CUDIN, SAHABAT YANG UNIK

“Siapapun orang disekitarmu atau diluar sana,
Mereka adalah mereka, dia adalah dia…!
jangan berharap mereka kan pernah menjadi dirimu
atau dirimu akan menjadi seperti mereka dan dia
berkacalah dan jadilah dirimu sendiri…”

Tak terasa amanah yang diemban sudah berumur 7 bulan, mungkin tak sampai 5 bulan lagi kontrak tahunan ini akan berakhir, entah akan diperpanjang atau tidak hanyalah Tuhanlah yang maha tahu. Pastinya rencana program dan kerangka kerja sudah disusun para pimpinan, khususnya saat ini akan masuk fase ke-2 dalam desain pemberdayaan. Saatnya melakukan pengoranisasian lebih lanjut di langit-langit Mempawah yang penuh harapan terutama Desa Sui. Duri II yang sedang di dampingi. Sebagaimana biasa, harapan itu tidak akan sepenuhnya sesuai dengan kenyataan. Hambatan dan rintangan bahkan mungkin ancaman baru sudah mulai muncul dari hal yang tak terduga dalam lorong sempit kepentingan banyak orang; mulai dari rekan sejawat, warga dampingan, aparatur desa, perusahaan bahkan pemerintah yang sedang berkuasa.

Ragam etnis terutama individu, dari ragam bentuk, sikap dan perilaku telah dan pasti akan ditemui kembali dalam fase ke-2 ini. Sungguh akan menjadi peristiwa baru lagi, menegangkan sekaligus juga mengasyikkan bagi pecinta pemberdayaan. Berbagai aktor dan tokoh, mulai dari yang tua hingga anak muda, bahkan anak-anak usia dini pun akan ditemui. Berbagai ragam profesi pasti akan dihadapi; birokrat, pengusaha, pengrajin, aktivis desa hingga warga pekerja biasa. Berbagai bentuk tingkah laku, perangai dan tingkat pemikiran akan dijumpai; agamawan, cendikiawan, politikus, budayawan, pemain kampungan akan ditemui dan sebagainya. Pada dasarnya mereka atau siapa saja tetap sama,”ya..manusia biasa seperti anda Tan Gindo, maka bersiaplah kembali berselancar” ungkap Tan Gindo membatin.

Baca Juga “Menantang Matahari” bag. 2: Mama, Aku Pengin Jadi Pilot Pesawat Tempur

“Dimanapun kamu berada yang penting kehadiranmu harus bermanfaat bagi orang lain Tan Gindo, jangan hanya sekedar puas dengan dirimu sendiri, karena tak ada bedanya engkau dengan orang yang keranjingan Onani, he.he.he” ungkap salah seorang senior sekaligus jadi guru pemberdayaan dengan serius sembari ketawa. Beruntung selain aktiv dalam dunia kampus Tan Gindo sempat aktiv juga disebuah lembaga sosial kemasyarakatan (LSM), sekitar tahun 2003 s/d 2012-an. Nama lembaganya P3SD Padang,lengkapnya “Pusat Pengkajian dan Pengembangan Sumber Daya”  begitu orang-orang mengenalnya.

Mulai dari tukang cuci piring senior dilembaga tersebut, kemudian menjadi fasilitator divisi, naik lagi menjadi ketua divisi Diklat hingga dipercaya menjadi Deputy Direktur. Padahal sebelumnya dan sesudahnya sepengatahuan Tan Gindo jabatan seorang Deputy tak pernah dijumpai “mungkin khusus dihadiahkan buat saya saja..he.he.he” ungkap Tan Gindo ngeles pada suatu waktu. Tapi semua dijalankan dengan ikhlas dan santai saja tampa ada beban pemikiran, yang pasti ada kesempatan baik untuk bisa menggali banyak pengalaman dalam lembaga gerakan sosial seperti P3SD. “ya lumayan lah, bisa menikmati kerjasama dan menggali pengalaman dengan lembaga nasional dan internasional” ujar Tan Gindo ketika pada suatu wawancara khusus.

