Payakumbuh,beritaSumbar.com- Cerita sejarah tentang Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di kota Payakumbuh tidak akan bisa lepas dari satu nama ini. Mardisun, tokoh pejuang asal Koto Baru Balai Janggo Nagari Koto Nan Godang Kecamatan Payakumbuh Utara Kota Payakumbuh.
Nama Mardisun sangat dikenal dikalangan tua di Koto Nan Godang Payakumbuh Utara. Mungkin untuk generasi 80an sampai sekarang nama Mardisun mungkin terasa asing didengar apalagi mengetahui sepak terjang Mardisun dimasa mudanya.
Pasca Proklamasi nama Mardisun mulai dikenal dikalangan pemuda Koto Nan Godang khususnya dan Payakumbuh umumnya. Aksi heroiknya melucuti atau merampas senjata tentara Jepang patut diacungkan jempol.
Saat Belanda dan bala tentaranya kembali ingin menancapkan kukunya di bumi Luak Limopuluah, mardisun dengan sigap menggalang kekuatan pemuda untuk melawan Belanda. Dengan senjata apa adanya kekuatan pemuda gerilya berhasil disusunnya.
Baca Juga: Mardisun, Pejuang Tangguh Dari Koto Nan Godang
Pada 19 desember 1948 Belanda mulai melancarkan agresi ke 2. Payakumbuh dibombardir dari udara. Pada tanggal 23 Desember 1948 tentara Belanda melancarkan serangan lebih ganas lagi. Payakumbuh diserang dari darat dan udara.
Serangan Belanda pada 23 Desember tersebut tidak mendapat balasan sedikitpun dari Badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK). Mereka terpaksa menyingkir menghindari pertempuran jarak dekat karena tidak memiliki persenjataan lengkap.
Tidak terkira kepanikan masyarakat kala itu. Lewat tengah malam pada 23 Desember 1948 tersebut dikumpulkanlah para pemuda yang dulunya bergabung dengan BPNK dengan jumlah lebih kurang seribu orang. Namun yang hadir hanya sekitar sepuluh orang tanpa memiliki sepucuk pun senjata api. Hanya bermodalkan golok dan senjata tajam lainnya. Mereka banyak yang ikut mengungsi bersama masyarakat lainnya.
Mardisun bergerak cepat menyusun pasukan dari para pemuda pemuda Koto Nan Godang untuk membentuk kesatuan gerilya melawan Belanda yang sudah menduduki Payakumbuh.
Pemuda yang dikumpulkan untuk bergerilya melawan Belanda tersebut diberi nama Pasukan Pemuda gerilya Antara. Mereka berjuang bersenjatakan apa saja yang bisa dipakai melawan musuh., Selain senjata tajam juga dengan senjata api hasil rampasan dan ada yang di beli ke daerah Riau oleh perantara gerilyawan masa itu.
Semenjak terbentuknya Pemuda Gerilya Antara, Belanda dibuat tidak nyaman siang dan malam oleh Mardisun bersama pasukan gerilyanya. Sampai kepala Mardisun dihargai Puluhan ribu gulden ditambah Kain dasar pakaian belasan kabung/potong/gulungan.
Namun perjuangan Mardisun tidak hanya melawan tentara Belanda saja. Pengkhiatan anak bangsa juga jadi musuh berat pasukan Gerilya Antara kala itu. Belanda memanfaatkan tokoh masyarakat yang mau berpihak kepada mereka untuk melumpuhkan perlawanan pasukan pemuda gerilya Antara.
Bukan Mardisun namanya kalau hanya akan menyerah begitu saja dibawah ancaman Belanda dan kaki tangannya.
Saudara takut dengan Belanda atau dengan takut Kepada Pemuda Gerilya? Kalau perlu Seluruh negeri kami bumi hanguskan demi mempertahankan kemerdekaan negara Republik Indonesia ini, kata Mardisun dengan lantang dihadapan Rombongan kaki tangan Belanda yang datang membujuk Mardisun masa itu.
Pernyataan itu dibuktikan oleh Mardisun. Setelah masyarakat diperintahkan mengungsi kedaerah yang lebih aman, Koto Nan Godang dikosongkan, Mardisun dan pasukannya memulai aksi bumi hangus. Aksi ini dimulainya dari rumah orang tuanya sendiri. Hanya Rumah Ibadah yang tidak boleh dibumihanguskan oleh Mardisun.
