Dalam membahas ekosistem Pendidikan Indonesia, erat sekali kaitannya dengan keragaman budaya dan adat istiadat berbagai daerah. Keberagaman merupakan modal untuk menghadapi era pascapandemi. Dari kesadaran inilah Bobby Febri Krisdianto, mencoba untuk menjadikan program mahasiswa merdeka 2 di UNAND sebagai wadah yang mencakup para mahahasiswa dari berbagai daerah dan latar belakang di Indonesia.
Dengan keyakinan bahwa para mahasiswa merupakan aset masa depan bangsa dengan keterampilannya beradaptasi dengan kondisi daerahnya yang berbeda-beda. Maka pada kegiatab inspirasi di PMM2 , Bobby bersama kelompok PMMnya mencoba untuk tidak hanya berfokus pada pengembangan kapasitas dan pembangunan mental model individual, tetapi juga menjadikan wadah ini sebagai tempat untuk saling bertukar pikiran dan gagasan dari pengalaman dari tokoh inspirasi yang sangat beragam
Narasumber inspirasi kali ini adalah pimpinan tertinggi di ranah adat Minangkabau Angku Datuak Bandaro Kayo Tampuak Tangkai Alam Minangkabau dari Nagari Tuo Pariangan Batusangkar, kegiatan ini dilaksanakan di Aula Kantor Nagari Pariangan pada 18 Desember 2022 dan disiarkan oleh 28 mahasiswa program Unand yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Angku Datuk Bandaharo Kayo menceritakan sejarah dari Nagari Pariangan, “Di tepian Batang Bengkawas terletak Pariangan, tanah elok subur yang dijadikan pemukiman oleh Sri Maharaja Diraja. Disini dahulu tinggal Datuk Katumanggungan (anak puti Indo Jalito dengan Sri Maharaja Diraja) dan Datuk Perpatih Nan Sabatang (anak puti Indo Jalito dengan Cati Bilang Pandai) yang Menyusun hukum adat Minangkabau.
Versi lain menyebut bahwa kedua Datuk tiu tinggal di Kerajaan Pasumayan Kota Batu, selanjutnya masing-masing mendirikan kerajaan baru : Datuk Katumanggungan (Sutan Maharaja Basa) mendirikan Kerajaan Bungo Satangkai, sedangkan Datuk Perpatih Nan Sabatang (Sutan Bulun) mendirikan Kerajaan Dusun Tuo” ujar Angku Datuk Bandaharo Kayo.
Pariangan dianggap sebagai nigari tertua di Minangkabau. Disini terdapat Balai Suruang, tempat bermusyawarah para penghulu suku dan pemimpin agama. Di Nagari Pariangan ini terdapat delapan suku yaitu Koto, Piliang, Pisang, Malayu, Dalimo Panjang, Dalimo Singkek, Piliang Laweh, dan Sikumbang walau saat ini hanya tinggal tujuh suku yang ada di Nagari Pariangan karena suku Sikumbang berpindah ke Batipuh.
Sebutan Parahyangan (yang dianggap sama dengan Pariangan) muncul dalam Prasasti Akarendra (Prasasti Pagaruyung VII), berbahasa Sanskerta dan Melayu beraksara Kawi. Prasasti ini tidak berangka tahun, namun diperkirakan berasal dari awal abad ke-14 M, karena menyebutkan nama Sri Akendrawarman bergelar Sri Maharaja Diraja, yang memerintah sebelum Adityawarman. Diantara nama pembesar yang dicantumkan, terdapat nama/jabatan Tuhan Perpatih Bernama Tudang (dianggap identic dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang) dan Tuhan Gha Sri Rata.
“Kebudayaan Minangkabau asebagai satu kesatuan yang terintegrasi dan holistic, menampilkan dari tiga unsur utama kebudayaan Minangkabau agama dan sistem kepercayaan, system mata pecaharian”
Masyarakat Minangkabau percaya bahwa Sebagian adat yang mereka miliki tidak dapat berubah, meskipun Sebagian lainnya dapat mengalami perubahan karena beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Nilai-nilai luhur yang dimiliki masyarakat Minangkabau bersifat mutlak sejak disepakatinya ajaran islam sebagai acuan/pedoman hidup masyarakat Minangkabau, yang dikemas dalam ungkapan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
System norma yang berlaku pada masyarakat Minangkabau bersifat dinamis, terkait pada ruang (Darek/darek dan Rantau) dan waktu (Pra-islam dan islam atau bentuk periodesasi historis lainnya). Hasil karya merupakan segala bentuk hasil karya yang dihasilkan oleh masyarakat Minangkabau dan menjadi simbol dan identitas Minangkabau”.
Angku Datuk Bandaharo Kayo juga menjelakan mengenai hukum dan kepemimpinan dalam adat Minangkabau .Pada masa kekuasaan Datuk Suri Dirajo di Kerajaan Pasumayan Koto Batu, hukum yang berlaku disebut Sikumbang Jatuah, bersifat otokratis yang kemudian diubah dengan pemberlakuan hukum adat Tariak Baleh. Versi lain menyebutkan perubahannya ke hukum adat Silamo-lamo yang disusun oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang, sedangkan hukum Tariak Baleh diberlakukan sesudahnya. Perubahan hukum adat berikutnya yang berlaku sampai sekarang adalah Lareh Koto-Piliang dan Lareh Bodi-Caniago”.
“Disusun oleh Datuk Katumenggungan, filosofi Lareh koto-Piliang berbunyi ‘bapucuak bulek, manitiak dari langik, bajanjang naiak, batanggo turun’ (berpucuk bulat, menitik dari langit, berjenjang naik, bertangga turun). Kepemimpinan sosial-politik bersifat aristokratis, bertingkat-tingkat berurut dari atas adalah penghulu utama, penghulu pucuk, penghulu suku, dan penghulu andiko. Lareh Koto-Piliang dianggap dipengaruhi oleh ajaran Hindu atau Buddha Mahayana”.
“Lareh Bodi Caniago disusun oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang, dianggap dipengaruhi oleh ajaran Buddha theravada bersifat demokratis filosofinya berbunyi ‘tuah dek sakato, mulonyo rundiang dimufakati, di lahia lah nyato, di batin buliah diliek’ (tuah karena sekata, mulanya perundingan dimufakati, di lahir sudah nyata, di batin oleh di lihat). Sumber kekuasaan mambasuik dari bumi (membersit dari bumi), yang dimusyawarahkan secara duduak samo randah, tagak samo tinggi (duduk sama rendah, berdiri sama tinggi)”.
“Perseteruan antara kedua lareh pernah sangat sengit, sampai terjadi perang batu antara nigari Sungai Tarab dan Limo Kaum. Untuk mengatasinya disusunlah Lareh Nan Panjang hanya berlaku di nigari Pariangan, sudah ada sebelum kedua lareh Koto-Piliang dan Bodi-Caniago, justru menjadi sumbernya. Koto, Piliang, Bodi, dan Caniago adalah empat suku yang dianggap sebagai suku induk Minangkabau, istilah berempat uksu juga disebutkan dalam Prasasti Pagaruyung VII, mengindikasikan suku-suku ini sudah ada sebelum abad ke-14 M, tutup Angku Datuk Bandaharo Kayo Menjelaskaskan tentang adat keminangan.
Kegiatan inspirasi ini dilanjutkan dengan foto bersama dengan ditemani narasumber dan kelompok Pokdarwis (kelompok sadar wisata di Pariangan) sebagai penutup acara.