Padang,BeritaSumbar.com,-Tanggapan atas release ESDM tentang Permasalahan Sosial Dalam Pengembangan Panas Bumi di wilayah Kerja Panas Bumi Gunung Talang-Bukit Kili)
25 November 2018, kami tim pendamping mendapatkan pesan elektronik siaran pers dari Kementrian ESDM tentang permasalahan Pembangunan Geotermal Di Gunung Talang yang saat ini rentan dengan intimidasi, ancaman dan kekerasan terhadap masyarakat yang menolak pembangunan Geotermal. Setelah membaca dengan seksama kami perlu meluruskan berbagai hal agar permasalahan ini semakin terang benderang agar semua pihak memiliki kesadaran penuh untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak-hak rakyat. Berikut beberapa point yang perlu kami respons sebagai berikut :
1. Perjuangan masyarakat di kawasan Gunung Talang mulai mengemuka di publik pada 23 Agustus 2017. Ratusan masyarakat melakukan aksi demontrasi di Kantor Walinagari Batu Bajanjang terkait adanya penyiapan lahan untuk pembangunan Kantor PT.Hitay Daya Energi. Saat itu, masyarakat menolak penyerahan lahan untuk perusahaan. Masyarakat mengeluhkan penyerahan lahan yang hanya melibatkan segelintir orang yang pastinya mengabaikan partisipasi masyarakat lainnya. Kemudian penolakan masyarakat dalam pembangunan geotermal kembali dilakukan dengan jumlah massa yang ribuan pada 13 September dan 2 Oktober 2017. Namun, pemerintah provinsi ataupun daerah tidak merespons penolakan masyarakat secara serius. Perusahaan tetap memaksa masuk ke lokasi berkali-kali dan diusir oleh masyarakat. Hingga kemudian, pada 20 November 2017, dengan di-back up anggota Marinir bersenjata lengkap, perusahaan mendatangi lokasi eksplorasi sehingga masyarakat bersama menghadang dan meminta dihadirkan Bupati Solok. Namun 3,5 Jam menunggu akhirnya kondisi menjadi sulit terkendali (chaos) dan terjadilah peristiwa pembakaran mobil. Akibatnya, 3 orang diputus bersalah oleh Pengadilan dan dijatuhi hukuman penjara 2 tahun. Namun, hingga saat ini tidak ada proses apapun terhadap anggota Marinir yang melakukan pembekingan terhadap perusahaan kenapa mesti menjamah wilayah darat. Kita tentu sangat paham bahwa Marinir ataupun tentara lainnya digaji bukan untuk menakuti, mengintimidasi dan menjadi pembeking perusahaan. Perjuangan masyarakat tetap berlanjut, hingga 20 Maret 2018, terjadi bentrokan kembali antar masyarakat yang menolak geotermal dengan kepolisian dan ketua KAN dan ninik mamak lainnya. Intimidasi masih terus berlanjut hingga kawasan tersebut ditetapkan sebagai wilayah latihan militer oleh Batalyon Infanteri 133 YS yang datang ke lokasi pada 24 April hingga awal Mei 2018. Hingga saat ini intimidasi berupa ancaman dan kekerasan masih berlangsung dan masyarakat tetap berjaga-jaga di lokasi.
2. Dalam release ESDM yang kami terima, pembangunan Geotermal hanya dilakukan dengan persetujuan elit bukan melibatkan partisipasi masyarakat secara keseluruhan. Tentunya ESDM dan setiap pejabat di negara ini paham bahwa saat ini negara sedang menggalakkan Suistainanble Development Goals (SDG’s)/ Tujuan Pembangunan berkelanjutan. Dalam melakukan pembangunan, setidaknya terdapat 3 prinsip yakni Prinsip Universality yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, menghormati hak individu, perdamaian dan kemitraan. Prinsip kedua, integration yang mana pembangunan mesti mempertimbangkan prinsip sosial, ekonomi dan lingkuangan yang saling terkait. Ketiga, prinsip no one left behind yang maksudnya setiap pembangunan mesti melibatkan pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat sehingga pembangunan mesti memberi manfaat bagi semua terutama bagi yang rentan/terkena dampak. Penting dipahami, bahwa salah satu tujuan SDG’s adalah tujuan yang mengatur tata cara dan prosedur yaitu masyarakat yang damai tanpa kekerasan, non-diskriminasi, partisipasi tata pemerintahan yang terbuka serta kemitraan multi-pihak. Sehingga pembangunan mestinya berkontribusi pada kesejahteraan rakyat. Lalu bagaimana dengan Pembangunan Geotermal di Gunung Talang? Pembangunan dengan paksaan yang diselimuti dengan berbagai intimidasi, ancaman dan kekerasan negara yang 1,5 tahun ini di perlihatkan secara gamblang tanpa malu-malu oleh negara, sangat kontradiksi dengan prinsip dan tujuan SDG’s yang semestinya diimplementasikan oleh aparatur negara.
