31 C
Padang
Senin, Mei 13, 2024
spot_imgspot_img
Beritasumbar.com

TAN GINDO; APA YANG ENGKAU CARI !?
T

Kategori -
- Advertisement -

“Mereka-dia yang berjasa dalam hidupmu,
semua yang tersedia dalam jagat raya
Sekecil apapun itu, sifat dan ragam bentuknya
Semua adalah ayat-ayat Tuhan yang berjalan
Berbagai peristiwa adalah bentuk kasih sayang-Nya
Maka sadarilah, Dia sedang menulis sesuatu dalam qalbumu
dengarkan, renungkan dan laksanakanlah semua hikmah
Agar jalan hidupmu bisa selamat”.

Seperti biasa, benturan-benturan dalam kehidupan kembali dilalui, “ternyata tambah umur, tambah tanggung jawab, tambah besar hambatan dan rintangan yang akan dihadapi” ujar Tan Gindo mebatin. Begitu juga dalam proses pendampingan di Mempawah – Kalimantan Barat yang sedang dilalui. Mulai dari persoalan internal bahkan eksternal silih berganti muncul pulang dan pergi bak angin lalu. Kadang hanya sekedar angin sepoi-sepoi, kadang seperti badai bak tak bermusim. “Yah, inilah fakta kehidupan, sehingga ada yang mengatakan hidup adalah masalah, masalah adalah kehidupan; kita harus bisa akrab dengannya sehingga tak perlu lari dari masalah” ungkap Tan Gindo setiap ada kesempatan bicara dalam berbagai pertemuan.

Tak jarang kata “galau” juga kadang terjadi, karena berbagai masalah beda bentuk beda kalibernya, yang ringan-ringan dan biasa dihadapi mungkin hanya dengan bisa tersenyum saja menyelesaikannya, jika sudah berat baru perlu perenungan dan pemikiran. Kalau sudah berat sekali baru butuh tempat untuk kembali, salah satunya terkait keummatan yang jadi impian dedari kecil sejak dikader di Pelajar Islam Indonesia (PII) untuk sebuah perjuangan hidup. Kala itu baru pertanyaan klasik sering kembali dipertanyakan “Tan Gindo, apa yang hendak engkai cari, bagaimana dan apa yang harus engkau lakukan..”begitu sebuah pertanyaan renungan sering dilakukan.

Sebuah pandangan hidup mulai kembali dikupas kemudian akan menjadi obat penawar rindu dan sakitnya sebuah pemikiran; serba kebetulan ada saja momentum untuk kembali berfikir lurus, bak sebuah taufik dan hiadayah biasanya kembali hadir dalam ruang-ruang bathin Tan Gindo; “Sungguh besar karunia Allah yang selalu beri petunjuknya pada hambanya yang lemah..” ujar Tan Gindo berdoa,bersyukur.

Baca juga “Menantang Matahari” bag. 4-b; Sekolah Merdeka-ku (2)

Suatu hari, tim pendamping Sungai Kunyit Kabupaten Mempawah mengagendakan sebuah kunjungan kesebuah Masjid Sukse di Kota Pontianak bagi para pengurus masjid (DKM) di Sungai Kunyit; sebuah Masjid yang sudah sangat terkenal, “jangankan di Indonesia diluar negeripun sudah punya nama; muslim Australia, Malaysia, Korea, Amarika, Timur Tengah dan lain sebagainya” ujar seorang narasumber. Kegiatan ini merupakan sebuah kegiatan inspirasi dan inisiasi Tim RBK CFCiD Counsulting-PMLI Pelindo secara khusus; boleh dikata tidak masuk dalam Kerangka Kerja yang telah tersedia. Namun tim RBK menganggap kegiatan ini sangat penting untuk di adakan, “ini adalah agenda massa depan untuk generasi Islam dimassa akan datang” ujar salah seorang pendamping Kunyit Laut bernama Rama.

“Ustadz Rama” begitu Tan Gindo sering memanggilanya; bukan tak ada maksud Tan Gindo memanggil teman sejawat pendampingnya dengan panggilan “Ustadz”, atau mungkin sebagian orang mengangap itu panggilan ejekan. Namun tidak begitu bagi Tan Gindo, panggilan tersebut merupakan panggilang terhormat bagi seorang saudara se-iman dalam Islam. Artinya adalah “seorang guru” bagi seseorang murid pengajian atau seorang yang di muliyakan dalam posisi ilmu pengetahuan agama, “untuk persoalan DKM bagi saya ustadz Rama adalah orang yang tepat jadi pioneer” ujar Tan Gindo diplomatis dalam sebuah pertemuan.

