Satu hari di tahun 1913. Ada perayaan sederhana di Nagari Pandam Gadang Suliki. Seorang remaja berusia 16 tahun diangkat jadi penghulu kaumnya dari Suku Simabur.
Kebetulan dia baru saja menamatkan pendidikannya di Kweekschool atau Sekolah Raja di Bukittinggi. Jadilah perayaan ini menghimpun dua harapan : agar kelak dia berguna untuk kaum sekaligus kampung halamannya.
Seorang penghulu akan menyandang gelar Datuak sebagai pemimpin kaumnya. Saat diangkat dia akan diikat dengan Sumpah Satie yang didahului oleh kata-kata Wallahi, Billahi, Tallahi yang semuanya mengandung makna “aku bersumpah Demi Allah”.
Sumpah Satie mengikat Penghulu selama dia menyandang gelar Datuak. Terkadang hingga akhir hayat atau bisa juga ketika gelar berpindah tangan pada Kemenakannya.
Jika kewajiban, larangan dan pantangan dalam sumpah ini dilanggar maka hidupnya akan dikutuk menjadi, “ka ateh indak ba pucuak, ka bawah indak baurek, di tangah digiriak kumbang”.
Ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak ber-urat dan di tengah dilubangi oleh kumbang mengandung makna yang sakral. Penghulu yang ingkar tidak akan didengarkan oleh yang atas, tidak akan dihargai oleh anak kemenakan serta tidak akan diajak berunding oleh sesama penghulu lainnya.
Sumpah Satie adalah sumpah untuk seribu tahun kesunyian bagi seorang penghulu. Untuk remaja berusia 16 tahun dimana harapan orang sekaum dan sekampung halaman begitu besar padanya, Sumpah Satie itu terasa sangat berat.
Besarnya harapan kaum pada seorang Datuak tercermin dalam perumpaan tentang Penghulu : aie janiah, sayak nan landai, bak kayu di tangah padang, ureknyo tampek baselo, batangnya tampak basanda, dahannya tampek bagantuang, buahnya ka dimakan, daunnyo tampek balinduang.
Remaja itu bernama Sutan Ibrahim. Ketika gelar Datuak ditegakkan untuknya dia bergelar Datuak Tan Malaka. Sepanjang usianya dia akan lebih dikenal dengan panggilan Tan Malaka.
Setelah gelar Datuak disematkan dia justru meninggalkan kampung halaman pergi ke negeri penjajah. Di Belanda dia menempuh pendidikan untuk jadi seorang guru.
Takdir hidup Datuak Tan Malaka rupanya jauh berbeda dengan para penghulu lainnya di Minangkabau. Alam terkembang jadi kampung halaman untuknya. Puluhan ribu kilometer perjalanan ditempuhnya. Berjuta gagasan lahir dari benaknya.
Dia tidak lagi jadi penghulu kaumnya Suku Simabur. Jangankan mengurus anak kemenakan sekedar menengok kampung halaman saja dia tidak. Jangankan jadi tempat bertanya untuk orang sekampungnya, keberadaannya malah senantiasa diliputi misteri.
Salahkah Datuak Tan Malaka menyia-nyiakan kaum dan kampung halamannya? Berdosa kah dia karena dulu berangkat sekolah guru setelah orang-orang kampungnya mengumpulkan uang untuknya? Pantaskah dia dikutuk karena melanggar Sumpah Satie?
Ketika alam terkembang jadi kampung halamannya maka Datuak Tan Malaka tidak lagi jadi penghulu biasa.
Dia menjadikan orang-orang yang tertindas di seluruh dunia sebagai kaumnya. Cita-citanya tidak lagi sebatas kampung halaman tetapi Menuju Indonesia Merdeka.
Segenap pejuang kemerdekaan Indonesia dalam satu era adalah anak kemenakannya. Dia adalah penghulu bagi segenap pejuang kemerdekaan Indonesia.
Sebagai penghulu dia sudah menunaikan kewajibannya. Pertama, manurik alue nan luruih. Dia yang tulang belakangnya tidak bungkuk sebagaimana kata Hatta menunjukkan lurusnya kata dan perbuatan. Bahkan di depan Lenin sekalipun dia tidak gentar berucap kebenaran.
Kedua, manampuah jalan nan pasa. Dia meletakkan dasar-dasar untuk kehidupan bermasyarakat. Kita bisa temukan pikiran-pikiran Datuak Tan Malaka dalam Madilog, Gerpolek dan berbagai pemikiran lainnya. Warisan yang tidak akan lapuk karena hujan dan lekang karena panas.
Ketiga, mamaliharo anak kamanakan. Sukarno, Hatta, Sjahrir, Yamin, Sudirman dan sederet pendiri bangsa lainnya adalah “anak kemenakan” Datuak Tan Malaka. Mereka yang gagasan kemerdekaannya ditabalkan oleh pemikiran dan petuangan Datuak Tan Malaka.
Keempat, mamaliharo harato jo pusako. Kemerdekaan Indonesia adalah harta pusaka yang harus dijaga. Lewat Persatuan Perjuangan, Datuak Tan Malaka menghimpun kekuatan-kekuatan yang mendukung kemerdekaan 100%. Dia dipenjara oleh bangsa yang diperjuangkannya bahkan kemudian dibunuh oleh orang-orang yang menyebut diri pejuang kemerdekaan.
Sumpah Satie bagi Datuak Tan Malaka adalah ikatan spritual dalam dimensi tanpa batas. Gelar Datuak baginya bukanlah anugerah tetapi tugas sejarah yang dia bawa hingga akhir hayat.
Selamat Hari Pahlawan
Tulisan ES Ito yang sudah di terbitkan di Ranah.id Untuk Seorang Adal Bonai sang petualang
Oleh: Adal Bonai
Disalin dari : http://ranah.id/
Beritasumbar.com
Sumpah Satie Tan Malaka, Urang Bagak Pajalan SurangS
Kategori -
Kolom & Opini
- Advertisement -
- Advertisement -