Payakumbuh,BeritaSumbar.com,-Nama Mardisun mungkin tidak seberapa lagi yang tahu apalagi kenal dengan sepak terjangnya di Koto Nan Godang khususnya dan Kota Payakumbuh umumnya. Tokoh satu ini pernah masuk daftar buronan Belanda pasca kemerdekaan republik ini. Bahkan Ribuan Gulden ditawarkan bagi siapa yang bisa menangkap hidup atau mati Mardisun oleh Belanda waktu itu.
Pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia Mardisun sudah memulai menunjukan baktinya untuk bangsa ini. Mardisun menggerakan pemuda untuk merampas senjata milik tentara Jepang. Baik dengan cara terang terangan maupun mencuri ke barak tentara Nippon tersebut. Tentu untuk melakukan hal seperti ini dibutuhkan nyali yang kuat. Tapi tekad Mardisun dan kawan kawan sudah bulat. Senjata harus didapat. Bagaimanapun cara akan dilakukan dan resiko akan dihadapi.
Salah satu cara terang terangan merampas senjata tentara jepang adalah dengan menjegal mereka saat patroli di seputaran Simpang benterng menuju Rumah Sakit Umum. Ketika mereka berjalan dengan senjata dipundak, para pemuda dibawah komando Mardisun membegal dari belakang dengan kayu panjang/galah yang diujungnya sudah dipasang sabit tajam. Dengan perantara Galah panjang sabit dikalungkan ke leher tentara Jepang tersebut. Apapun terjadi para pemuda sudah siap menanggung resiko. Yang ada dalam ingatan hanya kuasai dan miliki senjata milik tentara Jepang.
Hal ini dilakukan karena bala tentara Jepang yang ditempatkan di Payakumbuh enggan menyerahkan senjatanya kepada para pemuda pengawal negeri ini. Hal ini memicu emosi para pemuda sehingga terjadi aksi perampasan senjata Tentara Jepang. Baik itu di gudang senjata mereka yang di Kubu Gadang Payakumbuh Utara maupun di padang Cubadak Sicincin Mudiak Payakumbuh Timur sekarang.
Dalam catatan kenangannnya Mardisun ,mencatatkan nama Kausar salah seorang pemuda Koto Nan Godang yang gugur di Padang Cubadak Sicincin saat berjuang merebut senjata tentara Jepang.
Kiprah Mardisun mulai tercatat dalam sejarah saat Belanda melakukan agresi militernya yang ke 2. Dikisaran tahun 1948-1949 Indonesia berguncang dengan serangan tentara Belanda tersebut. Tidak juga luput Kota Payakumbuh yang berada jauh di tengah pulau Sumatera. Minggu/ahad 19 Desember 1948 Belanda melancarkan serangannya ke Luak Limopuluah. Pusat Kota Payakumbuh sekarang diobrak abrik Belanda dari udara.
Tanggal 23 Desember 1948 Sore Belanda mulai masuk dan menduduki Payakumbuh. letusan dan tembakan dari darat dan udara tidak mendapat sambutan perlawanan masa itu. Belanda berhasil menduduki Payakumbuh tanpa perlawanan sedikitpun. Barisan dari badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) yang disiapkan disepanjang Jalan Koto Nan Godang (Jalan Jendral Soedirman sekarang) terpaksa menghindar karena tidak mempunyai senjata untuk menghadang tentara Belanda.
Kepanikan masyarakat tidak terkira masa itu. Entah kepada siapa minta tolong. Hanya Iman yang kuat akan kekuasaan Allah swt membuat mereka bertahan di rumah masing masing.
Masyarakat yang dihantui kecemasan akan serangan dari pasukan Belanda banyak yang mengungsi keluar dari Nagari Koto Nan Godang.
Lewat tengah malam hari di 23 Desember 1948 tersebut dikumpulkanlah para pemuda yang dulunya bergabung dengan BPNK dengan jumlah lebih kurang seribu orang. Namun yang hadir hanya sekitar sepuluh orang tanpa memiliki sepucuk pun senjata api. Hanya bermodalkan golok dan senjata tajam lainnya. Mereka banyak yang ikut mengungsi bersama masyarakat lainnya.
Mardisun bergerak cepat menyusun pasukan dari para pemuda pemuda Koto Nan Godang untuk membentuk kesatuan gerilya melawan Belanda yang sudah menduduki Payakumbuh.
