“Diri kita bukan hanya milik sendiri, tapi juga orang terdekat,
bahkan, darah orang tua dan sanak saudara kita mengalir dalam nadi,
namun ingat, ada teman-sahabat dan orang lain disekeliling kita
yang mampu juga dapat merobah diri kita apa adanya, bahkan melebihi impian
guna mencapai hakekat sejati; menjadi manusia merdeka”
Tan Gindo; PII Mencerahkan hidupku
Ketika berkuliah, Tan Gindo sedikit berbeda dalam proses belajarnya, perilaku “tukar tidur” mengalami perubahan, mungkin suasana perkuliahan sudah menggunakan metodelogi yang berbeda ketimbang sekolah menengah atas, 80% sudah banyak melakukan poroses belajar berdiskusi, meski di saat situasi serupa penyakit tukar tidurnya kambuh lagi. Semangat Tan Gindo dalam perkuliahan lumayan tinggi juga karena sempat parkir dalam pendidikan formal selama satu tahun sehingga merasa sudah banyak ketinggalan ketimbang teman-teman sejawatnya di sekolah menengah atas dan ingin meninggalkan ketertinggalan yang ada.
Hampir setiap sesi perkuliahan, terutama ketika proses diskusi berlangsung dominasi Tan Gindo sangat terlihat. Banyak sahabat satu tingkat yang cukup mengandalkan Tan Gindo ketika sudah berdiskusi, “mungkin Tan Gindo bisa menanggapi apa yang sedang kita bahas” ujar teman-teman selalu sehingga nama Tan Gindo sering diandalkan dalam berdiskusi dan akhirnya dikenal oleh berbagai teman bahkan para dosen. Rata-rata mereka juga sangat senang dengan kehadiran Tan Gindo, tak jarang ketika Tan Gindo ada tidak hadir dalam perkuliahan terutama dalam sesi diskusi para dosen merasa ada yang kurang, “Tan Gindo mana ya, kok tidak ada dikelas, bagaimana kabar beritanya..?” ujar sang dosen.
Kemampuan Tan Gindo dalam berdiskusi dan beretorika tidak timbul begitu saja, tapi sudah melalui proses yang cukup panjang. Mulai dari kebiasaan menjadi “sang ketua” sejak sekolah dasar, sebagai “ketua dan wakil ketua OSIS dan Kepramukaan” semenjak Sekolah Menengah Pertama dan Atas, apa lagi semenjak mengikuti “basic training” di Pelajar Islam Indoesia; sebuah model belajar yang dikembangkan untuk kader-kader pemula di ormas tersebut, disanalah Tan Gindo menjadi terlatih dalam melakukan proses diskusi. Barangkali inilah menyebabkan Tan Gindo memilki gaya berfikir dan metode belajar yang berbeda dengan teman-temannya yang lainnya.
Baca juga “Menantang Matahari” bag. 4-a: Tan Gindo; Perasaan Terjajah
Tan Gindo sering merasa tidak puas dengan sistem pendidikan yang ada dalam sekolah formal terutama ketika sekolah menengah pertama dan atas. Tak jarang Tan Gindo menggerutu dan kesal, “dasar, pendidikan macam apa yang ada ini, kita seperti hanya terpenjara, ini adalah pendidikan kaum tertindas” ujar Tan Gindo dalam sebuah diskusi kritis. Terlihat jelas Tan Gindo mengagumi pendidikan yang men”cerahkan”kan dengan teknik menggali potensi para siswa. Kemudian hari makna pencerahan ini disematkan pada anak ke-2 Tan Gindo bernama Muhammad Raushan Fikri.