Melalui P3SD Tan Gindo pernah berkelaborasi dengan LP3ES Jakarta, Care International Indonesia, UNDP, Ford Foundation, Populi Centre dan berbagai founding lembaga luar yang pernah dinikmati dana anggarannya. Masing-masing lembaga founding juga beda strategi dan metode dalam meng-eksekusi programnya, tak jarang juga membuat kesal dan menggerutu menuruti maunya founder. Tak tanggung-tanggung secara pribadi sempat mengelola uang puluhan hingga belasan milyaran dalam satu kontrak khusus tapi tetap melalui supervisi dari para senior sekaligus menjadi guru pemberdayaan pribadi. Semua dana bukan hutang tapi seperti dana hibah lepas dalam bentuk sebuah pertanggung jawaban khusus yang dikelola secara professional.

Suatu hari Tan Gindo sampai berfikir “untuk apa lembaga-lembaga asing rela memberikan dana sebesar itu kepada para LSM, bayangkan ada berapa ratus LSM se-Indonesia dan sudah berapa trilliun dana segar seperti itu diberikan sejak dulunya, apa yang mereka cari di Indonesia sebenarnya” begitu carut marut isi kepala Tan Gindo dalam sebuah perenungan tajam.

Dalam sebuah diskusi aktivis, sejumlah topik khusus dana anggaran LSM ini,“Perubahan dan perbaikan apa yang sudah dilakukan para LSM hingga kini, sementara negara dan bangsa Indonesia sampai saat ini malah semakin rusak dan tidak menentu” ujar seorang aktivias dalam beberapa kesempatan diskusi.”Jangan-jangan para LSM juga ikut menyumbangkan beberapa jenis kehancuran bangsa hingga saat ini” ujar aktivis LSM yang lebih radikal pemikirannya.

Benar atau salah tentang kritikan tersebut “hingga saat ini saya merasa belum berkopeten menjawabnya karena fakta demi fakta ada diantara keduanya” ujar Tan Gindo menjawab sebuah pertanyaan, penuh ragu dalam diskusi tersebut. “Mari kita pulangkan kepada diri kita sendiri dalam menganalisis” tegas Tan Gindo diplomatis saat menutup sebuah pembicaraan,

Kemudian, setelah terbang kemana-mana fikir Tan Gindo mendarat kembali pada tantangan tugas bersama CFCiD Consulting dan PMLI Pelindo di Sui. Duri II saat ini, sebuah proyek penanggulangan masyarakat terdampak dari pembangunan terminal internasional Kijing di Mempawah yang sedang dijalani. Dalam oretan panjang Tan Gindo sepertinya menemukan peta diri kembali, belajar dari massa lalu dalam menghadapi tantangan dalam berteman dan bergaul dengan siapa saja. Ketika itu Tan Gindo mendapatkan seorang sahabat yang unik semenjak Sekolah Dasar dan masih bertahan sampai saat sekarang ini, meski jarang ketemu mereka tetap saling sama merindukan.

Panggilannya bekennya si-Cudin, padahal nama aslinya jauh panggang dari pada api dan mereka punya kesamaan dalam hal ini, sering mengeluarkan nama yang bukan nama asli, banyak juga menjadi kebiasaan orang Minang diberbagai tempat “lain nama asli, lain nama panggilannya, baik karena perangai atau sebab kebiasaan untuk mendapatkan panggilan unik dan bahkan sebagian sengaja dicari-cari “seperti orang-orang yang sering peta umpet agar tidak diketahui banyak orang”.

Nama sebenarnya aslinya Rafriandri, berwajah tampan, berkulit sawo matang, bertubuh kekar dan tinggi agak lumayan, pembenari dan jago karate karena sudah terlatih sejak dini. Bisa dikata sangat jago berkelahi. Pernah suatu peristiwa dapat cerita seorang teman dia pernah sendirian menghajar 10 orang anak-anak STM Kasgoro di pasar Ibuh, sebuah pasar rakyat di Kota Payakumbuh.

Tan Gindo sangat yakin akan hal itu karena sudah mengenal Cudin semenjak kecilnya. Cudin dedari kecilnya memang nakal, kalau soal berkelahi dialah nomor wahidnya, sementara Tan Gindo hanya punya keberanian bicara didepan kelas dan dimuka publik lainnya, setiap kegiatan perwakilan tentu Tan Gindo yang maju, ketika berkelahi tentu Cudin yang paling depan, he.he.he

Ada modal dasar Cudin bisa demikian, karena semasa massa aktiv Ibu-nya memang seorang komandan SatPol PP Kota Payakumbuh dan disegani oleh para apartur pemerintahan mulai dari Walikota hingga Kepala Lurah semua orang pasti sudah mengenal watak garang-nya. Bapak angkatnya seorang purnawiran tentara yang juga disegani dan berani, sementara konon kabar bapak aslinya juga seorang jagoan ternama.