Ustadz Rama, berperawakan sedang, berbadan lumayan berisi dibandingkan Tan Gindo, berkulit sawo matang, berambut lujur dan tebal sehingga dari jauh terliat sedikit ikal, kalau menatap matanya selalu bernuansa optimis. Beliau adalah pendamping yang rajin ke Masjid dan membangun silahturahimi dengan para tokoh penting di Sungai Kunyit Laut; boleh dikata jam terbangnya menemui para tokoh jauh melampaui Tan Gindo. Sehingga setiap ada kelakar dalam group WhatsApp pendamping sering jadi bahan kelakar “pendamping rama selalu tak kelihatan, sering pergi keluar dan pulang lebih lama, sepertinya lagi keliling kampong.ha.ha.ha” ujar para pendamping.

Ungkapan kelakar itu sering di keluarkan oleh Kang Sukma; pendamping Sungai Limau sembari tidak lupa mengirimkan sebuah rekaman photo ketika stadz Rama pulang pergi dari asramanya. Kebetulan Kang Sukma memang memilih tinggal satu rumah dengan stadz Rama karena jarak antar Sungai Limau dan Kunyit Laut cukup sangat dekat. Apalagi asaramanya cukup mengasyikkan bagi Kang Sukma karena disamping cukup lengkapnya fasilitas, juga berada dilantai 2 dan dengang cukup ruang terbuka diatasnya, bahkan depannya ada sebuah “parit” yang cukup dalam dan selalu digenangi air serta banyak ikannya.

Saking banyaknya ada beberapa jenih ikan seperti gabus, nila dan sepat muncul sesekali ke permukaan bak mengejek Kang Sukma setiap pagi dan sore “weeak, coba pancing saya kalau bisa..” ungkap Kang Sukma suatu ketika. Anehnya memang demikian, dengan sedikit memodalkannya dengan sebuah “joran” yang bagus dan umpan yang bervariatif. Sungguh, memang sulit ikan-ikan tersebut di dapat, bahkan seperti tak berminat makan umpan, hingga akhirnya dengan penasaran untuk mendapatkannya Kang Sukma terpaksa membeli pancing yang ada “jalanya”. Sembari menggerutu kang Sukma berkata “modar, rasain pakai pancing jala, biar tak tangkapi satu persatu..ha.ha.ha,” ujar kang Sukma merasa puas.

“Tak da kayu rotanpun jadi, tak ada kayu jenjangpun di keeping (kapiang)”, begitulah daya sebuah akal, apalagi bagi seorang agen pemberdayaan seperti Kang Sukma. Mau masalah besar, sedang ataupun kecil semua pasti ada jalan dan cara untuk menyelesaikannya. Kang Sukma; berasal dari Banten, orang Sunda kata orang, makanya sering dipanggil “si Akang”, kadang Tan Gindo sering panggil juga “Ustadz” sebagai kata kelakar lain, karena juga merasa harus banyak ambil ilmu dari beliau.

Pengalaman beliau sudah sampai ke Papua sana, Propinsi paling ujung di Indonesia yang masih fonomenal kondisinya hingga hari ini, sementara Tan Gindo masih belum pernah sama sekali. “ya, merasa jauhlah ketimbang pengalaman Kang Sukam”; ujar Tan Gindo dalam sebuah kesempatan diskusi. Bertubuh tegap, kulit sao matang dan juga gagah sebagaimana lelaki Sunda pada umumnya. Karakterinya cukup santai dan tenang jika berhadapan dengan siapapun.

Cukup pantas dan sebanding bagi Kang Sukma berhadapan dengan warga Sungai Limau yang terkenal aktiv, vokal dan kritis. Seandainya Tan Gindo jadi pendamping disana “mungkin warga Sungai Limau akan selalu perang tanding dengan saya..ha.ha.ha” ujar Tan Gindo dalam sebuah diskusi kritis terkait pendampingan masyarakat. Tan Gindo yakin si akang Sukma bisa hadapi banyak persoalan yang belakangan sering terjadi dan memuncak dalam proses pendampingannya. “ini hanya masalah waktu dan kesempatan saja” uangkap Tan Gindo sedikit mendukung dan menghibur.