Sampai akhirnya Tan Gindo menemukan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya terkait proses pendidikan alaternatif yang dilaluinya. Menjadi kader Pelatihan Pelajar Islam Indonesia (PII) dengan mengikuti pendidikan dasar (Basic Training) di tahun 1992, Pelatihan tingkat menengah (Mental Trainning) di tahun 1995 dan akhirnya dapat menyelesaikan pelatihan tingkat akhir (Advance Training) di tahun 1999. Bahkan digenapkan dengan sempat mengikuti Latihan Kepemimpinan Himpunan Mahasiswa Islam (LK-HMI) Cabang Padang, ketika diperguruan tinggi dan Syakafah Kepemimpinan Gerakan Pemuda Islam (GPI) ketika dulu pernah menjabat.
Dalam pelatihan tersebut Tan Gindo mendapatkan suasana belajar yang baru dan unik dari para senior, dalam pelatihan mereka sering panggil “Kanda Instruktur” saja. Terkesan antar guru dan siswa tidak ada batasnya, mereka seperti hanya seorang sahabat berbagi dalam ruangan kelas, teman cerita dan bergembira melalui berbagai teknik permainan dan tak jarang berdiskusi lepas secara kritis. Namun diam-diam secara terstruktur para peserta mampu mereka giring seperti orang yang merdeka, mereka yang belum punya motivasi menemukan semangat diri, apalagi mereka yang sudah memiliki dasar keberanian akan semakin percaya diri dalam menjalani cita-cita hidupnya.
Para Instruktur PII sering sebut metode belajar secara “andragogy” yakni sebuah konsep belajar orang dewasa yang dapat menggali berbagai potensi siswa lebih jauh melalui teknik diskuis diskusi, elaborasi, studi kasus, teknik dinamika berkelompok dan berbagai metode sejenisnya. Sakingnya merasa merdekanya tak jarang para peserta setiap setelah mengikuti pelatihan seperti tentara yang habis dibasis dimedan latihan tempur, baik keberanian mereka dalam berfikir, kesiapan mental, sikap dan berkomunikasi semakin vokal dan tajam. Seandainya memang situasi memang dihadapkan untuk berperang, boleh dikata dengan hanya teriakan “Takbir” anak-anak PII tak pernah panjang berfikir untuk mengorbankan jiwa dan raganya untuk mati dimedan juang.
Terlihat jelas, pengaruh training PII sangat berbekas sekali pada Tan Gindo. Padahal Tan Gindo mengikuti kegiatan PII “masih terbilang kecil dan belum massanya” ujar seorang kakak Instruktur Tan Gindo pada suatu ketika. Ketika itu Tan Gindo masih kelas 1 SMP, tepatnya pada liburan semester ketika mau naik kelas 2 dtahun 1997. Percaya diri Tan Gindo yang sudah ada sejak sekolah dasar semakin menguat, barangkali itulah yang menghantarkan Tan Gindo juga bisa semakin berani menjadi Ketua OSIS kelak dan menjadi pimpinan organisasi lainnya. Setidaknya ada 5 organisasi baik intra dan ekstra sekolah digelutinya dan begitu juga ketika telah berkuliah di Universitas.
Kemampuan beradaptasi dengan berbagai orang cukup cepat, teman malah para guru sangat mudah didapatkan oleh Tan Gindo serta dapat melewati jabatan-jabatan organisasi dengan baik ketimbang siswa seumuran. Dalam setiap pertemuan bahkan dalam sesi belajar Tan Gindo sudah bisa sedikit membaca arah pikiran dan perkataan seseorang bahkan sering menjadi menilai keberadaan seseorang bahkan seseorang guru dalam kelas. Dalam sebuah anekdok kajian metodelogi sering anak-anak aktivis PII berkelakar “jika seorang guru masuk kelas, anak-anak PII sudah bisa menebak apa dan bagaimana kelebihan dan kemampuan seorang guru dalam mengajar..ha.ha.ha” ujar salah seorang aktivis PII dengan logat sedikit meninggi, sambil tertawa senang.