Barangkali begitulah genetik dan lingkungan alam serta sosial turut membentuk perilaku anak manusia pada umumnya. Keluarga terdekat, sanak saudara bahkan orang disekitar akan menggambarkan perangai dimassa akan datang, namun berbagai perbedaan dan perubahan tingkah laku akan menjadi dinamika tersediri dalam kehidupan seseorang bahkan masyarakat.

Suatu ketika keberanian mereka bertemu disebuah pertengkaran adu mulut, sementara Cudin yang tidak mampu adu mulut dan langsung memainkan fisiknya apalagi jago karate, jurus-jurusnya kemudian keluar berkelebat menghajar Tan Gindo “kurang ajar.., kelapak kelepuk satu dan dua jurus melayang hebat hampir mengenai wajak dan perut Tan Gindo” sambil berteriak keras dan penuh marah.

Untungnya Tan Gindo juga pernah belajar silat kampong dan Cudin tidak menyangka akan hal itu, hampir setiap malam Kamis setiap minggunya Tan Gindo tak pernah absen belajar silat mulai dari bakda magrib hingga tengah malam disebuah tempat rahasia. Tan Gindo berhasil mengelak sedikit, meski sempat selayang terkena pukulan Cudin “eat..eaa, et eaat” ujar Tan Gindo juga tak kalah berteriak.

Sampai suatu ketika Cudin sempat ambil ancang-ancang untuk melayangkan tendangan dari jauh agar kekuatannya maksimal dan melayang indah di udara bak seorang karateka sejati “iyaaaaaaat….” bergerak cepat seperti kuda terbang. Jika ada hape kamera seperti saat ini mungkin banyak yang akan merekam gerakan karateka mantap nian itu, dan akan cepat viral dimedia massa.

Sementara di saat itu Tan Gindo sudah mulai terdesak di dinding depan kelas dan hanya dibatasi oleh papan tulis hitam, karena zaman itu mereka masih pakai kapur putih berdebu untuk belajar dikelas, tidak seperti sekarang yang sudah pakai whiteboard dengan spidol khusus. Terbuat dari papan triplek yang di cat hitam dan kapurnya dipesan khusus di toko tulis yang tersedia.

Melihat kuda terbang yang sedang mengancam, Tan Gindo memilih untuk bertahan dengan berkesempatan melakukan hal serupa dengan sebuah kaki kanan terangkat lurus kearah perut Cudin tapi tidak dalam posisi melayang “praaaak” bunyi keras memecah situasi yang ternyata hanya mengenai papan tulis karena Tan Gindo tak jadi mempertahankan posisi tapi lebih menghindar sedikit kearah kiri badan dan akhirnya papan tulis lah yang menjadi korban, papan tulis pecah seketika sampai sedikit berlobang. Bekas tendangan terbang itu kemudian tetap menjadi kenangan para siswa hingga sama-sama tamat sekoah dasar.

Saat kejadian itu para siswa ternyata sudah rame menonton mereka, bak sebuah pertunjukan film perkelahian para pendekar karate dan silat kampong. Sementara para guru baru mengetahuinya setelah bunyi keras ketuntang di dalam kelas. Kebetulan memang terjadi pada jam istirahat siang dan sebagian siswa yang mulanya banyak diluar kelas mendadak ramai setelah banyak yang mendapatkan info; sesaat sebelum perkelahian. “ayo-ayo kita lihat, Pak Ketua kita sedang berkelahi dengan Cudin” ujar mereka berbisik sambung menyambung hingga kantin belanja yang tak jauh dari belakang kelas mereka berhamburan.

Akhirnya mereka berdua diseret oleh seorang guru ke dalam ruangan kantor untuk diadili kenapa terjadi perkelahian tersebut. Singkat cerita akhirnya berhasil di damaikan dan kejadian tersebut tidak sampai ketelinga orang tua karena diantara mereka juga tidak ada yang terluka dan menderita karena perkelahian tersebut. Semenjak itu Tan Gindo dan Cudin mulai saling mengenal lebih jauh tapi belum begitu akrab karena trauma perkelahian masih membekas diantara mereka, mungkin juga karena belum ada yang jadi pemenang dan hanya menjadi mainan sewaktu kecil hingga semua bisa terlupakan.

