27.5 C
Padang
Selasa, Mei 13, 2025
spot_imgspot_img
Beritasumbar.com

Buya Hamka, Tokoh Pendidikan Islam
B

Kategori -
- Advertisement -
Oleh : Syaiful Anwar

Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh

A. Riwayat Hidup Hamka

Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah atau Hamka,  lahir  di Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat pada Ahad 16 Februari 1908 dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah, atau sering disebut Haji Rasul‖, seorang ulama yang pernah mendalami Islam di Mekkah dan pelopor kaum mudo dan tokoh Muhammadiyah Minangkabau. Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung (Anwar, 2017: 59).  

Waktu Hamka dilahirkan, dan dukun menyampaikan bahwa anaknya seorang laki-laki, dengan spontan Haji Rasul mengucapkan sepuluh tahun. Kemudian mertuanya bertanya tentang maksudnya dengan kata-kata sepuluh tahun, lalu beliau menjawab, sepuluh tahun ia akan dikirim belajar ke Mekkah‖, supaya suatu hari ia akan menjadi orang yang alim seperti aku, seperti kakeknya, dan seperti kakekkakeknya dulu. 

Sejak kecil, Hamka menerima dasar-dasar agama dan belajar membaca Al-Quran dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia dibawa ayahnya ke Padangpanjangn. Usia 7 tahun masuk ke sekolah, meski akhirnya ia keluar dari sekolah itu setelah 3 tahun belajar, dan malah belajar mengaji dengan ayahnya sampai khatam. Sejak Zainudin Labai El-Yunusi mendirikan sekolah Diniyah di Pasar Usang Padangpanjang, Hamka lalu dimasukkan ayahnya ke sekolah ini. Pagi hari Hamka pergi kesekolah desa dan sore hari pergi mengaji ke sekolah Diniyah, dan pada malam hari berada di surau dengan temantemannya. Seperti itulah kegiatan rutinitas yang selalu dilaluinya. Aktivitas yang  begitu monoton membuat Hamka jenuh. Dengan rutinitas yang bagi Hamka cukup membosankan, tidak ayal memancing perilaku menyimpang dalam pertumbuhan Hamka, sehingga dalam menghilangkan kebosanannya sejak  kecil ia senang nonton film. Bahkan karena hobinya ini, ia pernah diam-diam mengelabui guru ngajinya karena ingin menonton Film Eddie Polo dan Marie Walcamp. Kebiasaan menonton film ini berlanjut terus, dan kerapkali ia mendapat inspirasi menulis karya-karya sastra dari menonton film ini. Hal ini dibenarkan oleh A.R. Sutan Mansur, orang yang sangat berpengaruh dalam pertumbuhan pribadi Hamka sebagai seorang muballigh. 

Selanjutnya pada tahun 1918, disaat Hamka sudah dikhitan di kampung halamannya Maninjau, dan di waktu yang sama pula ayahnya Syekh Abdul Karim Amrullah, kembali dari tanah Jawa. Kemudian di surau Jembatan Besi, tempat Syekh Abdul Karim Amrullah memberikan proses pendidikan agama dengan metode lama, diubah menjadi madrasah yang kemudian dikenal dengan Thawalib School. Tentunya dengan  keinginan, kelak anaknya jadi ulama sesuai dengan harapannya. Syekh Abdul Karim Amrullah memasukkan Hamka ke Thawalib School yang  diiringi Hamka harus berhenti dari sekolah Desa.

Dalam perkembangan awalnya, Thawalib School ini masih belum mampu melepaskan diri dari cara-cara lama dalam proses pembelajaran agama. Kendatipun demikian bagian dari perubahan sudah mulai tampak mewarnai lembaga pendidikan ini. Malah menurut Mahmud Yunus, Surau Jembatan Besi yang sejak dulu memberikan pelajaran agama dengan pola lama, merupakan surau pertama yang mempergunakan sistem klasikal. Sekalipun sistem yang menerapkan menghafal ini yang membuat Hamka cepat bosan dan memusingkan kepalanya sendiri.  

Kondisi dengan pola belajar seperti di atas tidak menarik bagi Hamka, mengakibatkan keseriusannya untuk belajar tidak tumbuh dari dalam hatinya, namun terpaksa dari kehendak ayahnya. Keadaan inilah yang membuat Hamka betah berada di perpustakaan umum milik Zainuddin Labai El-Yunusi dan Bagindo Sinaro. Hamka menjadi asik di perpustakaan ini mendalami buku-buku cerita dan sejarah. Perpustakaan tersebut yang diberi julukan dengan nama Zainaro, menumbuhkan semangat tertentu bagi Hamka. Tekanan hati yang dirasakannya seolah mendapat tempat pelarian di perpustakaan ini. Ide yang polos dari seorang anak-anak dapat berkembang dan tumbuh, namun seiring dengan pertumbuhan idenya itu, tidak serta merta mendapat mendapat dukungan dari ayahnya, sampai ayahnya pernah mengucapkan kata Apakah engkau akan menjadi orang alim atau hanya akan menjadi tukang cerita? kritikan ini ia dapatkan ketika tertangkap basah sedang asik  membaca di perpustakaan.

Di usianya yang ke 12 tahun adalah merupakan goncangan jiwanya yang cukup berat. Hal demikian dikarenakan perceraian ayah dan ibunya yang tidak terbantahkan. Karena demikianlah suatu keharusan menurut adat. Suatu hal yang sangat mungkin bahwa peristiwa ini yang kemudian dapat membentuk sikap Hamka  yang  memandang  praktik adat  tidak sesuai ajaran agama Islam. Adat, terutama adat kawin cerai, yang tidak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas, menurut Hamka, Seumpama batu yang sudah berlumut sudah masanya untuk disimpan. 

