28 C
Padang
Minggu, September 8, 2024
spot_imgspot_img
Beritasumbar.com

Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
U

- Advertisement -

Limapuluh Kota,BeritaSumbar.com,-Dalam rangka untuk meningkatkan kapasitas tupoksi DPRD Limapuluh Kota terhadap optimalisasi fungsi anggaran dan pengelolaan keuangan daerah berbasis kinerja, maka sektetariat DPRD Limapuluh Kota melaksanakan bimbingan teknis (Bimtek) yang dihadiri oleh Pimpinan dan anggota DPRD Limapuluh Kota, bertempat di Hotel Bumi Minang Padang (29 September-2 Oktober 2018).

Salah satu materi adalah Undang-undang No.7 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pemilu dan strategi pemenangan bagi calon legislative dengan pemateri Dr.Suharizal,SH.,M.H Sekretaris Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Pasca Sarjana Unand Padang.
Pemilu 2019 tentu berbeda dengan Pemilu 2014. Berbagai perubahan mengharuskan caleg beradaptasi dengan cara kampanyenya dan menyiapkan strategi pemenangannya lebih matang. Status partai, syarat parliamentary threshold, kondisi daerah pemilihan, dan peta politik partai, hingga kesiapan administrasi, serta finansial harus benar-benar disiapkan secara matang oleh para caleg yang bertarung demi kursi DPR.
“ Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), menghasilkan lima poin yang akan membedakan Pemilu 2019 dengan sebelumnya. Lima kondisi tersebut antara lain; (1) sistem pemilu terbuka, (2) perubahan timeline presidential threshold, (3) parliamentary threshold, dan (4) metode konversi suara, serta (5) pembagian kursi per dapil, 3 untuk suara minimal dan 10 untuk suara maksimal. Jumlah kursi setiap Dapin anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota 3 untuk suara minimal dan 12 untuk suara maksimal.
Pertama, sistem pemilu terbuka dipertahankan untuk Pemilu 2019. Sistem pemilu ini sudah berjalan sejak 2009 dan menciptakan peluang bagi caleg yang mendapatkan suara terbanyak untuk bisa lolos menjadi anggota DPR. Hal ini tentu berbeda dengan sistem pemilu terdahulu, di mana para calon anggota DPR yang memiliki suara terbanyak belum tentu bisa lolos menuju Senayan apabila tidak berada di urutan teratas.
Kedua, isu presidential threshold (ambang batas presiden) juga menjadi pembahasan yang unik. Sebab, ini adalah modal awal untuk mencalonkan presiden. Dengan ditetapkan sebuah angka dalam presidential threshold, maka partai pengusung akan berusaha menyesuaikan kebutuhan suaranya sesuai angka yang ditetapkan. Pada Pemilu 2019, presidential threshold berada di angka 20 persen suara kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional.
Jika membandingkan dengan Pemilu 2014, di mana pileg dan pilpresnya terpisah, maka partai politik bisa menghitung dengan siapa mereka berkoalisi. Nah, pada Pemilu 2019, baik Pileg dan Pilpres diadakan secara berbarengan. Karenanya, presidential threshold diambil berdasarkan perolehan suara pemilu periode sebelumnya (2014).
Ketiga, parliamentary threshold (ambang batas parlemen) yang mengatur syarat partai politik lolos ke DPR/DPRD, yaitu memiliki suara sebesar 4 persen di suatu tingkatan wilayah. Batas ambang 4 persen tentunya adalah tantangan sendiri bagi partai kecil atau partai baru yang pertama kali ikut pemilu.