Serba kebetulan, ketika SMP merekapun satu sekolahan lagi di Bukit Sitabur Payakumbuh, jarak tempuh sekolah dengan pemukiman mereka lumayan jauh untuk pulang dan pergi, kalau berangkat pagi terpaksa harus pakai angkot kalau pulang kadang bisa jalan kaki menyusuri trotoar yang telah dibangun dinas kota, lebih kurang 2 km jaraknya dari pemukiman rumah mereka.

Ada lagi teman beda sekolah tapi sama-sama satu pemukiman dengan mereka juga bersekolah yang sama, namanya Willy. Jadi mereka bertiga sering satu rombongan jika pulang sekolah dan akhirnya mereka berkesempatan saling akrab satu sama lain selama 3 tahun dalam satu almamater.

Willy, lebih duluan akrab dengan Cudin karena lebih dekat tempat tinggal dan sama-sama belajar karateka ketika massa itu, mereka berdua memang punya keahlian itu, berwajah tampan, berkulit putih dan agak kuning langsat, juga berbadan kekar tapi bertubuh lebih pendek ketimbang Cudin. Jika disandingkan Cudin lebih berbentuk tubuhnya seperti tentara yang sudah lepas pembasisan, Willy lebih cepat akrabnya kalau Cudin sedikit pelan tapi pasti. Dikemudian hari, Cudinlah lebih mendalam pertemanan dengan Tan Gindo hingga kembali bersambung satu rombongan dalam ke Pramukaan ketika sempat satu sekolahan lagi di massa SMA.

Tan Gindo yang telah diketahui belajar silat kampong, semenjak kejadian itu tak pernah berhenti latihan silat tapi sudah beda pelatih ketika SMP, sementara Cudin dan Willy tidak begitu diketahui apakah sampai sabuk hitam atau sudah berhenti ketika itu. Bahkan Tan Gindo sedikit mendalam latihan silatnya hingga sempat belajar kebatinan sebagaimana adanya dunia silat kampong di Minangkabau, ilmu kebatinan sudah mulai masuk pada tahap yang agak lebih tinggi sementara dalam dunia karateka sepanjang pengetahuan Tan Gindo hanya lebih pada keahlian olah raga dan olah keahlian fisik.

Latihan silat kebatinan agak banyak filosofisnya secara adat dan agama serta sudah jadi budaya bagi orang Minang sejak dulu kalanya “ke surau ke lapau dan belajar silat untuk bekal dirantau atau sudah deewasa nanti”. Inilah yang menyumbangkan gaya berfikir dan perilaku Tan Gindo ketika sudah mengadapi kehidupan lebih lanjut, suka belajar tentang budaya lokal dan tertarik dengan mendalami ilmu agama.

Apalagi semenjak kelas 2 SMP terlibat aktiv di sebuah oramas Pelajar Islam terbesar di Indonesia yang ketika itu masih bergerak dibawah tanah karena direndam pemerintahan Orde Baru melalui undang-undang keroramasan Tap MPR No. II MPR/1983. Sehingga pemikiran Tan Gindo bertambah tajam dan mendalam karena didikan khusus dari para senior-senior yang terdahulu dari generasi ke generasi. Mental kepemimpinan Tan Gindo semakin terasah dan terarah serta sedikit berbau agamis serta fundamental.

Dalam perkembangannya Cudin dan Willy juga tidak kalah lebih baik, karena suka dan ahli berolah raga karateka membuat mereka tambah memiliki jiwa dan raga yang kuat seiring dengan pertumbuhan fisik mereka yang agak sempurana ketimbang Tan Gindo, sikap mereka akhirnya sangat supportif terhadap teman dan sangat setia. Apalagi Cudin yang teman bermainnya masih seperti dahulu, lebih banyak berteman dengan anak-anak nakal alias “anak gaul” hingga semakin kelihatan jelas wataknya jagoannya.

“Setianya bukan main sesama teman, kalau ada yang terganggu dialah yang akan maju duluan menjadi pembela” ungkap seorang teman dalam menilainya. Bedanya, nakal Cudin di SMP lebih terarah ketimbang massa itu, tidak suka main fisik sembarangan tapi “kalau ada yang macam-macam, saya tantang berduel secara sportif dilokasi yang sudah ditentukannya, tak masalah kalah atau menang saya bersedia memaafkan dan dianggap urusan selesai” ujarnya sesekali mengumbar; begitulah adanya si Cudin sehingga akhirnya banyak teman yang menyegani beliau terkait dengan kontak fisik dan keberanian.

