“Pandai mengeluh sudah bawaan manusia
Tak dipelajari sepertinya dia datang sendiri
Tapi jiwa optimis harus dilatih dan ditumbuhkan
Sebab alam mengajarkan semua makluk bisa bertahan
Bahkan manusia bisa melampaui batas kemampuannya di muka bumi
Makanya jangan jera berjuang dan berkata optimis
Agar menjadi kekuatan untuk bisa melakukan sesuatu dalam hidup ini”
Suatu sore, tim marketing UMKM Sui. Duri II yang baru terbentuk duduk santai sambil menyelesaikan packingan produk usaha kelompok yang sudah di dampingi Tan Gindo bersama forum desa. Segelas kopi manis dan sebungkus rokok Djie Sam Soe jelas sudah seperti teman setia disetiap perbincangan asyik dimanapun berada. Seperti biasa Tan Gindo mulai bergurau sambil mencari celah tetap meng-evaluasi kegiatan yang ada”gimana bro, aman dan lancarkah jualannya” ujar Tan Gindo penuh senyum. “Amanlah pak, tapi sepertinya sulit bagi kita untuk jualan seperti ini, susah sekali kita dapat memasukkan produk kewarung-warung, apalagi produknya seperti ini, gimana mau berkembang” keluh Rozi selaku salah seorang anggota tim.
Rozi, seorang anak muda penuh semangat yang baru saja bergabung dalam kegiatan forum desa, kebetulan anak salah seorang ketua RT di Dusun Karya Desa Sui. Duri II. Rozi sepertinya anak rajin dan berbakat untuk jualan, bertubuh sedang, berkaca mata dan berambung lurus, faktanya sebelum di ajak bergabung dia sudah punya dagangan sendiri. Bagi Tan Gindo jawaban yang baru saja didengar sepertinya sudah tak asing lagi dalam gendang telinga. Nadanya seperti orang mengeluh dan berputus asa, bak tidak mendapatkan harapan hidup, seolah ada tembok dinding yang selalu jadi penghambat kemajuan, perobahan dan perbaikan.
Padahal dari kenyataan tidak begitu juga adanya, Rozi dan bersama salah satu rekannya Angga, sejak bergabung selalu tidak berhenti mencoba abdikan dirinya dalam kegiatan yang sudah dimulainya. Meski kegiatan baru dirancang dan minus dukungan, ketimbang teman-teman yang lain mereka telah menunjukkan itikad baik untuk dapat berubah dan ingin maju berkembang. Sayang antar perbuatan dan ucapan seperti bertolak belakang, begitulah akhirnya antara kegiatan dan kata-kata selalu menjadi jurang pemisah, Tan Gindo mulai berfikir “kalau begini, cepat atau lambat kata-kata mereka akan menghancurkan mereka sendiri” ujar Tan Gindo membatin. Menurut pengalaman Tan Gindo “kata dan ungkapan adalah kalimat sakti yang dapat merobah segala hal dalam kehidupan dan minimal dalam berkegiatan”
Baca juga kisah “Menantang Matahari” bag. 9; Curhat Nyi Bloro; Ratu Laut Kijing
Ketika kita menyakatan “bisa” pasti bisa, kalau kita sudah mengeluh pasti sudah menjadi awal dari sebuah kegagalan. Menurut teori psikoanalisis Sigmund Freud, pikiran bawah sadar didefinisikan sebagai kumpulan perasaan, pikiran, dorongan, dan ingatan yang berada di luar kesadaran. Freud percaya bahwa ketidaksadaran terus memengaruhi perilaku meskipun orang tidak menyadarinya. Freud mengibaratkan hal-hal yang mewakili kesadaran kita hanyalah “puncak gunung es” dari setiap kata-kata yang diucapkan. Begitu besar akhirnya pengaruh sebuah kesukesan dan kegagalan dalam diri seseorang. Teori-teori sudah banyak dibukukan oleh berbagai pakar psikoloagi dan pelatih motivasi, “searching saja om google” ujar Tan Gindo sambil kelakar.
