27 C
Padang
Jumat, Maret 29, 2024
spot_imgspot_img
Beritasumbar.com

Pengelolaan Ulayat Sebagai Kekayaan Nagari Dalam Pemekaran Nagari Di Tapan Pesisir Selatan (Bag3)
P

Kategori -
- Advertisement -

Meskipun demikian, kesemua bentuk nagari itu tetap mengenal Sidang Kerapatan Nagari, yaitu permusyawaratan penghulu-penghulu suku yang ada di nagari. Sidang Kerapatan Nagari ini biasanya diadakan di balai adat nagari, meskipun dikenal dengan nama yang berbeda di setiap nagari yang ada di minangkabau. Ada yang menyebut sidang ini dengan sebutan rapek nagari, mufakaik nagari, duduak baronggok nagari, rapek urang nan kalimo suku, titah pucuak, dan lainnya. Akan tetapi yang umum dipakai adalah penyebutan kerapatan adat nagari, hanya saja terdapat sedikit perbedaan sebagaimana yang digambarkan oleh ciri balai adat masing-masing tipe nagari. Pada nagari dengan tipe Koto Piliang pengaruh penghulu pucuk dalam memutuskan musyawarah/rapat nagari lebih dominan jika dibandingkan dengan nagari dengan tipe Bodi Caniago.[15]
Kerapatan Adat Nagari (KAN) merupakan lembaga yang telah ada sejak tumbuh dan berkembangnya masyarakat minangkabau. Lembaga ini berfungsi untuk membuat peraturan-peraturan yang berguna untuk kepentingan anak kemenakan dalam nagari yang kemudian menjadi adat yang teradat dan sebagai hakim perdamaian apabila terjadi konflik yang berkaitan dengan sako juga pusako di nagari.[16]
Sehubungan dengan ulayat, masyarakat minangkabau mengenal 3 (tiga) jenis hak adat/ulayat, yaitu ulayat kaum, ulayat suku, dan ulayat nagari. Ulayat kaum adalah ulayat yang dimiliki oleh satu kaum, umumnya ulayat kaum ini telah terbagi kepada masing-masing keluarga (paruik) yang ada pada kaum tersebut sebagai ganggam bauntuak. Sosok yang dituakan dalam pengelolaan ulayat kaum ini adalah mamak kepala waris. Dalam perkembangannya paruik tersebut akan berkembang menjadi kaum seiring dengan pertambahan jumlah keturunan, sehingga secara otomatis ganggam bauntuak tersebut akan berkembang menjadi ulayat kaum pula bagi kaum tersebut.[17]
Selanjutnya adalah ulayat suku, yaitu seluruh ulayat kaum dalam suku yang bersangkutan pada suatu nagari. Pada faktanya ulayat suku merupakan satu kesatuan dari ulayat kaum, hal ini dikarenakan umumnya ulayat suku sudah terbagi kepada masing-masing kaum di dalam suku tersebut. Sehingga pada dasarnya penghulu suku (datuak) tidak memiliki kewenangan terhadap ulayat kaum sebab kewenangan tersebut telah dijalankan oleh mamak kaum. Hanya saja pada umumnya seorang penghulu suku selain menjadi mamak di dalam kaumnya juga menguasai ulayat yang khusus dikuasai karena jabatannya selaku datuak.[18]
Terakhir adalah ulayat nagari, apabila kita mengacu kepada teori lahirnya suatu nagara yang bermula dari taratak, taratak menjadi dusun, dusun menjadi kampung, dan selanjutnya menjadi nagari, maka pada dasarnya tidak ada ulayat nagari secara terpisah. Karena dengan demikian setiap jengkal tanah di dalam nagari tersebut sudah ada pemiliknya yang pada mulanya diawali dengan kegiatan manaruko tanah untuk dijadikan sawah maupun mancancang hutan untuk dijadikan ladang oleh masing-masing anggota kaum. Sehingga benar adanya, jika sebuah bukit atau hutan menjadi ulayat suatu kaum di nagari tersebut. Hanya saja kemudian ada tanah ulayat kaum yang diserahkan kepada nagari untuk dijadikan tempat kepentingan nagari seperti pasar, tanah lapang, dan lain sebagainya.[19]
Tetapi pada beberapa nagari juga terdapat ulayat nagari yang secara rill terpisah dari ulayat lain dan bukan pula pemberian ulayat dari suatu kaum atau suku yang ada di nagari tersebut. Bahkan sebaliknya, suku atau kaum tersebut yang mengolah tanah ulayat nagari kemudian menjadi ulayat kaum/suku tersbut. Kemungkinan besar hal ini berawal dari datangnya seseorang ke wilayah nagari tersebut, manaruko lalu mematoknya sebatas wilayah nagari itu kini. Atau orang tersebut diberikan kewenangan oleh raja di daerah tersebut untuk menguasai daerah tertentu, kemudian dia menjadi pucuk pimpinan di nagari tersebut, biasanya bentuk ini terdapat pada nagari yang menganut konsep Koto Piliang, yang mana anak kemenakan yang ada di nagari mengolah tanah tersebut setelah memperoleh izin dari niniak mamak berupa surat malaco, selanjutnya sebagai bentuk penundukan kepada ninik mamak maka anak kemenakan yang mengolah tanah akan menyerahkan upeti/bungo, baik bungo kayu, bungo ampiang, atau bungo pasia.[20]

  1. Masa Kolonialisasi
- Advertisement -
- Advertisement -

BERITA PILIHAN

- Advertisement -
- Advertisement -

Tulisan Terkait

- Advertisement -spot_img