Gagasan studi banding untuk pengurus DKM sebenarnya sudah di mulai oleh sadaura Andi pendamping desa Bundung Laut. Beliau seorang anak muda asli Pontianak yang sengaja di rekrut RBK CFCiD dan PMLI Pelindo. Meskipun berusia paling muda diantara kami, pengalaman beliaupun sudah mempuni terutama dalam pendampingan bidang pertanian, beliau memang tamatan Pertanian disebuah Univertsitas ternama di Pontianak dan beberapa kali ikut riset dan pendampingan bidang pertanian. Disamping sebagai Fasilitator Desa beliau sudah bergerak dalam Hidroponik dan bisnis keluarga yang dilaksanakannya. Sungguh anak muda yang produktif dan energik.

Anaknya ramah, berbadan sedang dan bugar karena mungkin sering berolah raga dan menjaga kesehatan dengan baik. Beliau juga taat beribadah dan ternyata juga seorang guru mengaji. Teman-teman gerakan sebut sebagai seorang murabi atau “guru Liqa” dalam sebuah organisasi ke-islaman di Pontianak. Jelas beliau adalah seorang anak muda yang punya prinsip yang kuat dan percaya diri, mudah akrab dan mudah menyesuaikan diri dengan siapa saja.

Tan Gindo sering memergoki Andi sedang memimbing sebuah liqa berbasis online dikamarnya selepas sholat magrib dan isya sewaktu pernah serumah. Hal ini mungkin dikarena kesibukan beliau dilapangan dan juga semenjak issue Covid-19 memang kegiatan berbasis online menjadi andalan banyak aktivis untuk melanjutkan kegiatan apapaun bersama rekan-sahabat dimana saja. “Mantraaps…ternyata guru liqa juga ni yeee…” ujar Tan Gindo celetuk dalam suatu kesempatan. Akhinya sohib Andi sering juga disebut Ustadz oleh Tan Gindo, tampa basa basi, karena jelas belajar dengan yang lebih kecil bukan masalah, apalagi dia banyak ilmu dan wawasannya. Terbukti sudah zaman sekarang, apa yang tidak bisa dilakukan, sungguh banyak cara untuk berbuat jika kita inginkan.

Demkianlah saudara Andi, ternyata sudah duluan membawa DKM di desanya untuk pergi ke Masjid Munzalan secara diam-diam sehingga dalam kegiatan yang dirancang bersama DKM Bundung Laut sehingga memang tak ikut lagi dalam kegiatan bersama. Melalui beliau gagasan ini kemudian muncul dan di dorong oleh pihak RBK dan kemudian terlaksanalah agenda khusus bagi DKM se-Sungai Kunyit tersebut. “Anak muda yang ternyata punya tekat yang kuat untuk perjuangan agama” ujar Tan Gindo membatin. Soal Agama mungkin jelas Tan Gindo belum tandingan Andi rekan pendampingnya muda itu.

Sebenarnya ada satu lagi rekan pendamping yang sempat tidak ikut dalam kegiatan tersebut, kebetulan seorang perempuan tangguh namanya Aulia; gadis berjiblab, berjiwa aktivis, sedikit hitam manis dan menyenangkan juga. Beliau berdarah Surabaya dan akhir tahun Desember 2020 baru saja menikah. “wajarlah, si Mbak semangat untuk bisa sering cuti kerja, kan masih dalam asyik bulan muda madu, nantikan hapenya matikan saja kalau sudah dirumah ya mbak, jangan lupa hapus pesan chatnya di WA, ntar bisa perang dunia dirumah…ha.ha.ha.” ungkap Tan Gindo berkelar dalam suatu pertemuan.

Maklumlah Tan Gindo sering merasa bercanda tak karuan jika di group chatting bersama para dampingan di lapangan, takut nanti kena tegur oleh suaminya yang baru saja berusia sekitar dua bulanan itu. “saya ini playboy cap kambing, dan suka gangguin cewek-cewek cantik dan idaman…ha.ha.ha” ungkap Tan Gindo ketawa terpingkal-pingkal ketika dalam sebuah diskusi canda. Perangai jorok yang satu ini, diakui memang pernah jadi sorotan teman-teman aktivis semenjak di kampus dan PII semassa kuliah dulu. Tak salah akhirnya ada yang mengatakan Tan Gindo “playboy cap kambing” ujar teman aktivis berkelakar.

