23 C
Padang
Kamis, Oktober 24, 2024
spot_imgspot_img
Beritasumbar.com

Pengelolaan Ulayat Sebagai Kekayaan Nagari Dalam Pemekaran Nagari Di Tapan Pesisir Selatan(Bag 8)
P

Kategori -
- Advertisement -

Sambungan bag 7: pengelolaan-ulayat-sebagai-kekayaan-nagari-dalam-pemekaran-nagari-di-tapan-pesisir-selatan-bag-7
1.3  
Mekanisme Pengelolaan Tanah Ulayat
Dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan tanah ulayat Masyarakat Minangkabau mengenal konsep ajaran adat:
Aianyo buliah diminum (airnya boleh diminum)
buahnyo buliah dimakan(buahnya boleh dimakan)   
tanahnyo tetap tingga  (tanahnya tetap menjadi hak adat tidak boleh dimilik)          
dijual indak dimakan bali        (tidak bisa diperjualbelikan)                                    
digadai indak dimakan sando (tidak bisa dijadikan jaminan sesuatu perbuatan hukum)
 Falsafah Minangkabau tersebut berarti bahwa pada hakekatnya tanah ulayat itu tidak boleh dipindahtangankan pada orang lain, baik dalam bentuk jual beli maupun gadai, masyarakat boleh saja memanfaatkan, mengelola, mengolah dan menikmati hasil dari tanah ulayat tersebut namun hak kepemilikannya tetap milik komunal dan tidak dapat dijadikan milik pribadi. Dapat diibaratkan bahwa anggota kaum, suku atau anak nagari hanya mendapat hak berupa pinjaman, bagi anggota kaum atau suku disebut ”ganggam bauntuak (genggam diberi), hiduik bapadok (hidup memiliki kerja), padang (lahan luas) bamasiang (sejenis tanaman)”. Pemegang ganggam bauntuak hanya bisa mendapatkan hak menikmati atas tanah ulayat dengan cara mengolah, dia tidak memiliki tanahnya, pemiliknya adalah semua anggota kaum, penguasaanya adalah penghulu atau mamak kepala waris.
Penggunaan tanah ulayat di Minangkabau menganut asas terpisah yaitu terpisahnya antara tanah dengan ulayat. Masyarakat adat hanya dapat menikmati hasil ulayat dan hak mendirikan bangunan diatas tanah tersebut. Apabila pemilik bangunan ingin menjual bangunannya tidak serta merta dengan tanah ulayat. Tanah ulayat terpisah dengan apa yang ada diatasnya. Disamping asas terpisah tersebut untuk tanah kaum berlaku pula asas komunal, asas keutamaan dan asas unilateral. Yang dimaksud dengan asas komunal yaitu tanah ulayat dimiliki secara bersama oleh anggota kaum. Asas keutamaan adalah bahwa kemenakan bertali darah memperoleh prioritas utama mewarisi tanah ulayat dibanding dengan kemenakan bertali adat lainnya. Sedangkan asas unilateral ialah pewarisan tanah ulayat hanya berlaku menurut satu garis keturunan yaitu keturunan ibu atau matrilineal 97.
Pertanyaan yang sangat menarik dan paling mendasar mengenai konsep pengelolaan sumber daya alam di Minangkabau diatas yaitu mengapa tanah ulayat tidak dapat dipindahtangankan? Menurut Narulloh Dt.Perpatih Nan Tuo ini sangat erat kaitannya dengan ajaran budi yang ditanamkan pada diri setiap orang Minangkabau. Ajaran adat Minangkabau menghendaki setiap orang harus bermutu tinggi. Orang bermutu tinggi itu adalah orang yang berbudi. Budi adalah kesanggupan seseorang untuk merasakan perasaan orang lain dan menolong orang yang sedang kesusahan. Orang yang berbudi halus akan mempunyai rasa tanggung jawab untuk masa yang akan datang. Yang paling penting ialah bahwa dia sanggup memikirkan hari depan anak cucunya di kemudian hari, sehingga generasi berikutnya tidak kehilangan pedoman atau kehilangan pegangan pegangan dalam menghadapi hidup dan kehidupan. Dengan berbudi orang akan saling berbuat baik, saling hormat menghormati, saling mulia dan memuliakan dan saling membalas budi, sebab menurut ajaran minangkabau seseorang tidak mau berhutang budi sebab hutang budi dibawa mati,
Dulang ameh dibaok balaia    (dulang emas di bawa berlayar)
Dulang bodi baok pananti      (perilaku baik/budipekerti yang baik  di jadikan contoh)
Utang ameh buliah dibaia      (hutang emas boleh dibayar)
Utang budi dibaok mati (hutang budi di bawa mati)