Begitulah adanya sehingga anak-anak PII dapat dengan mudah hadir dalam setiap momen pelajaran dengan baik bahkan ada juga yang nakal “mengerjai” seorang guru sehingga bikin sang guru kalang kabut dalam menghadapi proses belajar mengajar di kelas. Karena anak-anak PII disamping terbiasa terlatih berdiskusi dan bertanya dengan baik juga banyak yang keranjingan membaca banyak buku referensi, biasa belajar sendiri sebelum belajar dalam kelas atau perkuliahan sehingga ketika belajar atau berdiskusi seperti orang yang sudah siap tempur dengan bahan-bahan yang diperlukan.
Berbeda dengan kebanyakan teman sejawat ketika berdiskusi banyak terasa kaku dan bisa ditebak arah pertanyaanya, “waduh, gimana nih diskusi kok seperti anak sekolah dasar saja, pertanyaan yang ada malah sudah ada jawabannya dalam buku, baca sajalah bro…” ujar Tan Gindo membatin dan terkesan meninggi. Banyak kesan bahwa para teman sejawatnya bertanya seperti orang yang ambil “kacung baru cari muka saja” celetuk Tan Gindo kesal.
Bahkan ketika perkuliahan tambah begitu terlihat minornya dengan memaksa mahasiswa untuk bertanya dan menanggapi “ibu/bapak akan beri nilai tinggi pada mereka yang aktiv dalam belajar apalagi diskusi ya…” ujar para dosen. Akhirnya banyak diantara mereka seperti memaksakan kehendak dalam bertanya, hampir setiap tanggapan dan pertanyaan seperti hampa saja dan tidak bermakna selain hanya karena ingin mendapatkan nilai A dan B saja dalam setiap akhir semester. “uff..begitu membosankan juga diskusi dalam perkuliahan ini jikan berdiskusi” ujar Tan Gindo dalam sebuah curhatnya pada salah seorang seniornya di PII
Suatu hari, ada sesi menarik dalam sebuah diskusi terkait mata kuliah umum, saat itu seorang dosen membahas tema tentang “Metodelogi Pembelajaran”. Sang desen ketika itu dengan begitu percaya dirinya menyampaikan tentang metode pendidikan “andragogy” sebagaimana yang juga pernah dinikmati Tan Gindo semenjak kecil. Seperti biasa diskusi berjalan alot dengan berbagai tanggapan dan pertnyaan yang mulai begitu membosankan Tan Gindo. Kemudian sang dosen berceramah habis setelah mengupas berbagai konsep, hal itu membuat Tan Gindo tak bisa lagi menahan diri begitu lama dan berusaha menghentikan khotbah sang dosen.
“Izin menanggapi bu” ujar Tan Gindo menyetop pembicaraan sang dosen. Sejenak sang dosen terdiam dan seperti mengarifi Tan Gindo, kemudian memberikan kesempatan untuk berbicara panjang lebar terkait konsep dan teori yang telah ia rasakan dan pelajari selama ini di PII, akhirnya terjadilah adu argument yang begitu sengit antar Tan Gindo dengan sang Dosen. Awalnya berjalan baik namun akhirnya menegangkan. Suasana tersebut terjadi cukup lama juga sehingga lebih dari separu waktu perkuliahan habis karena hanya perdebatan mereka berdua di dalam kelas.
Sementara mahasiswa yang lain tak berani menjadi penengah apalagi menyanggah, malah plongak plongok saja kian kemari mendengar perdebatan mereka karena memeng rata-rata tak pernah memahami apa itu konsep yang sedang dibicarakan dan dapat dipastikan tak pernah mendengar apalagi membaca berbagai istilah referensi yang telah Tan Gindo ketengahkan. Jika adapaun dapat dipastikan tidak berani mendukung Tan Gindo atau sang dosen karena tidak memiliki keberanian sama sekali untuk begitu.