Pasukan Gerilyawan yang diberi nama Gerilyawan Antara. Mereka berjuang bersenjatakan apa saja yang bisa dipakai melawan musuh., Selain senjata tajam juga dengan senjata api hasil rampasan dan ada yang di beli ke daerah Riau oleh perantara gerilyawan masa itu.
Perjuangan Mardisun dan pasukan gerilyawan tidak hanya Belanda yang kembali datang menjajah negeri ini, tapi juga dari orang orang lokal yang memihak Belanda. Seperti Wali Nagari Koto Nan Godang masa itu Dt Karaiang dan Dubalang Paduko Dewa.
Pada 2 Pebruari 1949 Rombongan Kepala Nagari yang di pimpin Dt Karaiang bersama dua orang pemuda datang menemui Mardisun di Masjid Arsyad Nankodok. Dalam pertemuan itu terjadi perdebatan sengit.
Dt karaiang datang membawa pesan dan bujukan dari Belanda agar para pemuda dan masyarakat Koto nan Godang patuh dan tunduk atas perintah Belanda demi menjaga keamanan dan tidak ada terjadi pertumpahan darah. Orang orang diwajibkan pakan ban lengan yang di stampel Belanda.
Jawaban Mardisun cukup keras Tidak boleh berhubungan dengan musuh.
Dt karayiang mulai memainkan ancaman, jika tidak mematuhi aturan yang dikeluarkan oleh Belanda, maka Belanda akan membangun pos pos mulai dari Tanjuang Anau sampai ke Pusat Kota. Dengan tertawa Mardisun menjawab. Silahkan, tidak perlu kami jauh jauh ke pusat Kota menyerang Belanda (SMPN 1 Payakumbuh Sekarang dulu merupakan pos Belanda dimasa Agresi ke 2) .
Mendengar jawaban dari Mardisun pesuruh Belanda ini naik pitam. Jika tidak mau menyetujui Belanda akan membakar Nagari Koto Nan Gadang Kata Dt Karaiang.
Dengan lugas Mardisun menjawab, Saudara takut dengan Belanda atau dengan takut Kepada Pemuda Gerilya? Kalau perlu Seluruh negeri kami bumi hanguskan demi tercapainya kemerdekaan negara Republik Indonesia ini, kata Mardisun dihadapan Rombongan kaki tangan Belanda Tersebut.
Perkataan tersebut dibuktikan oleh Mardisun. Koto Nan Gadang dijadikan Lautan Api. Aksi bumi hangus dimulai dari membakar rumahnya sendiri. Seluruh Bangunan yang akan bisa dimanfaatkan Belanda dibakar, kecuali rumah ibadah. Dua orang pemuda pejuang diutus Mardisun untuk aksi bumi hangus tersebut. Salah seorang meninggal diujung senapan Belanda. Satu orang selamat dan meninggal sampai akhir hayat dan dimakamkan di makam Pejuang 45 balai jariang kelurahan balai Tongah koto payakumbuh Utara.
Cerita Aksi bumi hangus Koto Nan Gadang ini penulis dengar langsung dari alm H Mardisun saat melepas jenazah Alam Anwar bay tokoh pemuda pejuang yang selamat saat menjalankan tugas bumi hangus dari Mardisun. Di saat pemakaman tersebut Alm H Mardisun menceritakan perjuangan temannya tersebut di masa darurat (Sebutan untuk masa agresi militer Belanda ke 2 oleh masyarakat Koto nan godang)
Pasca kejadian tersebut situasi keamanan di nagari Koto Nan Godang makin memanas. Jumat 11 Februari 1949 terjadi peristiwa yang tidak bisa dilupakan. Belanda tunjukan kebiadabannya kepada pemuda Koto nan Godang. Sebelum selesai pelaksanaan Sholat Jumat, Belanda mengepung dan memasuki masjid Gadang Koto Nan Godang yang berada di Balai Gadang, Kelurahan Balai Tongah Koto Sekarang.
Belanda memeriksa setiap jamaah didalam masjid tersebut. Serta menangkap 3 orang pemuda yang sedang melaksanakan sholat Jumat. Ketiga pemuda tersebut Hamdani, Radinas dan Matrusi. Esoknya Sabtu Subuh ketiga pemuda tersebut ditembak Belanda di simpang jalan masuk Masjid gadang Koto Nan Godang tersebut.
