Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Sejarah Bank Syariah di Dunia
Sejarah Bank Syariah di Indonesia dapat kita telusuri kehadirannya dengan merunut aturan atau regulasi yang berkaitan dengan perbankan di Indonesia. Pengertian Bank syariah sebagai salah satu badan usaha di bidang keuangan tentunya harus memiliki regulasi perbankan sebagai landasan hukum dalam menjalankan usahanya tersebut.
Kehadiran pertama bank syariah di Indonesia dipelopori oleh berdirinya Bank Muamalat pada tahun 1991 dan mulai beroperasi penuh tahun 1992. Untuk mengetahui runutan sejarah hingga kehadiran sejumlah bank syariah di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut:
Tahun1967-1983
Lahirnya Regulasi Perbankan di Indonesia secara sistematis dimulai pada tahun 1967 dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Dalam pasal 13 huruf c diterangkan bahwa dalam usaha bank di dalam operasinya menggunakan sistem kredit dan tidak mungkin melaksanakan kredit tanpa mengambil bunga. Hal ini karena konsep bunga ini melekat dalam pengertian kredit itu sendiri. Lalu era tahun 1980an terjadi kesulitan pengendalian tingkat bunga oleh Pemerintah karena Bank-Bank yang telah didirikan sangat tergantung kepada tersedianya likuiditas Bank Indonesia sehingga Pemerintah mengeluarkan Deregulasi 1 Juni 1983 yang membuka belenggu tingkat bunga ini. Deregulasi ini menimbulkan kemungkinan bagi Bank untuk menentukan tingkat bunga sebesar 0% yang merupakan penerapan sistem perbankan syariah melalui perjanjian murni sesuai prinsip bagi hasil.
Tahun 1988
Terhitung sejak adanya deregulasi 1 Juni 1983, lima tahun kemudian yakni pada tahun 1988, Pemerintah memandang perlu untuk membuka peluang bisnis di bidang perbankan seluas-luasnya. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan memobilisasi dana masyarakat untuk menunjang pembangunan. Maka pada tanggal 27 Oktober 1988, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijaksanaan Pemerintah Bulan Oktober (PAKTO) yang berisi tentang liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank baru selain bank yang telah ada. Pada era ini, dimulailah pendirian Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah di beberapa daerah. Kemudian Majelis Ulama Indonesia melangsungkan Musyawarah Nasional IV pada tahun 1990 dimana hasil Munas tersebut mengamanatkan untuk membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia.
Tahun 1991 – sekarang
Tahun 1991, Bank Mualamat Indonesia kemudian lahir sebagai kerja tim perbankan MUI tersebut dan mulai beroperasi penuh setahun kemudian. Pada periode ini, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang memperkenalkan sistem perbankan bagi hasil. Dalam pasal 6 huruf (m) dan pasal 13 huruf (c) menyatakan bahwa salah satu usaha bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat adalah menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil. Ketentuan ini menandai dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking sistem) di Indonesia, yaitu beroperasinya sistem perbankan umum dan sistem perbankan dengan prinsip bagi hasil. Dalam sistem perbankan ganda ini, kedua sistem perbankan secara sinergis dan bersama-sama memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk dan jasa perbankan, serta mendukung pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.
Kemudian pada tahun 1998, terjadi perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Perubahan itu semakin mendorong berkembangnya keberadaan sistem perbankan syariah di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang ini, Bank Umum Umum diperbolehkan untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yaitu melalui pembukaan UUS (Unit Usaha Syariah). Bank umum dapat memilih untuk melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan sistem umum atau berdasarkan prinsip syariah atau melakukan kedua kegiatan tersebut. Sehingga kemudian tahun 2008, keluarlah UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang melengkapi minimnya regulasi perbankan syariah selama ini.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 mengatur beberapa ketentuan baru di bidang perbankan syariah, antara lain otoritas fatwa dan komite perbankan syariah, pembinaan dan pengawasan syariah, pemilihan dewan pengawas syariah (DPS), masalah pajak, penyelesaian sengketa perbankan, dan konversi unit usaha syariah (UUS) menjadi bank umum syariah (BUS). Lalu Undang-undang ini memberikan keleluasaan dalam pengembangan perbankan syariah sehingga memberi peluang besar ke depannya. Keleluasaan itu antar lain adalah : Pertama, Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) tidak bisa dikonversi menjadi Bank Umum. Sedangkan Bank Umum dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7). Kedua, bila terjadi penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) antara Bank Syariah dengan Bank Non Syariah wajib menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2). Ketiga, bank umum umum yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off) apabila (Pasal 68 ayat 1), UUS mencapai asset paling sedikit 50 persen dari total nilai aset bank induknya; atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah.