Dalam keyakinan Tan Gindo sebagai “arek-arek Suroboyo” jelas Aulia bukan perempuan dan aktivis sembarangan juga, kebetulan Tan Gindo pernah dulu selama lebih kurang dua tahun berdomisili di Darmo Surabaya. Ketika itu Tan Gindo sebenarnya sedang menenami sang istri tercinta berkuliah S.2 di Universitas Negeri Surabaya sekaligus berkesempatan dapat mengabdi di salah satu lembaga zakat nasional ternama; YDSF Surabaya. Sungguh menjadi pengalaman luar biasa bersentuhan dengan “arek-arek Suroboyo” kota perjuangan, kota metropolitan, kota penuh semangat yang sering menjadi rujukan nasional. Anak-anak mudanya terkenal kreatif dan dinamis yang terkenal dengan “guyup-nya”, suka berkumpul dan menyatu dalam berbagai komunitas hobby dan profesi.

Dalam rantau yang singkat tersebut Tan Gindo pernah membayangkan betapa para tokoh-tokoh nasioanal yang kemudian bisa lahir, hadir dan berkembang sampai ketingkat Nasional atau pusat Negara banyak berasal dari sana. Setidaknya pernah parkir dan singgah di Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya. Sebagai salah satu pengagum Tan Malaka saja misalnya, Tan Gindo cukup bisa menghayati bagaimana Tan Malaka dulu bisa berdealektika dan berbaur dengan masyarakat Jawa Timur hingga akhirnya beliau kabarnya harus berakhir tragis di Ledok, Selopanggung, Kec. Semen, Kediri, Jawa Timur dengan makam tampa nama.

Begitulah sebuah pengalaman hidup banyak orang, teman dan siapapun yang Tan Gindo temui. Berbagai gaya, corak dan ragam pemikiran dalam menjalani kehidupan yang cukup variatif Tan Gindo rasakan. Semuanya menyatu berkulindan membentuk pandangan hidup berbagai model dan pengalaman orang, apalagi bertemu dengan mereka yang memiliki ragam potensi dan keahlian. Apapun itu, akhirnya menjadi referensi dan pengalaman berharga dalam menjalankan kehidupan, dalam sebuah renungan Tan Gindo sering bersyukur “terimakasih ya Allah, saya dipertemukan dengan orang-orang hebat dan berpengalaman, semua adalah karunia-Mu” ungkap Tan Gindo membatin.

Kemudian, bagaimana dengan Tan Gindo sendiri..!, dengan latar belakang yang juga panjang, lika liku serta dinamika hidup yang bergam telah dilalui; apalagi semenjak menjadi kader Pelajara Islam Indonesia (PII) semenjek kecil silam tentu menjadi perhatian menarik banyak orang dan teman. Ada yang selalu mendukung Tan Gindo ada juga yang selalu menyesali sikap Tan Gindo yang selalu suka “menantang matahari”. Perilaku yang suka menantang arus, keras dan seperti tidak mau mengalah apalagi hal-hal yang dianggap prinsip dalam hidup Tan Gindo.

Pernah suatu ketika, Tan Gindo bersua dengan sebuah teman lama dan sekaligus dianggap tim kerjanya disebuah media berita ternama di Sumatera Barat. Kebetulan Tan Gindo juga di minta oleh teman lamanya ini mensupport kegiatannya di media tersebut karena di anggap punya kemampuan dalam hal media,”ya, semacam wartawan-waratawanan lah “ ucap Tan Gindo pada salah seorang teman. Tak tanggung-tanggung Tan Gindo juga dianggkat menjadi teman redaktur, melalui sebuah SK khusus dan punya kartu keanggotan khusus layaknya waratawan media pada umumnya. Meski terkesan hanya sekedar numpang saja bagi sebagian teman lainnya.

Namanya Zaldi, meski perperawakan agak pendek sedikit ketimbang Tan Gindo, namun bertubuh besar besar, tegap dan cukup gagah namun agak sedikit berkulit gelap. Teman-teman di Pramuka dulu pernah mengejek beliau dulu “Zaldi berkulit sedikit hangus..ha.ha.ha” ujar teman ketawa. Beliau termasuk sohib yang unik juga bagi Tan Gindo, tak bakalan ada teman yang menyangka kalau Zaldi bisa memiliki media ternama juga di Sumatera Barat. Karena beliau dulu tak terlihat punya bakat menulis, beliau juga termasuk salah satu teman gaul-nya si-Cudin; sahabat yang unik. Jiwa kenakalannya mungkin sebelas-dua belas saja.