Dari berbagai pengalaman, ambang batas parlemen telah beberapa kali menggagalkan sebuah partai untuk lolos ke Senayan. Seperti contoh, PBB yang gagal ke Senayan setelah suara nasional yang mereka dapatkan tak mencapai 3,5 persen, syarat parliamentary threshold Pemilu 2014.
Hal ini seringkali membuat caleg DPR partai seperti ini kena apes. Pasalnya, sekalipun caleg mereka juara di suatu daerah pemilihan (dapil), namun karena aturan ambang batas parlemen tadi, membuat partainya tadi tidak boleh masuk ke DPR. Tapi sistem ini memungkinkan PBB punya wakil di provinsi atau kabupaten/kota saat melewati ambang batas 3,5 persen. Misalnya, PBB memiliki wakilnya 2 (dua) orang di DPRD Kabupaten Limapuluh Kota .
Keempat, metode konvensi suara yang digunakan untuk menentukan caleg terpilih juga berubah. Apabila pada pemilu sebelumnya, KPU menggunakan sistem penghitungan Quote Harre, pada pemilu 2019 KPU akan menggunakan sistem Saint League Murni.
Sistem Quote Harre sering kali dikenal dengan istilah bilangan pembagi pemilih (BPP). BPP digunakan untuk menetapkan suara sesuai dengan jumlah suara dibagi dengan jumlah kursi yang ada di suatu dapil. Metode ini cenderung merugikan partai besar dikarenakan hak untuk mendapat kursi secara maksimal harus terlempar pada partai bersuara kecil dikarenakan asas pembagian pemilih tersebut.
Sedangkan metode Saint League Murni, digunakan pada Pemilu 2019 ini, adalah metode penghitungan suara yang menggunakan angka pembagi untuk mengalokasikan kursi yang diperoleh setiap partai politik dalam sebuah dapil. Angka yang digunakan untuk pembagi adalah angka ganjil (1,3,5,7,dst). Jumlah suara yang telah dibagi oleh angka ganjil tersebut akan diperingkatkan dan menentukan siapa saja partai/caleg yang lolos.
Kesimpulan “menguntungkan partai besar”, menurut saya tidak sepenuhnya benar dan jika tidak dipahami secara memadai dapat menimbulkan kesalahan persepsi atas sebuah konsep.
Bahkan kesimpulan tersebut menyimpang jauh dari tujuan utama dirumuskannya metoda hitung tersebut oleh Sang Penemu, yaitu Prof Andre Sainté Laguë pun oleh Sang Senator Daniel Webster.
Pertama, yang dimaksud besar atau kecil suatu partai hendaknya dilihat dalam konteks dapil dan bukan dalam konteks nasional. Hal ini disebabkan oleh “ketentuan penghitungan perolehan suara-kursi dihabiskan di dapil”. Bisa saja suatu partai di tingkat nasional dikualifikasi sebagai partai besar, namun belum tentu di suatu dapil. Begitu juga sebaliknya, suatu partai di tingkat nasional yang dikualifikasi menengah atau kecil, bisa saja di suatu dapil malah jadi partai besar.
Baiklah saya pergunakan sebuah simulasi. Pada sebuah dapil berkursi 10 terdapat 10 partai berkompetisi. Komposisi perolehan suara terbagai demikan: Partai A (94.200), Partai B (101.120), Partai C (301.870), Partai D (205.569), Partai E (302.000), Partai F (263.621), Partai G (305.713), Partai H (199.074), Partai I (148.421), dan Partai J (205.410). Total suara sah 10 partai 2.126.998, maka harga kursi (BPP) adalah jumlah total suara sah dibagi jumlah kursi, yaitu 212.700.
Dengan menggunakan Metoda Kuota Hare/Hamilton/Niemeyer (BPP), menghasilkan distribusi kursi ke setiap partai sebagai berikut: setiap partai, mulai dari Partai A hingga partai J masing-masing mendapat satu kursi.
