29 C
Padang
Jumat, Juli 26, 2024
spot_imgspot_img
Beritasumbar.com

Catatan Professional Fellows on Demand: Religious Freedom & Interfaith Dialogue (1)
C

Kategori -
- Advertisement -

Dari sebuah sudut di kamar The Fairfax, sebuah hotel tua di Washington, DC yang berdiri sejak 1921, saya mendapatkan satu kalimat bagus, yang bunyinya begini: “dalam banyak hal, pandai itu perlu, tapi beruntung juga sangat perlu.” Dalam bahasa lain, ada yang bilang, “orang pintar itu kalah sama orang yang beruntung.

Menginjakkan kaki di Amerika Serikat adalah salah satu keberuntungan. Sejak kecil, saya yang dibesarkan di pinggir pantai Tobelo, kompleks Angin Mamiri, hanya biasa membayangkan Amerika adalah negeri yang jauh. Jauh sekali. Tapi, ayah saya, Rasyidin Syukur (alm) biasa bercerita bahwa “ Waktu Perang Dunia II meletus, Morotai itu jadi pangkalan militernya Amerika. Bahkan, mereka punya landasan pacu yang bagus untuk menerbangkan pesawatnya.”

Waktu mendengarkan cerita ayah saya, saya hanya membayangkan bagaimana itu Morotai, dan juga Amerika. Saya baru bisa menginjakkan kaki di Pulau Morotai, salah satu pulau terluar yang berhadapan dengan Samudera Pasifik, ketika tamat Sekolah Dasar sebagai pelabuhan transit orang-orang Tobelo yang hendak bepergian ke Pulau Ternate yang mashyur. Naik kapal Ternate Star, di tahun 1993 pertengahan, saya dan ayah saya tiba di Morotai; di sana kami makan ikan yang enak sekali dan sampai sekarang saya selalu teringat momen itu. Kendati saya sempat muntah-muntah di kapal karena ombak antara Tobelo-Morotai yang agak kencang, saya tetap menikmati perjalanan sampai kemudian lanjut ke Ternate, dan terus melewati beberapa pelabuhan hingga berakhir di Tanjung Priok, Jakarta.

Dari The Fairfax ini, saya teringat dengan almarhum ayah saya yang sejak kecil terus mendorong kami untuk sekolah, dan yang lebih penting: belajar. Semua orang bisa sekolah yang tinggi, tapi tidak semua mau berorientasi belajar dari segenap pengalaman yang dia hadapi. Mengenang ayahku adalah bagian dari kebahagiaan saya; saya merasa bermakna. Selain, tentu saja mengenang perjuangan ibuku yang sejak di kandungan membawaku dari Pulau Halmahera ke Jakarta hingga saya lahir di Lampung, kemudian tak lama setelah itu saya kembali lagi ke Tobelo, dibesarkan di sana; mencari kepiting sepulang sekolah, dan main layang-layang sebagai salah satu mainan kesukaan saya.

Pada catatan kali ini saya sebenarnya ingin bercerita tentang sebuah program yang saya beruntung mendapatkannya, yaitu “Professional Fellows on Demand: Religious Freedom & Interfaith Dialogue”, sebuah program yang menghadirkan orang-orang terpilih (sebutlah “orang-orang beruntung”) untuk datang ke Amerika, ikut berbagai diskusi, tukar-pikiran, dan rangkaian kegiatan, dan melihat negara ini dari dekat. Program yang disponsori oleh Kementerian Luar Negeri AS atau U.S. Department of State ini dilaksanakan secara teknis oleh World Learning, sebuah institusi terkenal yang banyak melaksanakan berbagai program pertukaran (exchange program).

Dari Indonesia, kami berlima yang hadir, yaitu Arisman dari Universitas Islam Negeri Jakarta; Nur Kafid dari IAIN Surakarta; Wiwin Rohmawati dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; Fransiska Widyawati dari Universitas Kristen Islam St. Paulus Ruteng NTT, dan saya Yanuardi Syukur dari Universitas Khairun, Ternate, sebuah universitas yang kata pengajar Universitas Malikussaleh, Al Chaidar, “paling bagus” karena namanya memang khairun, dari bahasa Arab yang artinya bagus. Terima kasih buat sugesti yang sangat positif dari Bang Al Chaidar.

Keperpilihan peserta dalam program ini lewat dua cara, yaitu rekomendasi dan seleksi berkas. Beberapa kawan adalah rekomendasi, sedangkan saya lewat seleksi berkas–tepatnya lewat seleksi formulir yang saya dapatkan infonya dari Vladimir Spencer, manager World Learning, yang sharing info tersebut di sebuah grup yang saya ikuti. Sebagai info, pada 2017 saya dapat kesempatan untuk hadir pada “Asia-Pacific Think Tank Forum” yang di-handle oleh World Learning. Saya hadir ke sana lewat rekomendasi, tanpa lewat seleksi. Sebelumnya, di tahun 2016 akhir, saya mengisi formulir untuk program di Washington, DC tapi tidak terpilih. Boleh dikata, dalam “tradisi” exchange program Kedubes Amerika, jika seorang kandidat yang isi formulir gagal dalam satu seleksi program, maka mereka tetap diberikan kesempatan untuk direkomendasikan pada program selanjutnya. Beberapa kawan saya yang hadir di Washington sekarang, adalah rekomendasi, yang sebelumnya belum berangkat pada program yang mereka ajukan sebelumnya. Tampak bahwa Kedubes Amerika di Jakarta memberikan kesempatan kepada banyak orang untuk ikut serta dalam program yang mereka selenggarakan. Ide yang sangat bagus.

