26 C
Padang
Kamis, April 18, 2024
spot_imgspot_img
Beritasumbar.com

Pengelolaan Ulayat Sebagai Kekayaan Nagari Dalam Pemekaran Nagari Di Tapan Pesisir Selatan (Bag5)
P

Kategori -
- Advertisement -

Pada mulanya orang Minangkabau hidup dalam empat golongan yang mereka namakan suku. Masing-masing bernama Bodi, Caniago, Koto dan Piliang. Suku Bodi dan caniago menganut aliran politik yang juga disebut Kelarasan Bodi Caniago dengan pimpinan Datuk Perpatih nan Sabatang. Suku Koto dan Piliang menganut aliran politik yang disebut Kelarasan Koto Piliang dengan pimpinan Datuk Katumanggungan. Oleh karena perkembangan keadaan dalam sejarah dan dengan datangnya kekuasaan asing yang menjarah Minangkabau, jumlah suku yang empat menjadi bertambah.57
Seperti dikutip oleh Sjofjan Thalib (1996), menurut De Jong melihat kelarasan itu sebagai: “Phratry-organization” sementara ada pula penulis yang memandangnya sebagai partai politik, yaitu De Rooij (1890) dan Leyds (1926) seperti dikemukakan oleh Benda-Beckmann (1979). Kelarasan Koto Piliang dihubungkan dengan paham “otokrasi”, sedang Kelarasan Bodi Caniago dihubungkan dengan paham “demokrasi”. Yunus juga menyampaikan demikian (dalam Koentjaraningrat, 1971). Benda- Beckmann (1979) menjelaskan sebagai berikut.
Koto Piliang, founded by Dt. Katumanggungan, was the “royal party” which supported the Kinship, and esthalished a rather autocratic form of nagari government, which was exercised by the Datuak nan ampek suku, the heads of the four suku, to which the matrilineages of the nagari were affiliated. Bodi Caniago, founded by Dt. Perpatih nan Sabatang, was the “Democratic party”, opposing the Kinship and proclaiming complete nagari-autonomy and the equality of all lineage heads in nagari goverenment.58
Sehingga menurut Sjofjan Thalib, dapatlah dikatakan bahwa pembagian “Alam Minangkabau” menjadi kelarasan Koto Piliang dan Bodi Caniago dan dapat dihubungkan dengan dua macam adat yang berlaku yaitu adat Koto Piliang dan adat Bodi Caniago. Hal ini dihubungkan dengan sistem pemerintahan adat Minangkabau, yaitu sistem aristokrasi dan demokrasi59
Pada dasarnya nagari diperintah oleh kumpulan penghulu-penghulu suku yang memiliki kewenangan yang sama derajatnya dan tergabung dalam sebuah kerapatan.60 Setiap keputusan yang menyangkut masalah nagari dimusyawarahkan dalam kerapatan nagari yang beragam namanya pada setiap nagari.
Musyawarah yang dilaksanakan ini mengacu pada ketentuan adat bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik serta kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka penghulu, penghulu barajo ka mufakaik, mufakaik barajo ka nan bana, nan bana tagak dengan sandirinyo (bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat, serta kemenakan beraja ke paman, paman beraja ke mufakat, mufakat beraja ke yang benar, yang benar tegak dengan sendirinya).61 Sebagai kesatuan masyarakat hukum adat genealogis teritorial nagari dipersatukan oleh rasa kesamaan keturunan dan kesamaan daerah yang ditempati. Di minangkabau terdapat dua tipe nagari, yaitu nagari kelarasan Koto Piliang dan kelarasan Bodi Caniago. Pada nagari tipe Koto Piliang, dikenal sebagai nagari bertipe kerajaan (aristokrasi), sehingga nagari dengan kelarasan Koto Piliang ini dapat juga disebut sebagai kerajaan konfederasi mini. Nagari dengan konsep ini mengenal penghulu pucuk sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam nagari yang dijabat secara turun temurun menurut garis keturunan (karambia tumbuh di mato). Sistem pengambilan keputusan dikenal dengan titiak dari ateh (menitik dari atas).62
Konsep ini berbeda dengan nagari tipe Bodi Caniago, nagari ini bisa juga kita sebut sebagai republik konfederasi mini.63 Pada nagari ini yang ada hanyalah para pembesar suku. Para penghulu suku di dalam nagari memiliki kedudukan yang sama dan sederajat. Salah satu dari mereka kemudian disepakati untuk menjadi panghulu andiko yang untuk waktu tertentu akan mengepalai penghulu lainnya yang dipegang secara bergilir (gadang balega). Nagari dengan tipe Bodi Caniago ini menganut konsep demokrasi. Segala masalah yang timbul di nagari akan dibicarakan bersama dengan hak dan kedudukan yang sama bagi setiap penghulu suku (lapiak sahamparan).64
Selain kedua nagari tersebut terdapat pula nagari dengan tipe lareh nan panjang (kelarasan yang panjang). Konsep nagari ini berbeda dengan nagari tipe Koto Piliang maupun nagari tipe Bodi Caniago, hal ini dikarenakan lareh nan panjang digambarkan sebagai:
Pisang sikalek-kalek utan
Pisang simbatu nan bagatah
Bodi Caniago inyo bukan
Koto piliang inyo antah65
