Oleh : Ben Ibratama Tanur *)
Dia yang mengonsep bahwa Indonesia merdeka harus berbentuk Republik. Gagasan itu ; Naar De Republiek Indonesia atau Menuju Republik Indonesia) ditulisnya di Canton April 1925, waktu dia dibuang diusir imperialis Belanda dari negerinya.
Dua puluh tahun sebelum Indonesia Merdeka dia sudah menjelaskan bentuk Indonesia merdeka kepada pemikir dan pejuang kemerdekaan yang ada di Indonesia (Hindia Belanda).
Di Deli Sumatera Timur, tahun 1919 -saat menjadi guru para kuli kontrak – dia menawarkan Republik Indonesia merdeka kelak berbentuk Parlemen atau Sovyet?
Untuk mencapai Republik Indonesia merdeka dia menawarkan jalan Massa Aksie melawan kolonialisme Belanda. Konsep ini dia tuangkan dalam Buku Massa Aksie yg ditulisnya di Bangkok tahun 1926.
Pendidikan itu perlu. Pendidikan itu kunci bagi rakyat Indonesia merdeka. Makanya di Semarang dan Bandung tahun 1922, dia dirikan Syarikat Islam School atau dikenal dengan Sekolah Tan Malaka.
Dalam pembuangannya, dia bertemu sejumlah pejuang kemerdekaan dari berbagai bangsa. Di China ia bertemu Dr. Sun Yat Sen. Di Philipina dia bertemu dengan pengikut Yose Rizal bapak bangsa Philipina dan menggelorakan kemerdekaan Philipina walau akhirnya dia ditangkap dan dibuang.
Di Hongkong waktu mau masuk Burma (Myanmar) ditangkap polisi Amerika. Akhirnya dia bersembunyi di Cina. Kisah hidupnya memang diwarnai oleh penangkapan, pengusiran, pembuangan.
Dia memang manusia berbahaya.
Berbahaya bagi kaum penjajah; kolonialisme dan imperialisme Belanda, Amerika, Inggris, Jepang dan Spanyol.
Setelah lebih 20 tahun dalam pembuangan, dia kembali ke Tanah Airnya. Diam-diam masuk Indonesia lewat Penang, Medan, Padang, Banten dan bermukim di Rawajati Kalibata Jakarta.
Dia tahu Jepang akan masuk Indonesia dan Belanda akan keluar dari Tanah Airnya. Dia sudah ramalkan Belanda dalam waktu singkat akan dikalahkan Jepang dan Jepang akan berhadapan dengan Sekutu.
Untuk menyambut Indonesia merdeka dia tulis buku Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika). Buku ini cara berpikir baru, cara berpikir maju, cara berpikir objektif, rasional, cara berpikir Barat.
Dia bilang belajarlah ke Barat tapi jangan jadi peniru Barat. Jadilah murid Timur yg cerdas.
Menjelang kekalahan Jepang, Juli 1945, dia Galang para pemuda di Jakarta dan Banten. Dia katakan sebentar lagi Jepang akan kalah dan Sekutu akan masuk. Untuk itu mari siapkan kemerdekaan tidak berbau Jepang apalagi hadiah dari Jepang.
Kalau kemerdekaan itu hadiah dari Jepang dan berbau Jepang dapat dipastikan Sekutu yg menang perang akan membatalkan kemerdekaan itu dan orang orang di balik kemerdekaan itu akan ditangkap Sekutu sebagai penjahat perang.
Makanya perlu Rengasdengklok.
Di Rengasdengklok para pemuda, pengikutnya ; Sukarni, Chairul Saleh, Adam Malik dkk yang sejalan dengan ide-idenya, memaksa pemimpin Indonesia Soekarno dan Hatta untuk tandatangani dan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Dia menyayangkan jalan diplomasi yg dipilih para pemimpin formal Republik waktu itu. Masa tuan rumah harus berunding dengan maling yg menjajah rumahnya? Berunding itu hanya tipu daya maling untuk mengulur waktu memperkuat pasukannya di Indonesia.
17 Agustus memang proklamasi, sikap menyatakan bahwa bangsa Indonesia sudah merdeka.
Tapi kekuasaan pemerintahan, militer dan ekonomi masih di tangan Jepang. Untuk itu perlu menyampaikan pesan terbuka kepada penjajah yg kalah dan pada dunia bahwa Indonesia telah merdeka.
Untuk itu perlu Massa Aksi, rapat raksasa, demo besar2an. Dan lahirlah Rapat Raksasa 19 September 1945 di Ikada (Lapangan Banteng). Peristiwa ini empat hari setelah pasukan Sekutu masuk Jakarta untuk melucuti Jepang yg kalah perang.
Karena mahir berevolusi dan tahu jalan revolusi dia diberi surat wasiat (Testamen Politik) oleh Presiden Soekarno dan Wapres Muhammad Hatta.
Bila kedua pemimpin ini berhalangan, dia harus melanjutkan revolusi. Bagi dia Testamen Politik itu tak lebih sebuah penghargaan saja. Baginya yg terpenting pemimpin republik masuk daerah pedalaman bersama rakyat melakukan perang gerilya.