Setelah semua berkas berjalan lancar, tiket dan visa, kami pun berangkat dari Jakarta ke Dubai dan Washington. Awalnya, tiket kami dijadwalkan dari Jakarta-Jepang-Chicago-Washington naik Japan Airlines, akan tetapi final-nya naik Emirates yang transit di Dubai. Total perjalanan kami sekitar 25 jam dengan transit 3 jam di Dubai. Sebuah perjalanan yang tidak ringan, tapi menuntut untuk teliti, serius, namun tetap harus dinikmati sebaik mungkin.

Sepanjang Jakarta-Dubai, sekitar 7 jam, saya banyak nonton film, dan menulis di buku catatan. Salah satu yang saya catat adalah inspirasi dari “Kitab Sawti”, kitab yang dibacakan lewat suara, yang diadaptasi dari materi Sheikh Muhammed bin Rashid Al-Maktoum tentang pengalaman “kehidupan mewah”-nya, ide-ide kepemimpinan, dan pandangan dunianya. Narasinya dalam bahasa Arab.

Saya mencatat berbagai ide dari beliau, yang dibagi dalam beberapa fashl (bab), yaitu fashl tenang kebahagiaan yang katanya “tujuan dari adanya negara adalah untuk menjamin agar masyarakatnya sejahtera dan bahagia; maka dibuatkan rumah sakit, sekolah, perguruan tinggi, dan lain sebaginya. Juga, ada bahasan tentang bagaimana memulai hari-hari kita dengan kebahagiaan; dengan wajah yang ajmal (paling baik) dan ruh yang ajmal. Juga, soal kemenangan yang kata dia, dalam tradisi Arab, kemenangan dapat dilihat dari tiga huruf, yaitu pada kata fawzun (fa-waw-zay) yang berarti “kemenangan”, dan nashrun (nun-shad-ra) yang berarti “pertolongan.” Kata beliau, syarat untuk menang adalah, “mulailah dari yang kecil, nanti akan jadi besar jika terus dilakukan secara kontinyu.” Beliau juga membahas pentingnya syiar yaitu menyebarkan kebaikan kepada orang lain, dengan menukil sebuah kalimat bagus al-’ilmu yazidu bita’limil akharin, yang berarti “ilmu bertambah dengan mengajarkan kepada orang lain.” Saya juga mendengarkan materi dari Dr. Tommy Weir, seorang pengajar kepemimpinan, tentang inspirasi sukses dari Dubai. Sangat inspiratif.

Dari Dubai ke Washington, DC kamu tempuh sekitar 13 jam. Waktu yang lumayan. Saya isi dengan mendengarkan murattal Al-Qur’an, yang kemudian dilanjutkan dengan menonton film Barat, Arab, Amerika Latin, Mandarin, Korea, dan juga film Indonesia: Cek Toko Sebelah. Saya cari-cari film action yang dimainkan oleh James Bond atau Tom Cruise, tapi nggak ada. Film Barat Marvel agak lengkap, sedangkan film Korea isinya memang agak sedih, tapi bagus juga. Saat nonton film Cek Toko Sebelah, tentang perjuangan orang tua Tionghoa Indonesia yang berjuang jual toko sembako, saya jadi teringat dengan orangtua saya. Kedua orang tua saya adalah contoh yang sangat inspiratif tentang bagaimana berjuang keras untuk mandiri, dan peduli pada masa depan anak-anak.

Kami tiba di Washington pagi hari. Waktunya berubah cepat sekali. Setelah selesai di imigrasi, kami dijemput oleh Vlad Spencer kemudian menuju ke The Fairfax, sebuah hotel tua tapi masih rapi, kokoh, dan bagus. Hotel ini terletak di kawasan kedubes. KBRI juga lokasinya tak jauh dari sini. Carissa Hernandes menyambut kami dengan sangat baik, dan memberikan kunci kamar masing-masing. Setelah memastikan wifi terkoneksi, dan tidur sekitar 6 jam, saya dan Mas Kafid coba jalan-jalan mencari makan malam, sambil berfoto dan mengenal lingkungan.

Kata saya, “Kota Washington ini agak sepi, pas untuk ibukota negara. Mobil-mobilnya juga tidak banyak, tidak ada macet, dan bersih.” Kami pun temukan sebuah supermarket. Saya beli roti 2 buah dan air mineral. Saat mau bayar dengan USD50, Lucy, seorang penjaganya berusia sekitar 50-an tahun, sepertinya keturunan Afrika-Amerika meminta agar saya memberikan uang kecil, USD3. Kebetulan Mas Kafid ada uang kecilnya. Setelah bayar, saya menyebut namanya “Lucy..very nice.” Beliau tersenyum sangat ramah dan bersahabat. *

- Advertisement -
- Advertisement -

BERITA PILIHAN

- Advertisement -
- Advertisement -

Tulisan Terkait

- Advertisement -spot_img