Karena memang sang dosen tidak mau mengalah dan Tan Gindo juga begitu ngotot mempertahankan berbagai argumennya dengan baik, sang dosen akhirnya merasa kewalahan dan mungkin merasa dipermalukan juga ditengah-tengah mahasiswa yang jumlahnya cukup banyak. Lebih kurang tiga kali lipat dari jumlah mahasiswa yang kuliah dikelas jurusan sendiri. Karena kelas umum memang diperuntukkan bagi semua jurusan yang ada di universitas; disitulah Tan Gindo banyak bertemu teman-teman baru dari berbagai kalangan. Disamping juga aktivis kampus, juga tersohor dalam berbagai perkuliahan yang ada sehingga Tan Gindo sempat terkenal dikarenakan karakter berani seperti itu, tak kenal takut menghadapi lawan bicara.
Setelah sesi perkuliahan kala itu, setiap masuk dalam ruang kelas dalam mata kuliah itu Tan Gindo juga merasa berasalah sekaligus juga kejenuhan. Tan Gindo akhirnya banyak mengikuti alur perkuliahan apa adanya tampa lagi banyak berkomentar, bahkan sudah sering meninggalkan ruangan perkuliahan. Tak heran pada sesi penilaian mata pelajaran Tan Gindo akhirnya terpaksa ikhlas dan puas menerima nilai C saja dari sang dosen dengan umpatan “haram bagi saya perbaiki nilai C pada perkuliahan ini, karena akan menjadi kenangan tersendiri” ujar Tan Gindo penuh kesal.
Benar adanya, sesekali dikemudian hari ketika Tan Gindo melihat ijazah S1 nya pasti selalu teringat kisah tersebut apalagi nilai C yang ia terima tersebut terletak sangat mencolok diantara nilai A & B di dalamnya. “Nilai C itu bak orang kesepian, terselib diantara nilai-nilai lainnya, menyedihkan sekali” ujarnya tersenyum sungging, mengenang. Padahal waktu itu kalau diambil lagi pada semester berikutnya dan dengan dosen lainnya Tan Gindo masih punya kesempatan lagi untuk dapat meperbaikinya, jika diinginkan.
Begitulah salah satu gaya belajar Tan Gindo di dalam kelas, perkuliahan dan dalam berbagai kegiatan lainnya, suka “menantang matahari” khususnya dalam berdiskusi. Seperti kuda yang berlari kencang, singa yang garang mengitari hutan atau bagai elang yang terbang kian kemari di alam bebas, namun tetap kembali ke sarangya. Jauh dari rasa takut dan keragu-raguan dalam berbicara dan berkomunikasi. “salah ya salah, benar ya benar dan saya akan mempertahankannya atau meminta maaf jika diperlukan” ujar Tan Gindo mengungkapkan.
Disisi lain, Tan Gindo sadar sebagaimana manusia biasa juga memilki kesalahan dan keterbatasan baik dari cara berkomunikasi, referensi dan sebagainya, namun seperti rasa malu atau sungkan Tan Gindo mengakuinya dan meminta maaf serta beritikat memperbaiki atau mencari lagi hal-hal yang belum diketahuinya di depan publik “oke, saya mohon maaf jika salah, saya akan memperbaikinya, mempelajarinya kembali dan atau membaca ulang apa yang semestinya” ujar Tan Gindo dalam berbagai kesempatan ketika kalah atau salah dalam berdiskusi. Sikap ini semakin membuat teman atau siapapun lawan bicara Tan Gindo semakin segan dan sekaligus juga memakluminya saja.
“Pelajar Islam Indonesia telah me-merdeka-kan saya” ujar Tan Gindo dalam sebuah diskusi terkait Pendidikan di Indonesia. “Sementara Pendidikan di Indensia telah menjadikan kita dalam sebuah penjara, rata-rata para siswa banyak yang terkoptasi, terpasung dan tertekan, tak bisa bekerja dengan pilihannya, jikapun bisa menyelesaikan pendidikan banyak yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk dan memberikan sumbangsih dalam menyelesaikan persoalan bangsa, kalaupun sukses banyak dengan cara yang culas, menipu dan menggunakan cara-cara yang kurang patut dan tepat” Ujar Tan Gindo dalam diskusi tersebut.