Lalu banyak kegiatan usaha yang tidak dapat dilakukan oleh jenis bank umum namun dapat dilakukan oleh BUS. Di antaranya, bank syariah bisa menjamin penerbitan surat berharga, penitipan untuk kepentingan orang lain, menjadi wali amanat, penyertaan modal, bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun juga menerbitkan, menawarkan serta memperdagangkan surat berharga jangka panjang syariah. Dan kemudian perbankan syariah dapat menjalankan layanan yang sifatnya sosial. Misalnya menyelenggarakan lembaga baitul mal yang bergerak menerima dan menyalurkan dana zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya kemudian menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
Sejarah bank syariah di Indonesia, pertama kali dipelopori oleh Bank Muamalat Indonesia yang berdiri pada tahun 1991. Bank ini pada awal berdirinya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta mendapat dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Pada saat krisis moneter yang terjadi pada akhir tahun 1990, bank ini mengalami kesulitan sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba.
Sampai tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero).
Pengertian Bank Syariah
Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam, maksudnya adalah bank yang dalam operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam.
Falsafah dasar beroperasinya bank syariah yang menjiwai seluruh hubungan transaksinya adalah efesiensi, keadilan, dan kebersamaan. Efisiensi mengacu pada prinsip saling membantu secara sinergis untuk memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Keadilan mengacu pada hubungan yang tidak dicurangi, ikhlas, dengan persetujuan yang matang atas proporsi masukan dan keluarannya. Kebersamaan mengacu pada prinsip saling menawarkan bantuan dan nasihat untuk saling meningkatkan produktivitas. Kegiatan bank syariah dalam hal penentuan harga produknya sangat berbeda dengan bank konvensional.
Penentuan harga bagi bank syariah didasarkan pada kesepakatan antara bank dengan nasabah penyimpan dana sesuai dengan jenis simpanan dan jangka waktunya, yang akan menentukan besar kecilnya porsi bagi hasil yang akan diterima penyimpan. Berikut ini prinsip-prinsip yang berlaku pada bank syariah.
- Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah).
- Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah).
- Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah).
- Pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan (ijarah).
- Pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Dalam rangka menjalankan kegiatannya, bank syariah harus berlandaskan pada Alquran dan hadis. Bank syariah mengharamkan penggunaan harga produknya dengan bunga tertentu. Bagi bank syariah, bunga bank adalah riba.
Dalam perkembangannya kehadiran bank syariah ternyata tidak hanya dilakukan oleh masyarakat muslim, akan tetapi juga masyarakat nonmuslim. Saat ini bank syariah sudah tersebar di berbagai negara-negara muslim dan nonmuslim, baik di Benua Amerika, Australia, dan Eropa. Bahkan banyak perusahaan dunia yang telah membuka cabang berdasarkan prinsip syariah. Contoh Bank Syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri.
Dasar – Dasar Hukum Bank Syari’ah.
Kitab Al-Qur’an melarang riba, antara lain:
- Al-baqarah : 278-279
“Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut). Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya.”
- Ali-Imran : 130
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat keuntungan.”
- An-nisaa : 130
“…………dan disebabkan mereka memakan riba padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil…………….”
- Ar-ruum : 39
“Dan sesuatu riba (tambahan) agar ia bertambah pada harta manusia, maka pada sisi Allah itu tidak bertambah……..”
Selain dalam Al-Qur’an, larangan riba juga terdapat pada dalam hadits Rasulullah SAW. Dalam pandangan Islam, uang tidak menghasilkan bunga atau laba dan uang tidak dipandang sebagai komoditi.