Setiap ketetapan yang dijalankan didalam adat, serta terlalu mudahnya dalam menafsirkan tentang kebolehan untuk berpoligami, kendatipun bedalih merupakan ajaran Islam dan sudah tertanam dalam pemikiran orang Minangkabau. Pemahaman yang demikian, akan memberikan kemungkinan yang luas bagi para ulama, sebagai seorang yang terpandang di tengah masyarakat, untuk mendapatkan pembenaran melakukan kawin cerai dengan berulang-ulang. Kenyataan ini pula yang didapatkan oleh Hamka dalam keluarganya, yang berujung pada si Hamka kecil, menjadi anak tinggal, yang pada gilirannya dapat membentuk kenakalan dalam keseharian Hamka. 

Kenyataan yang demikian membuat Hamka merasa ingin jauh dari kehidupan ayahya. Keinginan yang besar untuk pergi ke tanah Jawa, sebagai akibat dari pemahamannya yang didapat sebagai bentuk informasi di perpustakaan Zainaro. Hamka mengambil keputusan yang boleh dibilang nekat, berangkat ke tanah Jawa seorang diri. Tapi kenyataan tidak semulus yang dibayangkan, pelariannya terhenti di Bengkulu karena ia terkena penyakit cacar. Sampai dua bulan lamanya Hamka berada di pembaringan. Setelah sembuh ia kembali pulang ke PadangPanjang dengan tubuh dan wajah dipenuhi bekas cacar. Kegagalan ini tidak membuat Hamka putus asa. Setahun kemudian, tanpa dapat dihalangi oleh ayahnya, Hamka berangkat kembali untuk yang kedua kalinya menuju tanah Jawa pada tahun 1924.

Hamka menetap di tanah Jawa relatif singkat, kurang lebih dari satu tahun. Namun bagi Hamka  telah mampu memberikan ‖semangat baru‖ baginya dalam mempelajari agama Islam. Pencarian ilmu ia  mulai dari kota Yogyakarta, di mana kota tersebut merupakan tempat lahirnya organisasi Muhammadiyah. Melalui Ja‘far Amrullah, pamannya, Hamka kemudian memeroleh kesempatan mengikuti kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Syarikat

Islam.

Dalam perjalanannya ia juga bertemu dengan Hos Tjokroaminoto dan menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada Hos Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan K.H. Fakhrudin. Saat itu, Hamka mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta. Tidak hanya sampai disitu, Hamka juga mendengar langsung ceramahnya tentang Islam dan Sosialisme. Disamping itu ia berkesempatan bertemu dengan beberapa tokoh penting lainnya, seperti Haji Fakhruddin dan Syamsul Rijal. Dalam perantauannya mengisaratkan bahwa Yogyakarta mempunyai makna tersendiri dalam pertumbuhan dan perkembangan pemikiran

Hamka sebagai seorang pejuang dan penganjur Islam. Di mana kota tersebut telah memberikan sesuatu dalam mendorong kesadaran keagamaan Hamka dan memperkokoh semangat kepemudaannya, meskipun belum dapat dilepaskannya secara keseluruhan sifat kekanak-kanakannya. Namun ia sudah dipandang sebagai pemuka di antara rekanrekannya. Ia sendiri menyebutkan bahwa di Yogyakarta Islam itu sebagai sesuatu yang hidup, yang mengedepankan kedinamisan dalam pendirian dan perjuangan.

Setelah malang-melintang musafir dan belajar di Yogyakarta, semangat keislaman yang tertanam dalam hatinya bermanifestasi dengan bentuk gerakan-gerakan sosial dan politik serta agama di Yogyakarta, dapat membuat Hamka terlarut di dalamnya. Sebagaimana yang diceritakannya sendiri, ia  pernah ikut serta dalam keramaian peringatan Maulid Nabi yang sangat meriah, yang dalam perhelatan besar itu berbaris sambil mengibarkan bendera-bendera yang bertuliskan Al-Islam‖ yang berwarna hijau. Sikapnya yang konsisten terhadap agama, menyebabkannya acapkali berhadapan dengan berbagai rintangan, terutama terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Keteguhan sikapnya ini membuatnya  dipenjarakan  oleh Soekarno dari tahun 1964 sampai 1966.

Tumbuhnya kesadaran baru dalam memandang wajah Islam yang diperolehnya di Yogyakarta, kemudian beriring dengan pengukuhannya di saat ia berada di Pekalongan, selama lebih kurang enam bulan. Dari kedekatannya dengan menantu ayahnya AR Sutan Mansur yang menetap di Pekalongan, dapat memberinya ruh perjuangan dalam mempertahankan kemuliaan hidup. Sejak saat itu Hamka meyakinkan dirinya untuk aktualisasi hidupnya sebagai seorang pemegang amanah Allah dan penyampai risalah agama Islam. Dalam usia yang terbilang muda, 17 tahun, Hamka mampu berpidato di mana-mana dengan landasan gelora dari semangatnya yang baru.