Kejadian ini menambah bulat tekad pemuda Koto Nan Gadang untuk tidak meninggalkan Nagari mereka. Semangat menuntut balas makin membara. Selain penyerangan setiap malam, juga dilakukan pemblokiran sembako menuju pasar Payakumbuh yang menjadi daerah dudukan Belanda. Tidak akan dibiarkan masuk kota sebutir beras maupun telur dan sembako lainnya. begitu tekad pemuda pejuang Koto Nan Gadang dalam mensabotase tentara Belanda.
Sabtu 20 februari 1949, Mardisun mengadakan rapat di sebuah rumah yang berada di tengah tengah areal persawahan Koto Nan Gadang, di Munggu Panjang Sawah loweh Namanya. menjelang rapat usai datang Chaidir yang biasa menjadi kurir para pejuang dalam berkomunikasi. Chaidir membawa surat dari kepala nagari untuk rapat malam itu sekira jam 19.00 wib disebuah rumah yang berada di Balai Jariang Kelurahan Balai Tongah koto Sekarang.
Sebelum Maghrib Mardisun dan temannya M.Noer bergerak menuju masjid Arsyad Nankodok, yang mana masjid ini merupakan salah satu markas pemuda pejuang Koto Nan Godang. Sebelum melaksanakan sholat maghrib, Mardisun meminta pendapat dan arahan dari Syech Haji ja’far bahwa mereka di undang untuk rapat malam ini di Balai Jariang oleh Dt Karaiang. Apakah kami perlu menghadiri atau tidak? begitu pertanyaan diajukan kepada Ulama Kharismatik yang juga merupakan penasehat Pemuda Gerilya Koto Nan Godang. Awalnya Beliau menjawab boleh. Pergilah, begitu kata beliau, Namun sebelum Mardisun dan M.Noer Pamit, Syech Haji Ja’far menyuruh mereka duduk kembali. Mardisun duduk sementara M.Noer berdiri. Dalam situasi tersebut Buya Ja’far menanyakan perasaan mereka, Sangsi begitu Mardisun Menjawab. kalau Sangsi jangan pergi kata Buya H. Ja’far panggilan akrab ulama pendiri masjid Arsyad ini. Sementara M.Noer berdiri dan menyatakan akan menghadiri pertemuan tersebut.
Esoknya 21 februari 1949 subuh Chaidir datang ke Nankodok mencari mardisun. Sambil menangis Chaidir membangunkan Mardisun yang tidur disalah satu rumah gadang beratap ijuk dibelakang masjid Arsyad Nankodok. Cahidir mengabarkan bahwa kawan kawan yang hadir rapat malam itu semuanya gugur ditembak tentara Belanda.
Mardisun langsung perintahkan kawan kawan yang masih tersisa untuk segera melakukan penyelidikan atas kejadian berdarah tersebut. Sementara Mardisun untuk sementara menyingkir ke arah selatan tepatnya ke arah Batu payung Nagari gadut karena Belanda makin gencar mencari Mardisun Hidup atau mati.
Bukan Mardisun namanya yang akan patuh dan tunduk saja akan bujuk rayu Belanda melalui perpanjangan tangan mereka seperti Dt karaiang ini. Penolakan dari ucapan dan kontak senjatapun dilakukan oleh Mardisun dan kawan kawan terhadap pengkhianat Bangsa tersebut.
Duo pengkhianat Negeri tersebut cukup banyak membocorkan rahasia para pejuang kepada Belanda. Tidak sedikit pemuda Koto Nan Godang gugur di tembus pelor senapan tentara Belanda.
Mardisun tidak tinggal diam. Perintah tembak mati Dt Karaiang pun dikeluarkannya. Karena tidak mungkin diserang ketika malam, hadang dan tembak di siang hari. Begitu perintah Mardisun kepada pasukan pemuda Gerilya. Dalam catatannya Mardisun menuliskan bahwa perintah itu dilaksanakan pada tanggal 25 Februari 1949.
