Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
A. Riwayat Hidup Pendirinya
Berbicara tentang Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, tidak dapat ditinggalkan nama Abdullah Ahmad. Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878 (Djaya, 1975: 73). Ia adalah putra Haji Ahmad, seorang ulama Minangkabau yang senantiasa mengajarkan agama di surausurau, di samping sebagai saudagar kain bugis (Nata, 2003: 157).
Pendidikan Abdullah Ahmad dimulai dengan mempelajari agama Islam kepada orang tuanya serta beberapa guru yang ada di daerahnya. Setelah baligh/dewasa, ia dimasukkan ke sekolah kelas dua (sekolah yang diperuntukkan bagi kaum pribumi) di Padang Panjang. Karena ayahnya seorang ulama yang berpikiran modern, maka Abdullah Ahmad sangat diharapkan menjadi orang terpelajar dan memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang agama (Djaya, 1975: 73.
Selanjutnya, pada usia 17 (tujuh belas) tahun (1895), ia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, sambil melanjutkan pelajaran agama pada Syaikh Ahmad Khatib, seorang ulama asal Minangkabau yang bermukim di Mekkah, serta kepada beberapa ulama lainnya di Mekkah. Salah satu pertimbangan dikirimnya Abdullah Ahmad ke Mekkah adalah karena di Minangkabau (Sumatera Barat) pada saat itu belum ada sekolah agama yang teratur dengan baik, sementara Mekkah pada saat itu terkenal sebagai pusat penyebaran agama Islam, dan sudah banyak orang Minangkabau yang bermukim di sana.
Selama empat tahun belajar di Mekkah, Abdullah Ahmad juga terus mengikuti perkembangan gerakan Wahabiah yang digencarkan pada waktu itu. Gerakan ini dilakukan untuk menghapus praktek bid‘ah, khurafat dan takhayul yang disisipkan ke dalam ajaran Islam dan banyak diamalkan ummat Islam Mekkah pada saat itu. Masalah lain yang mendapatkan perhatian Wahabiah ini adalah masalah taqlid, yaitu sikap mengikuti pendapat orang lain secara membabi buta tanpa mengetahui dasar hukumnya dari Al-Quran dan Hadis.
Berkat ketekunan dan kecerdasannya dalam menguasai pengetahuan agama, selama di Mekkah, Abdullah Ahmad pernah diangkat sebagai asisten dari Syaikh Abdul Khatib (Ibn Hajar, 1990: 26). Selanjutnya pada tahun 1899, Abdullah Ahmad kembali ke Minangkabau dan mulai mengajar di Surau Jembatan Besi Padang Panjang. Di daerah ini ia mulai mengajar dengan menggunakan cara tradisional, yaitu dengan sistem halaqah, yaitu cara pengajaran yang dilakukan dengan cara seorang guru didatangi para santri. Mereka duduk melingkar di sekeliling guru sambil mengikuti pelajaran yang disampaikan guru.
Pada tahun selanjutnya Abdullah Ahmad mengubah sistem pengajaran tradisional itu dengan sistem sekolah agama (Madrasah) yang diberi nama Adabiyah School. Penamaan ini mungkin sekali dimaksudkan sebagai simbol kebangkitan ilmu pengetahuan sebagai penunjang utama bagi kebangkitan peradaban Islam dan mungkin pula diilhami oleh hadis Nabi yang diriwayatkan Al-Asykari. Hadis tersebut selengkapnya berbunyi, Tuhanku telah mendidikku, maka perbaikilah pendidikanku.” (Ridha: 1818)
Proses belajar mengajar dengan menggunakan sistem klasikal tersebut menggunakan sarana yang biasa terdapat pada sekolah yang dilaksanakan pemerintahan Belanda, seperti meja, bangku dan papan tulis.
