahasa gaul dan ketawa-ketiwi. “Tapi jangan harap nama Gus Afandi kamu temukan di alam Maya sana, mbah Googel tak akan pernah mengetahuinya, ha.ha.ha” ungkap Gindo terpingkal.

Hafiz semakin penasaran “Lho… kok begitu ?, misteri sekali identitas abang memancing diskusi”.

“ya.. iyalah masak intel ngaku intel seperti intel benaran yang sekarang banyak beredar” ujar Gindo sambil pura-pura serius. “bro… di zaman edan ini semua sudah terbalik-balik yang benar dibikin salah, yang salah dibikin benar, semua orang bepacu dengan dirinya sendiri, ingin ketenaran dan pura-pura mengerti dan hebat, sementara dia sebenarnya berjalan tampa kepala, ujung-ujungnya hanya mikirkan perut sejengkal saja” ungkap Gindo kali ini benar-benar serius.

“benar bang, kami muda-muda yang ingin lurus ini bingung hidup di saat ini” ujar Hafiz membenarkan.

“Lantas apa istimewanya sebuah nama Tan Gindo” Tanya Hafiz lebih lanjut. Gindo kemudian menjawab santai apa adanya “gak ada istimewanya bro.. apalah arti sebuah nama, itu hanya perjalanan hidup yang mesti dihargai saja”. Sambil beberapa kali menghisap dua kali hembusan rokok Gindo kembali berujar “itu hanya sejarah hidup, orang tua kita bilang harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama” uangkap Gindo tersenyum.

Kali ini Gindo menambah penasaran baru Hafiz “namun layaknya nama tentu menjadi sebuah harpan dan do`a, tak mungkin ibu bapakmu bikin nama sembarangan, dalam Islam malah sengaja dicari waktu yang baik untuk menetapkan semua nama anaknya, biasanya dimassa Aqiqah 40 hari umur anaknya yang baru lahir, yak kan?” ujar Gindo menegaskan. “Seperti namamu Hafiz, itu mungkin ibu bapakmu dulu mengharapkan semoga dapat seperti orang-orang penghafal Al-quran, kalau yang sebenarnya tanya saja nanti..he.he.he”.

“Kalau begitu apa pula makna yang terkandung dalam Tan Gido bang?” Tanya Hafiz lebih menggali lebih dalam. Akhirnya target kecil Gindo dalam mengeluarkan pernyataan tidak sia-sia karena sejak awal dia sudah bermaksud menggiring Hafiz agar bisa beretanya lebih dalam biar bisa saling mengenal lebih jauh untuk sebuah maksud dan tujuan sepesial dimassa akan datang serta sudah menduga ada pertanyaan begitu sambil membathin “berhasil juga saya giring ini bocah ini bertanya lebih dalam, tak sia-sia dapatkan ilmu bagaimana memancing lawan bicara..he.he.he”.

“Ya..iyalah pasti ada” ujar Gindo sambil menanggapi serius dan bercerita panjang lebar

……

Tan Gindo itu ada lagi aslinya, jadi nama dibalik nama lagi kayak sebuah kemasan kado istimewa lah, nama itu saya penggal lagi dari sebuah nama besar dan kuat yakni Tuanku Bagindo Ali, kalau diterjemahkan cukup berat untuk disampaikan karena gelar Tuanku itu setingkat dengan nama pangkat seorang Khiyai, Syeikh di Jawa atau seorang paling Alim gagah perkasa di Sumatera serta kemungkinan berketurunan pangilma, sultan, raja, ningrat atau semacam itulah. Sementara Bagindo itu kata lain dari panggilan terhormat Baginda atau tuan besar dan Ali adalah singkatan dari seorang sahabat muda Rasulullah yang pintar, gagah berani Ali bin Abuthalib R.A, Nama itu dilekatkan kepada saya saat sudah menikah dulu sehingga sejak itu nama kecil saya perlahan memudar dan menghilang, teringat ungkap film animasi anak-anak Ultra Men “berubah” ha.ha.ha.

Karena berat itu itulah gelar asli itu sengaja saya senyapkan lagi, belum pantas rasanya menyandang itu, rasanya perangai saya sampai hari ini masih jauh dari layaknya seorang Syeikh atau Alim; sholat saja masih banyak lalai, perilaku belum bisa mencerminkan orang baik-baik, bahasa saya masih kurang pas dan kadang terasa kasar serta menyakitkan banyak orang, keras dan tajam. Kalimat demi kalimat kritikan sering meluncur mulus tampa takut, tajam dan belas asih. Namun karena sudah di amanahkan bergelar itu saya coba pelesetkan dikit sambil berusaha perbaiki diri dari waktu ke waktu, apalagi kini sudah berkepala empat dimana kematian sudah mulai sangat mendekat..hixs.