Penghadangan dilakukan dari 3 sisi/penjuru. Siangnya sekira Jam 12.00 wib sampai jam 13.00 wib, Dt Karayiang ditemukan dirumah istrinya. Gerilyawan langsung perintahkan Dt Karayiang ini merangkak turun dan disambut tembakan oleh pejuang yang sudah menunggu dihalaman. Paduko Dewa Dubalang Dt Karayiang langsung meloncat kehalaman dengan niat memberikan pertolongan, Pemuda pejuang ternyata sudah siap menanti dengan sambaran golok. Tebasan Golok pemuda mengena kepala Paduko Dewa. Pekik kesakitan dibawa berlari oleh Paduko Dewa kearah Simpang benteng untuk meminta pertolongan pasukan Belanda.
Tidak berselang lama tentara Belanda meluncur kearah Balai Gadang koto Nan Gadang Memberikan bantuan untuk kaki tangannya yang habis diserang para pejuang.
Para pejuang tidak mau ambil resiko tinggi langsung menyelamatkan diri meninggalkan kaki tangan Belanda tersebut bersimbah darah.
menghindari serangan balik dari tentara Belanda, mardisun dan kawan kawan malamnya bersembunyi di semak semak di pinggiran Batang Lampasi dekat Tanjung Anau. dimalam itu ada 24 orang pemuda bergabung bersama Mardisun. Mereka menyatakan tekad siap bergabung dengan gerilyawan Koto Nan Godang untuk melawan Belanda. Malam itu juga mereka disumpah siap berjuang sampai tetes darah penghabisan demi bangsa dan agama.
Bertepatan dengan malam itu Syamsuar Yahya salah seorang tokoh Koto Nan Godang pulang dari Pekan Baru dengan berjalan kaki ke Payakumbuh. Beliau langsung ditunjuk sebagai wali perang nagari Koto Nan Godang untuk menyelamatkan masyarakat yang sudah banyak mengungsi menyelamatkan diri.
Tanggal 26 Februari 1949 atau sehari sesudah penyerangan terhadap Dt Karayiang datang informasi dari Rumah Sakit Umum Payakumbuh. Dr Adnan WD yang masa itu kepala Rumah Sakit Umum mengabarkan melalui Chaidir bahwa Dt Karayiang kakinya sebelah hancur dihantam peluru tapi tidak mati. Mendengar informasi Dt Karayiang tidak mati, emosi para pemuda kembali tersulut. Mereka minta izin untuk mendatangi rumah sakit guna menghabisi Dt Karayiang. Tapi mardisun melarang demi keselamatan mereka.
Untuk mencegah masyarakat terprovokasi oleh Belanda melalui kaki tangannya, Mardisun menyebarkan selebaran yang berisi penjelasan tentang penembakan Dt Karayiang. Sehingga masyarakat bisa paham dan menjadi catatan sejarah negeri ini.
Awal Maret 1949 Mardisun mengeluarkan perintah kepada masyarakat umum untuk mengosongkan Nagari Koto Nan Godang. hal ini seiring dengan hasil musyawarah para ulama Sumatera Tengah masa itu. Tidak boleh tinggal di daerah pendudukan musuh, apalagi untuk bekerjasama dengan mereka, Haram hukumnya dan halal darah mereka ditumpahkan.
Akhirnya masyarat Koto Nan Godang berbondong bondong mengungsi keluar daerah yang dirasa aman untuk ditinggali sementara. Dan para pejuang bisa bergerak bebas siang dan malam menyerang Belanda. Para pemuda ramai ramai menyatakan diri bergabung berjuang bersama gerilyawan untuk melawan tentara Belanda.
Dalam catatannya Mardisun menuliskan pukulan terberat yang beliau rasakan saat masyarakat sibuk mengungsi adalah saat kedatangan sang ibunda dan anak gadisnya ke markas Pejuang di Tanjuang Anau.
Sang ibu keberatan untuk ikut mengungsi karena sangsi/ragu meninggalkan rumah. Namun Mardisun dengan tetesan air mata berusaha meyakinkan sang ibunda untuk ikut mengungsi dulu demi keselamatan keluarga dari kekejaman tentara Belanda. Apalagi status Mardisun orang buruan nomor satu oleh Belanda di Kota Payakumbuh ketika itu.
Siang dan malam para pejuang melakukan perlawanan dengan bergerilya melawan tentara Belanda setelah masyarakat mengungsi keluar dari nagari Koto Nan Godang.