Tentu saja bagi masyarakat yang terbiasa dengan sistem berhalaqah di daerah setempat, merasa asing dengan pembaharuan yang dibawa oleh Abdullah Ahmad, sehingga keadaan yang demikian itu mendapatkan tantangan keras dari kalangan ulama tradisional, karena dianggap melakukan caracara yang dilakukan oleh orang kafir. Karena tantangan tersebut demikian kuat, maka Abdullah memutuskan untuk pindah ke Padang untuk menggantikan pamannya, Syaikh Abdul Halim yang meninggal dunia sebagai guru. Di kota ini ia mengadakan tabligh-tabligh dan pertemuan-pertemuan tentang masalah-masalah agama dan mendirikan perkumpulan Jamaah Adabiah beberapa tahun kemudian. Asal mula perkumpulan ini ialah kelompok murid-muridnya sejumlah delapan orang yang tanpa absen menghadiri ceramahceramahnya. Ia juga memberikan pelajaran kepada kira-kira 300 orang penduduk kota tersebut. Sebagian daripadanya terdiri dari orang-orang dewasa. Pengajian ini diselenggarakan dua kali seminggu secara berganti-ganti dari rumah yang satu ke rumah yang lain. (Noer, 1996: 46) Keperluan terhadap pendidikan yang sistematis dan kenyataan bahwa tidak semua anak-anak dari pedagang di Padang dapat masuk sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah menyebabkan Abdullah Ahmad membuka sekolah Adabiyah dengan bantuan pedagang-pedagang ini. Ini terjadi pada tahun 1909 setelah ia mengunjungi sekolah Iqbal di Singapura. Di samping kegiatan ini ia menjadi Ketua Persatuan wartawan di Padang pada tahun 1914. Ia mempunyai hubungan yang sangat erat dengan siswa-siswa sekolah menengah pemerintah di Padang dan sekolah dokter di Jakarta dan memberikan bantuannya dalam kegiatan Jong di Sumatranen Bond. Ia merupakan pendiri dari majalah AlMunir 1911 dan Al-Akhbar tahun 1913 (suatu majalah berita) dan menjadi redaktur dalam bidang agama dari majalah AlIslam tahun 1916 yang diterbitkan oleh Sarekat Islam (Noer, 1996: 47).
Sebagai pelopor majalah-majalah pembaharu suatu pembicaraan singkat tentang Al-Munir bukanlah tidak pada tempatnya di sini. Majalah ini diterbitkan dua minggu sekali di kota Padang dari tahun 1911 sampai tahun 1916. Kedudukan Abdullah Ahmad dalam majalah tersebut adalah sebagai Ketua Dewan Redaksi, yang dibantu oleh Abdul Karim Amrullah Danau, Muhammad Dahlan Sutan Lebak Tuah, H.M.Thaib Umar Sungayang Batusangkar, Sutan Muhammad Salim dan sebagainya.(Al-Munir: 5)
Adalah jelas bahwa Abdullah Ahmad memanfaatkan lembaga Adabiyah sebagai organisasi yang bertanggung jawab untuk menerbitkan Al-Munir. Al-Munir diterbitkan secara terang-terangan dengan menggunakan bahasa Melayu yang berhuruf Arab. Sebagian besar edisinya terdiri dari enam belas halaman. Pada edisinya yang paling pertama, Al-Munir bahwa dirinya sebagai Jurnal Agama, Pengetahuan dan Agama Islam‖. (Azra, 2000: 1999).
Apa misi Al-Munir? Pada edisi pertama, editor menjelaskan makna Al-Munir itu sendiri. Pada tingkat pertama, Al-Munir” berarti lilin‖ atau sesuatu yang menerangi lingkungan. Dalam konteks makna ini, Al-Munir ingin menjadi mercusuar umat Islam di Hindia Timur Belanda yang terus ditindas oleh pihak Belanda. Dengan cara yang lebih terperinci, editor Al-Munir menjelaskan tujuan-tujuan jurnal. Pertama, mendorong dan mengarahkan umat Islam agar maju berdasarkan tuntunan Islam. Kedua, memelihara perdamaian di antara pelbagai bangsa dan umat manusia. Ketiga, menerangi umat Islam dengan pengetahuan dan kearifan (Azra, 2000: 1999).
Penting dicatat bahwa di dalam penjelasan Al-Munir tentang fungsi jurnal Islam, ia mengungkapkan bahwa jurnal Islam bagaikan seorang guru yang memberikan bimbingan di jalan yang benar kepada para pembacanya; mengingatkan mereka atas dosa pada masa lalu; menghibur mereka pada saat berduka; membantu mereka untuk sembuh dari kebakhilan; membangunkan mereka menuju kebajikan dan menajamkan akal mereka (Azra, 2000: 1999).