Aksi ini bertujuan agar bangunan yang ada tidak di pergunakan oleh Belanda dan mengamankan kaum perempuan dari kebinalan tentara Belanda beserta kaki tangannya. Koto Nan Godang otomatis menjadi ajang pertempuran saban hari. Malam hari Pasukan gerilya menyerang. Siangnya Belanda melakukan penyisiran.
Pada Jumat 11 Februari 1949, Belanda melakukan tindakan keji terhadap pemuda Koto Nan Godang. Belanda mengepung Masjid Gadang koto Nan Godang yang kala itu sedang berlansung Sholat Jumat. Dengan kebiadabannya Tentara Belanda memasuki Masjid dan menangkap 3 pemuda yang sedang melaksanakan Sholat Jumat.
Subuh Sabtu 12 Februari 1949 ketiga pemuda tersebut ditembak oleh tentara Belanda di simpang jalan masuk perkarangan masjid Gadang Koto Nan Godang Payakumbuh Utara.
Sejak kejadian tersebut, pemuda gerilya Antara dibawah komando Mardisun terus melakukan perlawanan.
Menghabisi kaki tangan Belanda menjadi target utama pasukan gerilya. Dt Karayiang Wali Nagari Koto Nan Godang dan Dubalang Paduko Dewa kaki tangan utama Belanda kala itu jadi amukan pasukan Gerilya. Walau Selamat dari maut namun alami cedera seumur hidup akibat tebasan dan tembakan senjata para gerilyawan yang menyergap mereka dari tiga arah.
Malam usai penyerangan tersebut wali nagri Koto Nan Godang lansung diganti. Syamsuar Yahya salah seorang tokoh dari Koto Nan Godang yang baru sampai dari Pekanbaru pulang kampung dengan jalan kaki lansung ditunjuk sebagai wali perang nagari Koto Nan Godang masa itu.
Memasuki Bulan Maret di tahun 1949 Mardisun ditunjuk sebagai ketua pemerintahan Darurat Kota Payakumbuh. Sesuai dengan SK Gubenur Militer Pe.Ma./M.P2 Gubernur Militer No,001/Ist.Rahasia Tanggal 1 Maret 1949. Dengan Tugas membentuk dan menjalankan pemerintahan darurat Di Kota Payakumbuh.
Sebagai wakil yang berkedudukan dalam kota ditunjuk Dr Adnan WD, dengan anggota Djoefri yang waktu itu menjabat sebagai jaksa di daerah pendudukan Belanda dibantu Damir Djanid – Zaidar Noerdin dan Chadir ditunjuk sebagai penghubung.
Sementara untuk organisasi Pemuda Pelajar yang ikut berjuang didaerah pendudukan Belanda dengan tugas penyelidikan dan sabotase di tunjuk Bustanul Arifin, Anwar Nawawi, Azlir dan marlius.
Perlawan bersenjata yang dilakukan pemuda gerilya Antara nagari Koto Nan Godang terhadap tentara Belanda berhenti setelah ada perintah menghentikan tembak menembak dari Gubernur Militer Inspeksi II Sumatera Barat tertanggal 30 Agustus 1949. Surat tersebut berisikan penghentian tembak menembak karena akan adanya serah terima kedaulatan Kepada Negara Republik Indonesia Serikat dari Belanda.
Terjadi silang pendapat dalam menentukan batas demarkasi waktu itu. Belanda meminta batas dibalik batang Sinamar, di Tanjung Pati. Sementara pejuang meminta di Balik Batang Lampasi Tanjung Anau, Karena Tanjung Anau adalah markas pertahanan Pejuang yang tidak akan pernah mereka tinggalkan walau nyawa taruhannya.
Pada hari timbang terima Kota Payakumbuh Mardisun bersama Mayor A.Thalib dan salah seorang dari Corp Polisi Militer berpangkat Kapten memeriksa pos pos pengawalan yang ada di dalam kota. kesibukan membenahi pemerintahan baik sipil maupun militer terlihat disetiap sudut Kota Payakumbuh. Tidak ketinggalan juga dari partai politik maupun organisasi kemasyarakatan.