Orang yang berbudi halus mempunyai tiga dimensi tanggung jawab terhadap nilai-nilai atau warisan nenek moyang. Dimensi tanggung jawab tersebut adalah tanggung jawab terhadap masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Tanggung jawab masa lampau yaitu berupa mewarisi benda-benda yang ditinggalkan atau nilai-nilai yang diajarkan nenek moyang untuk yang bermanfaat untuk generasi sekarang. Benda yang diwarisi tersebut contohnya tanah ulayat dan nilai-nilai yang diajarkan oleh nenek moyang yaitu ajaran tentang mekanisme dan cara pemanfaatan dan pengolahan tanah ulayat. Tanggung jawab terhadap masa yang akan datang yaitu berupa usaha untuk memelihara dan melestarikan benda-benda dan nilai-nilai ajaran nenek moyang sehingga generasi masa yang akan datang tetap bisa menikmati dan memetik hasilnya dalam keadaan utuh. Apabila tanggung jawab tersebut diabaikan akan mengakibatkan kesengsaraan bagi anak kemenakan maupun bagi dirinya sendiri.
Kesengsaraan anak kemenakan dilukiskan sebagai berikut:
Sawah kariang (sawah kering)                                  
Taruko anguih (tanah yang telah diolah tidak menghasilkan)           
Anak buah sansai malarat      (anak /kemenakan atau sanak saudara serta anak menderita)
Alamat rusak alam nangko     (hanya mengakibatkan kerusakan alam semata)
 Hukuman yang akan ditanggung oleh orang yang melalaikan tanggung jawabnya, khususnya dalam bidang tanah ulayat, yakni akan mengakibatkan kesengsaraan lahir dan bathin dalam hidup dan kehidupannya sebagaimana diungkapkan dalam fatwa adat :
Ka ateh indak bapucuak (ke atas tidak ada batasnya)
Ka bawah indak baurek (tidak bisa digunakan dan dimanfaatkan)   
Di tangah-tangah digiriak kumbang (di lobangi oleh kumbang dan mengakibatkan kerapuhan )
Hiduik sagan mati indak namuah (hidup segan mati tidak mau)
Bak karakok tumbuah dibatu  (seperti kerakap tumbuh di batu)
Dimensi tanggung jawab masa kini, maksudnya adalah generasi sekarang wajib mempertahankan tanah ulayatnya dan tidak boleh meninggalkan masalah yang nantinya akan menjadi beban bagi generasi mendatang. Maksudnya adalah apabila pada masa kini ada tanah ulayat yang sedang dalam keadaan bersengketa dengan pihak lain, atau dalam keadaan tergadai kepada orang lain, generasi kini mempunyai kewajiban untuk menyelesaikannya. Generasi masa kini tidak boleh meninggalkan atau mewariskan permasalahan yang akan dipikul oleh generasi masa datang. Apabila generasi masa kini menghabiskan tanah ulayat berarti mereka telah memakan hak generasi yang akan datang. Fatwa adat mengatakan :
 Yang hanyut dipintasi             
Yang hilang dicari                  
Yang buruk diperbaiki
Yang patah ditimpa
Yang sumbing dititik
Maksudnya tanah ulayat yang tergadai segera ditebusi untuk dinikmati anak kemenakan masa kini dan masa datang. Yang patah ditimpa maksudnya tanah ulayat yang telah dijadikan hak milik menjadi kewajiban penghulu menjadikan tanah ulayat itu kembali menjadi pusako kaum atau suku. Yang sumbing dititik, maksudnya tanah ulayat dikembalikan pada keadaan semula dan apabila telah berkurang agar diusahakan menambahnya kembali.
Dalam falsafah ajaran Minangkabau nenek moyang mewariskan tanah ulayat untuk semata-mata kesejahteraan keturunannya di kemudian hari. Mereka tidak menghendaki generasi yang akan datang kehilangan pegangan atau pedoman hidup yang diungkapkan dalam fatwa adat :
Hari paneh kok tak balinduang (hari panas kenapa tidak berlindung)
Hari hujan kok tak bapayuang (hari hujan kenapa tidak berpayung)
Hari kalam kok tak basuluah  (hari gelap kenapa tidak berlampu)
Jalan langang kok tak bakawan (jalan lengang kenapa tidak ada berkawan)
 Sebagaimana telah diungkapkan diatas bahwa ulayat merupakan warisan nenek moyang untuk kesejahteraan keturunannya. Selain sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat, ulayat juga merupakan sumber penghasilan bagi penghulu-penghulu ataupun nagari. Sumber pendapatan dari ulayat ini bermacam-macam bentuknya mulai dari takuak kayu, bungo kayu, pancung alas, bunga emas, bungo tambang atau bungo karang. Dapat diuraikan sebagai berikut 98 :