Suatu kesempatan, Tan Gindo yang baru saja pulang dari rantau di DKI Jakarta karena terkepit issue Covid-19 sekitar pertengahan tahun 2020 lalu. Tan Gindo dan Zaldi bertemu dalam sebuah warung coffee di Kota Payakumbuh. Selaksa, Tan Gindo bercerita bagaimana kartu wartawan yang telah diberikan Zaldi rupanya sangat berjasa menyelematkan perjalannya, dapat menjadi senjata ampuh untuk pulang kampung ke Kota Payakumbuh; kampung kelahiran dan dimana Tan Gindo dibesarkan bersama sohib-sohib kecilnya yang lain. “Bro, gegara kartu wartawan inilah saya bisa berselancar dalam perjalanan pulang, kalau bukan karena kartu ini, mungkin saya kesulitan dalam berbagai urusan dan pemeriksaan” ujang Tan Gindo bersemangat.

Akhirnya Zaldi dan Tan Gindo yang sudah lama tidak bersua, namun sering kontak-kontakan karena urusan media berbincang perkara issue Covid-19 yang sudah tidak masuk akal dalam perjalanan bangsa Indonesia. Diskusinya sengit dan “bakatuntang” alias mengkritisi banyak sebab akibat terkait masalah covid-19. Disana terlihat bagaimana gaya dan wawasan Zaldi yang saat itu jauh daripada dahulu ketika bertemu masih kecil. Zaldi kini sudah seperti wartawan hebat pada umumnya, mampu mengkritisi banyak hal dan percaya diri dalam menyampaikan berbagai argementasinya.

Entah, kenapa pembicaraan mereka akhirnya mengerucut dalam hal pribadi, sebagai seorang sahabat tentu hal ini sudah lumrah. Dimana saling mengingatkan dan berwasiat dengan sabar, Zaldi berceletuk “kalau sudah seperti sekarang, mau apa dan kemana lagi kamu Tan Gindo, apakah masih terus melalang buana bak elang terbang, sementara anak dan istrimu selalu ditinggal” ujar Zaldi menesehati. Tan Gindo kemudian menjawab santai “Zaldi, seandainya saya bisa memilih saya tidak akan meninggalkan mereka, dan kapan perlu jika terpaksa saya pergi akan dibawa kemana saya pergi..hix” ujar Tan Gindo sedikit curhat, sedih. “Siapa orang yang mau melalui keluarga, istri dan anak-anaknya, binatang saja tidak mau meninggalkan sarang dan anaknya apalagi kita manusia” ujar Tan Gindo menegaskan.

“Kalau begitu, sudahilah kerja lapukmu, umur sudah kepala empat, ekormu sudah mau 7 apa lagi yang hedak kamu cari” ujar Zaldi sedikit kesal. Kemudian, karena mulai merasa terdesak, Tan Gindo akhirnya mencoba mengalihkan perhatian, meneguk gelas kopi yang sudah sejak awal dipesan sambil celetuk “bro, jika saya berhenti, ketahuilah mungkin kamu tidak akan bisa meminum kopi denganku lagi untuk selamanya” ujar Tan Gindo lugas dan tegas. Terlihat begitu menyakinkan sahabat hebatnya itu, akhirnya Zaldi hanya terdiam sambil tersenyum simpul.

Cerita yang singkat itu, sedikit menggambarkan romantika kehiupan Tan Gindo dalam menyikapi nasib dan perjalannya hidupnya. Kemudian, kembali pada perjalanan DKM se-Sungai Kunyit yang sudah dijalani bersama para pendamping di Mempawah. Dalam sebuah diskusi kritis di Masjid Munzalan dimana studi banding dilakukan, Tan Gindo lagi-lagi mendapatkan penegasan diri dalam pandangan hidupnya. Seorang ketua Masjid Munzalan dalam uraian yang panjang tentang apa dan mengapa Masjid tersebut bisa sukses dalam memberdayakan, membangun manajemen dan peradaban melalaui sebuah Masjid.