Dengan memiliki modal intelektual dan semangat pergerakan seperti yang digambarkan di atas, Hamka kembali ke Minangkabau. Sejak itu ia mulai memperbaiki dan menyempurnakan arah yang dipilihnya sebagai seorang tokoh sekaligus ulama dalam arah perkembangan pemikiran dan pergerakan Islam di Indonesia yang semakin pesat. Dalam usianya yang masih 17 tahun saat ia kembali ke Minangkabau dalam perjalanannya dari tanah Jawa, Hamka pun telah tumbuh menjadi seorang yang dewasa, di tengah-tengah lingkungannya. Ia mulai berani untuk tampil berpidato, bertabligh di kalangan masyarakat Minangkabau yang telah melahirkan dan membesarkannya. Ia pun mulai membuka kursus pidato bagi teman-teman sebayanya di Surau Jembatan Besi. Kemampuan dasar alami yang dimiliki oleh Hamka dalam mengolah dan menyusun kata-kata, baik dalam berorasi maupun dalam menulis, mampu mengantarkan Hamka pada tempat yang diistimewakan di kalangan teman-temannya. Ia kreatif dalam membukukan serta menyusun ulang pidato  teman-temannya dan kemudian diterbitkan dalam bentuk majalah yang dipimpinnya yang diberi nama Khatibul Ummah

Dalam kenyataannya, jalan yang mulai perlahan diretas oleh Hamka, bukanlah tanpa hambatan dan tantangan. Bahkan ungkapan yang tidak bersahabat itupun datang dari temantemannya dan kalangan masyarakat Minangkabau yang dianggap memiliki latar belakang pendidikan dan pemahaman keagamaannya yang didasari oleh kefasihan ilmu Nahwu dan Sharaf, mereka beranggapan bahwa  Hamka tidak mempunyai kelebihan. Seperti yang diungkapan mereka bahwa Hamka hanyalah seorang ―tukang pidato‖ saja. Hamka bukanlah ahli agama atau alim, bahkan ia tidak mempunyai modal yang kuat sebagai seorang ulama, yakni tidak dapat memahami sejarah mendalam ilmu Bahasa Arab.

Dalam anggapan masyarakat bahwa Hamka belum memiliki modal dasar yang harus dikuasai layaknya sebagai seorang ulama. Menurut masyarakat Minangkabau, Hamka memang pandai, namun kemahirannya seperti yang disebutkan oleh ayahnya, ―cuma pandai menghafal syair, bercerita masalah sejarah, seperti seekor burung beo‖. Pada kenyataannya ungkapan miring dalam bentuk kritikan yang dilontarkan oleh masyarakat menimbulkan pukulan tersendiri dalam semangat Hamka. Di mana kenangan pahit diwaktu ia masih kecil dalam perasaannya seakan terulang kembali. Apalagi di saat Hamka mengetahui bahwa gadis tunangannya telah menikah dengan pemuda lain. Pukulan kritikan yang menimbulkan rasa traumanya di masa kecil menjadi salah satu faktor Hamka membulatkan tekadnya untuk mengambil sebuah keputusan untuk pergi ke Mekkah. Boleh dikatakan suatu bentuk tempat pelarian yang kedua kalinya atas sikap kurang pedulinya  keluarga dan ayahnya terhadap mental dan nasib Hamka.

Dengan memulai hidup di Kota Mekkah, aktivitasnya sebagai seorang  aktivis  yang  telah tertanam kokoh dalam jiwanya semenjak tinggal di Yogyakarta, membuat Hamka tidak tinggal diam. Semenjak ia berangkat dari tanah air pada bulan Februari 1927, menjelang pelaksanaan ibadah haji, Hamka bersama dengan beberapa calon jamaah haji lainnya sempat mendirikan sebuah wadah organisasi yang bernama Persatuan Hindia Timur. Organisasi ini mempunyai tujuan untuk memberikan pelajaran agama, terutama manasik haji  terhadap  para  calon jamaah haji dari Indonesia.

Dilain hal, dalam mewujudkan keinginannya besama teman-teman di organisasi dalam memberikan pelajaran agama dalam manasik haji, harus mendapatkan izin dari Amir Faisal. Dengan kemampuan berbahasa Arab yang pas-pasan, Hamka memberanikan diri untuk tampil sebagai ketua delegasi untuk menghadapi Amir tersebut.  Ini merupakan sebuah keberanian  yang  sangat  langka  di kalangan calon jamaah haji asal Indonesia.

Dilain masa, Hamka pun telah menyelesaikan berbagai macam aktivitasnya di kota Mekkah. Tentu waktunya untuk pulang ke kampung halaman, dengan menyandang gelar Haji‖, suatu nama yang menjadi sebuah legitimasi sebagai seorang ulama dalam pandangan masyarakat Minangkabau. Hamka pun seolah memberikan penjelasan bahwa ia hadir di tengah berbagai macam perkembangan pemikiran keagamaan di Minangkabau. Karena sebelumnya Hamka dianggap tidak mempunyai kemampuan yang layak, sekarang sudah menjadi seorang anak yang siap untuk menggantikan keulamaan ayahnya, yakni Syekh Abdul  Karim Amrullah.

Meskipun berbekal dengan harapan masyarakat dan keluarga, bahwa Hamka siap dalam menggantikan keulamaan ayahnya. Namun hal tersebut tidak dapat mengubah arah keinginan yang sudah tertanam dalam jiwa Hamka sebagai seorang aktivis. Dan dalam hal itu, beberapa waktu setelah ia menikah dengan Siti Rahmah, ia mulai aktif sebagai pengurus Muhammadiyah Cabang Padangpanjang. Bahkan tidak hanya sampai di situ aktivitasnya, ia pun dipercaya sebagai pimpinan sekolah yang diberi nama Tabligh School.

Secara berangsur-ansur, pengukuhan Hamka sebagai tokoh dan penyampai ajaran agama Islam secara pasti ia mantapkan. Pada tahun 1929 Hamka menjadi guru agama di

Padang panjang. Setelah itu, di waktu kongres Muhammadiyah ke-19 yang berlangsung di Bukittinggi pada tahun 1930, Hamka tampil sebagai pembicara dengan judul Agama Islam dan Adat Minangkabau. Lalu ketika Muktamar ke-20 digelar di Yogyakarta pada tahun 1931, Hamka pun kembali tampil sebagai pembicara dengan ceramah yang berjudul Muhammadiyah di Sumatera. Setahun kemudian, atas kepercayaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Hamka diutus ke Makassar menjadi muballigh. Pada tahun 1933 ia menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Semarang, dan pada tahun 1934 ia diangkat menjadi anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah.