Ada peristiwa yang berkesan dalam diri seorang Mardisun dimasa 3 hari usai penyerahan kedaulatan atau timbang terima Kota Payakumbuh. Dalam tulisan Peristiwa Sejarah Pemuda gerilya Antara Koto Nan Gadang Payakumbuh, Mardisun menceritakan saat dirinya dipanggil Mayor A.Thalib ke markasnya di Rumah LAMID (Samping SMPN 1 Payakumbuh)
Dirumah tersebut sudah ramai menunggu. Ada yang dari sipil juga ada dari militer. Mereka duduk membentuk setengah lingkaran. Sementara Mardisun duduk menghadap mereka semua. Gelagat mereka seakan melihat seorang terdakwa saat memandang kita, tulis Mardisun dalam buku tersebut.
Mayor A Thalib memulai pembicaraan. Ia menerima informasi bahwa pasukan Gerilya yang kita pimpin akan melakukan aksi penyerangan terhadap pasukan NICA dan mereka yang berpihak kepada Belanda.
Mendengar tuduhan yang tidak pada tempatnya itu Mardisun minta Mayor A Thalib untuk membuktikan informasi yang dia dapat. Yang hadir di markas tersebut tidak ada yang bisa menjelaskan dan membuktikan tuduhan tentang pasukan Gerilya akan melakukan serangan terhadap tentara Belanda usai serah terima Kota Payakumbuh.
Mardisun langsung berdiri di tengah mereka. Dengan suara lantang Mardisun menjawab tuduhan tersebut ” Kalau saudara saudara tidak bisa memberikan tanda bukti, Tuduhan tidak dapat kami terima dan ini kami anggap sebagai sebua penghinaan.
Dan untuk saudara saudara ketahui kami berperang angkat senjata untuk agama dan negeri kami yang diinjak injak Belanda. Dan sampai saat ini orang tua dan adik saya masih ditawan Belanda, Cukup sudah rasanya pengorbanan kami para gerilyawan dalam berjuang. Puluhan pemuda pejuang meregang nyawa diujung senjata Belanda, Rumah rumah hancur terbakar, belum lagi harta benda berharga lainnya yang tidak ternilai harganya menjadi korban peperangan. Saudara jangan asal menuduh seenaknya saja, kata Mardisun dihadapan Mayor A.Thalib.
Kami bersyukur Belanda sudah meninggalkan negeri kami ini, Sekarang saya balik bertanya kepada saudara saudara, dimana saudara selama Belanda Menduduki Kota Payakumbuh?
Kalau saudara tidak bisa membuktikan, kami beritahu saudara bahwa siapa saja yang akan mengadakan atau membuat kekacauan akan berhadapan dengan pasukan Gerilya Antara. Kata Mardisun seperti yang ditulisnya dalam catatan pemuda pejuang Koto Nan Gadang.
Ditahun 1980 Mardisun mengumpulkan tulang belulang teman temannya yang gugur dimasa perjuangan untuk dimakamkan di Makam Pejuang di Balai jariang Kelurahan balai Tangah koto Payakumbuh Utara. Makam Pejuang 45 tersebut sudah dirintis oleh H Mardisun semenjak pemerintahan orde lama. Baru pada tanggal 21 Februari 1980 rencana tersebut bisa terwujud.
Seluruh makam teman temannya yang bertebaran di beberapa kelurahan di Koto Nan Gadang dibongkar dan dipindahkan ke Makam Pejuang 45. Pemindahan makam tersebut ditandai dengan serah terima peti berselimut merah putih berisi tulang belulang pejuang yang syahid dalam mempertahankan kemerdekaan oleh Gubernur Sumbar Letjend H Azwar Anas di kantor KAN Balai Gadang koto Nan Gadang. Panglima Kodam 17 Agustus Mayjend Soelarso.
Pada tahun 1987 makam dipugar oleh H Marlius gelar Imam Pandito Ibrahim ex anggota Pasukan Gerilya Antara. H Marlius ini juga yang membangun tugu di Jembatan batang agam yang sampai sekarang dikenal dengan nama Tugu Ratapan Ibu. Tugu seorang perempuan yang menunjuk ke arah aliran batang agam disisi jembatan yang dibangun belanda pada tahun 1830an tersebut.
Tugu ini dibangun untuk mengenang para pemuda pejuang yang gugur dieksekusi Belanda tengah malam dan jasad mereka hanyut terbawa arus aliran Batang Agam.
Note: Tulisan ini dalam bagian mencari dan mengumpulkan data tentang H Mardisun untuk disusun menjadi sebuah buku. Bagi dunsanak atau pembaca yang bisa menambahkan informasi atau ada yang harus dikritisi dari tulisan diatas boleh menghubungi kita di nomor kontak 085356684109 (tlp/wa)