Sebenarnya, cerita mengenai keberhasilan sebuah Masjid melakukan kegiatan pemberdaayaan bagi Tan Gindo sudah tidak hal yang baru lagi karena dulu semasa masih aktiv di YDSF Surabaya sempat bersentuhan dengan Masjid Jogokariya-Jogya; sebuah Masjid yang juga berhasil membangun gerakan yang hampir sama dengan Masjid Muzalan di Pontianak ini. Kala itu Tan Gindo diamanahi melakukan supervisi membuka cabanga YDSF di Kota Yogyakarta sebagai sebuah modal agar YDSF dapat memenuhi persyaratan sebagai salah satu Lemabaga Zakat ditingkat Nasional. Karena ini lah Tan Gindo juga dianggap berpengalaman dan kemudian hari sempat diterima oleh BAZNAS Pusat menjadi salah satu staf senior dibidang verifikasi dan sertifikasi lembaga zakat ditingkat Nasional.

Panggilan salah seorang ketua pengurus Masjid Muzalan itu adalah “Ustadz Ben”, berperawakan tinggi semampai, berbada tegap, bermata besar dan penuh tatapan optimis. Beliau mengaku lebih banyak aktiv juga di dunia luar, bisnis dan semacam itu ketimbang belajar pondokan. Namun menurut cerita yang didengar ternyata beliau juga tamatan pondok pesantren Gontor, sebuah pondok posantren terbesar dan ternama di Jawa Timur.

Tentu saja bukan orang sembarangan juga dalam hal keislaman dan pengetahuan umum lainnya. Gontor terkenal dengan anak-anak hebat dan mempuni dalam berbagai bidang agama dan pengatahuan umum; bisa dikata disanalah banyak cendikiawan muda lahir dan menjadi tokoh-tokoh gerakan nasional, sebagaimana Ustadz Bakhtiar Nasir yang dulu sempat memimpin aksi 212 yang teranama itu misalnya dan berbagai tokoh lainnya di Indonesia. Dalam sharing diskusi tersebut Ustadz Ben berbicara panjang lebar…

…………

Islam bagi kami bukanlah religion sebagaimana ungkapan banyak orang dan sebagian ulama, bagi kami Islam adalah jalan hidup dan hidup itu sendiri. Islam itu rahmatan lilalamin “rahmat bagi semesta alam”; jadi Islam lebih dari defenisi yang dikembangkan oleh barat. Islam jauh berada diatas agama-agama yang telah telah di claim mereka, jadi Islam bukanlah agama seperti yang dikira-kirakan mereka. Kehadiran Rasullah bagi seluruh ummat manusia, baik mereka yang Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, Konhucu dan agam lainya itu.

Islam juga tidak memandang etnis, suku bangsa, warna kulit dan bahasa. Maka dari itu Islam harus menjadi contoh dan panutan, kita harus buktikan sebagaimana firman Allah bahwa “kita adalah ummat terbaik dimuka bumi ini, kita harus jadi contoh tauladan, kita harus bisa berdamai dengan siapapun, membantu siapapun dan dalam bentuk apapun”. Maka dari itu Islam harus menjadi “Why of Life” atau jalan hidup, kapan perlu seluruh jiwa dan raga, keluarga dan siapa serta apa saja yang kita milki untuk Islam, untuk melaksanakan perintah Allah.

Pada hakekanya seluruh yang kita miliki tidak akan pernah dibawa mati, hanya keimanan dan keyakinan atau amalan kita saja yang akan menjadi sandaran dan pegangan kita diakhir kelak. Makanya kita mati hanya membawa selembar kain kafan saja, tak lebih dari pada itu. Hal yang bisa kita lakukan hanya mewarisi ilmu, pengetahuan dan pengalaman serta keturunan kita untuk untuk berbuat lebih terhadap Islam melalui seluruh ajakan dan syariah yang telah diberikan kita melalui Al-quran dan Hadist Rasulullah. Jadi mari kita perbanyak berbuat untuk Allah, massa depan hanya karena Allah dan tidak lebih daripada itu.