Maka, majalah dua mingguan ini memuat artikel yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan pengetahuan para pembacanya. Jenis artikel ini mencakup masalah agama (seperti perlunya beragama), biografi nabi Muhammad Saw, pengertian tentang mazhab, perlunya hisab dibandingkan dengan ru‟yah dan masalah duniawi, seperti umpamanya kegunaan surat kabar dan majalah, kegunaan organisasi serta juga kejadian-kejadian di luar negeri, terutama di Timur Tengah. Ada juga terdapat artikel-artikel yang lebih dalam sifatnya, yaitu yang filosofis tetapi masih berkisar pada persoalan agama juga, seperti soal tauhid (Noer, 1996: 47).
Artikel-artikel di atas biasanya ditulis pada kesempatan yang sesuai dengan isi artikel. Jadi umpamanya artikel tentang mi‟raj ditulis pada hari atau sekitar hari mi‘raj, artikel tentang puasa ditulis dalam bulan Ramadhan. Kadang-kadang juga artikel ditulis sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang dikemukakan oleh para pembacanya. Umumnya jenis artikel ini berkenaan dengan masalah-masalah fiqh. Ada pula artikel terjemahan yang diambil dari majalah Timur Tengah termasuk Al-Manar dari Mesir. Artikel terjemahan ini umumnya berkenaan dengan kejadian-kejadian di Timur Tengah seperti cara orang-orang di daerah tersebut merayakan mi‘raj, bagaimana bulan Ramadhan berjalan di Turki atau pun pembukaan suatu sekolah baru dalam hal mana sifat dari sekolah tersebut dijelaskan (Noer, 1996: 47).
Selain menulis dalam artikel Al-Munir dan menerjemahkan buku, Abdullah Ahmad juga menulis sebuah kitab yang berjudul Titian ke Surga yang merupakan kitab berisi pokok-pokok agama. Kitab ini diterbitkan oleh Syarikat Ilmu dan dicetak pada percetakan Majalah Al-Munir di Padang. Di dalam buku ini dibahas tentang arti agama, pokok agama dan hukum. Karangan Abdullah Ahmad berikutnya adalah Al-Islam. Yang berbicara tentang Islam yang sesungguhnya, syariat Islam, ilmu tarikh, dan lain sebagainya.
Selanjutnya Abdullah Ahmad menulis buku berjudul Ilmu Sejati. Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang berbentuk buku, terbit dalam bahasa Arab Melayu, terdiri dari 4 jilid dan dicetak pada percetakan al-Munir, Padang antara tahun 19161917. Abdullah Ahmad juga menulis tentang sya‘ir perukunan yang berisi kumpulan-kumpulan sya‘ir untuk nyanyian muridmurid sekolah, diterbitkan di Padang pada bulan Agustus 1917. Selain itu masih ada buku berjudul Pembuka Pintu Surga, al-Ittifaq wa al-Iftiraq serta Izharu Zaglil Kazibin (Nata, 2003: 160-161).
Pengetahuannya tentang Islam diakui oleh ulama-ulama Timur Tengah pada suatu konferensi khilafat di Kairo tahun 1926, di mana ia bersama Haji Rasul memperoleh gelar kehormatan Doktor dalam bidang agama (doktor fi ad-din). Ia meninggal di Padang tahun 1933 (Noer, 1996: 47).
B. Pemikiran Abdullah Ahmad
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa selain sebagai seorang juru dakwah, Abdullah Ahmad juga seorang pendidik pada zamannya. Dalam kedudukannya sebagai pendidik ini, ia banyak memiliki gagasan dan pemikiran pendidikannya yang masih relevan untuk diterapkan masa sekarang. Konsep atau ide-ide di bidang pendidikan yang dikemukakan Abdullah Ahmad paling kurang meliputi lima aspek yang fundamental, yaitu aspek kelembagaan, aspek metode dan aspek kurikulum. Kelima aspek ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Pemerataan Pendidikan
Sebagaimana diketahui bahwa Abdullah Ahmad hidup pada masa pemerintahan Belanda yang menerapkan prinsip memberikan perlakuan yang berbeda (dikriminatif) terhadap rakyat jajahannya, khususnya dalam pendidikan (Truna, 2002: 247-248)
Pengajaran pada zaman Belanda juga tidak dapat memberi kepuasan pada rakyat. Pengajaran pemerintah, yang seolah-olah dijadikan contoh dan umumnya dianggap sebagai usaha untuk menjunjung derajat kita, ternyata tak dapat memberikan pengaruh pada penghidupan kita, yang sepadan dengan cita-cita sebagai rakyat yang berusaha akan mendapat keselamatann. Hingga kini nasib kita semata-mata hanya memberi manfaat kepada bangsa lain. Pengajaran yang diterima dari pemerintah itu pertama kali sangat kurang, kedua kalinya sangat mengecewakan sebagai alat pendidikan rakyat (Truna, 2002: 15-16).