  1. Takuak kayu adalah bea izin untuk membuka hutan.
  2. Bungo kayu yaitu bea yang ditarik sejumlah kayu yang ditebang untuk diperdagangkan, biasanya dipungut 10 % dari jumlah kayu yang diambil, sedangkan kayu untuk perumahan tidak dipungut biayanya.
  3. Pancung alas ialah bea yang dipungut terhadap hasil hutan seperti damar, rotan, manau, madu lebah, dan lain sebagainya.
  4. Batang emas ialah bea yang dipungut dari hasil tambang emas yang jumlahnya sesuai dengan hasil musyawarah penghulu-penghulu.
  5. Bungo emping ialah bea yang dipungut terhadap hasil ladang yang jumlahnya dari hasil kesepakatan penghulu-penghulu atau mengisi penuh-penuh, meminta kurang-kurang dari peladang. Artinya, dalam perhitungan sesuai dengan kesepakatan namun kemudian boleh minta keringanan.
  6. Bungo tambang adalah bea yang dipungut dari hasil tambang minyak, gas, batubara, dan lain sebagainya. Jumlahnya ditentukan dari hasil musyawarah penghulu-penghulu.
  7. Bungo karang ialah bea yang dipungut dari hasil laut seperti ikan, telur, penyu, karang dan lain sebagainya. Tentang ruang angkasa sampi saat ini belum pernah dibahas tentang beanya.

Hal tersebut diatas diungkapkan dalam falsafah adat yaitu :
Ka ladang babungo ampiang (ke ladang berbunga emping)
Ka rimbo babungo kayu         (ke hutan berbunga kayu)
Ka hutan bapancuang alas     (ke hutan berpancang alas)    
Ka ngalau babungo guo         (ke ngalau berbunga karang) 
Ka lauik babungo karang ke laut berbunga karang) 
Ka tambang babungo ameh    (ke tambang berbunga emas)
Hak daciang pangaluaran      (hak dasing penggeluaran)
Ubua-ubua gantuang kamudi (ubur-ubur gantung kemudi)
 Selanjutnya, menurut ajaran adat Minangkabau para bungo hasil ulayat tersebut akan dipungut oleh petugas khusus yang diungkapkan dalam falsafah adat
padang nan bajariang (hamparan  yang berbatas batas)
rimbo nan bapacek(hutan  yang berpenghuni/pemilik)
Jariang dan pacet adalah kata kiasan untuk menyebutkan petugas yang memungut hasil ulayat. Sebagai balas jasa bagi petugas yang berhasil memungut hasil ulayat tersebut diberi komisi 10 % dari seluruh hasil pungutannya. Sudah barang tentu petugas jaring dan pacet ini diangkat oleh penghulu atas kesepakatan bersama sebagai hasil musyawarah.
Apabila si pengelola ulayat tidak lagi mengolah dan memanfaatkan ulayat tersebut maka tanah ulayat dikembalikan pada pemiliknya, yakni masyarakat nagari dengan Penghulu sebagai penguasanya. Dalam fatwa adat dinyatakan :
Kabau tagak kubangan tingga(kabau berdiri kubangan tinggal)
Pusako pulang ka nan punyo (pusako pulang ke orang yang punya/pemilik)
Nan tabao sado luluak nan lakek di badan (yang terbawa hanya tanah yang nempel di badan/hasil ketika dimanfaatkan)
Pengelolaan hak ulayat di Minangkabau tidak mengenal adanya perbuatan jual beli ataupun pagang gadai. Perbuatan hukum yang dikenal dalam konteks hak ulayat di Minangkabau yaitu siliah jariah yakni mengganti jerih payah pemegang gangam bauntuak yang telah mengolah dan mengelola tanah ulayat menjadi perkebunan atau perladangan, sedangkan tanahnya tetap milik komunal. Dalam artian objek siliah jariah menurut hukum adat Minangkabau adalah hak mengolah atau menikmati hasil ulayat bukan hak atas tanahnya. Tanah ulayat tetap kepunyaan nagari, suku atau kaum. Suatu hal yang menarik dalam perbuatan hukum atas hak ulayat yaitu hibah. Dalam kehidupan sehari-hari di minangkabau tanah ulayat tidak boleh dihibahkan. Yang dihibahkan adalah hasil ulayatnya, yaitu hak mengolah, atau hak menikmati hasil tanahnya.
Khusus untuk pengaturan tanah ulayat nagari, setiap anak nagari bebas mengolahnya asalkan mendapat persetujuan dari para penghulu dalam rapat penghulu nagari. Dalam kelarasan Koto Piliang, hasil hutan ulayatnya boleh diambil dan diolah siapa saja setelah mendapat izin dan membayar pajaknya kepada penghulu yang mempunyai wewenang. Sedangkan didalam kelarasan Bodi Caniago hasil hutan nagarinya hanya boleh diambil kaumnya dengan persyaratan yang sama. Pengambilan hasil hutan seperti kayu untuk dipakai sendiri tidak dikenakan bungo. Pada prinsipnya, ulayat nagari bukan sama sekali menutup diri dari masyarakat yang berada di luar nagari untuk mengelolanya, hanya saja prioritas memang diberikan kepada anak nagari tersebut. Pengelolaan tanah ulayat suatu nagari baru diserahkan kepada orang lain setelah anak nagari tidak sanggup mengolahnya. Menurut AA navis, orang luar boleh menggarap ulayat suatu nagari disamping harus membayar bungo dengan syarat 99 :

