Sulit sekali untuk membantah bahwa daya/kuasa ( power ) adalah sumber dari kemenangan atas apapun di dunia ini. Dalam situasi damai maupun perang, tanpa daya/kuasa ( powerless ) maka manusia -secara individual maupun sosial- maka akan sulit mengembangkan potensinya bahkan mempertahankan kehidupannya secara keseluruhan. Bahwa pada akhirnya tidak ada daya/kuasa dan upaya/kuasa yang mampu mengalahkan kedigdayaan/kekuasaan Tuhan, namun Tuhan tetap menuntut manusia untuk terlebih dahulu berikhtiar/berusaha ( effort ).
Artinya, ada ikhtiar/usaha dahulu sebelum ada daya/kuasa yang dibutuhkan untuk mengubah nasib/kenyataan/keadaan setiap manusia bahkan semua orang. Lalu, apakah yang dibutuhkan manusia secara individual dan sosial untuk berikhtiar/berusaha? Maka jawabannya adalah kekuatan pendorong ( force ). Jadi, sebelum ada perubahan ( change ) mensyaratkan adanya daya/kuasa yang mensyaratkan ikhtiar/usaha yang mensyaratkan kekuatan yang mendorong untuk itu. Power dan effort membutuhkan force yang mungkin lebih nyata atau material ketimbang dua hal sebelumnya, karena power dan effort lebih lekat dan seringkali berkelindan dengan sesuatu yang non-material atau bersifat ideal.
Power menjadi sebuah situasi dan kondisi yang dibentuk karena adanya effort dimana force membuatnya ada atau meng-ada-kan atau membentuknya. Jika kemudian digunakan untuk membicarakan situasi dan kondisi sosial dalam dinamika kehidupan masyarakat modern yang tidak bisa lagi dilihat sebagai sepenuhnya alamiah atau natural, maka perubahan (sosial) yang makna sesungguhnya adalah rekayasa (sosial)/kehidupan bersama, maka dikerangkai dengan apa yang disebut struktur (sosial). Sehingga konsepsi tentang force, effort, dan power, ada dalam konteks yang struktural ketimbang yang natural. Meskipun ketiganya kemudian disebut sebagai bagian dari perilaku manusia secara sosial yang disebut sebagai kultur/budaya. Sehingga setiap tindakan yang berpola sebagai perilaku seringkali disifati sebagai kultural.
Dalam struktur, maka power sangat identik dalam konteks politik, dan effort dalam konteks budaya, dan force lebih identik dengan ekonomi. Sehingga tidak sulit memahami mengapa dalam struktur ada yang disebut dengan struktur dasar ( base/infra structure ) yang ekonomikal dan struktur atas ( super/supra structure ) yang politikal, lalu yang menghubungkan keduanya yang kultural. Yakni perilaku politik yang powerful dipengaruhi oleh effort yang forceful. Lalu bagaimana kekuatan yang mendorong bahkan mampu memaksa orang untuk berusaha/berikhtiar agar berdaya/berkuasa atas hidupnya sendiri bahkan memperdaya/menguasai atau memberdaya/menguasakan orang lain?
Jawabannya adalah produksi. Sehingga hal yang paling mendasar dari power adalah production. Oleh sebab itu tidak ada perubahan (sosial) tanpa ada kekuatan (sosial) yang dihasilkan dari produksi. Meskipun produksi dan reproduksi akhirnya juga dilekatkan pada sektor ekonomi, budaya, dan politik yang kelihatannya semua itu setara sejajar kedudukannya, padahal sesungguhnya tidak.
Lalu, bagaimana kekuatan itu diproduksi? Mungkinkah setiap manusia mampu mewujudkannya secara individual? Ternyata berproduksi dalam berbagai sektor kehidupan (sosial) tidak bisa bersifat personal atau orang per orang secara individual, namun bersifat komunal atau terbentuk secara sosial.
Kemudian, kekuatan sosial dari produksi itulah yang membutuhkan kapabilitas material/apapun yang dimiliki, ide/gagasan untuk memprosesnya, dan institusi yang mengorganisasikannya. Tanpa itu semua dimiliki secara sosial, maka yang ada adalah bentuk-bentuk hirarki di mana yang berkuasa/berdaya adalah individu sehingga penguasaan kapital/modal terkonsentrasi dan penguasaan atas pengaturan tersentralisasi pada pemegang puncak hirarki. Di titik inilah mengapa demokrasi politik juga harus disertai dengan demokrasi ekonomi. Maka, bagaimana hal itu bisa terjadi? Jawabannya adalah dengan berkoperasi.
Padang, 15 Oktober 2020.
Virtuous Setyaka, Dosen HI FISIP UNAND & Ketua KMDM