Setelah Hamka pulang dari Makassar, iapun mendirikan Kulliyatul Muballighin di Padangpanjang, di samping ia aktif menjadi seorang muballigh. Kemudian pada tahun 1936 Hamka pindah ke Medan. Di kota ini Hamka berkiprah bersama dengan M. Yunan Nasution menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat. Menurut M. Yunan Nasution, penerbitan majalah ini dapat memberikan andil yang tidak sedikit bagi perkembangan pengarang dan pujangga Hamka di masa akan datang. Secara berangsur karya-karyanyapun mulai diterbitkan, seperti Di Bawah Lindungan Ka‟bah, Pedoman Muballigh Islam, Teggelamnya Kapal Van Der Wijk, Tasawuf Modern, Filsafat Hidup,  Merantau ke Deli dan Tuan Direktur.

Waktu tentara Jepang berhasil mendarat di kota Medan pada tahun 1942, kehadiran Jepang tentunya berdampak terhadap aktivitas masyarakat, termasuk didalamnya kegiatan Hamka. Salah satu contohnya majalah Pedoman Masyarakat dihanguskan. Bendera kebanggaan Indonesiapun tidak boleh dinaikkan lagi. Hampir semua masyarakat kecewa dengan keadaan ini. Namun walaupun demikian, Hamka masih mendapat kedudukan yang istimewa dalam pemerintahan jepang. Sebagai tokoh Muhammadiyah dan pemuka masyarakat, Hamka diangkat sebagai anggota Syu Sangi Kai, Dewan Perwakilan Rakyat yakni pada tahun 1944. Dalam kedudukannya ini, Hamka diminta pertimbangan oleh pemerintah Jepang untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dari kalangan umat Islam. Posisi Hamka sebagai ―anak emas‖ Jepang tentunya tidak dapat untuk dipungkiri, keadaan ini membuat Hamka menjadi tersisih dalam pandangan masyarakat Medan, terutama organisasinya Muhammadiyah. Kritikan yang bernada sumbang sering ia terima, sehingga membuat Hamka membuat satu istilah dengan keadaan ini dengan sebutan lari malam dari kota Medan. 

Akhirnya pada tahun 1945, Hamka meninggalkan kota Medan kemudian ia menetap kembali di kota Padangpanjang. Kedatangan Hamka di Padangpanjang disambut gembira oleh sahabat-sahabatnya, dan kepemimpinan Kulliyatul Muballighin kembali diserahkan kembali kepada Hamka. Konsentrasinya sekarang terpusat terhadap pengelolaan sekolah ini. Peluang untuk memulai kembali menulis karyakarya yang digemari oleh masyarakat berangsur ia tekuni. Sehingga pada masa ini kembali terbit buku-bukunya; Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi dan dari Lembah Cita-cita.

Dalam kurun waktu yang tidak lama semenjak kepulangannya ke Padangpanjang, Hamka pun terpilih menjadi ketua Muhammadiyah dalam Konferensi Muhammadiyah di Padangpanjang pada tahun 1946. Kedudukannya sebagai Ketua Muhammadiyah membuat Hamka memeroleh banyak kesempatan untuk berkeliling Sumatera Barat, dengan sekaligus mempunyai tujuan untuk merangsang cabang-cabang Muhammadiyah untuk meningkatkan kegiatan penyiaran Islam dalam rangka meneguhkan keutuhan dan persatuan bangsa. Keadaan seperti ini sangat menguntungkan bagi Hamka, sehingga kebolehannya sebagai penulis dan penceramah semakin dikenal. Hamka dipandang sebagai pemimpin agama dan juga sebagai pejuang kebangsaan. 

Ketika agresi Belanda yang pertama meletus pada tahun 1947, Walikota Padang Bagindo Aziz Chan wafat  ditembak oleh Belanda, memicu bangkitnya perlawanan bersenjata di Negeri Minangkabau untuk mengusir penjajah Belanda. Maka untuk keperluan membangkitkan semangat perjuangan rakyat Sumatera Barat, dibentuklah sebuah badan yang dikenal dengan nama Front Pertahanan Nasional (FPN). Hamka diberi kepercayaan untuk mengetuai FPN tersebut.

Setelah tercapainya gencatan senjata dengan pihak Belanda pada tahun 1949 dan mulailah disusun pemerintahan Republik Indonesia untuk Sumatera Tengah, Hamka sadar bahwa pekerjaan yang digagas itu bukanlah hal yang mudah, karena sudah mengarah kepada bidang pemerintahan. Sementara ia hanyalah seorang penulis dan pujangga, di samping sebagai tokoh agama tengah-tengah masyarakat. Namun ia memilih kegiatan itu dengan penuh keyakinan, dan dengan kesungguhannya Hamka terlihat dapat bertahan dengan aktivitasnya itu. Oleh karena itu Hamka berkeyakinan bahwa untuk memudahkan kegiatan-kegiatannya sebagai seorang muballigh dan penulis Islam lalu ia memutuskan untuk mencoba pindah ke Jakarta. Pada tanggal 18 desember 1949, dengan semangat dan keyakinannya Hamka meninggalkan Minangkabau menuju kota Metropolitan. 