Sebelum ada HIS, kita hanya mengenal sekolah bumiputra yang rendah sekali pelajarannya, hingga kita tak dapat mencari penghidupan yang sederhana sekalipun. Sungguh pun ada sebagian kecil dari bangsa kita, yaitu kaum priyayi yang boleh menuntut pelajaran di sekolah Belanda hingga kemudian dapat meneruskan pelajarannya di sekolah yang lebih tinggi, tetapi untuk rakyat umum tertutup pintu yang dapat menuntut ke arah penghidupan yang pantas. Kemudian kita mendapat sekolah bumiputra kelas satu yang kelak menjadi HIS. Banyak orang yang merasa senang, karena ada penghargaan bagi anak-anaknya mencapai kepandaian yang bisa dijadikan alat untuk mencapai kepandaian yang dijadikan alat untuk mencapai derajat penghidupan yang sama dengan penghidupan bangsa lain, yang hidup di tanah kita. Akan tetapi, pengharapan itu boleh dikatakan sia-sia belaka. Anak keluaran HIS itu umumnya masih kurang kepdandaiannya untuk meneruskan pelajaran pada sekolah yang lebih tinggi. Kebanyakan anak-anak itu tak dapat diterima di MULO, karena kurang kepandaiannnya, teristimewa dalam hal bahasa Belanda. Untuk mencari pekerjaan, maka anak-anak keluaran HIS itu masih sangat mentah, kebanyakan mereka itu hanya cakap buat menjabat juru tulis atau juru tulis pembantu dengan gaji yang sama dengan gaji jongos atau koki (Dewantara, 1961: 103-104).
Sikap diskriminastif dalam pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia juga dikemukakan oleh Soegarda Poerbakawatja. Menurutnya, bahwa diterimanya anak-anak Indonesia di sekolah Belanda menunjukkan politik yang ragu-ragu. Sesudah itu sekolahsekolah kelas satu diajarkan bahasa Belanda, maka rintangan untuk masuk sekolah Belanda ditimbulkan lagi. Karena sekolah kelas satu terbukti tidak memenuhi syarat untuk melanjutkan pelajaran, maka oleh perkumpulan Budi Utomo yang didirikan tahun 1908 didesak agar pemerintah mendirikan sekolah corak baru seperti yang telah diadakan untuk anak-anak Cina, yaitu HCS (Hollandsch Chinesse School). Di samping itu, agar kesempatan masuk di sekolah Belanda diperluas. Ujian Klein Ambtenaar terbukti terlalu sukar untuk anak-anak sekolah kelas satu. Keinginan tersebut di atas akhirnya dipenuhi dengan mengubah peraturan masuk sekolah Belanda (1911) dan dengan lahirnya HIS (Hollandsch Inlandsche School) dalam tahun 1914, sebagai penjelmaan dari sekolah-sekolah kelas satu (Poerbakawatja, 1970: 26).
Kebutuhan terhadap pendidikan yang sistematis, teratur dan bermutu sebagaimana yang diberikan pemerintah Belanda terhadap orang-orang Belanda, Erofa dan Cina sebagaimana tersebut di atas, adalah sama dengan kebutuhan rakyat Indonesia. Dalam kaitan ini Abdullah Ahmad melihat bahwa tidak semua anak-anak dari pedagang di Padang dapat masuk sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda. Hal ini menyebabkan Abdullah Ahmad membuka sekolah Adabiah dengan bantuan pedagang-pedagang itu. Ini terjadi pada tahun 1909 setelah Haji Ahmad mengunjungi sekolah Iqbal di Singapura. Sekolah Adabiyah yang didirikan pada tahun 1909 itu adalah lembaga Pendidikan Islam yang mulamula berkelas dan memakai bangku, meja dan papan tulis. Menurut Mahmud Yunus Sekolah Adabiyah inilah madrasah (Sekolah Agama) yang pertama di Minangkabau, bahkan di seluruh Indonesia, karena menurut penyelidikannya, tidak ada madrasah yang lebih dahulu didirikan dari Madrasah Adabiah ini. Madrasah Adabiyah ini berdiri sebagai madrasah (sekolah agama) sampai tahun 1914. Namun, kemudian diubah menjadi HIS Adabiah pada tahun 1915. (Yunus, 1995: 63)
Berdasarkan uraian di atas bisa penulis simpulkan bahwa Abdullah Ahmad adalah orang pertama yang memelopori berdirinya madrasah di Indonesia, yaitu model sekolah agama yang menggunakan sistem klasikal lengkap dengan sarana dan prasarananya. Dialah orang pertama mengadakan pembaharuan pendidikan dalam bidang sistem kelembagaan atau institusi pendidikan.
