Merokok dan depresi merupakan faktor risiko yang sering bersamaan pada pasien penyakit jantung koroner (PJK). Kedua faktor ini tidak hanya meningkatkan risiko kejadian sindrom koroner akut, tetapi juga mempengaruhi prognosis jangka panjang pasien. Berbagai studi menunjukkan bahwa penghentian merokok pada populasi umum tidak memperburuk kesehatan mental dan bahkan dapat mengurangi gejala depresi. Namun, penghentian merokok pada perokok yang telah mengalami kejadian sindrom koroner akut mungkin lebih rentan mengalami depresi. Dan lebih mungkin mengalami depresi lima tahun setelah sindrom koroner akut. Sehingga adanya gejala depresi dapat menurunkan kemungkinan berhenti merokok pada pasien sindrom koroner akut.
Sebuah riset yang mengkaji evolusi depresi berdasarkan status berhenti merokok satu tahun setelah kejadian sindroma koroner akut. Data diambil dari 1822 pasien sindroma koroner akut yang tergabung dalam studi kohort multicenter Swiss SPUM-ACS dan dianalisis selama rentang satu tahun pasca sindrom koroner akut. Pasien dibagi dalam 3 kelompok berdasarkan status merokok satu tahun pasca sindrom koroner akut: perokok terus-menerus, perokok yang berhenti dalam setahun, dan bukan perokok. Status depresi pada awal dan satu tahun dinilai menggunakan skala Center for Epidemiologic Studies Depression (CES-D) dan penggunaan obat antidepresan. Skor CES-D ≥ 16 berarti pasien mengalami depresi.
Temuan dari studi ini mengungkapkan bahwa adanya hubungan antara berhenti merokok dan perbaikan kondisi depresi pada pasien sindroma koroner akut. Hasil studi menunjukkan bahwa pasien yang berhenti merokok setelah didiagnosis sindroma koroner akut cenderung mengalami perbaikan yang lebih signifikan dalam kondisi depresinya dibandingkan dengan pasien yang terus merokok. Temuan ini menegaskan bahwa intervensi untuk berhenti merokok dapat menjadi strategi yang efektif dalam mengurangi tingkat depresi pada pasien sindroma koroner akut.
Namun demikian, penelitian juga menemukan bahwa insiden depresi baru pada pasien yang berhenti merokok setelah sindroma koroner akut hampir sama dengan pasien yang terus merokok. Hal ini menandakan bahwa berhenti merokok saja mungkin tidak cukup untuk mencegah timbulnya depresi baru pada pasien sindroma koroner akut. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan holistik dalam mengelola kesehatan mental pasien sindroma koroner akut.
Pendekatan komprehensif tersebut dapat mencakup intervensi psikologis tambahan, seperti konseling atau terapi kognitif perilaku, serta dukungan sosial yang memadai. Selain itu, pemantauan dan evaluasi rutin terhadap kondisi mental pasien perlu dilakukan untuk mendeteksi dini gejala depresi dan memberikan intervensi yang tepat waktu.
Secara keseluruhan, temuan ini menggarisbawahi pentingnya integrasi antara penanganan kesehatan fisik dan mental dalam perawatan pasien sindroma koroner akut. Berhenti merokok harus dilihat sebagai salah satu komponen dari strategi perawatan yang lebih luas, yang mencakup perhatian khusus terhadap kesehatan mental pasien. Dukungan yang berkelanjutan dan pendekatan yang holistik diperlukan untuk memastikan keberhasilan dalam mengurangi risiko depresi dan meningkatkan prognosis jangka panjang pasien. Dengan pendekatan yang lebih komprehensif, diharapkan dapat tercapai perbaikan yang lebih holistik dalam kualitas hidup pasien sindroma koroner akut.
Artikel selengkapnya dapat diakses pada DOI: https://doi.org/10.1016/j.ypmed.2022.107177
Oleh:
Ns.Mulyanti Roberto Muliantino, M.Kep
Fakultas Keperawatan Universitas Andalas