Ternyata di tempat barunya kota Jakarta, dapat menawarkan kepadanya banyak kemungkinan. Setelah ia berada di ibukota beberapa waktu, ia diterima sebagai anggota koresponden surat kabar Merdeka dan majalah Pemandangan. Autobiografinya Kenang-Kenangan Hidup di waktu itu juga mulai ditulisnya. Kota Jakarta juga memberikan kesempatan kepada Hamka pilihan yang baru, yakni kesempatan untuk menjadi seorang politik praktis. Hamka memilih untuk bergabung dengan partai politik Islam yaitu Masyumi.

Terpilihnya Hamka menjadi anggota konstituante dari parta Masyumi diwaktu berlangsungnya pemilihan umum di Indonesia pada tahun 1955, adalah sebagai bukti bahwa kegiatan politik praktis tidaklah sampai mengganggu aktivitasnya sebagai seorang muballigh, penulis dan sekaligus pejuang Islam. Karena melalui konstituante Hamka dapat dengan gigih memperjuangkan dan mengedepankan kepentingan Islam. Dalam mengutamakan dan memperjuankan kepentingan Islam itu sendiri sesuai dengan garis kebijakan dari partai Masyumi sendiri Hamkapun tampil dengan membawa usulan untuk mendirikan Negara yang berdasarkan Al-Quran dan Sunah Rasulullah.

Hamka memiliki pandangan tersendiri tentang Islam di Indonesia. Menurutnya, Islam adalah pondasi dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang sudah tertanam kokoh dalam kebudayaan tradisional. Bahkan di samping itu, Hamka berpendapat, kedudukan Islam begitu kuat berakar dalam perkembangan kebudayaan Indonesia, malah melebihi kesakralan Pancasila yang menjadi motor revolusi  dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada akhirnya tidak dapat disangkal bahwa perjuangannya untuk mengedepankan pembelaan terhadap agama Islam belum membuahkan hasil.

Pada tahun 1952, pemerintah Amerika Serikat mengundang Hamka. Saat itu Hamka adalah pejabat di Penasihat Departemen Agama. Sejak Hamka berkunjung ke Amerika Serikat, Hamka mempunyai pandangan yang lebih luas dan terbuka terhadap bangsa di luar Islam. Sepulangnya Hamka menerbitkan sebuah buku yang mengisahkan tentang perjalanannya dengan judul Empat Bulan di Amerika sebanyak dua jilid. Setelah itu aktivitas Hamka semakin banyak, dengan ditunjuknya Hamka menjadi anggota misi kebudayaan ke Muangthai pada tahun 1953, berselang satu tahun Hamka mewakili Departemen Agama untuk menghadiri peringatan mangkatnya Budha ke-2500 di Burma pada tahun 1954, dilanjutkan dengan menghadiri Konferensi Islam di Lahore tahun 1958. Tidak sampai disitu kegiatan lawatannya, bahkan ia memenuhi undangan Universitas Al-Azhar Kairo dalam rangka memberikan ceramah tentang pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia. Pada gilirannya penampilan Hamka itu membuahkan hasil gelar Doktor Honorius Causa.

Perkembangan politik di Indonesia semakin memburuk, ditambah dengan dikeluarkannya Dekrit presiden pada tanggal 5 Juli 1959 oleh Soekarno, yang menegaskan Indonesia melaksanakan sistem Demokrasi Terpimpin. Di mana permulaan Dekrit ini dikeluarkan masih mempunyai pengertian memelihara demokrasi yang dipimpin oleh UUD 1945. Namun pengaruh yang kuat dari Partai Komunis Indonesia, demokrasi terpimpin mulai berubah karena diselewengkan dengan perlahan, sehingga Pancasila dan UUD 1945 hanya semboyan kosong belaka, isinyapun diganti dengan Nasakom (Nasional Agama Komunis).

Sebagai seorang tokoh masyarakat dan agama, Hamkapun tidak luput dari hasutan. Ia dituduh menggagas rapat gelap menyusun rencana membunuh presiden Soekarno. Kemudian untuk memojokkan Hamka pada situasi yang sulit, Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan badan kebudayaan PKI menuduh Hamka sebagai plagiator karya Mustafa Lutfi  al-Manfaluti.

Semakin lama pengaruh PKI semakin meningkat dan Soekarno benar-benar dalam kekuasaannya. Atas tuduhan merencanakan pembunuhan presiden itu, Hamka lalu ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Di dalam tahanan, bakatnya tidak pernah padam, sehingga ia menyelesaikan Tafsir Al-Azhar dan disusul dengan karya yang lain yakni Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao

Belajar dari pengalaman pahit yang dialami Hamka, seperti yang dijelaskan di atas.  Hamka pun mengambil sebuah keputusan untuk memusatkan perhatiannya untuk kegiatan-kegiatan syiar Islam.  Kemudian ia jadi pimpinan pada majalah Panji Masyarakat dan sekaligus menjadi imam besar Masjid Al-Azhar, Hamka juga sering dipercaya sebagai wakil pemerintahan Indonesia dalam pertemuan-pertemuan Islam Internasional, seperti konferensi Negara-negara Islam yang dilaksanakan di Rabat pada tahun 1968, Muktamar Masjid yang digelar di Makkah pada tahun 1971, seminar Tentang Islam dan Peradaban di Kualalumpur, dilanjutkan dengan Upacara Peringatan Seratus Tahun Muhammad Iqbal bertempat di Lahore dan mengikuti Konferensi Ulama di Kairo tahun 1977.

Aktivitas yang begitu banyak itu dijalani sebagian besar di saat usianya sudah mulai tua, tentu akan berdampak kepada terganggunya kesehatan Hamka sendiri, sehingga Hamka masuk rumah sakit menjelang hari peringatan ulang  tahunnya yang ke-70 tahun, bertepatan pada tanggal 16 Februari 1978. Dengan perawatan yang maksimal, kesehatan Hamka mulai pulih, lalu Hamka pulang ke rumah dan lebih banyak menunggu orang-orang datang ke rumahnya untuk bertukar pikiran tentang persoalan kehidupan dan masalah-masalah agama.