2. Aspek Kurikulum
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa sekolah Adabiah pada awal berdirinya bercorak sekolah agama dengan sistem modern, yaitu sistem klasikal dengan sarana bangku, meja tulis serta papan tulis dan lain-lain. Sejalan dengan itu, maka sekolah Adabiah ini memiliki rencana pengajaran (kurikulum) yang memuat pelajaran agama, dan pelajaran umum seperti ilmu alam, berhitung, sejarah dan bahkan bahasa Belanda. Dicantumkannya mata pelajaran bahasa Belanda dimaksudkan sebagai alat untuk dapat memasuki kehidupan modern. Sedangkan dimasukannya bahasa Melayu untuk menghormati bangsa dan melestarikan adat yang tidak memberi kesusahan dan kemudaratan, serta pelajaran agama untuk keselamatan hidup di dunia dan akhirat dan kesehatan mental ruhaniah.
Sejalan dengan perkembangan berikutnya, menurut Rusli Amran (1981) pada tahun 1915 corak pendidikan Adabiyah diubah menjadi bercorak HIS Adabiah yaitu tingkat pendidikan yang setarap dengan Sekolah Dasar (SD) seperti yang ada sekarang. Menurut Mahmud Yunus, itulah HIS yang pertama di Minangkabau, Sumatera Barat, yang memasukkan pelajaran agama dalam rencana pengajarannya. Kecuali diajarkan pelajaran agama dan Al-Quran sebagai mata pelajaran wajib, juga diajarkan pengetahuan umum. Inilah yang membedakan dengan HIS yang diselenggarakan Belanda dengan HIS yang dilaksanakan Abdullah Ahmad di Sumatera Barat (Ahmad, 1915: 14).
Dari rencana pelajaran yang diterapkan di Sekolah Adabiyah yang bercorak agama ini, dapat disimpulkan bahwa dalam program pendidikan Abdullah Ahmad menerapkan konsep kurikulum pendidikan integrated (integrated curriculum of education), yaitu terpadunya antara pengetahuan umum dengan pengetahuan agama serta bahasa dalam program pendidikan.
Dalam pandangan Abdullah Ahmad, baik bahasa Arab maupun bahasa Belanda memegang peranan amat penting dalam rangka mencapai cita-cita pembaharuan maupun dalam rangka alih ilmu pengetahuan melalui usaha menerjemahkan ilmu pengetahuan yang semula berbahasa asing ke dalam bahasa Melayu (bahasa Indonesia).
Rencana pelajaran tersebut dijadikan sebagai kerangka kerja sistematis dalam suatu kegiatan pengajaran modern. Penerapan konsep tersebut tidak terlepas dari keterlibatan aktif Abdullah Ahmad sebagai tokoh yang berpengaruh pada sekolah (Nata, 2003: 19).
Dengan demikian, HIS Adabiah berbeda dengan penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam tradisional. Pada lembaga pendidikan tradisional, rencana pelajaran atau kurikulum tidak disusun secara sistematis dan terencana, melainkan dengan sistem kitab, yaitu pengajaran ditentukan dengan menyebutkan kitab-kitab yang harus diajarkan pada para siswa dengan tidak memperlihatkan dari perbedaan usia dan sebagainya. Siapa saja yang lebih dahulu memahami bahkan menghapal kitab tersebut berarti dialah yang akan memahami bahkan lebih dahulu dianggap selesai pendidikannya. Pemakaian jenis kitab tersebut juga disesuaikan dengan tingkat waktu lamanya si santri belajar, sehingga dalam kegiatan operasional belajar-mengajarnya, dimulai dengan bab pendahuluan dan pada masing-masing kitab yang diajarkan sampai bab penutup secara berurutan. Demikian pula penggunaan kitabnya dimulai dari jenis kitab yang rendah dalam tingkatan satu disiplin ilmu sampai pada tingkat paling tinggi. Namun suatu hal yang perlu dicatat bahwa seluruh kitab yang diajarkan pada lembaga pendidikan tradisional itu seluruhnya pelajaran agama, dan belum ada pelajaran umum. Abdullah Ahmad melihat perlunya umat Islam mempelajari pengetahuan umum melalui lembaga yang dibangunnya (Nata, 2003: 19-20).