Menurut orang tua atau datuk saya dulu, kebetulan beliau sudan mangkat sekitar 4 tahun lalu, Namanya Mansur Arifin Angku Bagindo; kemarin itu meninggal di Jakarta dan berkubur di Makam Tanah Kusir Kebayoran Lama Jakarta Selatan bersebelahan dengan makam Sang Proklamator kita Bung Hatta; semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau semasa hidup. Nanti ada cerita menarik tentang beliau yang bisa kita ceritakan di lain waktu…

Tuanku Bagindo Ali adalah gelar datuk moyangku dulu yang hidup semasa zaman perang Padri di Sumatera Barat, beliau menuturkan bahwa beliau adalah seorang panglima perang Padri untuk wilayah Luhak Limapuluh Kota, daerah dimana saya berasal atau dikenal nama lain “Luhak Nan Bungsu”. Sebuah negeri yang indah dan permai, banyak perbukitan dan pegunungan serta hutan. Gak tau kedepan sebentar lagi akan menjadi seperti apa, apakah juga akan tergadai bangsa asing dan pengusaha serakah seperti tanah-tanah di Jawa dan Kalimantan ini wallahu`alam. Situasi sangat susah ditebak dan dibaca hari ini, jika masyarakatnya tidak hati-hati habis sudah negeri ini, kita akan jadi tamu di negeri sendiri, sedih..

Gelar ini diturunkan kepada saya, katanya sang datuk dan sanak-saudara dikampung saya dianggap memiliki karakter atau perangai yang sama dengan saya, entah ya atau tidak saya juga tidak tau itu. Namun ketika saya coba kilas balik sejarah hidup saya semasa sekolah hingga kuliah yang penuh pernak pernik menjadi sorang aktivis hingga pernah memimpin sebuah demo besar-besaran dulu di Kampus dan berakhir dalam tahanan singkat di tahun 2004 dulu menjadi ya tak iya sajalah. Hingga saya menemukan jodoh dan saat ini akan dikarunia anak ke-7 Insya Allah masih terasa seperti itu.

Saya merasa untuk soal pandangan dan jalan hidup merasa tak pernah berobah, tak sedikit akhirnya sahabat, teman dan saudara saya yang menyayangkan potensi yang ada dalam diri saya meski banyak juga yang memujinya dimana masih suka “menantang matahari”. Mereka bilang harusnya massa depan saya bisa lebih gemilang, namun hari ini seperti meleleh saja, apa adanya dan dianggap pengalaman muda hanya sia-sia belaka. Tapi saya berfikir cukup Allah sajalah yang tau dengan apa yang bersarang dihati ini, peduli setan dengan pendapat orang lain yang tidakkan bisa mengerti dengan pikiran jalan hidup saya saat ini itu karena saya sudah memilih dan hari ini tak ada lagi waktu untuk memilih. “Lanjutkan perjuangan hingga ajal menjemput, biarlah sedikit tapi berarti dan setelah itu berarti mati”

…….

“Traaaang…..” sebuah piring gelas kopi tertumpah oleh seorang pelayan Café yang berdentang keras dari pojok tempat duduk lain, sekalian dengan teriakan histeris pelayan “alamaaak…tekor lagi saya, untung saja belum sudah pecahkan barang & hancurkan modal” sambil ketawa terpingkal-pingkah dan separuh kesal. Sejenak membuat suasana berubah riuh kaget se-ruangan Café. Hal tersebut juga menghentikan pembicaraan Gindo penuh serius dan membathin “sepertinya sudah cukup bercerita tentang hal serius ini, sebuah kode alam sudah muncul mengingatkan saya”. Ternyata Gindo adalah type pembicara penuh filosofis, sampai-sampai sebuah gelas jatuh ditengah pembicaraan serius menjadi sebuah ukuran untuk menghentikan dan melanjutkan pembicaraan.

“Saya pikir cukup itu dulu sejarah singkatnya Fiz, alam sudah menyuruh saya berhenti dulu dan tak usah bicara jauh tentang massa lampau, takut nanti berlebihan sehingga jadi ujub dan sombong, setidaknya ente sudah bisa mencerna, ada apa dibalik sebuah kisah nama Tan Gindo..he.he”, ungkap Gindo dengan penuh senyum dan berbahasa bak filosof. Tak sadar sebatang rokok pun sudah habis dimakan api hampir ke puntungnya karena keasyikan bercerita panjang “busyet dah.. rokok ku sudah ke puntung bak sedang bakar uang Rp. 2000/batangnya tak sebanding dengan kenikmatan kepulan asap yang ingin di sedot.ha.ha.ha” katawa cengengesan.