Masih menggunakan simulasi di atas, kita juga bisa hitung kuota kursi atau porsi suara partai terhadap kursi.Sederhananya, suara sah setiap partai dibagi total suara sah partai di dapil dikali dengan kursi yang disediakan. Maka akan diketahui kuota kursi dari setiap partai berdasarkan perolehan suaranya. Dengan begitu kuota kursi partai akan demikian: Partai A (0,44), Partai B (0,48), Partai C (1,48), Partai D (0,97), Partai E (1,42), Partai F (1,24), Partai G (1,44), Partai H (0,94), Partai I (0,70), dan Partai J (0,97).
Pertanyaannya, apakah kuota kursi setiap partai tersebut layak diganjar 1 kursi atau lebih?
Kedua, Metoda Sainte Laguë dimaksudkan memberikan jaminan keadilan bagi setiap partai dalam hal perolehan suara-kursi. Partai G (partai terbesar) porsi atau kuota kursinya 1,44 atau (144%) dari harga kursi (BPP). Sedangkan, partai A (partai terkecil) perolehan suaranya 0,44 atau 40% dari harga kursi (BPP), namun sama-sama diganjar 1 kursi. Dengan demikian terdapat jarak sebesar 0,56 atau 56% antara porsi suara partai A (dapat 1 kursi) dengan harga kursi (BPP).
Dengan kata lain, partai A dapat diskon 60%, sedangkan partai G harus membayar 1 kursi sebesar 144% dari harganya (BPP). Jika dilihat lebih lanjut, kita bisa cek bahwa perolehan suara ataupun kuota kursi Partai G (partai terbesar) lebih dari tiga kali lipat dibanding suara ataupun porsi kursi Partai A (partai terkecil).
Pertanyaannya, apakah ini yang disebut adil? Pertanyaan berikutnya, apakah terdapat Metoda Hitung lain yang dapat menjadi solusi untuk menjembatani atau memperpendek jarak (senjang) perolehan suara-kursi dari setiap partai.
Jika memakai Metode Divisor Sainte Laguë, maka partai G yang suaranya 144% atau porsi kursinya 1,44 dari harga kursi berubah mendapatkan 2. Sedangkan Partai A yang porsi suaranya 0,44 tidak mendapatkan kursi. Pertanyaannya, apakah perolehan 2 kursi yang didapatkan partai G disebut tidak adil bagi partai A? Padahal dengan 2 kursi yang didapatkannya, partai G harus membayar harga setiap kursinya sebesar 0,72 dari harga kursi (BPP). Harga sebesar 0,72 inipun (1,44 dibagi 2 kursi) masih lebih besar dibanding porsi 0,44 yang didapatkan oleh partai A.
Ketiga , Metoda Sainte Laguë pada dasarnya punya cut off yang relatif terukur, di mana perolehan suara parpol layak dikualifikasi dapat satu kursi setidaknya jika porsi perolehan suaranya sama dengan atau di atas 0,50 atau 50% dari BPP. Dalam simulasi ini, Partai B (0,48) masih memenuhi kualifikasi untuk mendapatkan 1 kursi. Namun yang lebih penting, Metoda Sainte Laguë ini, dapat memperpendek jarak perolehan suara-kursi bagi setiap partai. Sedangkan di bawah cut off itu tidak.
Hal ini bertolak belakang dengan Kuota Hare, cut offnya tidak tersedia. Bahkan pada kasus-kasus ekstrem, partai yang porsi suaranya 0,30 atau 30 persen BPP pun dapat. Artinya ada jarak sebesar 0,70 atau diskon 70% dari harga kursi riil. Hal terjadi sebagai akibat munculnya efek sisa suara dan sisa kursi. Jikapun boleh menyimpulkannya, Metoda Sainte Laguë memberikan jaminan dan perlakuan netral dan tidak berat sebelah kepada setiap partai politik dalam perolehan suara-kursi.
Dengan kata lain, partai besar (sekali lagi di dapil) akan diganjar kursi sesuai dengan porsi suaranya, sedangkan partai menengah kecil (di dapil) akan ditarik pada garis yang lebih netral.(rel)
- Advertisement -
- Advertisement -

BERITA PILIHAN

- Advertisement -
- Advertisement -

Tulisan Terkait

- Advertisement -spot_img