Gagasan ini memperlihatkan dengan jalan adanya ide integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum pada lembagalembaga pendidikan. Gagasan ini pada tahap selanjutnya dapat menyadarkan umat Islam yang selama ini hanya mementingkan pelajaran agama dan mengabaikan pengetahuan umum, agar mengubahnya dengan mementingkan kedua-duanya, karena pengetahuan umum amat dibutuhkan untuk mewujudkan kesejahteraan hidup duniawi untuk menopang kehidupan akhirat. Selain itu, gagasan tersebut juga menyadarkan mereka yang selama ini hanya mengutamakan pendidikan sekuler (pengetahuan umum) dengan mengabaikan pelajaran agama, dengan cara mengutamakan kedua-duanya. Caranya adalah orang-orang yang berpengetahuan umum memberikan pengetahuannya kepada orang-orang yang berpengetahuan agama, dan demikian sebaliknya. Gagasan integrasi ilmu agama dan ilmu umum walaupun masih pada dataran kurikulum sudah dapat dinilai suatu kemajuan.
3. Tentang Dana Pendidikan
Dengan adanya perubahan tersebut, Sekolah Adabiyah (Adabiyah School) mendapatkan subsidi dari pemerintah Belanda. Subsidi yang diberikan sekitar tahun 1915-1923, yaitu berupa dana dan tenaga guru sebanyak tiga orang Belanda, seorang sebagai Kepala Sekolah sedangkan dua orang lagi sebagai guru biasa (Panitia Hari Ulang Tahun ke65 Perguruan Adabiyah School, 1980: 34; Daya, 1990: 83). Hal ini memperlihatkan kecerdasan Abdullah Ahmad yang telah berhasil melakukan dua hal. Pertama, ia telah berhasil menghilangkan kecurigaan pemerintah Belanda terhadap umat Islam; sedangkan yang kedua, ia telah berhasil mengupayakan dana alternatif bagi pendidikan Islam; dan dana itu justru datang dari pemerintah Belanda sendiri. Selanjutnya, karena kecakapan pemimpinnya, pemerintah Belanda tetap mempercayai perguruan ini dan mengizinkan orang Belanda menjadi kepala sekolah pada HIS Adabiah, seperti Ny.Reglould, seorang yang dianggap menghayati cita-cita Adabiah School serta beberapa guru lainnya yang berasal dari kebangsaan Belanda.
Kebanggaan sekolah tersebut lebih banyak terletak pada kenyataan bahwa ialah yang merupakan sekolah yang pertama yang diasuh masyarakat dan terbit dari lingkungan Islam, untuk merombak sistem pendidikan yang tradisional di Minangkabau, Sumatera Barat.
Pada perkembangan selanjutnya, jenjang pendidikan sekolah ini bertambah dengan berdirinya Taman KanakKanak (TK). Namun sayang, pada zaman penjajahan Jepang sekolah TK ini dibubarkan, sedangkan jenjang pendidikan lainnya seperti SD, SMP, dan SMA tetap dipertahankan, bahkan ditambah dengan Sekolah Tinggi Administrasi Islam (STAI) serta laboratorium Komputer.
4. Tentang Kemodernan
Ciri kemodernan lembaga pendidikan Adabiah ditandai dengan adanya sikap keterbukaan dalam membolehkan para siswa yang berasal dari berbagai golongan untuk belajar di sekolah tersebut dengan syarat beragama Islam. Kondisi tersebut berbeda dengan dengan sekolah yang didirikan pemerintah Belanda yang sangat diskriminatif dalam menerima siswa yang boleh belajar di sekolah tersebut (Nata, 2003: 21).