Coba perhatikan model pendidikan kita “terkesan memberikan kebebasan dan keleluasaan dalam berfikir, berbuat atau bertindak. Namun kebanyakan seperti topeng saja, kita masih ragu-ragu dan takut untuk bersikap atau berbuat karena ada ancaman laten yang menghantui kita; takut guru atau dosen kita sakit hati dan mendapatkan nilai jelek, tidak siap dikritik dan mengkritik siapapun, atau kalaupun ingin bertanya atau menanggapi banyak hanya sekedar sermonial saja untuk sebuah harapan atau kepentingan sesuatu baik bersifat material atau keterdekatan saja agar dikatakan hebat, cukup tahu dan bisa atau parahnya ingin dikenal banyak orang, padahal apa yang diucapkan sering akal-akalan tampa memahami atau mengerti apa yang sebenarnya sedang dicari” kritis Tan Gindo melanjutkan.
Dalam sebuah pendidikan ke-instrukturan pembahasan tentang metodelogi pendidikan ini pernah dikupas oleh seorang senior dengan sangat tuntas; begini uraiananya…
………….
Seorang tokoh pendidikan radikal Poulo Friere dalam bukunya “The Pedagogis Of Opperessed” (Pendidikan Kaum Tertindas) pernah berkata “inilah pendidikan gaya bank, sebuah pendidikan yang mengibaratkan seseorang yang belajar seperti menabung dan mengharapkan imbalan atau bunga kembali, atau pendidikan gelas kosong; sebuah pendidikan yang mengibaratkan siswa atau mahasiswa seperti wadah kosong yang hanya siap di isi”.
Sementara dalam konsep ilahi diyakini setiap manusia semenjak dia lahir dan berkembang sudah memiliki nilai dan makna kehidupan itu sendiri meski sebatas umur dan perjalan hidupnya, termasuk dalam hal perbedaan kemampuan dan kebebasan untuk memilih serta mengembangkan minat dan bakatnya.
Sebagai adanya manusia, seseorang pasti memiliki motivasi, pengertian dan pemahaman terhadap kondisi lingkungannya dan tugas guru atau dosen hanya bagaimana mencarikan jalan dari ketidaktahuan atau kebuntuan siswa dalam memecahkan berbagai persoalan hidup, bukan kemudian berusaha mewarnai seorang siswa agar harus mengikuti kemauan diri seorang guru.
Padahal apapun saja yang akan dipelajari jika kunci-kunci rahasia kehidupan dapat diberikan wujudnya maka dengan sendiri mereka akan berusaha mencari kunci-kunci tersebut untuk mendapatkan dan menggunakannya sendiri untuk membuka sesuatu baik ilmu pengetahuan, keterampilan dan berbagai keperluan hidup lainnya. Sehingga ketika seorang siswa terbentur pasti dia akan berusaha menyelesaikannya sendiri dengan caranya masing-masing sesuai dengan kemampuannya.
Sebaliknya, jika di anggap seperti gelas kosong kosong ketika dia terus di isi, dapat dipastikan cepat atau lambat dia akan penuh dan tumpah serta kemudian tidak bermanfaat. Kejenuhan, kebosanan, malas dan merasa serba cukup, dianggap semua sudah cukup diketahui dan tidak lagi untuk mempelajarinya lebih jauh dan mendalam. Sementara ketika dibutuhkan atau dimanfaatkan tidak tahu bagaimana menggunakannya secara baik untuk menjawab segala kemungkinan hidup.
Begitu juga dengan pendidikan gaya bank, seseorang hanya dianggap sekedar menabung pengetahuan dan pengalaman saja serta berharap hanya mendapatkan persentase bunga (keuntungan) yang sekedarnya saja dan ditagih hanya pada waktu yang telah ditentukan, sehingga banyak pengetahuan dan pengelaman tidak bisa dikembangkan secara baik dalam menghadapi berbagai kenyataan hidup. Sikap ego sentris secara tidak sadar menghidap dalam diri seseorang, kemudian menjadi kanker kehidupan padahal banyak hal dalam kehidupan harus dihadapi dan disikapi bukan hanya sekedar menjadi tontonan belaka.