Jenis Produk Bank Syariah
Jenis produk Bank Syariah akan tergantung pada fungsi pokok bank syariah. Fungsi pokok bank syariah dalam kaitannya dengan kegiatan perekonomian masyarakat terdiri dari :
- Fungsi Pengumpulan Dana (Funding)
- Fungsi Penyaluran Dana (Financing)
- Pelayanan Jasa (Service)
Dalam bank syariah produk-produk penghimpunan dana dapat diterapkan berdasarkan prinsip masing-masing, yaitu:
- Wadiah yaitu akad titipan dimana barang yang dititipkan dapat diambil sewaktu-waktu. Pihak yang menerima titipan dapat meminta jasa untuk keamanan dan pemeliharaan.
- Mudharabah yaitu akad usaha dimana salah satu pihak memberikan modal (Sahibul Mal), sedangkan pihak lainnya memberikan keahlian (Mudharib) dengan nisbah yang disepakati dan apabila terjadi kerugian , maka pemilik modal menanggung kerugian tersebut.
Mudharabah dibagi menjadi 2 yaitu:
- Mudharabah mutlaqah (investasinya tidak terikat).
- Mudharabah muqayyadah: investasinya terikat (tertentu).
Selanjutnya di PSAK no 59 paragraf 8 dan 9 secara rinci dijelaskan pengertian dari kedua jenis Mudharabah ini.
- Mudharabah mutlaqah adalah mudharabah di mana pemilik dana memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan investasinya
- Mudharabah muqayyadah adalah mudharabah di mana pemilik dana memberikan batasan kepada pengelola dana mengenai tempat, cara, dan objek investasi.
Contoh batasan tersebut, misalnya:
- Tidak mencampurkan dana pemilik dana dengan dana lainnya
- Tidak menginvestasikan dananya pada transaksi penjualan cicilan, tanpa jaminan.
- Mengharuskan pengelola dana untuk melakukan investasi sendiri tanpa melalui pihak ketiga
Jenis Produk Bank Syariah bila dilihat dari fungsi penghimpunan dana (funding) terdiri dari:
- Giro adalah
- Simpanan yang dapat diambil sewaktu-waktu atau berdasarkan kesepakatan dengan menggunakan cek atau kartu ATM sebagai media/alat penarikan.
- Dapat dibuka oleh perorangan atau perusahaan.
- Cek dapat berbentuk tunai atau melalui rekening (account payable).
Sesuai dengan penjelasan tentang 2 akad diatas, maka giro menggunakan akad Wadiah.
- Simpanan/tabungan:
- Simpanan yang dapat diambil berdasarkan kesepakatan dengan menggunakan buku/kartu tabungan atau kartu ATM sebagai alat penarikan.
- Buku tabungan merupakan bukti pemilikan dari pemegang rekening.
- Terdapat aturan tentang setoran pertama dan saldo minimal.
Kedua jenis akad di atas dapat dipakai dalam simpanan. Jadi jenis simpanan menurut akadnya dibagi menjadi:
- Simpanan Wadiah dan
- Simpanan Mudharabah
- Deposito
- Simpanan untuk jangka waktu tertentu yang dapat diambil setelah jangka waktu tertentu.
- Menggunakan bilyet sebagai tanda bukti simpanan.
- Mendapatkan bagi hasil yang dibayarkan tiap akhir bulan.
Akad yang dapat dipakai dalam Deposito adalah Mudharabah.
Catatan:
*) Bila akad yang dipakai adalah Mudharabah muqayyadah, maka:
- Nasabah meminta Bank untuk menyalurkan dananya kepada projek atau nasabah tertentu.
- Atas tugas ini bank dapat memperoleh fee atau porsi keuntungan.
- Keuntungan yang diperoleh dari penyaluran dana ini dibagi antara nasabah sebagai pemilik modal (Sahibul Mal) dan pelaksana projek sebagai mudharib (orang yang memberikan keahlian.