Pengalaman Tan Gindo kembali melayang ke massa lalu, sejak pertama kali aktiv di Pelajar Islam Indonesia. Kala itu Tan Gindo direkrut dan bergabung dalam satuan Brigade Pelajar Islam Indonesia, “sungguh mentereng juga rasanya ketika itu, apalagi sempat berfoto berseragam hijau dan pake baret hijau bak tentara betulan” ungkap Tan Gindo menjelaskan. Tan Gindo merasa bersemangat lagi, karena sedari kecil memang bercita-cita jadi Pilot Pesawat Tempur, atau tepatnya tentara Angkatan Udara. Dulu foto-foto tersebut sempat tersimpan rapi tapi karena sudah sering pindah-pindah rumah sudah jarang ditemui entah dimana letaknya; sedikit sejarah apa dan bagaimana sejarah Brigade Pelajar Islam Indonesia Tan Gindo kembali menganang.
…………
Pada awal pembentukannya, badan otonom ini ditujukan untuk menyalurkan bakat-bakat kemiliteran anggota-anggota PII. Tujuan ini berkaitan dengan kondisi bangsa Indonesia yang sedang berusaha mempertahankan kemerdekaan dari ancaman kembalinya kolonialisme belanda. Untuk itu bangsa Indonesia perlu memobilisasi semua komponen bangsa untuk menghadapi agresi militer Belanda I (21 Juli 1947)
PII sebagai sebuah organisasi yang berbasis pelajar tidak tinggal diam dan ikut serta memanggul senjata, bahu-membahu mempertahankan kedaulatan Indonesia. Kemudian, dalam langkah nyatanya mengorganisasikan diri menjadi salah satu dari pasukan rakyat yang berjuang melawan penjajah, sehingga terbentuk laskar-laskar dari rakyat banyak yang turut membantu TKR (Tentara Keamanan Rakyat) antara lain TRI Hizbullah, BPRI (Baris dan Pemberontakan RI), TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar Jawa Timur), Sabilillah, Tentara Pelajar IPPI, TPI (Tentara Pelajar Islam Aceh), CM Corps – Mahasiswa, CP (Corps Pelajar Solo) dan lain sebagainya. Masa ini, visi dan misi Brigade Siaga adalah bersifat ketentaraan/kelaskaran.
Walaupun baru diresmikan pada 1947, dengan Komandannya Abdul Fattah Permana, sebenarnya, sebelumnya telah ada aktivitas ke-brigade-an di PII. Satuan yang telah ada sebelum peresmian Brigade PII adalah TPI (Tentara Pelajar Islam Aceh) dibawah pimpinan Hasan Bin Sulaiman, Hamzah, dan Ismail Hasan Metareum. Terdapat sebanyak 12.000 orang anggotanya yang langsung dikoordinir di bawah komando Komandan Koordinator Pusat Brigade PII saat itu.
Selain itu, PII telah berpartisipasi dalam operasi militer di Magelang, khususnya tentara pelajar. Pasukan PII dan HMI pada bulan Oktober 1947 bergabung dalam Batalyon 17 dengan nama Batalyon Corps Pelajar Islam dipimpin Chalil Badawi dan Corps Mahasiswa Islam dipimpin oleh Ahmad Tirto Sudiro. Pada masa ini, pembinaan terhadap anggota dilakukan oleh dan di masing-masing laskar dimana mereka bergabung. Tak heran akhirnya Jendral Sudirman sangat mempercayai Brigade PII dalam mendampingi beliau ketika perjuangan gerilya.
Secara khusus Jenderal Sudirman mengapresiasi peran PII dalam pidatonya pada peringatan Hari Bangkit I PII tahun 1948 di Yogyakarta. “Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada anak-anakku di PII, sebab saya tahu bahwa telah banyak korban yang telah diberikan oleh PII kepada negara. Teruskan perjuanganmu. Hai anak-anakku Pelajar Islam Indonesia. “Negara di dalam penuh onak dan duri, kesukaran dan rintangan banyak kita hadapi. Negara membutuhkan pengorbanan pemuda dan segenap bangsa Indonesia.” Ujar sang Jendral penuh haru waktu itu.
Disetiap manapun ada cabang PII se-Indonesia pasti ada Brigade PII-nya sebagai sebuah mata rantai perjuangan yang tidak bisa diputus. Kehadiran Brigade PII juga kemudian berjasa ketika harus menghadapi gerakan Komunisme dan berbagai pemberontakan yang terjadi di Indonesia. Setalah kemudian orde baru bercokol, lagi-lagi PII harus berhadapan dengan pemerintah karena dipaksa merobah azaz organisasi dengan memaksakan Pancasila sebagai satu-satu azaz (prinsip) organisasi dan lebih memilih jalan untuk tiarap dalam melanjutkan visi dan misinya.