Hubungan seorang guru dan siswa, layaknya bukan seperti atasan dan bawahan atau seperti nasabah dan karyawan bank yang dipisahkan hanya kepentingan sesaat belaka apalagi main perintah dan paksa, kalau tidak sesuai dengan kinerja kemudian dimarahi dan dipecat. Mestinya antara guru dan siswa dia adalah seperti sahabat kehidupan, tempat dimana setiap siswa harus bisa menjadi tempat berbagi, bercerita dan mengahadapi berbagai persoalan kehidupan.
Khususnya lagi dalam hal bersikap dan bertindak, sorang guru harus bisa membentuk seroang anak berkarakter “merdeka”; punya mental baja, kuat dalam berfikir, berani dalam bertindak dan kritis terhadap segala sesuatu yang sedang dihadapinya, bukan sebaliknya lari sebagai sorang pengecut “bak lari di medan juang”.
Tantangan bangsa kita hari ini semakin terang, kita jujur melihat kenyataan bangsa kita hari ini, memang sudah merdeka secara fisik namun banyak bersepakat mengatakan terjajah secara ekonomi dan pemikiran berbagai persoalan muncul tak terperkirakan. Kita butuh generasi yang siap menghadapi kenyataan untuk dapat merobah situasi bukan sebaliknya larut dalam kondisi kacau atau bahkan “ikut latah menjadi penjaja gaya baru”, tegasnya.
Semenjak orde pemerintahan; kolusi, korupsi, nepotisme merebak, kejahatan dan demonstrasi muncul silih berganti, konflik sosial, ras dan agama serta lainnya tak dapat terhindarkan. Serangan dari luar bangsa juga sangat dirasakan meski bukan dalam bentuk senjata api atau pertempuran fisik tapi masuk melalui penguasaan modal, issue terorisme, issue moralisme dan penguasaan teknologi disegala bidang.
Jelas musuh Indonesia sudah bermetamorfose dalam bentuk yang berbeda; gaya berfikir asal bapak senang, mementingkan dan menyelamatkan diri sendiri harus segera ditinggalkan; semua harus keluar dari sikap keterkungkungan dan menjadi orang tercerahkan; “ya, kita mesti menjadi orang yang merdeka; dengan demikian belajarlah disekolah yang merdeka, belajarlah dengan orang-orang merdeka dan berfikirlah secara merdeka yang sebenarnya” agar bisa memanfaatkan aset bangsa Indonesia yang kaya ini, semuanya adalah milik kita, bukan milik mereka diluar sana.
“Sungguahlah kokoh adat Minang, mambuek adat jo limbago, malangnyo panjajah datang, rusaklah adat dibueknyo, siriah lah pulang kagagang, pinang lah suruik katampuaknyo. Karih baliak kasaruangnyo, baju tasaruang ka nan punyo, ameh pulang katambangnyo, Kiniko coraklah barubah, alam mardeka lah tabantang, sadang manggali kasajarah, usahokan galian dek basamo. Dibilang kato nan ampek, partamo kato pusako, sanang hati santoso tampek, disinan ado raso mardeka”
(Walaupun adat istiadat kita kokoh, system pendidikan bagus pada awalnya, semua sudah hancur karena pernah dijajah dan sudah berubah, padahal semua sudah direbut melalui perjuangan yang panjang dan merdeka; saat ini pada dasarnya sudah kembali menjadi milik kita, namun tugas bersama untuk mengisi kemerdekaan melalui berbagai sumber dan sejarah massa lampau, dengan bepegang teguh pada tradisi dan memanfaatkan kebebasan saat ini disitulah kemerdekaan itu dapat diraih)
Baca berikutnya, bagian ke-5