Oleh: Fatma Poni Mardiah, SE, MSM
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas
Fast fashion telah menjadi salah satu kekuatan utama dalam industri fashion global, menawarkan pakaian dengan harga murah dan desain yang selalu mengikuti tren terbaru. Konsep ini memanfaatkan produksi massal dengan waktu yang sangat singkat, memungkinkan pakaian baru masuk ke pasar hanya dalam hitungan minggu. Keunggulan seperti harga yang terjangkau dan desain yang modis menjadikannya banyak diminati terutama bagi generasi muda.
Selain itu, perkembangan teknologi dan platform belanja online semakin mempercepat pertumbuhan konsumsi fast fashion. Kini, konsumen dapat membeli pakaian dengan mudah melalui media sosial atau aplikasi, memilih metode pembayaran yang fleksibel seperti uang elektronik atau pembayaran di tempat. Kemudahan ini telah mengubah pola konsumsi masyarakat, dari sebelumnya harus mengunjungi toko fisik menjadi aktivitas belanja yang dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja.
Namun, dibalik kenyamanan tersebut, fast fashion menghadapi kritik tajam karena dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat. Industri ini dikenal sebagai salah satu penyumbang limbah terbesar di dunia. Produksi massal yang tidak ramah lingkungan, limbah tekstil yang sulit terurai, dan eksploitasi tenaga kerja di negara berkembang menjadi masalah serius yang sulit diabaikan. Limbah pakaian yang terus meningkat menyebabkan tekanan besar pada lingkungan, termasuk pencemaran air dan tanah. Di sisi lain, siklus tren yang sangat cepat mendorong perilaku konsumsi berlebihan yang semakin memperparah masalah ini.
Menanggapi tantangan tersebut, keberlanjutan (sustainability) telah menjadi konsep yang banyak disorot dalam beberapa tahun terakhir. Keberlanjutan dalam konteks fashion bertujuan untuk menciptakan produk yang tidak hanya memenuhi kebutuhan konsumen saat ini, tetapi juga meminimalkan dampak terhadap generasi mendatang. Salah satu pendekatan yang relevan adalah melalui pola pikir Sustainable Clothing Consumption Attitude (SCCA), yang mengutamakan proses pembelian, penggunaan, hingga pembuangan pakaian secara bertanggung jawab. Konsumen dengan sikap ini cenderung mempertimbangkan faktor seperti bahan yang digunakan, dampak lingkungan dari proses produksi, hingga bagaimana pakaian dapat didaur ulang setelah digunakan.
Di Sumatera Barat, fenomena fast fashion semakin marak, terutama di kalangan generasi muda di kota-kota besar seperti Padang dan Bukittinggi. Generasi muda menjadi target utama karena mereka lebih mudah terpapar tren melalui media sosial dan lebih responsif terhadap perubahan gaya. Banyak pelaku usaha lokal yang memanfaatkan peluang ini dengan menjual produk fashion yang murah dan cepat mengikuti tren.
Penelitian yang dilakukan oleh tim dosen Universitas Andalas, yang diketuai oleh Fatma Poni Mardiah, SE, MSM, menganalisis lebih dalam mengenai perilaku konsumen fast fashion di Sumatera Barat. Penelitian ini menyoroti pengaruh sikap, norma subjektif, kontrol perilaku yang dirasakan, orientasi fesyen, dan konsumsi mencolok terhadap niat pembelian (purchase intention) dan perilaku pembelian (purchase behavior), dengan moderasi sustainability advocacy.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sustainability advocacy belum berpengaruh signifikan terhadap perilaku pembelian. Konsumen di Sumatera Barat lebih terfokus pada orientasi fashion dan konsumsi mencolok, yang mencerminkan keinginan untuk mengikuti tren dan menunjukkan status sosial melalui pakaian yang mereka gunakan. Sementara itu, norma subjektif dan kendali diri konsumen ternyata tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap niat membeli.
Temuan ini menunjukkan bahwa konsumen fast fashion lebih terpengaruh oleh motivasi individu, seperti preferensi gaya dan citra diri, dibandingkan oleh tekanan sosial atau kesadaran keberlanjutan. Ini menjadi tantangan besar bagi promosi fashion yang lebih bertanggung jawab. Konsumen yang sadar akan pentingnya keberlanjutan cenderung menghindari produk fast fashion, namun jumlahnya masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan konsumen yang mengutamakan tren cepat dan harga murah.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak, mulai dari produsen hingga konsumen. Produsen dapat mengambil langkah dengan menciptakan produk fesyen yang tetap menarik namun ramah lingkungan, seperti menggunakan bahan daur ulang atau memperkenalkan model bisnis berbasis ekonomi sirkular. Di sisi lain, kampanye pemasaran yang kreatif diperlukan untuk mengedukasi konsumen tentang pentingnya konsumsi yang bertanggung jawab. Kolaborasi dengan influencer lokal yang peduli terhadap isu lingkungan atau pengenalan program reward untuk pembelian produk berkelanjutan dapat menjadi cara efektif untuk menarik perhatian generasi muda.