3. Dalam forum dialog pertemuan ahli dan masyarakat yang difasilitasi oleh DPRD Provinsi pada 14 Februari 2018 bukan dimaksudkan untuk mendukung atau tidak mendukung program panas bumi. Namun untuk mengurai apa saja alasan serta kekhawatiran masyarakat sehubungan dengan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi. Hal ini lah yang hingga saat ini tidak pernah dijelaskan secara gamblang baik dari pihak perusahaan maupun pemerintah pusat dan daerah sendiri, karena para ahli dan pemerintah cenderung berpandangan bahwa eksplorasi panas bumi tidak akan memiliki dampak negatif. Pembahasan mengenai dampak negatif baru muncul setelah beberapa perwakilan masyarakat sipil mempertanyakan kasus-kasus spesifik seperti Mataloko, Kertasari, Lebong, Gunung Slamet, serta Lahedong yang ternyata memiliki kemiripan dari aspek dampak terhadap lingkungan dan masyarakat, sehingga ahlipun akhirnya bersepakat bahwa kasus-kasus yang terjadi di banyak tempat tersebut harus dipandang sebagai satu resiko yang harus dimitigasi secara bersama. Bahkan Naniek Rina Herdianita salah satu ahli dari ITB yang hadir dalam forum dialog menegaskan bahwa persentasi keberhasilan dari satu eksplorasi panas bumi tidak sampai 50%, rata-rata hanya 40%, sehingga forum merekomendasikan agar segera dilakukan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) guna mengukur dampak dan resiko pembangunan geotermal di Gunung Talang. Namun hingga saat ini rekomendasi tersebut tak kunjung dilaksanakan oleh pemerintah, yang ada pemerintah menggunakan cara repsesif menggunakan aparat kepolisian dan militer untuk menyakinkan masyarakat bahwa geotermal tidak memiliki dampak negatif apapun sebagaimana diamini ESDM dalam siaran persnya yang secara eksplisit membenarkan adanya pengamanan negara terhadap proyek geotermal.
4. 18 Oktober 2018 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia memfasilitasi adanya mediasi antara masyarakat yang menolak geotermal dengan perusahaan dan juga pemerintah. Dalam pertemuan tersebut, kami (masyarakat dan pendamping) mempertanyakan kepada ESDM, dalam penetapan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) seluas 27.000 Ha masyarakat mana yang memberikan persetujuan dan juga mempertanyakan laporan evaluasi serta kajian negara terhadap geotermal yang bermasalah, dampaknya terhadap masyarakat dan cara penanggulangannya. Namun kedua hal ini, tidak pernah dijawab ESDM dipertemuan tersebut, sehingga LBH Padang juga telah menyurati permohonan data ke Kementrian ESDM atas pembenara yang selalu dilakukan ESDM yang mengatakan seolah-oleh geotermal tidak ada dampak negatif apapun. Dalam mediasi awalnya telah tercapai kesepakatan sebagian dengan ESDM bahwa ESDM akan memfasilitasi pertemuan dengan masyarakat yang menolak Geotermal yang akan menghadirkan ahli dari negara dan ahli dari masyarakat dengan menggunakan uang negara. Ketika Komnas HAM telah membuat akta kesepakatan, pihak ESDM Pusat kemudian mempermasalahkan hal-hal teknis yang akhirnya kesepakatan dibatalkan. Sehingga akhirnya, mediasi tidak mencapai kesepakatan apapun. Kami berpandangan bahwa ESDM belum memiliki kepekaan dan penghargaan pada apa yang diharapkan masyarakat dalam ruang dialog yang telah dibangun. Padahal partisipasi memuat salah satu nilai yaitu menghargai hasil musyawarah/dialog yang telah dilakukan.
5. Diakhir release ESDM yang mengatakan konflik dikarenakan adanya aksi provokasi dari masyarakat diluar Nagari Batu Bajanjang justru semakin mempertegas bahwa ESDM tidak memahami akar persoalan, dan ketidak pekaan ini seolah menular hingga ke level pemerintah provinsi dan kabupaten, tidak ada yang salah dari masyarakat yang ingin memastikan perlindungan dan lingkungan yang baik dan sehat untuk kehidupan mereka, yang salah adalah respon pemerintah yang menggunakan cara-cara kekerasan dengan melibatkan aparat kepolisian dan militer. Terlebih jika bicara dampak lingkungan maka kita tidak bicara batas wilayah admnistrasi belaka namun lebih jauh semua orang yang berpotensi terkena dampak atas eksplorasi dan eksploitasi panas bumi punya hak yang sama atas penjelasan dan jaminan lingkungan yang sehat.
6. Mencermati release ESDM yang mengakui mendapat dukungan dari enam nagari merupakan bentuk pengakuan eksplisit pembangunan geotermal mesti melibatkan semua pihak apalagi nagari yang termasuk dalam WKP seluas 27.000 Ha dan wilayah sekitarnya. Sikap mengeliminir hak masyarakat lainnya merupakan bentuk gagal paham ESDM akan dampak lingkungan yang dapat terjadi yang pastinya lintas nagari bahkan lintas kabupaten.
Saat ini, Gunung Talang masih bergejolak dan terdapat upaya yang dilakukan membenturkan masyarakat yang pro dan kontra. Kami berpandangan, jika tidak ditanggulangi maka berpotensi timbul konflik horizontal yang akan merugikan negara dan juga masyarakat. Saat ini, membangun forum-forum dialog dan mempelajari dengan seksama dampak pembangunan geotermal adalah hal urgen untuk dilakukan oleh pemerintah, termasuk mengkalkulasi secara valuasi ekonomi perihal dampak langsung dan tidak langsung yang dialami oleh masyarakat, karena wilayah Gunung Talang adalah lahan pertanian produktif. Setiap manusia pasti membutuhkan makanan bukan hanya butuh listrik saja.
Demikianlah siaran pers ini dibuat agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Hormat Kami (26 November 2018)
Silahkan di konfirmasi pada :
1. Uslaini (08113345654)
2. Yefri Heriani (08126736921)
3. Wendra Rona Putra (081267410008)
Beritasumbar.com
“Lempar Batu Sembunyi Tangan”; Tanggapan atas Rilis Ditjen Panas Bumi Kementerian ESDM
- Advertisement -
- Advertisement -