Keberadaan lembaga pendidikan Adabiyah ini telah banyak menarik perhatian kalangan para peneliti baik dari kalangan Islam maupun non Islam. Lothrop Stoddard misalnya mengatakan bahwa lembaga pendidikan HIS Adabiyah merupakan starting point (babak baru) dalam pembaharuan pendidikan yang mempengaruhi berdirinya lembaga pendidikan Islam modern yang tidak hanya terbatas pada sekolah dasar, tetapi juga tingkat sekolah menengah pertama dan menengah atas sampai tingkat tinggi dengan berbagai nama (Stoodard, 1966: 3044).
5. Aspek Metode Pengajaran
Dari segi metode, Abdullah bin Ahmad menerapkan metode debating club. Metode yang sekarang dikenal dengan nama metode diskusi merupakan metode yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada murid untuk bertanya dan berdialog secara terbuka tentang berbagai hal yang menyangkut masalah agama yang pada saat itu dianggap sangat tabu dan kurang dianggap beradab. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengubah cara lama yang menempatkan siswa secara pasif dan kurang diberikan kebebasan, sementara waktu lebih banyak dipergunakan oleh guru. (Nata, 2005: 22)
Menurut Abdullah Ahmad, bahwa dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya mengalami taraf pemikiran yang terus meningkat dari waktu kewaktu. Berfikir secara logis tidak dapat dicapai oleh manusia secara alamiah, melainkan harus ditumbuhkan dan dilatih melalui serangkaian latihan yang dilakukan secara kontinyu. Sejalan dengan itu, maka para pendidik hendaknya memperhatikan taraf pemikiran anak, sehingga bahan pelajaran yang diberikan dapat dicerna dan diterima anak didik dengan baik. Hal inilah yang diterapkan oleh Abdullah Ahmad (Nata, 2005: 22).
Selanjutnya Abdullah Ahmad mengatakan bahwa banyaknya anak didik yang merasa takut mempelajari agama dikarenakan yang mereka dapati dari belajar agama pada waktu itu hanyalah tentang surga dan neraka beserta siksa neraka yang akan diterima oleh mereka yang melanggar syari‘at agama. Hal ini menurut Abdullah Ahmad perlu diimbangi dengan pendidikan yang menumbuhkembangkan benih dan bakat kebajikan yang dimiliki oleh anak didik (Ahmad, 1911: 81). Hal ini dapat dilakukan melalui perilaku dan suri teladan yang baik yang harus mereka tunjukan pada setiap kesempatan, sehingga anak didik termotivasi untuk mempelajari agama yang bertolak dari kesadarannya sendiri. Menurut Abdullah Ahmad, metode suri tauladan ini sangat efektif diterapkan dalam menanamkan akhlak yang mulia pada diri anak didik.
Selain itu, Abdullah Ahmad mengajukan metode pemberian hadiah dan hukuman sebagaimana yang berkembang saat ini. Menurutnya, bahwa pujian perlu diberikan guru bila anak didiknya memiliki akhlak yang mulia, dan jika perlu anak didik itu diberikan hadiah untuk menyenangkan hatinya. Bersamaan dengan itu, hukuman juga perlu diberikan bila anak didik bersikap sebaliknya. Namun demikian, hukuman tersebut tidak perlu diberikan secara kasar, karena hukuman semacam itu dapat menghilangkan keberanian yang ada pada anak (Ahmad, 1911: 81).
Metode lainnya yang perlu diterapkan menurut Abdullah Ahmad adalah metode bermain dan rekreasi. Menurutnya bahwa anak perlu diberi waktu untuk bermain dan bersenangsenang serta istirahat dalam proses belajar-mengajar yang sedang berlangsung. Karena jika tidak ada waktu untuk beristirahat, dapat merusak perilau anak yang semula baik, karena bosan dengan kegiatan yang menguras daya fikirnya. Akibat lainnya, hatinya akan mati, pemahamannya terhadap bahan pelajaran yang diberikan akan tumpul, serta cahaya akalnya akan padam, sehingga anak didik tersebut bisa meninggalkan pelajaran agamanya sama sekali.
Pemikiran Abdullah Ahmad dalam bidang metode pengajaran tersebut telah membangkitkan perhatian dari berbagai kalangan. Ada yang menanggapi secara positif dan ada pula yang sebaliknya. Namun yang pasti, adanya persaingan diantara para ilmuwan muslim saat itu membuka cara baru bagi kemajuan berkompetisi untuk sama-sama memajukan dan meningkatkan kualitas umat Islam.