“Anggap sedang bakar kemenyan saja bang..ha.ha.ha” tambah hafiz juga ketawa terpingkal-pingkal. Cerita seriuspun berobah menjadi santai dan mengembirakan. Diam-diam ternyata cerita yang kelihatan remeh berhasil berdampak baginya dan menjadi buah buah pikiran baginya sambil membatin “luar biasa juga lelaki kurus ini, ternyata menyimpan misteri yang dalam, pengalamannya pasti banyak, menarik untuk digali lebih dalam”. Kemudian dia Hafiz melontarkan pujian singkat “luar biasa cerita abang, saya yakin masih banyak kisah bersambung yang mesti saya dengar, perkenankan saya lebih banyak tau dan berguru ya bang…?” ujarnya berharap.

Gindo kemudian mengelas “santai saja bro, itu hanya sedikit sejarah massa lalu, dia akan berarti kalau dibuat berarti tapi dia akan bermakna ketika ente berhasil menggali dan mengambil pelajarannya, layaknya cerita-cerita dalam Al-quran dan kisah nabi lainnya, siapa bisa mengambil hikmah dia dapatkan pelajarannya, orang Minangkabau mengatakan itulah Al-quran berjalan, alam terkembang jadi guru” mendadak Gindo bak bicara filosif lagi. “Sementara saya masih masih manusia biasa yang berlumuran dosa, banyak kelemahan dan kesalahan” ungkap Gindo merendah.

“Semoga saja nanti kita bisa benar-benar jadi seperti sahabat baru, meski umurmu masih muda dan jauh dari saya, mari sama-sama berharap ente bisa lebih sukses dan maju ketimbang saya, Insya Allah saya bersedia berbagi ilmu; gratis buat kamu, tak usah bayar, saya sedekahkan buat ente mah.., kalau dalam pelatihan motivasi ente pasti akan beli dengan biaya mahal..he.he.he” dengan nada agak sedikit merendah tapi terkesan meninggi. Begitulah watak Gindo yang seperti amper meter mobil; panasnya naik turun tak terkendali, kadang merendah, kadang terkesan meninggi. Mereka yang tidak mengenal lebih jauh pasti terkesan pongah dan sombong. Apalagi bagi mereka yang sudah punya pikiran negative pasti sudah menjadi buah bibir untuk dihembuskan kemana-mana buat amunisi pertempurannya dengan Gindo baik dalam bersaing atau berkompetisi secara tidak sehat.

“Alhamdl, boleh lah bang…, terimkasih” ujar Hafiz merasa girang. Begitulah sifat Hafiz yang baik, pemuda ini masih terkesan lugu dan memiliki semangat belajar yang tinggi. Hafiz sosok pemuda yang juga tidak sombong, tidak suka merokok dan tidak pernah persoalkan orang-orang yang berbeda dengan sikap dan pilihan hidupnya. Dia juga sosok pemuda yang suka mengaji, menuntut ilmu apa saja serta masih menyimpan keinginan berkuliah melajutkan sekolahnya menjadi seorang sarjana, meski nanti hanya berpeluang bisa masuk Universitas Terbuka. Sementara kemahirannya dibidang IT dan Media belakangan ini sudah cukup bisa di andalkan untuk meraih cita-cita berikutnya.

“Okeh,..cukup dulu ngopian kita kali ini, sebelum pulang mari kita diskusikan sebentar agenda program pemberdayaan yang ingin kita wujudkan di desa Duri Dua ini” ujar Gindo ingin menutup pertemuan sejak pagi menjelang siang. “Okeh..asssiaaaap bang..” ujar Hafiz bertambah semangat. Ternyata Hafiz dan Gindo saat pertemuan itu merupakan tim kerja sebuah program pemberdayaan desa di Sungai Duri Dua Kecmatan Sui. Kunyit Mempawah Prov. Kalimantan Barat. Sebuah program yang di inisiasi oleh lembaga CSR professional bernama CFCiD Consulting bersama PT. Pelindo II dalam menghadapi proses pembangunan pelabuhan Internasional.

Konon kabar pelabuhan ini kelak akan menjadi pelabuhan terbesar di Indonesia dimassa akan datang. Entah bagaimana nasib desa-desa terdampak dimassa akan datang merupakan misteri yang harus segera dijawab saat ini sebelum terjadi dimassa akan datang “sedia payung sebelum hujan, siapkan bekal untuk perjalanan berat dan jauh kedepan, mestinya kehadiran Pembangunan apapun bisa bermanfaat bagi siapa saja, tidak pilih pangkat, status dan jabatan” kemudian diskusi berakhir yang ditutup dengan rumusan agenda kegiatan bersama melalui Forum Desa Sui. Duri Dua yang sudah terbentuk beberapa bulan lalu.

Bersambung ke Bag II

- Advertisement -
- Advertisement -

BERITA PILIHAN

- Advertisement -
- Advertisement -

Tulisan Terkait

- Advertisement -spot_img