Banyak data fakta bicara undang-undang keormasan ini lahir sebelumnya diakibatkan banyaknya bentrok pemikiran dan fisik antar aktivis islam dan non Islam sendiri dalam memandang semangat kebangsaan, yang kemudian di picu oleh bentrok fisik antara massa pendukung PPP dengan Golkar di Lapangan Banteng Jakarta, sebagaimana yang ditulis Fikrul Hanif Sufyan dalam Sang Penjaga Tauhid: Studi Protes Tirani Kekuasaan 1982-1985. Melalui UU Nomor 3/1985 azaz tunggal kemudian keluarkan dan disahkan pada 19 Februari 1985 yang mengharuskan Pancasila menjadi asas tunggal dalam setiap organisasi,
Pelajar Islam Indonesia (PII) dan tokoh-tokoh Islam macam Deliar Noer, A.M. Fatwa, dan Sjafrudin Prawiranegara sang ketua PDRI. PII harus mengalami hal pahit. “Mereka harus membubarkan diri sebab pada kongres tahun 1985 yang tidak mendapat izin pemerintah pada 17 April 1987 PII akhirnya di anggap membubarkan diri. HMI kemudian pecah jadi dua kubu HMI Dipo yang mendukung Azaz Tunggal dan HMI MPO menolak azas tunggal Pancasila. Sebelumnya sudah diketahui bahwa Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) sebagai kakak HMI & PII sudah lebih duluan di bubarkan karena dianggap organisasi keras dan teroris, karena selalu bersebrangan dengan pemerintah terutama mengahadapi ideologi komunis yang menjadi anak kandung Bung Karno dalam menjalankan kebijakannya.
Pembubaran GPII dipicu oleh sebuah kasus yang disebut dengan “Peristiwa Cikini” dan Idhul Adha di Lapangan IKADA, tepatnya tanggal 10 Juli 1963 Presiden Sukarno menerbitkan Keputusan Presiden No.139 Tahun 1963. Kemudian setelah itu berubah nama menjadi Gerakan Pemuda Islam (GPI) dalam menjalan visi dan misi eksistensinya. Diketahui sebagian anak-anak GPII juga merayap dibawah tanah bersama PII yang telah dinyatakan bubar. GPII, HMI MPO dan PII se-Indonesia akhirnya bergerak dengan strategi “pasang Jaket”. Memakai nama lain kemudian menjalankan misi dan eksistensi mereka secara diam-diam diberbagai propinsi dan daerah.
Strategi ini dilakukan semata-mata hanya untuk menjalankan prinsip untuk taat pada Allah, dimana Al-quran dan Hadist tetap menjadi rujukan utama organisasi, sementara Pancasila tetap dihargai menjadi dasar Negara. Inilah kemudian yang membuat kader-kader PII tetap bisa bertahan meski selalu dalam bayang-bayang kekuasaan selama orde baru berlangsung. Kader-kadernya tetap ada meski dengan jumlah dan ruang gerak yang tebatas, hanya mereka yang beruntung dan kuatlah yang bisa bertahan untuk selalu melanjutkan perjuangan organisasi, tak sedikit akhirnya yang di “bui” dan hilang tampa nama.
Ketika dibawah tanah Brigade PII kemudian menjelma menjadi Brigade Pembangunan, yang bertujuan selalu menjadi garda terdepan sebagai “pengawal eksistensi” disetiap kegiatan organisasi meski tidak membawa nama PII tapi membawa organisasi sempalan-sempalan yang beragam disetiap daerah garapan namun saling tetap kontak satu dengan yang lain se-Indonesia. Sungguh menjadi sebuah kenangan bagi kader-kader PII untuk dapat bertahan dan berkembang dimassa-massa pahit itu. Mereka bisa bertahan dengan situasi sulit dan tidak diakui bahkan dikejar-kejar oleh intel-intel orde baru dalam setiap kegiatan. Inilah juga lah yang menyebabkan anak-anak PII bermental baja dan tidak pernah takut dalam membela kebenaran dan mengakkan kebatilan.