- Pola seperti ini dalam dunia perbankan disebut chanelling bukan executing
Jenis Produk Bank Syariah bila dilihat dari fungsi penyaluran dana (financing) dibagi menjadi 3 kategori besar :
- Jual-beli
- Bagi Hasil/Untung
- Sewa
- Jual-beli.
Produk jual-beli dalam Bank Syariah dibagi menjadi 3, yaitu :
- Murabahah
- Salam dan salam parallel
- Istishna dan istishna parallel
Penjelasan dari masing-masing produk disajikan berikut ini:
- Murabahah
- Adalah pembiayaan berdasarkan jual-beli dimana Bank bertindak selaku penjual dan nasabah selaku pembeli.
- Harga beli diketahui bersama dan tingkat keuntungan untuk Bank disepakati dimuka.
- Dalam fiqih klasik murabahah dilakukan secara tunai, dalam praktik perbankan nasabah dapat membayar secara angsuran dan untuk antisipasi kemacetan, Bank dapat meminta jaminan.
- Dalam fiqih klasik, penjual membeli barang langsung dari penjual pertama. Dalam perbankan syariah barang dapat dikirim langsung kepada nasabah atau nasabah membeli sendiri selaku wakil Bank dalam membeli.
- Bank dapat meminta uang muka dari nasabah untuk pembelian barang tersebut secara murabahah
- Bila nasabah membayar tepat waktu atau melunasi sebelum jatuh tempo, nasabah dapat meminta keringanan (diskon) bila Bank menyetujui b. Salam dan salam parallel.
- Adalah pembiayaan berdasarkan jual-beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran dilakukan dimuka dengan syaratsyarat tertentu.
- Dalam pembiayaan ini bank bertindak selaku pembeli sedangkan nasabah bertindak selaku penjual. Uang pembelian diberikan dimuka kepada nasabah.
- Karena barang akan dikirimkan kemudian, maka nasabah selaku penjual berhutang kepada bank.
- Biasanya diterapkan untuk pembiayaan produk pertanian atau produk-produk yang terstandarisasi.
- Bank hanya mendapat keuntungan apabila komoditi yang dikirim oleh nasabah dijual dengan harga yang lebih tinggi.
- Bank dapat menjual barang tersebut sebelum jatuh tempo kepada pihak lain dengan cara yang sama (salam), tapi tidak boleh dikaitkan dengan salam yang pertama. Bila hal ini yang terjadi maka salamnya adalah Salam parallel.
- Apabila dijual kembali kepada nasabah dengan harga yang lebih tinggi dikhawatirkan terkena riba.
- Apabila nasabah gagal (wan prestasi, default) dalam menyerahkan barang yang dipesan, maka kewajiban terhadap bank tidak berubah. Penyerahan barang harus tetap dilakukan walaupun harus ditunda karena kegagalan.
- Jika bank setuju, modal bank dikembalikan senilai ketika pertama kali diberikan.
- Istishna dan istishna parallel.
- Hampir sama dengan salam tetapi berbeda pada objek yang dibiayai dan cara pembayarannya.
- Pada Salam objek yang dibiayai sudah terstandarisasi, sedangkan pada istishna objek yang dibiayai bersifat customized (harus dibuat terlebih dahulu).
- Pada Salam pembayaran oleh bank dibayar dimuka sekaligus, sedangkan pada istishna pembayaran oleh bank dapat dicicil/bertahap 2. Bagi Hasil/Untung
Produk Bagi Hasil/Untung dalam Bank Syariah dibagi menjadi 3, yaitu:
- Mudharabah
- Musyarakah
- Rahn
Mudharabah
- Dalam pembiayaan Mudharabah , bank bertindak sebagai pemilik dana (sahibul mal) dan nasabah sebagai pengelola usaha (mudharib).
- Dalam fiqih klasik yang dibagikan adalah keuntungan (pendapatan dikurangi biaya), tetapi dalam praktik yang dibagikan adalah Revenue karena sulit untuk menemukan kesepakatan tentang biaya-biaya yang dikeluarkan nasabah.
- Nisbah bagi hasil disepakati di muka termasuk bila terjadi kerugian.