  1. Bagi setiap orang yang telah memperoleh izin, wajib menyelesaikan pekerjaan membuka ulayat itu menurut jangka waktu yang telah disepakati. Bila tidak terpenuhi kesepakatan batal ;
  2. Pemegang izin tidak boleh memindahkan haknya pada orang lain tanpa persetujuan pemberi izin. Pemindahan hak tingkat pertama prioritasnya diberikan kepada warga suku pemilik ulayat, tingkat kedua pada warga nagari tanah ulayat tingkat selanjutnya pada sipa saja sanggup menerima pemindahan hak itu;
  3. Pemegang izin wajib mengembalikan hak izinnya kepada penghulu yang memberikannya, apabila pemegang tidak hendak melanjutkan usahanya dan tidak ditemui orang yang mau menerima pemindahan hak itu. Pemegang izin berhak menerima pampasan dari penghulu yang memberikan izin dalam jumlah yang disepakati. Lazimnya sebanyak bea yang pernah dikeluarkan;
  4. Apabila pemegang izin meninggal tanpa ahli waris, tanah garapan itu menjadi arato gantuang (harta gantung) untuk jangka waktu tertentu. Bila kemudian pemegang izin ternyata mempunyai ahli waris, maka hak izin dapat diteruskan.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep dasar penguasaan tanah pada masyarakat hukum adat minangkabau yakni sebagai berikut 100 :

  1. Tidak adanya tutupan muka bumi yang tidak berempunya, mulai pinggiran pantai sampai ke puncak gunung telah berempunya. Ungkapan adat menyatakan :

sagalo nego utan tanah           (segala nego hutan tanah)
kok ngalau nan ba paunyi       (kok ngalau yang berpenghunyi)
dari jirek nan sabatang (dari batas yang telah ditentukan)    
sampai ka rumpuik nan sahalai (sampai rumput nan sehelai)
kok capo nan sarumpun (tumbuhan  yang sarumpun)                       
atau batu nan sabuah  (atau batu yang satu buah)    
kok aia nan satitiak     ( atau air yang setitik)
ka lauik nan sadidiah  (ke laut yang sehamparan)     
ka ateh taambun jantan(ke atas tinggi menjulang lurus)       
ka bawah rakasiak bulan  ”pitalo bumi” (ke bawah sampai pusat bumi’pitalo bumi’)                                
adolah panghulu nan punyo ulayat (adalah penghulu yang memiliki ulayat)