Pendek kata apa yang telah terjadi saat itu hingga di era pasca Reformasi, bagi anak-anak PII semua peristiwa hanya sejarah yang berulang dimana ada sekolompok masyarakat Islam yang selalu dikejar-kejar dengan cara yang menyedihkan, ditangkapi dan dikebiri dalam mempertahankan prinsip hidup dan organisasi mereka. Jika dirunut peristiwa demi peristiwa, sebut saja sejarah konflik berdarah Tanjung Priok, Talang Sari, Lampung Berdarah, Konflik Poso, Ambon hingga berbagai konflik Front Pembela Islam yang saat ini merebak tak lebih sebuah fonomena yang pulang pergi se-iring pertarungan zaman. Hanya Allah SWT yang tahu siapa yang benar dan salah atau berhak menghakimi mereka yang berbuat kezaliman suatu saat kelak di akhirat nanti.
……………
Lantas, bagaimana proses yang pelatihan demi pelatihan yang telah Tan Gindo dapatkan di Brigade PII sehingga menjadi catatan penting kisah saat ini, khususnya ketika di Kota Payakumbuh, sebuah basis gerakan yang selalu hidup dan berkembang dalam sejarahnya.
Waktu itu pasca mengikuti pelatihan dasar PII yang dikenal dengan “Basic Tarining PII” Tan Gindo direkrut oleh seorang Komandan, bernama Ustadz Dedi, tapi teman-teman aktivis PII sering memanggil beliau Ustadz Guru “Sang Komandan”. Hampir rata-rata panggilan semua aktivis PII yang kala itu bernama Forum Komunikasi Remaja Masjid (FKRM) semacam organisasi “Jaketnya PII” di panggil ustadz; sebuah panggilangan kehormatan khusus yang selalu disematkan pada setiap aktivis PII kota Payakumbuh yang telah mengikuti kegiatan latihan kader tunas. Padahal kata “Ustadz” bukanlah kata sembarangan, di beberapa tempat kata tersebut itu merupakan panggilan sakral untuk sebuah guru yang tidak mudah sembarang di sematkan. Tapi di FKRM panggilan “ustadz” bisa bak kacang goreng saja, khususnya bagi para aktivis tentunya.
Suatu hari Tan Gindo dan para aktivis baru tersadar betapa besar dampaknya panggilan tersebut terhadap para aktivis. Ternyata bisa jadi sebuah “sugesti” atau semacam dorongan agar mereka dapat berubah seperti seorang ustadz yang sesungguhnya, menjadi tauladan, menjadi seorang senior sekaligus guru yang dapat di gugu dan di tiru oleh banyak orang, minimal orang-orang yang sebaya dan para kader baru lainnya. Setidaknya dalam lingkungan keluarga, sadar tidak sadar akhirnya para kader, menjadi doyan mengaji, dekat ke Masjid dan bergaul dengan para-para ustadz lainnya.
Fakta bahwa kata-kata adalah sakti untuk sebuah perubahan pernah Tan Gindo rasakan ketika suatu hari mengikuti pelatihan Intensif Brigade, semacam pelatihan khusus bagi para kader-kader anggota Brigade lanjutan ketika masih kelas 2 Sekolah Menengah Pertama lebih kurang di tahun 1993 silam. Setelah sebelumnya mengikut Up-grading Brigade PII barulah bisa mengikuti Intensif Brigade, jika tidak di iktui bisa salah kaprah karena hampir materi-materi pelatihan di Intensif Brigade merupakan materi lanjutan yang dasar-dasarnya harus dimiliki terlebih dahulu.
Kegiatan Intensif Brigade lebih pada peningkatan nalar, mentalitas dan pemikiran untuk melaksanakan strategi kegiatan dilapangan baik fisik dan non fisik; belajar bagaimana bersikap tegas dan kuat dalam menghadapi serangan bahkan belajar bagaimana formasi tempur. Tak terbayangkan bagaimana dulu senior-seniro Brigade PII di zaman dulu langsung harus berhadapan dengan situasi yang sebenarnya dalam mengadapi penjajah yang ingin bercokol kembali di Indonesia.
Kala itu kegiatan Intensif Brigade PII tersebut berlangsung di Balubuih, sebuah daerah unik di daerah Kabupaten Limapuluh kota, disekililingnya ada perbukitan, semak belukar dan lapangan layaknya sebuah arena pelatihan pertempuran. Uniknya disana ada sebuah sungai berpasir yang ketika itu jika seseorang berdiri di atas sungai tersebut akan bisa menghisap tubuh dan ditenggelamkannya seperti pasir hidup yang pernah dijumpai dibeberapa tempat di dunia.
