“Hidup tanpa cita-cita seperti berlayar tampa nahkoda,
…maka bermimpilah, sebelum mimpi itu dilarang”
Malam itu terasa agak sedikit kusut, angin kencang bercampur badai di Kelapa 4 Dusun Karya Sungai Duri Dua-Mempawah, seperti biasanya sejak 2 bulan November 2020 cuaca sering tidak bersahabat bahkan kemungkinan bisa berlangsung hingga Januari 2021 menurut info media terbaca. Sementara banyak pekerjaan lapangan yang terpikirkan bahkan sudah mulai mendatangkan masalah baru diluar pekerjaan utama yang telah diberikan lembaga CFCiD Consulting dimana Tan Gindo bertugas. Dalam suasana mulai terasa dingin, hanya bermodal sebuah sarung dan kamar kecil berukuran 3 x 3 yang menjadi penghangat badan dekil Tan Gindo.
“Onde mande, thusday… apa yang mesti saya kerjakan dulu”, pikir Tan Gindo membatin, seperti orang yang sudah mulai tak terarah dan bak kepala yang habis terbentur dinding, pusing tujuh keliling. Kemudian memutuskan melipat loptop terbilang masih baru, yang terbayang lagi-lagi masih ada hutang dalam lipatan loptop, bak ditampar sekepok uang “plak…, mimpinya boleh besar, tapi hutang kurang asem malah mempasung hidup ini, kalau cuma berharap gajian, semakin tak jelas ini arahnya, suram sudah cita-cita bung..” menghendus memelas. Pemkirannya melayang ke langit-langit kamar sambil tidur terlentang mikirkan banyak pekerjaan dan cita-cita yang belum tercapai dalam hidupnya.
Baca Juga “Menantang Matahari” bag. 1: TAN GINDO NAMAKU
Dalam lamunan yang agak panjang Tan Gindo akhirnya terlelap pulas dan hanya sempat berdoa singkat menjelang tidur, biasanya beberapa hafalan singkat sempat dilantunkan sebagai mainan sebelum tidur hingga kemudian bermimpi serasa saat dulu berada dirumah Padang Tiakar Hilir Kec. Payakumbuh Timur Kota Payakumbuh; dimana Tan Gindo lahir dan dibesarkan, dalam mimpi Tan Gindo seperti masih kecil sekitar umur 8 atau 9 tahunan, saat itu lebih kurangnya Tan Gindo masih duduk di kelas 4 SD 10/73 Sicincin di Kecamatan yang sama dengan domisili kedua orang tua di Sumatera Barat.
Tan Gindo kecil, memang sudah dedari usia dini berbadan kecil seperti adanya, namun waktu itu masih berkulit agak putih mendekati sao matang, guanteng dan terkesan punya mata agak sedikit sipit, orang-orang bilang “ini anak orang cina sesat” ujar mereka nyeletuk disetiap saat sambil berkelakar. Dalam hati karena merasa dapat pujian Tan Gindo juga kumat narsisnya “ya gue gitu lho..”. Inilah yang buat Tan Gindo dewasa mungkin terkesan sombong karena dedari kecil sudah miliki percaya diri tinggi.
Bakat kepemimpinan-pun dari dini sudah muncul, kisah itu sudah mulai terlihat sejak masuk SD, tercatat tak pernah absen jadi ketua kelas semenjak kelas 1 hingga kelas 6 SD, sungguh menjadi pengalaman menarik hingga akhirnya cukup menentukan arah dan tujuan hidup Tan Gindo sampai tumbuh usia dewasa “sering jadi tukang atur orang banyak dan berbadan besar dari dirinya padahal secara fisik hanya berukuran pulang pokok, alias kembali modal saja, he.he.he”
Para Guru wali kelaspun senang dengan adanya Tan Gindo kecil, meski waktu itu kesan menjadi seorang ketua kelas adalah anak yang manut untuk bisa disuruh-suruh apa-apa saja oleh para Guru, jika Tan Gindo kecil. sakit atau berhalangan bersekolah atau tidak terlihat ketika dibutuhkan; para Guru selalu bertanya “GusPen lagi kemana ya, tumben tidak terlihat” ujar sang Guru selalu, atau selalu diminta teman sekelas untuk mencari GusPen “tolong ya, carikan ibuk GusPen lagi dimana ia, bilang ibuk ada perlu” kata sang Guru tampa beban. Sepertinya jika tidak adanya GusPen terasa ada yang kurang di dalam kelas. Begitulah GusPen; nama ketika Tan Gindo masih ingusan, dia jadi anak paling ngetop ketika masih kecil “GusPen sang ketua kelas anak kesayangan para guru” ujar teman-teman sekelas membulinya.