Untuk menghambat gerakan tentara Belanda menyerang basis pejuang di Tanjuang Anau (Kelurahan Ompang Tanah Sirah Payakumbuh Utara sekarang) pasukan Gerilya pada malam hari menumbangkan kayu kayu besar di pinggir jalan. Bahkan Jembatan Batang Lampasi yang menghubungkan Payolinyam dan Tanjuang Anau juga diputus.
Tanjuang Anau merupakan markas tempur pasukan gerilya pemuda pejuang Koto Nan Godang dimasa agresi militer Belanda ke 2.
Awal April 1949 turun perintah dari komandan front Sumatera Tengah Kolonel Dahlan Djambek untuk menggempur kedudukan tentara Belanda.
Perintah gempur serentak ini hanya sekali diadakan selama agresi militer Belanda ke 2 oleh seluruh angkatan dan pemuda pejuang/gerilya.
Pasukan pemuda gerilya Koto Nan Godang dibawah komando Mardisun menyambut hangat penuh semangat perintah tersebut.
Dengan penuh semangat untuk menghajar tentara Belanda pasukan dibagi 3 kelompok.
Kelompok 1 bergerak sepanjang aliran batang agam dengan sasaran tangsi polisi (Bivak) dekat rumah sakit umum Adnan WD sekarang
kelompok 2 bergerak sepanjang jalan raya Payakumbuh-Pekanbaru dengan sasaran pos belanda di Balai baru (Tifany sekarang) dulu rumah itu milik Roesad Dt Patiah baringek. Kelompok ini dibawah komando Langsung Mardisun.
Kelompok 3 Bergerak menuju pos Belanda di Bunian dan Gereja
Serangan dimulai sekira jam 01 dini hari setelah bunyi sirine tanda jam malam berbunyi.
Selama pendudukan Kota Payakumbuh bermacam barisan ikut bergabung. Rombongan Pak jenggot dari Sumatera Utara, Balayon Marapi dan satu regu dari AURI. Cuma mereka tidak bertahan lama bergabung bersama pasukan Gerilya pemuda Koto Nan Godang waktu itu.
Menjelang bulan Puasa di tahun 1949 turun perintah untuk meningkatkan serangan terhadap pos pos Belanda di Payakumbuh dengan catatan puasa tidak boleh ditinggalkan. Untuk perbekalan selama Bulan Ramadhan tersebut pasukan gerilya melalui perantara/kurir menukar gambir yang didapat dari seputaran Nagari Sarilamak dengan bahan makanan di Pasar Payakumbuh. Hal ini sesuai arahan ayah kandung Mardisun yang masa itu berada didaerah pendudukan Belanda Pusat Kota Payakumbuh sekarang ini. Dt Tuah menyarankan para gerilyawan yang bermarkar di Jorong Tigo Alua Nagari Batu Balang Kecamatan Harau untuk mencari gambir dan tukar dengan bahan pokok.
Memasuki hari ke 3 Ramadhan 1949 tersebut Markas Pejuang di Jorong Tigo Alua ini di bombardir Belanda dari Udara. Pagi sekira jam 07 hari Kamis waktu itu 2 pesawat tempur Belanda terbang mengitari markas pejuang di Tigo Alua tersebut. Tidak berselang lama pesawat tersebut menukik melepaskan tembakan dan menjatuhkan bom. Sontak masyarakat sekitar gempar. Untuk menenangkan warga Mardisun dan kawan kawannya mendatangi warga di pasar Taram. Kamis merupakan hari pasar di Nagari Taram dan ramai dikunjungi masyarakat. Dijelaskan bahwa serangan Belanda pagi itu tidak ada korban manusia. Hanya hewan ternak yang mati. Tulis Mardisun dalam catatan yang ditulisnya di tahun 1995.
Untuk Luak Limopuluah ada dua basis yang jadi sasaran pengeboman pesawat tempur Belanda. Basis PDRI di Nagari Koto Tinggi kecamatan Gunuang omeh dan markas Pejuang Pemuda Gerilya Koto Nan Godang di Jorong Tigo Alua Nagari Batu Bolang kecamatan Harau Kabupaten Limapuluh Kota.