Salah satu memulai untuk berbuat adalah Masjid ini, dimana dulu Rasululllah memulai berjuang dimuka bumi ini diawal mulanya. Masjid bukan hanya tempat ritual belaka tapi adalah pusat dari segala peradaban, melalui Masjid inilah semua kegiatan kita bersumber bukan ditempat-tempat lain, Masjid adalah kantor kita, bahkan di Masjid inilah Rasulullah dulu juga menentukan dan mengatur perang, apalagi kegiatan ekonomi keummatan dan lain sebagainya. Makanya masjid-masjid kami namakan “Baitullah” atau rumah Allah, bukan hanya Makkah saja yang menjadi rumah Allah, itu hanya symbol pemersatu ummat Islam di dunia, sementara diamana ada Masjid, disitu juga merupakan “rumah Allah”

Setinggi-tinggi apapun pangkat, jabatan dan kekayaan semua kita hamba Allah pasti akan mencium lantai Masjid ini, sama semuanya tampa berbeda. Yang ada hanya ada seorang imam atau pemimpin pada barisan terdepan, sementara kita semua hanyalah makmum yang tidak bisa melanggar semua aturan imam yang ada didepan. Jika tidak, maka sholat (sebagai sarana symbol ketaatan) pada Allah secara berjamaah telah dianggap batal dan kita hanya dapat bagian pahala terkecil dalam dunia ini. Makanya siapapun pemimpin didepan kita harus patuh dan taat dan tidak boleh membangkang padanya selagi tidak melanggar aturan-aturan Allah.

Dengan demikian, itulah yang akan membuat Islam itu punya “ghizzah” atau kewibawaan, kita tidak boleh tunduk pada orang dan makhluk lain selain Allah dan imam kita terutama tuntutan Rasulullah, hanya dengan itulah Islam itu bangkit dari keterpurukan.

Kita tidak perlu berhutang kepada siapapun, kita malah harus jadi solusi bagi siapapun, kita punya potensi ekonomi untuk dapat menghidupkan ummat Islam diamana mana, bahkan ummat non Islampun dapat merasakan betapa kehadiran dapat bermanfaat. Jadi tak perlu kita mengharapkan bantuan selain kepada Allah, kapan perlu pemerintah, pejabat, politikus atau siapapun yang membutuhkan kita yang memberikan mereka fasilitas dan hadiah tak perlu berharap bantuan-bantuan mereka.

……….

Demikian sharing Ustada Ben yang menggetarkan suasana masjid yang sejuk, tenang dan adem tersebut. Hampir semua peserta studi banding terdiam, dan dengan mata yang terbelalak tajam mendengarkan uraian tersebut. “inilah pemikiran yang sudah lama saya selalu dipertahankan” ujar Tan Gindo membathin. Ilmu dan wawasan ini jugalah yang telah diterima Tan Gindo semenjak aktivisi PII ketika masih di usia belia, tertanam menghujam jauh kepermukaan alam sadar.

Namun, Tan Gindo akui, apa yang dilakukan selama ini masih jauh dari harapan, Islam masih hanya sebatas agama ritual belaka, atau jikapun sudah merasa melaksanakan hal tersebut masih hanya sekedar “spirit” atau semangat saja. Belum pada tataran impelementasi secara mendasar. Setidaknya baru sekedar sebuah cita-cita hidup yang terpendam sejak berpuluh tahun lamanya “Islam is Why of Life”; Islam sebagai sebuah pandangan dan jalan hidup. Begitu jualah pesan pituah Minang yang tertancap sejak dari kampung halaman:

“Kato panghulu manyalasai, kato alim kato hakikat, talamun patuik kito kakeh, lahia jo bathin nak saikek.. Naiaklah dari janjang, turunlah dari tango, Adat bersandikan syarak, syarak basandikan Kitabullah, syarak mangato adat nan mamakai, Kato adaik pahamnyo aman, malangkapi rukun dengan syarat, kalau elok pegang padoman, santoso dunia jo akhirat”

(Perlu penggalian adat dan agama Islam secara mendalam , sehingga lahir dan bathin dapat sesuai. Selalulah berbuat sesuai aturan dan undang-undang yang berlaku, menurut norma yang telah ada. Adat berpedoman pada syariat, syariat berpedoman pada alquran, syarita menyampaikan dan adat yang melaksanakan. Ajaran adat dan agama Islam kalau benar-benar diamalkan, menjamin keselamatan dunia akhirat)

Bersambung ke bag. 6

- Advertisement -
- Advertisement -

BERITA PILIHAN

- Advertisement -
- Advertisement -

Tulisan Terkait

- Advertisement -spot_img