“Ah GusPen itu bisa juara karena keterdekatan para Guru la ya…, bukan karena kepintarannya” sangka teman yang sudah lupa namanya siapa, dengan nada syirik alias “susah lihat orang senang, senang lihat orang susah, padahal beban jadi ketua kelas hanya jadi orang suruhan saja” ungkap GusPen kadang menggerutu . Hampir sepanjang tahun dan jenjang kelas kalau tidak dapat juara 1 dikelas, ya juara 2 kelas, bisa dikatakan dapat diukur dengan jari manis dan telunjuk saja kalau mendapatkan juara 3 dikelasnya. Fatalnya ketika di tahun ke-5 SD; ada seorang anak baru pindahan yang lebih pintar dari GusPen, hingga sempat tidak mendapatkan rangking sama sekali dalam sebuah semesteran, meski demikian masih dalam hitungan 5 besar hingga tamat SD.
Anak pindahan itu bernama Musfarianto; betapa berbulunya mata GusPen mendapat saingan berat, beberapa kali sempat mengupat kesal kalau sudah bertemu dan mengingat namanya ketika itu. “Modar, anak baru kelewatan, baru kemarin masuk sudah ngalahin saya ya..” ungkapnya. Pernah juga terlintas dibenak Guspen karena rasa ego sudah muncul dan anak paling berjasa pada guru “sedih…,para guru sudah tidak lagi sayang kepada saya..hix” ujarnya sendu membatin.
Padahal lawan sekelas semenjak kecil yang kebetulan perempuan bernama Susi Angraini tak pernah dipersoalkan karena dia sudah biasa saling gantikan posisi juara semenjak kelas 1 SD, si Susi anaknya berkulit putih bersih, rambut sedikit pirang dan juga “amboi cantiknya adu hay…”. Mujurnya dimassa itu berusia belum puberitas dan belum kenal wanita kalau tidak mungkin sudah digodain jadi seorang teman dekat “pacar kali yee..ha.ha.ha”.
Tidak berselang lama sebelum tamat SD GuPen bisa tersadar, dia mengakui memang tidak hebat-hebat betul, massa itu ketika berteman semakin dekat dengan sorang anak Panti Asyiah Muhammadiyah Kota Payakumbuh bernama Musfariadi yang juga sering juga jadi kuda hitam ketika bersaing di sekolah, dia juga pernah juara kelas dan setidaknya sering 5 besar juga dibangku sekolah namun terasa tidak seberat bocah Musfarianto si anak beken.
Tak salah Musfariadi juga anak pindahan tak berselang lama dengan Musfarianto sebelum pindahan, kebetulan Ibunya Musfariadi kepala panti Asyiah tersebut. Kami sangat akrab dan GusPen sering menginap di panti menemani Musfariadi bermain-main di asrama yang rindang. Kebetulan panti itu adalah khusus bagi anak-anak perempuan, karena masih kecil dan dianggap belum baligh GusPen tak pernah dilarang bermain disana, bahkan sering di ajak layaknya anak panti.
Kesadaran itu memuncak setelah merasakan beberapa kali kewalahan menerima pelajaran sekolah dan hampir bingung juga menghadapi Musfarianto yang lebih rajin, catatan sekolahnya rapi dan selalu lengkap, begitu juga soal dalam pekerjaan sekolah di rumah alias pr; Musfarianto selalu lebih baik dan tidak pernah telat. Sementara GusPen yang sok sibuk jadi Ketua Kelas sudah mulai malas belajar dan urakan, tulisannya seperti cakar ayam dan selalu ketinggalan catatan bahkan beberapa kali tidak bisa kerjakan soal-soal pelajaran sekolah.