Sebenarnya dikarenakan karena adanya muatan pasir gunung yang sangat halus dan banyak serta ada aliran air sungai yang deras membuat pasir tersebut seperti hidup. Jadi siapapun yang berdiri di dasar sungai tidak bisa berdiri dalam jangka waktu yang lama, dalam hitungan detik harus bisa menggerakkan kakinya segera untuk berpindah dari satu tempat ke ketempat lain, jika terlambat dan waktu lama pasti akan terhisap dan diseret lumpur pasir. “Terlihat mengerikan bagi mereka yang belum pernah mencobanya” ujar Tan Gindo mengingat kenangan tersebut.
Jumlah peserta tak begitu banyak, karena hanya mereka-mereka yang terpilih dan berkemauan kuat hanya bisa mengikuti kegiatan tersebut. Tan Gindo termasuk peserta paling kecil dari para peserta lainnya, “lebih kurang hanya 12 s/d 15 orang dan hanya terdiri dari 3 tenda perkemahan” ujar Tan Gindo mengingat. Meski pesertanya sedikit kegiatan berjalan lancar, aman dan sukses tampa ada yang mencurigainya karena memang sudah di setting sedemikian rupa seperti anak-anak yang ikut pelatihan Pramuka saja, bisa mendapatkan izin dan diketahui oleh pihak pemerintahan setempat.
Dalam pelatihan tersebut, banyak hal yang telah dipelajari mulai dari persoalan prinsip kesatria muslim, sejarah pergerakan Indonesia dan bagaimana berlatih membela diri, seperti aneka keterampilan silat dan sebagainya. Sambil bernyanyi dan bergembira layaknya tentara yang sedang berlatih di medan latihan yang sebnarnya, “ayo-ayo Brigade, singsingkan lengan baju, ummat Islam menunggu, biar kami hancur, biar binasa asalkan ummat Islam dapat kemenangannya” begitu menggema di arena pelatihan. Sesekali kalau ada warga yang menyaksikan kegiatan tersebut kata-kata ungkapan yang sensitif langsung dirobah menjadi kata-kata umum agar tidak di curigai publik. Demikian kuatnya anak-anak PII menjaga privasi gerakan dimanapun berada.
Ustadz Guru – Sang Komandan menjadi figur yang kuat dan menakutkan dalam kegiatan tersebut, selaku komandan juga sebagai penanggung jawab medan pelatihan secara umum memang sangat lihai dan hebat dalam mengelola kegiatan. Padahal beliau waktu itu masih terhitung pelajar dan baru akan menyelesaikan sekolahnya di Sekolah Teknik Menengah di Kota Payakumbuh. Jadi anak-anak PII sejatinya sudah saling berbaur antar sekolah karena berasal dari berbagai sekolah dan pelajar se-Kota Payakumbuh.
Sehingga segala issue pelajar, perkelahian antar sekolah dan lain sebagainya anak-anak PII sudah lebih dahulu mengetahui peristiwa yang terjadi. Begitu kuatnya anak-anak PII menjadi banteng pemersatu antar pelajar. Rata-rata mereka menguasai sekolah disetiap sekolanya, jika tidak ketua OSIS setidaknya jadi pengurus inti disetiap sekolah yang ada, mulai dari Sekolah Menengah Pertama dan Tingkat Atas, sekolah umum atau kejuruan. Dapat dikatakan ketika ada masalah aksi pelajar di Kota itu pasti dibelakangnya ada anak-anak PII yang menjadi pemikir dan penggeraknya serta di ikuti dari pelajar lain seperti Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan organisasi lainnya.
Ada sebuha kisah unik yang dirasakan Tan Gindo terkait pemebentukan watak dan perobahan sikap, kebetulan dalam satu peserta pelatihan agak-agak rada banci sehingga menjadi pekerjaan tersendiri dari Ustad Guru dalam menghadapinya. Bagaimana merobah seorang banci dapat menjadi seperti lelaki tegas dan kuat sebagaimana lelaki pada umumnya, apalagi harus bersikap seperti tentara,bukan bersikap lebay di lapangan. “Namanya tak salah Hendara “ ujar Tan Gindo mencoba mengingat-ngingatkanya karena sudah begitu lama massa berlalu dan sedikit lupa. Bertubuh semampai, berlambut lujur dan berwajah tampan tapi kelihatan kemayu, apalagi ketika dia berbicara.
