29 C
Padang
Jumat, Juli 26, 2024
spot_imgspot_img
Beritasumbar.com

Berdalih Karantina COVID-19, Migran Afrika Dibiarkan ‘Membusuk’ di Pusat Penahanan Arab Saudi
B

Kategori -
- Advertisement -

Salah satu negara terkaya di dunia, Arab Saudi, menahan ratusan bahkan ribuan Migran Afrika dalam kondisi mengenaskan. Penahanan ini berdalih sebagai upaya untuk menghentikan penyebaran COVID-19. Mirisnya, kondisinya mirip kamp-kamp budak Libya, menurut hasil investigasi The Sunday Telegraph.

Dari foto ponsel yang dikirim ke surat kabar itu, terlihat belasan pria kurus yang tak berdaya akibat panasnya Arab berbaring dalam jejeran yang rapat di kamar kecil dengan jendela berjeruji. Salah satu foto menunjukkan sesuatu yang tampak seperti mayat terbungkus selimut ungu dan putih di tengah-tengah mereka. Mereka mengatakan itu adalah jasad seorang Migran yang meninggal karena sengatan panas, sedangkan lainnya tak mendapat cukup makanan dan air untuk bertahan hidup.

Foto lainnya yang terlalu sadis untuk dipublikasikan menunjukkan seorang pemuda Afrika tergantung di jeruji jendela. Remaja itu bunuh diri karena putus asa, menurut teman-temannya. Banyak dari mereka telah ditahan sejak April.

Sambil menunjukkan bekas luka di punggung, mereka mengklaim telah dipukuli penjaga dan menerima pelecehan rasial.

“Di dalam sini sangat mengerikan. Kami diperlakukan seperti binatang dan dipukuli setiap hari. Jika kira-kira tak ada jalan keluar, saya ingin bunuh diri. Yang lainnya sudah. Satu-satunya kejahatan saya adalah meninggalkan negara saya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Tapi mereka memukuli kami dengan cambuk dan kabel listrik, seolah-olah kami pembunuh,” ungkap Abebe (nama samaran), seorang Ethiopia yang telah ditahan selama lebih dari 4 bulan.

Foto dan kesaksian ini memancing amarah kalangan aktivis HAM, apalagi protes global Black Lives Matter marak belakangan ini.

The Sunday Telegraph

“Foto-foto dari pusat penahanan di Arab Saudi menunjukkan otoritas di sana menempatkan para Migran Tanduk Afrika dalam kondisi jorok, penuh sesak, dan tak manusiawi, tanpa memperhatikan keselamatan atau martabat mereka,” kata Adam Coogle, wakil direktur Human Rights Watch di Timur Tengah.

Menurut Coogle, pusat-pusat penahanan kumuh di selatan Arab Saudi itu jauh dari standar internasional.

“Untuk negara sekaya Arab Saudi, tak ada alasan untuk menahan Migran dalam kondisi menyedihkan seperti itu,” tambahnya.

Arab Saudi yang kaya minyak telah lama mengeksploitasi buruh Migran dari Afrika dan Asia. Pada Juni 2019, 20 persen dari populasi di negara Teluk itu adalah pekerja asing yang berjumlah 6,6 juta orang. Sebagian besar berupah rendah dan memeras fisik.

Para Migran kebanyakan bekerja di sektor konstruksi dan pekerjaan rumah tangga yang tidak suka dilakukan sendiri oleh warga negara Saudi. Kebanyakan berasal dari Asia Selatan, tetapi tak sedikit yang datang dari Tanduk Afrika.

Selama dekade terakhir, puluhan ribu anak muda Ethiopia hijrah ke sana dan kerap dibantu agen perekrutan dan perdagangan manusia untuk keluar dari kemiskinan di kampung halaman. Sayangnya, tak hanya terperangkap akibat pandemi, mereka juga terdampak ‘Saudisasi’ tenaga kerja, sebuah kebijakan yang diperkenalkan Putra Mahkota Mohammed bin Salman.

Kesaksian yang dikumpulkan The Sunday Telegraph langsung dari para Migran soal kondisi yang mereka hadapi saat ini sangat mengerikan.

“Banyak tahanan yang bunuh diri atau menderita penyakit mental akibat menjalani hidup seperti ini selama 5 bulan. Para penjaga mengejek kami, mereka mengatakan ‘pemerintah Anda tak peduli, jadi apa yang harus kami lakukan pada Anda?’,” kata salah satu tahanan.

Yang lainnya menceritakan seorang anak lelaki yang masih berumur sekitar 16 tahun gantung diri bulan lalu. Penjaga membuang mayatnya seolah-olah itu sampah.

Ketika pandemi melanda di bulan Maret, pemerintah Arab Saudi khawatir para Migran akan menjadi penyebar virus. Hampir 3 ribu warga Ethiopia dideportasi oleh dinas keamanan Arab Saudi dalam 10 hari pertama di bulan April. Menurut sebuah memo PBB yang bocor, 200 ribu lainnya akan menyusul. Deportasi itu lantas dimoratorium setelah ada tekanan internasional terhadap Riyadh.

The Sunday Telegraph

Dari temuan The Sunday Telegraph, mereka yang tak jadi dideportasi dibiarkan membusuk di pusat penahanan yang penuh penyakit.

“COVID-19? Siapa peduli? Ada banyak penyakit di sini. Semua orang sakit di sini,” kata seorang tahanan yang terkurung sejak Maret.

Sebuah cuplikan video yang diselundupkan ke layar menunjukkan sejumlah ruangan tertutup kotoran dari toilet jongkok yang meluap.

“Toiletnya mampet. Kami mencoba melancarkannya, tetapi tak bisa. Jadi kami hidup dalam kotoran ini, kami tidur di dalamnya juga,” seru seorang pria Ethiopia.

Sunday Telegraph mampu menemukan geolokasi 2 pusat penahanan ini. Salah satunya di Al Shumaisi, dekat kota suci Makkah, sedangkan satunya lagi di Jazan, kota pelabuhan dekat Yaman. Diyakini ada penahanan lain yang menampung ribuan orang Ethiopia.

Para Migran di tiap pusat penahanan mengaku setiap ruangan dihuni ratusan orang. Beberapa Migran mengatakan telah ditangkap dari rumah mereka di berbagai kota Arab Saudi. Sementara itu, lainnya adalah pengungsi Afrika dari Yaman yang dilanda perang.

“Arab Saudi, negara kaya, telah lama menahan Migran tak berdokumen, termasuk dari Tanduk Afrika, dalam kondisi yang begitu padat, tak sehat, dan mengerikan. Tak heran para Migran trauma atau sakit. Wajar jika mempertanyakan apakah otoritas Arab Saudi sengaja mengondisikan penahanan seperti ini untuk menghukum para Migran,” pungkas Coogle.

The Sunday Telegraph telah menghubungi Kedutaan Arab Saudi di London, tetapi mereka belum berkomentar. Perwakilan dari pemerintah Ethiopia di Timur Tengah pun tak berhasil dihubungi. (dikutip dari: akurat.co / Citra Puspitaningrum)

- Advertisement -
- Advertisement -

BERITA PILIHAN

- Advertisement -
- Advertisement -

Tulisan Terkait

- Advertisement -spot_img