  1. Tanah tidak boleh dipindahtangankan dan harus dipertahankan keberadaannya. Ini diungkapkan dalam fatwa adat :

sawah ladang banda buatan   (sawah ladang yang dialiri irigasi yang dibuat)
sawah batumpak di nan data(sawah bertumpuk di hamparan yang datar)   
ladang babidang di nan lereang(ladang berbidang bidang  di hamparan kemiringan)
banda baliku turuik babukik    (sungai berliku liku mengikuti alurbukit)
cancang latiah niniek muyang(nenek moyang membuat hamparan sawah dan hamparan ladang sjak dahulunya yang diwarisi secara turun temurun)
tambilang basi rang tuo-tuo (dengan semangat tinggi serta peralatan yang sederhana membuat lahan pertanian bagi keturunanya )
usah tajua tagadaikan (tidak boleh dijual dan digadaikan)
kalau sumbiang batitiak(kalau sumbing ditambal)
patah batimpo (patah diperbaiki)  hilang bacari, ( hilang dicari sampai ketemu)
tarapuang bakaik, tabanam basilami (terapung diambil pakai alat, terbenam diselami serta diangkat)
kurang ditukuak, ketek di pagadang (kurang ditambah, kecil diperbesar)
senteang babilai, singkek diuleh (kalau kurang ditambah, kalau pendek ditambah panjangnya) 

  1. Pengertian tanah adalah permukaan bumi, apa yang terdapat di dalam dan diatasnya, termasuk juga perairan. Dalam fatwa adat dinyatakan bahwa :

Ka ladang babungo ampiang(ke ladang berbunga emping)
Ka rimbo babungo kayu (ke hutan berbunga kayu)
Ka hutan bapancuang alas (ke hutan berpancung alas)
Ka ngalau babungo guo(ke ngalau berbunga gua)
Ka lauik babungo karang(ke laut berbunga karang)
Ka tambang babungo ameh(ke tambang berbunga emas)
Hak daciang pangaluaran(hak desing pengeluaran)
Ubua-ubua gantuang kamudi  (ubur-ubur gantung kemudi)
 

  1. Penggunaan tanah sudah ditata sesuai dengan kondisi tanah, sehingga terlihat adanya kearifan lingkungan di dalam penatagunaannya. Ungkapan adat menyatakan :

ado basasok bajarami(ada mempunyai sawah yang produktif dan menghasilkan padi)
ado bapandam pakuburan(ada tempat/komplek kuburan untuk orang banyak)
ado babalai bamusajik (ada tempat pemerintahan  dan tempat musyawarah serta tempat beribadah)
ado batapian tampek mandi (ada tempat mandi  dan atau MCK)
ado bapadang panggumbaloan (ada hamparan padang untuk penggembalaan hewan ternak)
ado barimbo tampek maambiak kayu  (ada hutan tempat menebang kayu untuk pembangunan)
 

  1. Penggunaan tanah oleh orang yang berasal dari luar kerabat matrilineal dibolehkan, dengan ketentuan :

adat diisi limbago dituang(memenuhi norma adat yang telah ditentukan dan diwarisi mekanismenya secara turun temurun)
kabau tagak kubangan tingga (tidak boleh dimiliki oleh penggarap)
pusako pulang ka nan punyo (tidak boleh dipindah tangankan hak kepemilikan  yang telah diwarisi secara turun temurun)

  1. Penggunaan tanah untuk oleh pihak lain dapat dilakukan dengan ketentuan:

urang mandapek, awak indak kailangan (hanya bisa dimanfaatkan tanpa perpindahan hak turun temurun)
indak basikek batang pisang (tidak bisa dibagi bagi hak kepemilikan )
patuik sarato jo mungkin (sesuai dengan norma yang berlaku dan mungkin dilaksanakan)
Bangso jan sampai pupuih, (bangsa jangan sampai musnah)
tanah ulayat jan sampai ilang, (tanah ulayat jangan sampai hilang)
suku jan sampai baranjak (suku  jangan sampai beralih) dan
hak jan  sampai abih   (dan hak jangan sampai habis)
97 loc.cit, hal 10
98 lop.cit, hal.21
99Op.cit.hal.88
100 Op.cit.hal, 56
Bersambung ke Bag 9: pengelolaan-ulayat-sebagai-kekayaan-nagari-dalam-pemekaran-nagari-di-tapan-pesisir-selatanbag-9

- Advertisement -
- Advertisement -

BERITA PILIHAN

- Advertisement -
- Advertisement -

Tulisan Terkait

- Advertisement -spot_img