Musfariadi-lah yang selalu jadi pahlawan, sang penyelamat GusPen hingga sampai tamat SD. Kebetulan juga ada satu lagi teman perempuan baru dari panti asuhan tersebut, bernama Miftahul Jannah; sebuah nama yang indah dari sorga dan juga kelihatan cantik terlihat dan terasa waktu itu. Dia juga terlihat sholeha, berlesung pipit, berjiblab panjang, rajin dan pintar hingga beberapa kali ketika kami berdua tak bisa menjawab persoalan tugas belajar dan kekurangan catatan pelajaran dialah yang kami andalkan. Kadang kami iseng mencari perhatian si dia dengan pura-pura pinjam catatan belajarnya yang juga rapi dan indah, seindah orangnya.
Cerita sepesial GusPen sewaktu kecil semasa kecil sebenarnya ketika ditawarkan beasiswa prestasi dan bisa dapat sekolah gratis oleh Petugas dinas Pendidikan dengan catatan “setelah tamat sekolah kalau nilai-nilai sekolah tak pernah anjlok, maka beasiswa itu bisa diambil”. Apa hendak dikata, “maksud hati ingin memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai”. Ketika merasa mendapat saingan berat dan seperti prustasi semua angin sorga yang ditawarkan dinas pendidikan kandas ditengah jalan. Betapa senang dan bangga rasanya orang tua pada mulanya dan kemudian harus ikhlas menerima keadaan.
Sebuah penyemangat baru datang dari Ibunda tercinta bernama Mainar, ibu yang sangat sayang, tegar dan kuat terhadap anaknya, prestasi yang sudah ada sudah cukup besar dirasakan apalagi senang melihat anak lelaki satu-satunya mulai tumbuh besar dengan baik dan jadi anak patuh, meski sering keras kepala dan suka ngamuk-an kalau ada kasih yang tidak sampai. Bahkan dulu pernah ngamuk meninju sebuah tembok rumah habis berantem dengan sang Kakak, namanya Neni Deswita dengan tangan harus berlumuran darah “kurang ajar duuaaar….”. Mujurnya bukan kepala sang kakak yang dipukul, kalau ya bisa lain ceritanya. Sambil mengelus rambut GusPen “Nak, kalau sudah besar mau jadi apa?” ujarnya bersemangat.
GusPen kecil tampa panjang fikir dan entah dapat ilham darimana berucap “Mama, aku ingin jadi pilot tempur” ungkapnya girang. Yang terlihat jelas dalam mimpi ternyata teringat Papa Kardiman sang Bapak pernah dulu membawa GusPen bermain-main naik pesawat terbang mainan yang bisa berputar berkali-kali melalui kemudi putar, namun karena harus berhemat untuk keluarkan kocek tak bisa bermain pesawat terbang keseringan dan hanya memberikan bujukan “mainnya cukup sekali saja ya nak, bapak tak bawa duit banyak” ujarnya membujuk.
Bapak Kardiman memang tergolong orang yang berhitung soal uang karena ketika itu kondisi ekonomi keluarga memang masih susah untuk mendapatkan pekerjaan. Beliau sorang mekanik yang sehari-harian bekerja sendiri di bengkel khusus yang dibuat beliau sendiri, kadang tak ada mobil servis-an yang masuk setiap bulan; hanya pekerjaan tambahan tambal ban yang dapat di andalkan untuk kebutuhan harian. Bersyukur mama juga bisa berdagang dengan warung kecil-kecilan didepan rumah untuk dapat menutupi sewaktu-waktu kekurangan uang jajanan.
“Kenapa ingin jadi pilot pesawat tempur, bukannya yang lain” ujar mama bertanya agak pura-pura serius.