- Dalam fiqih klasik, Mudharabah adalah akad yang modal dikembalikan ketika usaha berakhir. Dalam sebagian praktik perbankan syariah, modal yang digunakan nasabah dicicil untuk memudahkan pengembalian ketika Mudharabah berakhir.
- Dalam fiqih klasik, ketika usaha menemui kegagalan semua aset yang tersisa dijual dan dikembalikan kepada sahibul mal (Bank).
- Dalam perbankan syariah nasabah selaku mudharib (pengelola usaha) masih diberi kesempatan untuk melanjutkan/memperbaiki usaha dengan penambahan modal dari bank.
Musyarakah
- Dalam Musyarakah, bank dan nasabah bertindak selaku syarik (partner) yang masing-masing memberikan dana untuk usaha.
- Pembagian keuntungan menurut kesepakatan dan apabila rugi dibagi menurut porsi modal masing-masing (proporsional).
- Pelaku syarik, bank berhak ikut serta dalam manajemen sesuai kaidah musyarakah.
Rahn (gadai)
- Adalah penyerahan jaminan untuk mendapat pinjaman.
- Rahn dalam syariah dapat berbentuk.
- Fiducia: penyerahan barang, tetapi hanya dokumen yang ditahan. Barangnya masih dapat digunakan oleh pemilik.
- Gadai : penyerahan barang secara fisik sehingga pemilik tidak dapat menggunakan lagi.
Sewa (Ijarah).
- Bila pembiayaan berdasarkan akad Ijarah maka Bank berlaku sebagai pemberi sewa (mu’jir) dan nasabah selaku penyewa (musta’jir).
- Pada fiqih klasik, bank (pemberi sewa), bank harus memiliki barang sebelum menyewakan kepada nasabah (penyewa).
- Pada umumnya Bank tidak memiliki barang, tetapi menyewa dari pihak lain, kemudian menyewakan lagi kepada nasabah dengan nilai sewa yang lebih tinggi selama tidak ada kaitan antara akad sewa pertama dengan sewa kedua.
- Ijarah dalam bank syariah bisa disamakan dengan operating lease, bukan financial lease atau capital lease (lihat bahasan sewa guna usaha/leasing). Jadi bank bertanggung jawab atas pemeliharaan aset yang disewa.
- Bila bank memiliki objek yang disewakan, maka bank dapat memberi Opsi bagi nasabah untuk memiliki objek yang disewanya.
Ijarah jenis ini dinamakan Ijarah al Muntahiyyah Bittamlik atau Ijarah wal Iqtina. Ijarah al Muntahiyyah Bittamlik memakai 2 akad yaitu akad sewa dan janji (opsi) kepemilikan. Kepemilikan bisa dilakukan kalau masa sewa telah berakhir. Hal ini hampir sama dengan capital lease. Jasa Perbankan adalah pelayanan Bank terhadap nasabah dengan tidak menggunakan modal tunai. Atas jasa yang diberikan, bank akan menerima imbalan (fee).
Jenis Produk Bank bila dilihat dari fungsi pelayanan jasa (service) terdiri dari:
- Transfer (pengiriman uang)
- Inkaso (pencairan cek)
- Valas (penukaran mata uang asing
- L/C (Lettter of Credit)
- Letter of Guarantee dll
Bank syariah menggunakan akad dalam penetapan produknya. Akad yang dipakai sebagai dasar dalam jasa perbankan syariah:
- Wakalah (Perwakilan)
Produk yang memakai akad ini: Transfer, Inkaso, Debit Card, L/C.
- Kafalah (Penjaminan)
Produk yang memakai akad ini: Bank Guarantee, L/C, Charge Card.
- Hawalah (Pengalihan Piutang)
Produk yang memakai akad ini:Bill Discounting, Post Dated Check (cek mundur), anjak piutang.
- Sarf (Pertukaran mata uang)
Produk yang memakai akad ini: Jual beli Valuta Asing
Dalam perbankan syariah, jasa perbankan menggunakan dana/fasilitas bank sendiri, oleh karena itu pendapatan yang diperoleh dari penjualan jasa ini harus disendirikan atau tidak ikut dibagikan kepada pemilik simpanan.