Dua tahun menjelang wafatnya, Hamka mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia yang ia pimpin sejak tahun. Sebab dari mundurnya Hamka dari jabatannya adalah perayaan Natal bersama antara Umat Kristen dan penganut Umat lainnya termasuk agama Islam. Sementara pada waktu itu Majelis Ulama Indonesia  yang dipimpin oleh Hamka telah mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya seorang Muslim mengikuti perayaan Natal.

Pada gilirannya fatwa tersebut mendapat kecaman dari Menteri Agama yang dijabat oleh Alamsyah Ratu Perwiranegara. Dalam pertemuan dengan Majelis Ulama Indonesia, Menteri Agama akan mengundurkan diri bila fatwa dari Majelis Ulama itu tidak dicabut. Namun Hamka mempunyai pandangan, bahwa Menteri Agama tidak perlu untuk mengundurkan diri dari jabatannya, sebab pelarangan Natal bersama itu merupakan penetapan fatwa Majelis Ulama Indonesia, bukan dari Kementerian Agama. Untuk itulah Hamka sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia mencabut fatwa itu dari peredarannya. Pencabutan fatwa itu, sebagaimana yang dituliskan Hamka dalam suratnya tanggal 18 Mei 1981 yang dibacakan dalam rapat Majelis Ulama Indonesia pada tanggal yang sama, tidak serta-merta mengandung makna bahwa pembatalan terhadap fatwa yang sudah dikeluarkan. 

Dua bulan setela Hamka mengundurkan diri dari Ketua Majelis Ulama Indonesia, ia kembali masuk rumah sakit akibat serangan jantung yang cukup berat. Lebih kurang satu minggu Hamka dirawat di rumah sakit Pertamina Jakarta Pusat, yang ditangani oleh dokter ahli. Namun usaha yang maksimal yang dilakukan oleh para dokter ahli dengan mengerahkan semua kemampuannya, tidak dapat menahan kematian. Allah berkehendak lain. Pada tanggal 24 Juli 1981 bersamaan dengan tanggal 22 Ramadhan 1401 H, ditemani oleh istrinya Khadijah dan beberapa teman dekat serta puteranya Afif Amrullah, Hamka berpulang ke rahmatullah dalam usia 73 tahun. 

B. Karya tulis Hamka

Buya Hamka dikenal sebagai ulama yang sangat produktif menulis. Karya-karyanya hingga kini masih terus dicetak ulang. Di antara karya-karya Buya Hamka adalah sebagai berikut:

  1. Khatibul Ummah, Jilid 1-3. 
  2. Si Sabariah. (1928)
  3. Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929.
  4. Adat Minangkabau dan Agama Islam (1929).
  5. Ringkasan Tarikh Ummat Islam (1929).
  6. Kepentingan Melakukan Tabligh (1929).
  7. Hikmat Isra’ dan Mikraj.
  8. Arkanul Islam (1932) di Makassar.
  9. Laila Majnun (1932) Balai Pustaka.
  10. Majallah ‘Tentera’ (4 nomor) 1932, di Makassar.
  11. Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar.
  12. Mati Mengandung Malu (Salinan Al-Manfaluthi) (1934).
  13. Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936)         Pedoma Masyarakat,Balai Pustaka.
  14. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
  15. Di Dalam Lembah Kehidupan (1939), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
  16. Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi.
  17. Margaretta Gauthier (terjemahan) (1940).
  18. Tuan Direktur (1939).
  19. Dijemput Mamaknya (1939).
  20. Keadilan Ilahy (1939).
  21. Tashawwuf Modern (1939).
  22. Falsafah Hidup (1939).
  23. Lembaga Hidup (1940).
  24. Lembaga Budi (1940).
  25. Majallah ‘SEMANGAT ISLAM’ (Zaman Jepang 1943).
  26. Majallah ‘MENARA’ (Terbit di Padangpanjang), sesudah revolusi 1946.
  27. Negara Islam (1946).
  28. Islam dan Demokrasi  (1946). 29. Revolusi Pikiran  (1946)
  29. Revolusi Agama (1946).
  30. Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi  (1946).
  31. Dibantingkan Ombak Masyarakat (1946).
  32. Didalam Lembah Cita-cita (1946).
  33. Sesudah Naskah Renville (1947).
  34. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret (1947).
  35. Menunggu Beduk Berbunyi (1949) di Bukittinggi, sedang Konferensi Meja Bundar.
  36. Ayahku (1950) di Jakarta.
  37. Mandi Cahaya di Tanah Suci. (1950).
  38. Mengembara Di lembah Nil. (1950).
  39. Di tepi Sungai Dajlah. (1950)
  40. Kenangan-kenangan Hdup 1, autobiografi sejak lahir 1908 sampai pd tahun 1950.
  41. Kenangan-kenangan Hidup 2. 43. Kenangan-kenangan Hidup 3.
  42. Kenangan-kenangan Hidup 4.
  43. Sejarah Ummat Islam Jilid 1,  ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950.
  44. Sejarah Ummat Islam Jilid 2. 47. Sejarah Ummat Islam Jilid 3.
  45. Sejarah Ummat Islam Jilid 4.
  46. Pedoman Mubaligh Islam, Cetakan 1, 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950.
  47. Pribadi, (1950).
  48. Agama dan Perempuan,1939.
  49. Muhammadiyah Melalui 3  Zaman (1946)
  50. 1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan di Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950).
  51. Pelajaran Agama Islam (1956).
  52. Perkembangan Tashawwuf dari Abad ke Abad (1952).
  53. Empat bulan di Amerika Jilid 1.
  54. Empat bulan di Amerika Jilid 2.
  55. Pengaruh Ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), untuk Doktor Honoris Causa.
  56. Soal jawab  (1960), disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM.
  57. Dari Perbendaharaan Lama (1963) dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta.
  58. Lembaga Hikmat (1953) oleh Bulan Bintang, Jakarta.
  59. Islam dan Kebatinan (1972); Bulan Bintang.
  60. Fakta dan Khayal Tuanku Rao  (1970).
  61. Sayid Jamaluddin Al-Afghany  (1965), Bulan Bintang.
  62. Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), (1963), Bulan Bintang.
  63. Hak Asasi Manusia Dipandang dari Segi Islam (1968).
  64. Falsafah Ideologi Islam (1950), sekembali dari Mekkah.
  65. Keadilan Sosial dalam Islam, (1950) sekembali dr Mekkah.
  66. Cita-cita Kenegaraan dalam Ajaran Islam (Kuliah Umum) di Universiti Keristan, 1970.
  67. Studi Islam (1973), diterbitkan oleh Panji Masyarakat.
  68. Himpunan Khutbah-khutbah.
  69. Urat Tunggang Pancasila.
  70. Doa-doa Rasulullah S.A.W, (1974).
  71. Sejarah Islam di Sumatera.
  72. Bohong di Dunia.
  73. Muhammadiyah di Minangkabau (1975), Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang.
  74. Pandangan Hidup Muslim (1960).
  75. Kedudukan Perempuan dalam Islam (1973).
  76. Tafsir Al-Azhar. Juzu’ 1-30, ditulis pada masa beliau dipenjara oleh Soekarno.