“Ya, aku ingin terbang ke angkasa luas dan menjaga bumi ini, kalau ada yang jahat tak tembakin” ujar GusPen yang sok serius sambil cecengesan kecil, seolah menjadi cita-cita benaran,
Belakangan ternyata cita-cita yang pernah tertanam cukup mempengaruhi cara berfikir dan pilihan GusPen setelah kelak beranjak remaja dan dewasa. GusPen remaja akhirnya sering aktiv di Kepramukaan, suka dengan alam; naik gunung, pergi kamping, mengembara dan jurit malam bak sorang tentara yang siap tempur dan mengabdi. Bahkan ketika sempat pertama kali aktiv disebuah ormas Pelajar Islam Indonesia (PII) awalnya masuk di divisi Brigade Pelajar bahkan hingga pernah pada level paling tinggi sebagai Sorang Komandan Wilayah ditingkat Propinsi Sumatera Barat. Memang ada catatan dalam sejarah perjuangan organisasi PII di bahwa Brigade Pelajar adalah anak emasnya Jendral Sudirman.
Brigade PII diresmikan pada tanggal 6 November 1947 dengan Komandan Pusat pertama bernama Abdul Fattah Permana, ketika itu Bangsa Indonesia masih berjuang melepaskan diri dari ancaman penjajah, menurut informasi para senior hanya anak-anak “Brigade Pelajar & Hizbullah lah” yang sangat dipercaya oleh Pak Dirman untuk mendampingi dan mengangkat tandu beliau masuk keluar hutan untuk bergerilya. Sejarah ini haram bisa ditemui, dibaca apalagi dipelajari disekolah-sekolah umum, kenapa begitu?, ada saatnya cerita baru dibagian lain dan lagian tak muncul dalam mimpi kali ini “kembali ke loptop he.he.he”.
Dalam mimpi terlintas rasa sesal “sayang saja nasib baik belum berpihak pada GusPen ketika menjelang tamat SMP” dia masih gagal masuk ujian seleksi SMA Taruna; sebuah sekolah elit anak-anak remaja yang dipersiapkan untuk AKABRI di Magelang Jawa Tengah di era itu. Begitu juga sebelum menyelesaikan SMA lagi-lagi gagal sewaktu tes masuk AKABRI kembali, padahal semuanya serasa sudah sangat dipersiapkan dengan matang, mental, fisik dan kesehatan, sampai-sempai sempat sakit-sakitan latihan basis kecil-kecilan di sebuah Batalion TNI Yonif 131 Bukit Barisan yang kebetulan bermarkas di Kota Payakumbuh, lebih kurang 3 bulan lamanya. Sungguh jadi pukulan berat bagi anak-anak remaja seumuran yang juga sama-sama gagal dimassa itu.
Begitulah pernak pernik GusPen dalam mimpi panjang malam itu, teringat sebuah prestasi massa kecil yang telah terukir bak bintang cemerlang kemudian redup oleh sebuah persaingan kelas dan sistem belajar di massa itu, kegagalan demi kegalan yang melanda terus menghantui hingga massa remaja usai. Belakangan juga kembali tersadar bahwa sistem sekolah seperti itu jua yang ikut menyumbangkan kesalahan dan penyebab bisa merusak mental anak-anak usia dini, dimana ketika kecil sudah dihadapkan pada persaiangan yang tidak menentu, anak-anak yang tidak siap dan tidak dapat dukungan layak akhirnya banyak yang rontok kepercayaan dirinya dan minder “layu sebelum berkembang” dan akhirnya tidak mau sekolah lagi karena tidak mampu bersaing dengan orang lain dan merasa percuma untuk sekolah lebih lanjut.
Diketahui, sistem seperti itu pelan tapi pasti mulai dihapuskan di negeri tercinta ini, tidak ada lagi rangking-rangkingan, yang ada hanya perkembangan tingkah laku sesuai dengan kecerdasan anak. Ternyata semasa kuliah di fakultas pendidikan muncul sebuah teori baru dan sudah berkembang dengan istilah “multiple intelligences” yang ditulis oleh sorang tokoh pemikir pendidkan “Horward Gardner” yang menjelaskan bahwa setiap anak pasti punya kelebihan dan kekurangan serta kecerdasan masing-masing, apa saja bisa jadi seorang juara tergantung potensi yang ada dalam dirinya. Singkat kata setiap anak punya potensi positif untuk dikembangkan bukan dikebiri oleh sistem yang menganak tirikan anak-anak dalam sebuah prestasi belajar.