Untuk mempermudah transaksi antar Bank dan antara Bank dengan Bank Indonesia seperti perbankan konvensional, maka Bank syariah juga menggunakan produk Interbank.
Jenis Produk Interbank:
- Sertifikat Mudharabah antar Bank adalah instrumen pasar uang antar bank yang hanya dapat dijual satu kali kepada bank lain dengan bagi hasil sesuai dengan kesepakatan.
- Sertifikat Wadiah Bank Indonesia adalah instrumen Bank Indonesia untuk menyerap kelebihan likuiditas dalam perbankan.
- Fasilitas pembiayaan Jangka Pendek (FPJP) adalah fasilitas Bank Indonesia bagi perbankan syariah untuk menutupi selisih posisi (mismatch)
Perbedaan Bank Syariah Dengan Bank Konvensional
No | Perbedaan | Bank Konvensional | Bank Syariah |
1 | Bunga | Berbasis bunga | Berbasis revenue/profit loss sharing |
2 | Resiko | Anti risk | Risk sharing |
3 | Operasional | Beroperasi dengan pendekatan sektor keuangan, tidak langsung terkait dengan sektor riil. | Beroperasi dengan pendekatan sektor riil |
4 | Produk | Produk tunggal (kredit) | Multi produk (jual beli, bagi hasil, jasa) |
5 | Pendapatan | Pendapatan yang diterima deposan tidak terkait dengan pendapatan yang diperoleh bank dari kredit | Pendapatan yang diterima deposan terkait langsung dengan pendapatan yang diperolah bank dari pembiayaan |
6 | Mengenal negative spread | Tidak mengenal negative spread | |
7 | Dasar Hukum | Bank Indonesia dan Pemerintah | Al Qur’an. Sunnah, fatwa ulama, Bank Indonesia, dan Pemerintah |
8 | Falsafah | Berdasarkan atas bunga (riba) | Tidak berdasarkan bunga (riba), spekulasi (maisir), dan ketidakjelasan (gharar). |
9 | Operasional | – Dana Masyarakat (Dana Pihak Ketiga/DPK) berupa titipan simpanan yang harus dibayar bunganya pada saat jatuh tempo – Penyaluran dan pada sektor yang menguntungkan, aspek halal tidak menjadi | – Dana Masyarakat (Dana Pihak Ketiga/DPK) berupa titipan ( wadi’ah) dan investasi(mudharabah)yang baru akan mendapat hasil jika “diusahakan“ terlebih dahulu – Penyaluran dana (financing) pada usaha yang halal dan menguntungkan |
10 | Aspek sosial | Tidak diketahui secara tegas | Dinyatakan secara eksplisit dan tegas yang tertuang dalam visi dan misi |
11 | Organisasi | Tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah(DPS) | Harus memiliki Dewan Pengawas Syariah(DPS) |
12 | Uang | Uang adalah komoditi selain sebagai alat pembayaran | Uang bukan komoditi, tetapi hanyalah alat pembayaran |
Keunggulan Bank Syariah
- Dengan adanya negosiasi antara pihak nasabah dengan pihak bank, tercapai suatu halyang saling menguntungkan.
- Dengan prinsip bagi hasil, jika perusahaan ingin menaikkan usahanya namun kekurangan modal, maka dapat mengajukan kredit dengan baik, sehingga dapat menerima modal dan juga resiko yang ada lebih rendah daripada dengan pinjaman kredit biasanya.
- Dapat mendorong para pengusaha kecil untuk mengembangkan usahanya dengan baik, dengan adanya bantuan dari pihak bank.
- Resiko kerugian lebih kecil dengan menggunakan prinsip ini. Karena apabila mengalami kerugian, maka dibagi menurut perjanjian yang dibuat.
- Pihak bank akan mendapatkan banyak nasabah dengan menggunakan prinsip ini, karena adanya kemudahan – kemudahan (misalnya tanpa agunan) yang diberikan oleh bank dan juga akan menaikkan keuntungan yang besarnya sesuai dengan perjanjian yang dilakukan.
Baca Juga: BANK UMUM DAN BANK PERKREDITAN RAKYAT