Sikap sportif ini juga tergambar ketika bersama Tan Gindo, kala itu lagi-lagi Tan Gindo masih selalu dipercaya lagi menjadi ketua kelas meski sudah lain tempat sekolah, aktiv dalam berbagai kegiatan sekolah, sering menjadi komandan upacara dan juga masih sering mendapat Juara dikelas. Tak tanggung-tanggung Tan Gindo juga terpilih lagi menjadi Ketua tertinggi di tingkat SMP, atau dalam struktur organisasi sekolah (OSIS).

Cudin sebagai teman satu-satunya satu alamamater ketika itu turut berbangga dan menjadi pendukung sekaligus pembela yang kuat bahkan siap melindungi Tan Gindo jika ada persoalan perkelahian yang akan muncul. Semenjak itu Cudin memanggil Tan Gindo tidak dengan nama kecil lagi, tapi memanggil dengan sebutan “sang ketua OSIS” saja.

Keterdekatan tersebut kelak semakin menjadi-jadi ketika aktiv di Pramuka SMA, Tan Gindo lagi-lagi jadi Karani Pramuka bahkan sering menggantikan posisi Komandan utama yang sewaktu itu dijabat oleh sahib Adek Rahmad; sehingga Cudin lebih memangil Tan Gindo sebagai “Sang Komadan” dan disingkat dengan kata “Mandan”. Begitulan mereka yang memiliki sifat, karakter atau perangai yang bertolak belakang semenjak itu akhirnya saling melengkapi, berbagai kekurangan dan kelebihan yang ada dalam berteman, berubah menjadi sahabat yang sebenarnya.

Pernah suatu waktu ketika sama-sama mengembara dimana terik matahari semakin tajam dan waktu sholat zuhur datang, Cudin langsung menstop perjalanan “ndan, sudah waktunya sholat, silahkan untuk sholat dulu, baru kita lanjutkan perjalanan, mari kita cari tempat peristirahatan” bersikap memberikan ruang dan waktu pada Tan Gindo yang diketahui sudah belajar menjadi abdi ibadah, sementara waktu itu Cudin sendiri belum mau melaksanakan sholat lima waktu dan mungkin sering tinggalkan sholatnya. Tak jarang Cudin juga panggil Tan Gindo sebagai “Usatadz atau Buya” padahal merasa tidak pernah berceramah dan berkhotbah tentang agama apalagi menasehati teman yang belum bisa beribadah.

Begitu juga pada sebuah kejadian tragis yang hampir di alamai Tan Gindo dalam sebuah pendakian gunung Sago, sebuah gunung yang terletak tidak jauh dari wilayah kampong mereka. Bersama Cudin dan teman-teman gaulnya di waktu istirahat malam sebelum menuju puncak hampir saja Tan Gindo kena tipu oleh teman Cudin yang berasal dari Pakanbaru-Riau; dia mencoba memasukkan pil koplo ke gelas minum Tan Gindo tampa disadari. Cudin yang telah melihat kejadian itu kemudian berteriak “ndan, jangan minum gelas itu, mandan lagi dikerjain”.

Sambil berdiri cepat dan sigap Cudin langsung merenggut teman maboknya itu, ditariknya krah baju temannya si anak terkutuk itu sehingga separuh cekekan dengan raut muka merah padam “kurang ajar kau, awas ya…, kalau kau coba-coba lagi mengerjai dan menipu mandan saya ini, tak bunuh kau di hutan ini, mengerti…!” ujar Cudin berteriak tegas dan keras. “Sekarang kau minta maaf, kalau mau teler, teler saja sendiri jangan kau zalimi orang lain apalagi orang-orang dekatku, belum sebarapa kau dibanding dengan mandan ku ini” bak pahlawan sejati Cudin menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah massa sulit dan ditengah hutan belantara yang dingin.