Singkat cerita lagi GusPen alias Tan Gindo akhirnya tetap memendam mimpi-mimpinya yang barangkali mustahil dapat tercapai lagi; semenjak kecil hingga tumbuh dewasa hingga pada akhirnya harus beralih nahkoda untuk berkuliah di sebuah jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Univeritas Negeri Padang (UNP) Sumatera Barat ditahun 1998 sampai mendapatkan Sarjana Pendidikan dikemudian hari di tahun 2006 dengan waktu agak lama alias “Mapala” mahasiswa paling lama karena sesuatu peristiwa tragis dan mengangkan dalam hidup itu terjadi.
Padahal GusPen muda secara waktu juga sudah parkir sekolah satu tahun semenjak menamatkan bangku SMA di tahun 1997, oleh karena gagal lagi dalam ujian masuk perguruan tinggi yang di inginkan. Kerana sudah sering mendapatkan kegagalan demi kegagalan GusPen muda sudah tidak canggung lagi untuk menghadapinya. “Bak prajurit terlatih, mati di medan tempur sudah sebuah kebanggaan bahkan sebuah kemuliaan dari pada tidak pernah berjuang sama sekali” inilah jualah mungkin pangkal jalan Tan Gindo dewasa akhirnya masih suka “Menantang Matahari”, tidak pernah merasa kapok, bosan dan berhenti mencari hal-hal baru yang lebih daripada kekuatan dalam dirinya sendiri; lagi dan lagi melompat sana sini, terbang sana sini, keluar masuk organisasi atau komunitas lain mencoba pengalaman baru dalam hidupnya.
Hikmahnya, selepas parkir dari dunia sekolah itu, GusPen muda berpeluang belajar hidup lebih keras lagi menghadapi kenyataan hidup. Berkesempatan pergi meninggalkan kampung halaman menjadi “Perantau muda” sebagaimana layaknya anak-anak muda Minangkabau zaman dulunya “karakok diateh batu, babuah babungo balun, karantau lah bujang dahulu di kampuang paguno balun” (pergilah merantau mencari ilmu dan pengalaman di negeri orang dikampung belum bisa berbuat apa-apa dan berguna, karena masih kurangnya pengetahuan dan pengalaman); pergi ke Kota Jakarta.
Kala itu Kota Jakarta masih menjadi tempat favorit dan idaman sebagian besar orang kampung Tan Gindo, tempat dimana para perantau Minang belajar bertarung dan mengadu nasib meng-arungi samudera kehidupan. Siapa yang bertahan dan siap dia akan sukses, jika tidak pasti kembali pulang dengan sebuah kegagalan dan kenangan. Bahkan menurut cerita nenek moyang kami, dulu kalau seorang perantau gagal hidup di rantau “mereka akan mengemban malu atau aib sekembali dikampung halaman kecuali pulang dengan sebuah alasan yang tepat” bersua sudah pesan pepatah Minangkabau:
“Kato rajo kato basahajo, kato titah kato balimpahan, dari duo capailah tigo, jan sa sakali sakalian dikakok, hati ibo mambao jauah, sayang dikampuang ditinggakan, hati luko mangkonyo sambuah, tacapai niaik jo tujuan, mukasuik hati mamaluak gunuang, apo dayo tangan indak sampai, ombak ditantang manuju pulau, laia dikambang manantang angin”
(Setiap manusia perlu mempunyai cita-cita yang tinggi dan mulia, tetapi harus dicapai dengan cara bertahap-tahap. Untuk mencapai cita-cita seseorang harus rajin berusaha untuk mencapainya, dia belum merasa puas kalau belum mendapatkannya. Meski mempunyai cita-cita tinggi, tetapi tidak mudah untuk mencapainya, ada batas kemampuan untuk mencapainya, ketahuilah suatu tujuan dan cita-cita senantiasa ada cobaan dan rintangan)
Bersambung ke bag III