Dari syair di atas kita dapat menyimpulkan bahwa konsep lareh nan panjang merupakan konsep penengah yang menggabungkan konsep Koto Piliang dengan konsep Bodi Caniago di dalam sistem pemerintahan di nagarinya.66
Meskipun demikian, kesemua bentuk nagari itu tetap mengenal Sidang Kerapatan Nagari, yaitu permusyawaratan penghulu-penghulu suku yang ada di nagari. Sidang Kerapatan Nagari ini biasanya diadakan di balai adat nagari, meskipun dikenal dengan nama yang berbeda di setiap nagari yang ada di Minangkabau. Ada yang menyebut sidang ini dengan sebutan rapek nagari, mufakaik nagari, duduak baronggok nagari, rapek urang nan kalimo suku, titah pucuak, dan lainnya. Akan tetapi yang umum dipakai adalah penyebutan kerapatan adat nagari, hanya saja terdapat sedikit perbedaan sebagaimana yang digambarkan oleh ciri balai adat masing-masing tipe nagari. Pada nagari dengan tipe Koto Piliang pengaruh penghulu pucuk dalam memutuskan musyawarah/rapat nagari lebih dominan jika dibandingkan dengan nagari dengan tipe Bodi Caniago.67
Kerapatan Adat Nagari (KAN) merupakan lembaga yang telah ada sejak tumbuh dan berkembangnya masyarakat minangkabau. Lembaga ini berfungsi untuk membuat peraturan-peraturan yang berguna untuk kepentingan anak kemenakan dalam nagari yang kemudian menjadi adat yang teradat dan sebagai hakim perdamaian apabila terjadi konflik yang berkaitan dengan sako juga pusako di nagari. 68
Penghulu – Penghulu Suku atau Niniak Mamak di nagari di samping sebagai Pemimpin anak kemenakan juga penguasa ulayat yang merupakan simbolisasi kekuasaan Penghulu.  Sehubungan dengan ulayat, masyarakat minangkabau mengenal 3 (tiga) jenis hak adat/ulayat, yaitu ulayat kaum, ulayat suku, dan ulayat nagari. Ulayat kaum adalah ulayat yang dimiliki oleh satu kaum, umumnya ulayat kaum ini telah terbagi kepada masing-masing keluarga (paruik) yang ada pada kaum tersebut sebagai ganggam bauntuak. Sosok yang dituakan dalam pengelolaan ulayat kaum ini adalah mamak kepala waris. Dalam perkembangannya paruik tersebut akan berkembang menjadi kaum seiring dengan pertambahan jumlah keturunan, sehingga secara otomatis ganggam bauntuak tersebut akan berkembang menjadi ulayat kaum pula bagi kaum tersebut.69
Selanjutnya adalah ulayat suku, yaitu seluruh ulayat kaum dalam suku yang bersangkutan pada suatu nagari. Pada faktanya ulayat suku merupakan satu kesatuan dari ulayat kaum, hal ini dikarenakan umumnya ulayat suku sudah terbagi kepada masing-masing kaum di dalam suku tersebut. Sehingga pada dasarnya penghulu suku (datuak) tidak memiliki kewenangan terhadap ulayat kaum sebab kewenangan tersebut telah dijalankan oleh mamak kaum. Hanya saja pada umumnya seorang penghulu suku selain menjadi mamak di dalam kaumnya juga menguasai ulayat yang khusus dikuasai karena jabatannya selaku datuak.70
Terakhir adalah ulayat nagari, apabila kita mengacu kepada teori lahirnya suatu nagari yang bermula dari taratak, taratak menjadi dusun, dusun menjadi kampung, dan selanjutnya menjadi nagari, maka pada dasarnya tidak ada ulayat nagari secara terpisah. Karena dengan demikian setiap jengkal tanah di dalam nagari tersebut sudah ada pemiliknya yang pada mulanya diawali dengan kegiatan manaruko tanah untuk dijadikan sawah maupun mancancang hutan untuk dijadikan ladang oleh masing-masing anggota kaum. Sehingga benar adanya jika sebuah bukit atau hutan menjadi ulayat suatu kaum di nagari tersebut. Hanya saja kemudian ada tanah ulayat kaum yang diserahkan kepada nagari untuk dijadikan tempat kepentingan nagari seperti pasar, tanah lapang, dan lain sebagainya.71
Tetapi pada beberapa nagari juga terdapat ulayat nagari yang secara rill terpisah dari ulayat lain dan bukan pula pemberian ulayat dari suatu kaum atau suku yang ada di nagari tersebut. Bahkan sebaliknya, suku atau kaum tersebut yang mengolah tanah ulayat nagari kemudian menjadi ulayat kaum/suku tersbut. Kemungkinan besar hal ini berawal dari datangnya seseorang ke wilayah nagari tersebut, manaruko lalu mematoknya sebatas wilayah nagari itu kini. Atau orang tersebut diberikan kewenangan oleh raja di daerah tersebut untuk menguasai daerah tertentu, kemudian dia menjadi pucuk pimpinan di nagari tersebut, biasanya bentuk ini terdapat pada nagari yang menganut konsep Koto Piliang, yang mana anak kemenakan yang ada di nagari mengolah tanah tersebut setelah memperoleh izin dari niniak mamak berupa surat malaco, selanjutnya sebagai bentuk penundukan kepada ninik mamak maka anak kemenakan yang mengolah tanah akan menyerahkan upeti/bungo, baik bungo kayu, bungo ampiang, atau bungo pasia.72

- Advertisement -
- Advertisement -

BERITA PILIHAN

- Advertisement -
- Advertisement -

Tulisan Terkait

- Advertisement -spot_img