Setiap diperintahkan Komandan dalam barisan “Siap grak…” gaya Hendra dalam merespon sering jadi bahan ketawaan peserta sehingga bagi yang mereka yang ketawa selalu mendapatkan hukuman tambahan dari komandan, “ tak boleh menghina teman seperjuangan, push-up atau merayap bagi yang ketawa” ujar komandan dengan wajah membentak. Akhirnya suka tidak suka banyak peserta lain yang tidak tahan ketawa akhirnya sering mendapatkan jatah hukuman. Berbagai kata-kata motivasi dan ungkapan semangat untuk bisa berubah dan bertahan serta memiliki sifat keberanian; tiap sebentar dipompa sedemikian rupa sehingga membuat pesera siap untuk berperang dan berjuang “hidup mulia atau mati syahid”.
Pernah suatu ketika dalam materi pertempuran Hendra dapat jatah sebagai komandan tempur, dimana setiap komando yang dikeluarkannya harus dipatuhi anggotanya tampa sanggahan. Dalam sebuah teriakan untuk menyerbu Hendra mengeluarkan perintah pada anggotanya “Tembaak komandaaan, doaaar mati komandan” ujarnya, bak seorang banci apa adanya di luar pelatihan. Sontak semua orang anggota yang mendengar tertawa terbahak-bahak tak bisa menahan ketawa sejadi-jadinya termasuk Ustadz Guru-Sang Komandan-pun tak bisa menahan ketawa. Akhirnya setiap orang termasuk komandan sendiri akhirnya ikut melaksanakan hukuman tambahan dalam pelatihan tersebut. Begitu pelatihan berjalan terus berlalu dengan serius tapi juga riang gembira.
Sesuatu aneh sepertinya terjadi di akhir-akhir sesi pelatihan yang berlangsung hampir seminggu lamanya, kebetulan memang lagi musim liburan sekolah. Hendra yang tadinya orang banci sepertinya kena sulap, yang tadinya kelihatan banci tulen bisa seperti berubah wujud menjadi seperti lelaki yang sempurna, bahkan seperti tentara pada umumnya. Sikapnya berubah drastis meksi masih ada terlihat sisa-sisa kebanciannya, betapa takjub seluruh peserta akan hal itu. Ustadz Guru-Sang Komandan seperti menyimpan sebuah senjata rahasia bagaimana bisa merubah seseorang dalam waktu dekat seperti itu, “luar biasa ujar sekali keahlian Ustadz Guru-sang komandan” ungkap Tan Gindo mengenang.
Ustadz Guru; Sang Komandan, kemudian hari memang menunjukkan kalibernya sebagai kader mempuni, meski tidak punya basic ilmu akademik seperti gelar master, doktor apalagi profesor bahkan dengan banyak keterbatasan mampu jadi orang berpengaruh di Sumatera Barat terutama dalam bidang politik. Sejak aktiv di partai politik dan menjadi anggota perwakilan rakyat daerah tak pernah kalah, bahkan hingga jadi ketua dewan perwakilan rakyat di propinsi Sumatera Barat. Padahal kampanye politik yang dilakukan tidak seperti kader politik lainnya, gerakannya tidak terbaca bahkan terlihat senyap oleh lawan politiknya, disenggol kanan-kiri tapi masih tetap bertahan. Watak keras dan idealisnya masih terlihat menonjol bahkan sempat jadi perbincangan negatif teman sejawat aktivisnya.
Semenjak dilatih Ustad Guru; sang komandan, Tan Gindo terus aktif di ke Brigadean PII hingga selesai di Sekolah Menangah Atas mengikuti kegiatan dari periode ke periode. Pengalaman ke-Brigadean ini jualah yang juga menjadi modal Tan Gindo ketika memimpin Pramuka di Sekolah Menangah Atas, meski terkesan sedikit rancu. Ketika di organisasi PII, Tan Gindo seolah anti terhadap Pancasila sementara di Pramuka Tan Gindo sering mengucapka Sumpah Setia Dasar Darma Pramuka, “saya seperti orang yang hidup di dua alam” ujar Tan Gindo kembali mengenang.