Kemerdekaan penuh itu hanya bisa dicapai dengan perang. Perang membela Tanah Air, membela kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Tapi, kompromi dengan penjajah yg ingin menjajah Indonesia kembali terlanjur dilakukan pemimpin formal Republik waktu itu dan di mata dia ini jelas tindakan yang salah.
Lebih salah lagi rakyat yg butuh persatuan yg kuat dipecah dengan anjuran mendirikan partai politik dan diiming-imingi dengan Pemilu demokrasi Januari 1946.
Silahkan tuan-tuan berunding dan dia mengambil jalur angkat senjata. Bersama rakyat Surabaya dia ikut angkat senjata melawan pasukan Sekutu, dan dia ada di tengah massa rakyat Surabaya waktu Peristiwa 10 November 1945.
Dia juga mengatur strategi perang dengan ulama besar Jawa Timur, KH Hasyim Asy’ari di Mojokerto. Dia betul-betul terpesona dengan perlawanan rakyat Surabaya melawan pasukan Sekutu.
Berunding dan berunding lagi. Tapi tiap berunding kita kalah dan wilayah Tanah Air kita makin mengecil. Tanpa mengeluarkan sebutir peluru pun Belanda sisakan Sumatera, Jawa Timur dan Jogja.
Januari 1946 bersama kawannya Jenderal Sudirman dia dirikan Persatuan Perjuangan di Purwokerto yg mampu menghimpun 142 organisasi politik dan laskar rakyat.
Boleh berunding tapi akui dulu kemerdekaan kami 100%. Tinggalkan dulu tanah, laut dan pantai kami. Kami tak akan berunding dengan maling yg menjarah rumah kami.
Oleh pemimpin formal republik waktu itu, dia dituduh mengganggu jalannya perundingan. Oleh sebab itu dia harus ditangkap, dipenjara dan Persatuan Perjuangan harus dibubarkan.
Dia tentang Perjanjian Linggarjati. Dia tentang Perjanjian Renville. Dia tentang Perjanjian Roen Royen. Dia sudah ingatkan perjanjian perjanjian ini pada akhirnya akan sangat merugikan posisi Indonesia secara politik dan ekonomi.
Apa yg dia kuatirkan, perundingan itu hanya akal-akalan Belanda dan pada akhirnya republik harus dikuasai lagi dengan kekuatan militer lewat Agresi Belanda 1 dan 2.
Semua kantong republik diserbu!
Ibukota diduduki.
Pemimpin formal Republik ditawan !
Dia yg sedang dalam penjara masih sempat memberikan pimpinan dan strategi perang lewat bukunya Gerpolek, Gerilya, Politik dan Ekonomi. Buku tentang bagaimana harus melakukan perang gerilya melawan Belanda.
Dua tahun setengah dia di penjara tanpa pernah diadili. Karena memang dia tidak punya salah. Dan pemenjaraan ini adalah pesanan kaum penjajah. Orang seperti dia harus dibungkam dalam penjara karena berbahaya bagi keinginan penjajah mewujudkan penjajahannya kembali di Indonesia.
16 September 1948, dua hari menjelang pemberontakan PKI di Madiun, dia dilepaskan dari penjara. Tujuan pemerintah waktu itu untuk mengadu dia dengan PKI Muso.
Dia katakan, urusan Muso urusan Soekarno Hatta. Urusan dia masuk hutan memimpin perang gerilya melawan Belanda.
Di Kediri 21 Februari 1949, saat memimpin perang gerilya dia ditembak. Dibunuh tentara republik yang ikut dia dirikan. Untuk melancarkan semua “perundingan” dia memang harus dilenyapkan?
Setelah dia dibunuh. Lahirlah berbagai perjanjian antara lain Konferensi Meja Bundar yg sangat merugikan Republik Indonesia.
Maret 1963, Presiden Soekarno memberi dia gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar yg jarang buat para pejuang. Ini gelar khusus. Hanya beberapa orang tokoh republik yg menerima gelar itu.
Justru oleh manusia – manusia yang tak paham sejarah apalagi yang tidak pernah berjuang untuk Indonesia merdeka dia dilupakan kapan perlu dihujat!
Walau dia konseptor republik. Walau dia Pahlawan Kemerdekaan Nasional, dia tidak diperlakukan layak oleh anak bangsanya.
Padahal demi Indonesia merdeka dia rela kehilangan kemerdekaannya. Dibuang. Dipenjara. Dibunuh. Rela kehilangan kehidupan pribadinya. Dia tidak menikah sampai akhir hayatnya. Tak punya harta apalagi silau dengan kekuasaan yang pernah ditawarkan kepadanya.
Makamnya pun tidak dikenali pemerintah Republik Indonesia sampai hari ini. Namanya dihilangkan dari buku sejarah bangsanya.
Padahal Presiden Soekarno berkali kali mengatakan hanya bangsa yg besar yg menghargai jasa pahlawannya.Tapi itu tidak berlaku nampaknya buat dia. Dirgahayu Republik Indonesia 71 Tahun.
#Merdeka100%
*) Penulis Salah Seorang Pendiri Tan Malaka Institute