“Sungguh memukau hati tingkah laku Cudin malam ini” ujar Tan Gindu salut membatin. Begitulah akhirnya Tan Gindo bertambah senang dan suka pada Cudin “seorang sahabat yang unik”, sangat bisa menghargai dan menghormati Tan Gindo. Cudin betul-betul menjadi teman setia dan sejati. Disetiap kegiatan sekolah mereka saling membantu satu sama lain meski perbedaan mereka antara langit dan bumi dalam banyak hal, bahkan suatu saat ketika Cudin harus pindah ke STM-pun karena suatu hal yang juga unik juga, mereka masih tetap bisa bersua diberbagai kegiatan terutama kegiatan Pramuka antar sekolah terutama di Saka Bayangkara, sebuah unit kegiata Pramuka di dinas Kepolisian Sektor Kota Payakaumbuh.

Selepas SMA Tan Gindo dan Cudin harus berpisah karena Tan Gindo memilih untuk pergi merantau mengadu nasib yang kurang mujur lagi setelah tidak lulus UMPTN di tahun 1997. Sementara Cudin masih tetap dikampung bersama orang tuanya dan hanya bisa bertemu disaat Tan Gindo pulang lebaran atau liburan lainnya sepulang dari rantau.

Sampai pada suatu ketika dimana teknologi komunikasi sudah mulai berkembang, diamana handphone monolok Nokia sedang naik daun, namun belum ada android seperti saat sekarang ini; mereka kemudian baru bisa bertukar nomor dan tersambung dalam beberapa kali silahturahim. Begitu juga ketika Tan Gindo berkuliah di Padang setahun setelah dirantau, mereka masih jarang bisa bersua kembali.

Sebuah romantika kehidupan yang membuat Tan Gindo sangat berkesan dalam hidup dapat memiliki sahabat seperti Cudin. Meski ideliasme dalam berfikir dan bertindak Tan Gindo sangat tinggi tapi masih bisa memilah dan memilih serta menghargai segala kelebihan dan kekurangan teman atau siapa saja, mereka yang pada awalnya jadi musuh berat pada akhirnya bisa jua menjadi sahabat paling dekat. Sejak itu tak ada dalam kamus hidup Tan Gindo membedakan orang dan teman, bagaimana dia berfikir dan berprilaku. Pintar, jelek, nakal dan jahat sekalipun Tan Gindo merasa bisa beradaptasi secara cepat serta berbaik sangka saja.

Kalaupun terpaksa harus memilih Tan Gindo lebih banyak menghindar dari sebuah kondisi ketimbang memaksakan kehendak diri, keyakinan Tan Gindo bahwa setiap orang ada kebaikannya dan juga ada kejelekannya semua bisa jadi pelajaran. Meskipun masuk ke kancah anak nakal namun tetap masih bisa menjaga diri dari pengaruh lingkungan berat yang merusak diri, kecuali kebiasaan merokok; itupun semenjak beranjak dewasa Tan Gindo baru lakukan dengan terang-terangan dan rutin karena sebuah sebab juga dan lain waktu dapat diceritakan kembali.

Diketahui si-Cudin dewasa tentu sudah sangat jauh berubah, terutama semenjak sudah menikah; lebih adem, lebih bersahaja dan sudah taat beribadah bahkan mungkin mengalahkan ibadahnya Tan Gindo ketika masih remaja, begitulah alam berkata dan manusia selalu akan banyak mengalami perubahan “tidak untuk hari ini, mungkin esok atau lusa atau setidaknya sebelum dimakan usia, kita akan terkaget-kaget melihat perubahannya atau siapapun ketika bersua kembali setelah sekian lama. Yang pasti “Tan Gindo adalah Tan Gindo tak mungkin menjadi Cudin sebaliknya juga begitu Cudin adalah Cudin tak mungkin menjadi Tan Gindo”, bak kata pituah Minangkabau:

“Gadang buayo dimuaro, gadang garundang dikubangan, nak tahu digadang kayu caliak ka pangkanyo, nak tahu di gadang ombak caliak ka pasianyo, padi ditanam padi tumbuah, lalang ditanam lalang tumbuah, sakali aia gadang, sakali tapian barubah, namun adat indak lapuak dek hujan, indak lakang dek paneh

(Seseorang akan berkuasa dalam lingkungan dan bidangnya masing-masing, kalau ingin menilai kebesaran atau kebaikan seseorang bergaullah dengan dia, kebaikan yang diperbuat oleh seseorang akan berbalas dengan kebaikan, begitu juga sebaliknya, perubahan bisa terjadi karen sesuatu yang besar terjadi, terlepas baik atau buruknya namun adat/kebiasaan baik/ kebenaran tak akan pernah berubah sama sekali karena dia bersifat abadi)

Bersambung ke Bag IV