Namun, bukan tidak ada dasar berfikirnya anak-anak PII bersikap seperti itu, prinsip keyakinan dalam beragama adalah sesuatu yang hak dasar yang dimiliki manusia, sebagaimana yang telah tertuang dalam konstitusi HAM internasional; setiap orang memiliki pandangan hidup sesuai keyakinan dan kepercayaannya. “Khusunya dalam berbangsa anak-anak PII tetap mengutamakan Pancasila sebagai dasar Negara menjadi konstitusi resmi, bukan menjadikan dia bertolak belakang” ujar Tan Gindo sambil mengenang kembali sejarah berdirinya PII dimassa-massa pasca kemerdekaan.
Bagaimanapun anak-anak PII telah membuktikan diri sebagai pembela bangsa digaris depan bersama para pejuang kemerdekaan ketika dulu dimassa pasca Kemerdekaan. Hanya karena bangsa Indonesia sendirilah yang akhirnya mengkebirikan kehadiran anak-anak PII yang pernah berjasa dalam perjuangan bangsa, seperti ditenggelamkan oleh Bapak-Ibu sendiri dan harus meng-ikhlaskan diri sejarah massa lampaunya di”haram”kan dalam buku-buku pelajaran sejarah bangsa karena pernah menolak kehadiran azas tunggal Pancasila sebagai landasan berjuang oranisasi.
Begitulah karakter para kader PII terbentuk dan bisa berubah menjadi watak-watak pemberani dan kritis. Seandainya PII, HMI dan GPII tidak dianggap anak haram di negeri sendiri bahkan di fasilitasi sedimikian rupa di Indonesia “entah seperti apa bangsa Indonesia ini dipandangan dunia, mungkin akan jauh lebih hebat dan disegani karena memiliki prinsip dan tekad yang kuat untuk bisa memerdekakan diri menjadi manusia se-utuhnya, berdaulat dan merdeka 100% sebagaimana tekad para pendiri bangsa terdahulu” ungkap Tan Gindo menutup pembicaraannya.
Sikap optimis inilah yang berurat dan berakar dalam hidup Tan Gindo untuk menggapai massa depan, tidak pernah rasa takut untuk “menantang matahari” dalam menjalani hidupnya. Ketika seseorang tetap berkata positif (optimis) dan memiliki tekad yang kuat untuk dapat terus belajar dengan berbagai kesalahan dan kegagalan dalam mencapai tujuan dan cita-cita, cepat atau lambat pasti akan bisa terwujud jua. Semua penderitaan dan pengorbanan pasti akan membuahkan hasil, setidaknya untuk diri sendiri, keluarga dan generasi massa depan. Maka jangan tanggung-tanggung untuk mendapatkan sesuatu jika ingin berdaya-guna, sebagaimana pituah Minang.
“Kato dibaok raso, bahaso dibaok badan, alun takilek alah takalam, ikan di aia alah tau jantan jo batino. Baguru kapadang data, dapek ruso baling kaki, baguru kapalang aja, nan bak bungo kambang tak jadi. Kalau dek pandang sapinteh lalu, banyak pahamnyo tagaliciak, pandai tak rago dek ba guru, salam tak sampai pado kasiah. Kato guru kato batuah, kato saudaro paringatan, kuncilah bathin jan taruah, budi nan jan sampai nampak. Kito nan bukan cadiak pandai, hanyo manjawek pituah dari guru. Pituah guru nan dipakai, nak jadi paham jo ukuran. Pusek jalo kumpulan ikan, pucuak usah tarateh, urek ijan taganjak. ”
(Kata-kata menunjukkan emosi dan ucapan menunjukkan perilaku seseorang, semua perilaku tersebut akan terlihat atau mudah dipahami dengan cepat. Suatu pengetahuan yang tanggung dipelajari tidak lengkap dan cukup, kurang bisa dimanfaatkan atau befaedah. Dalam mempelajari sesuatu jangan setengah-setengah harus sampai setuntas-tuntasnya agar tidak salah melangkah. Keteguhan bathin menyimpan rahasia seseorang, menjadikan orang yang teguh dan mulia budinya. Nasehat guru dan pelajaran yang diajarkannya kepada murid atau generasi mendatang, adalah menjadi pedoman dalam kehidupan. Pimpinan seperti ibu-bapak, senior, teman dan guru, merupakan tumpukan dari segala kebaikan untuk generasi mendatang untuk merobah perilaku dan perbuatan agar jangan salah melangkah)
Bersambung ke bag. 11