C.Pemikiran Hamka Tentang Pendidikan

Buya Hamka adalah sosok manusia atau aset Negara Republik Indonesia yang multiperan. Selain sebagai ulama dan pujangga, ia juga seorang pemikir. Di antara buah pikirannya adalah gagasan tentang pendidikan. Pemikiran Hamka tentang pendidikan secara garis besar adalah sebagai berikut:

1.      Urgensi Pendidikan bagi Manusia

Hakikat pendidikan menurut Hamka terbagi menjadi dua bagian, yaitu : pertama, pendidikan jasmani, yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan kesempurnaan jasmani serta kekuatan jiwa dan akal. Kedua, pendidikan ruhani, yaitu pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dalam ilmu pengetahuan dan pengalaman yang didasarkan kepada agama. Kedua unsur jasmani dan ruhani tersebut memiliki kecenderungan untuk berkembang. Dan untuk menumbuh kembangkan keduanya adalah melalui pendidikan, karena pendidikan merupakan sarana yang paling tepat dalam menentukan perkembangan secara optimal kedua unsur tersebut.

2.      Terminologi dan tujuan Pendidikan Islam

Buya Hamka membedakan makna pendidikan dan pengajaran. Menurutnya, pendidikan merupakan serangkaian usaha yang dilakukan oleh pendidik untuk membentuk watak, budi pekerti, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia bisa membedakan mana yang baik, dan mana yang buruk.  Sedangkan pengajaran adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan

Perbedaan kedua pengertian tersebut sebetulnya hanya pada maknanya saja, namun secara esensi ia tidak membedakannya. Kedua kata tersebut memuat makna yang integral dan saling melengkapi dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Sebab, setiap proses pendidikan, di dalamnya terdapat proses pengajaran. Tujuan dan misi pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran tidak akan banyak berarti apabila tidak dibarengi dengan proses pendidikan.

Buya Hamka juga berpendapat bahwa:”berdasarkan akalnya manusia dapat menciptakan peradaban dengan baik”, fenomena ini dapat dilihat dari sejarah manusia di muka bumi. Di samping itu fungsi pendidikan tidak hanya sebagai proses pengembangan intelektual dan kepribadian peserta didik saja, akan tetapi proses sosialisasi peserta didik dengan lingkungan di mana tempat ia berada.

Adapun tujuan pendidikan menurut Hamka memiliki dua dimensi; bahagia di dunia dan di akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia harus menjalankan tugasnya dengan baik yaitu beribadah. Oleh karena itu segala proses pendidikan pada akhirnya bertujuan agar dapat menuju dan menjadikan anak didik sebagai abdi Allah yang baik.

3.      Tugas dan Tanggung Jawab Pendidik

Menurut Hamka, tugas dan tanggung jawab seorang pendidik adalah memantau, mempersiapkan dan menghantarkan peserta didik untuk memiliki pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Untuk melaksanakan hal ini ada  3 (tiga) institusi yang bertugas dan bertanggung jawab:

  1. Lembaga Pendidikan Informal (Keluarga)

Dalam Islam keluarga dikenal sebagai usrah, dan nasb. Keluarga juga dapat diperoleh lewat persusuan dan pemerdekaan. Pentingnya serta keutamaan keluarga sebagai lembaga pendidikan Islam disyaratkan dalam Al-Quran:

Hal ini diperaktikkan Nabi dalam sunahnya. Di antara orang yang dahulu beriman dan masuk islam adalah Anggota keluarganya, yaitu: Khadijah, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Harisah.

  • Lembaga Pendidikan Formal (Sekolah)

Hadari Nawawi mengelompokkan lembaga pendidikan sekolah kepada lembaga pendidikan yang kegiatan pendidikannya diselenggarakan dengan sengaja, berencana, sistematis, dalam rangka membantu anak dalam mengembangkan potensinya, agar mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.

  • Lembaga Pendidikan Non Formal (Masyarakat)

Lembaga pendidikan Non Formal adalah lembaga pendidikan yang teratur namun tidak mengikuti peraturanperaturan yang tetap dan ketat. Hampir sejalan dengan pengertian tersebut di atas, Abu Ahmadi mengartikan lembaga non formal itu kepada semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib dan terencana di luar kegiatan lembaga Sekolah

Adapun syarat-syarat menjadi Seorang Guru menurut Hamka demi mewujudkan pendidikan yang ideal adalah sebagai berikut:

  1. Adil dan objektif.
  2. Berakhlakul karimah.
  3. Menyampaikan ilmu tanpa ada yang ditutupi.
  4. Menghormati keberadaan murid sebagai manusia yang dinamis.
  5. Memberikan ilmu sesuai dengan tempat waktu kemampuan dan perkembangan jiwa.
  6. Memperbaiki akhlak dengan bijaksana.
  7. Membimbing sesuai dengan tujuan pendidikan.
  8. Memberikan bekal ilmu agama dan umum. 9)  Mengajari hidup teratur.
  9. Ikhlas dan tawadhu‘.
  10. Membiasakan diri untuk membaca.
4.      Kurikulum

Pada awal abad ke-20 sistem pendidikan Islam masih bersifat tradisional. Kurikulum pendidikan masih tradisional, yang berkisar pada Al-Quran dan pengajian kitab, yang meliputi Ilmu Nahwu Sharaf, Fiqih, Tafsir dan lainnya, yang hanya terpaku di situ saja. Kurikulum pendidikan yang demikian dipandang kurang memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, sehingga tergerak hati Hamka dan kawan-kawannya yang sepaham untuk mengadakan pembaharuan kurikulum pendidikannya lebih dikembangkan dan kitab-kitab yang digunakan juga tidak terpaku pada satu kitab saja. Sebagai rencana pelajaran yang merupakan bentuk  usaha  peningkatan pendidikan, kurikulum terdiri dari  4 kelompok, yaitu :

  1. Agama, yang mencakup :
    1. Tafsir Al-Quran
    1. Hadits dan Musthalah Hadits
    1. Fiqih dan Ushul fiqih
    1. Tauhid Islam
    1. Tarikh Tasyri‘ Islamy
    1. Tauhid / Ilmu Kalam
    1. Akhlak dan Tasawuf
  2. Bahasa, dengan kajian :
    1. Bahasa Arab dengan alat-alatnya, yakni Nahwu, Sharaf, Balaghah, Ma‘ani, Bayan,  Mantiq (logika), Insya‘, Tarjamah, Muhawarah, 

Khithabah dan Khath.

  • Bahasa Belanda
    • Bahasa Inggris
  • Pengetahuan Umum, meliputi :
    • Berhitung / Aljabar
    • Ilmu Ukur (Handasah)
    • Ilmu Bumi (Geografi)
    • Ilmu Alam
    • Ilmu Hayat (Hewan & Tumbuh-tumbuhan)
    • Sejarah umum dan tanah air
    • Ilmu Falak
  • Keguruan/Dakwah dan Kepemimpinan
    • Ilmu     mengajar dan   mendidik (At Tarbiyah watta‘lim)
    • Ilmu Jiwa Umum dan Ilmu Jiwa Anak
    • Muqaranah Al Adyan ( Perbandingan Agama)
    • Organisasi dan Administrasi Muhamadiyah
    • Muhadharah atau pidato
5.    Sistem dan Metode Pembelajaran 

Menurut Hamka, metode secara umum di antaranya:

  1. Diskusi, proses bertukar pikiran antara dua belah pihak, proses ini bertujuan untuk mencari kebenaran melalui dialog dengan penuh keterbukaan dan persaudaraan.
  2. Karya wisata,mengajak anak mengenal lingkungannya, dengan ini sang anak akan memperoleh pengalaman langsung serta kepekaan terhadap sosial. 
  3. Resitasi, memberikan tugas seperti menyerahkan sejumlah soal untuk dikerjakan, dimaksudkan agar anak didik memiliki rasa tanggung jawab terhadap amanat yang diberikan kepadanya. Adapun metode Islami, di antaranya:
  4. Amar ma‘ruf nahi mungkar, menyuruh berbuat baik dan mencegah berbua  jahat. Bertujuan agar tulus hati dalam memperjuangkan kebenaran dan menjadikan pergaulan hidup lebih sentosa.
  5. Observasi, memberikan penjelasan dan pemahaman materi pada peserta didik. Metode ini digunakan agar peserta didik lebih mengenal Tuhannya.
6. Evaluasi Pendidikan  

Evaluasi adalah menentukan tarap kemajuan suatu pekerjaan di dalam pendidikan Islam atau tahap akhir yang dilakukan dalam proses pendidikan, bertujuan untuk mengetahui sejauh mana proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebagai landasan berpijak aktivitas suatu pendidikan.

Pandangan Buya Hamka dalam evaluasi seperti para tokoh-tokoh pendidikan Islam lainnya yakni mengarah pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Evaluasi dapat dilakukan dengan memberikan beberapa tugas, seperti yang terdapat pada metode pembelajaran yang berupa resitasi. Ini merupakan  evaluasi yang dilakukan secara global atau yang biasa dilakukan secara umum. Sedangkan dalam pendidikan tauhid, evaluasi mengarah pada sesuatu yang menyadarkan diri (introspeksi diri) dimana syu‟ur (perasaan) sebagai barometernya sehingga peserta didik itu mampu menjadi hamba Allah atau khalifah fil-Ardh.

- Advertisement -
- Advertisement -

BERITA PILIHAN

- Advertisement -
- Advertisement -

Tulisan Terkait

- Advertisement -spot_img