Mardisun ditunjuk sebagai Ketua Pemerintahan Darurat Di Kota Payakumbuh pada 1 Maret 1949. Sesuai dengan SK Gubenur Militer Pe.Ma./M.P2 Gubernur Militer No,001/Ist.Rahasia Tanggal 1 Maret 1949. Dengan Tugas membentuk dan menjalankan pemerintahan darurat Di Kota Payakumbuh.
Sebagai wakil yang berkedudukan dalam kota ditunjuk Dr Adnan WD, dengan anggota Djoefri yang waktu itu menjabat sebagai jaksa di daerah pendudukan Belanda dibantu Damir Djanid – Zaidar Noerdin dan Chadir ditunjuk sebagai penghubung.
Sementara untuk organisasi Pemuda Pelajar yang ikut berjuang didaerah pendudukan Belanda dengan tugas penyelidikan dan sabotase di tunjuk Bustanul Arifin, Anwar Nawawi, Azlir dan marlius.
Berbagai resiko dihadapi Para pemuda Pelajar dalam membantu pergerakan para pejuang. Bustanul Arifin ditangkap oleh Belanda, akhirnya berhasil dibebaskan oleh Djoefri yang menjadi Jaksa masa itu. Bustanul Arifin pasca perang melanjutkan pendidikannya di UGM mengambil jalur hukum. Sampai akhir hayat nama lengkap dan gelar beliau Prof. DR.H.Bustanul Arifin SH. tahun 1995 menjabat Ketua Hakim Muda Mahkamah Agung Indonesia. Dan dijuluki Tonggak Mahkamah Konstitusi Hukum Islam Indonesia, serta nama Bustanul Arifin diabadikan di salah satu ruang sidang Mahkamah Agung.
Perlawan bersenjata yang dilakukan pemuda gerilya Antara nagari Koto Nan Godang terhadap tentara Belanda berhenti setelah ada perintah menghentikan tembak menembak dari Gubernur Militer Inspeksi II Sumatera Barat tertanggal 30 Agustus 1949. Surat tersebut berisikan penghentian tembak menembak karena akan adanya serah terima kedaulatan Kepada Negara Republik Indonesia Serikat dari Belanda.
Terjadi silang pendapat dalam menentukan batas demarkasi waktu itu. Belanda meminta batas dibalik batang Sinamar, di Tanjung Pati. Sementara pejuang meminta di Balik Batang Lampasi Tanjung Anau, Karena Tanjung Anau adalah markas pertahanan Pejuang yang tidak akan pernah mereka tinggalkan walau nyawa taruhannya.
Untuk markas perjuangan gerilyawan Antara ini berawal dari Balai Cacang, di Surau Pandam balai Cacang, kemudian dipindahkan ke Masjid Arsyad Nankodok Kelurahan Tigo Koto Dibaruah sekarang.
Namun pukulan berat kembali terjadi menimpa pasukan Gerilya Antara, Dua orang pemuda pejuang yang bertugas menjaga garis Demarkasi di Tanjung Anau ditembak tentara Belanda yang datang dengan kendaraan perang jenis Panser. Otomatis kejadian ini kembali memantik emosi para pejuang. mereka tidak terima teman mereka mati ditembak begitu saja. Mati didalam peperangan lebih terhormat bagi mereka daripada mati tanpa senjata untuk melakukan perlawanan.
Pemuda gerilywan bertekad malam itu juga akan melakukan aksi balas dendam dengan melakukan serangan ke pos Belanda. Usai pemakaman kedua pemuda tersebut Mardisun perintahkan seluruh pasukan berkumpul di markas saat magrib, Kita harus Menuntut Balas, begitu seruan siang tersebut.
Jam 17.00 wib datang YTunus Boy utusan Kolonel Dahlan Djambek membawa pesan agar tindakan untuk menuntut balas tersebut ditahan dulu. besok siang Bapak Kolonel Dahlan Djambek akan datang langsung ke markas pejuang di Tanjuang Anau, kata Yunus Boy. Kalau pasukan Gerilya menyerang menuntut balas atas kematian dua pejuang akan mengakibatkan kerugian besar bagi Kota Payakumbuh. karena Kota payakumbuh merupakan satui satunya kota pertama yang akan diserah terimakan kepada republik Indonesia pasa perundingan KMB.
Kejadian ini menjadi pukulan berat bagi sebahagian pasukan Gerilya Antara. Malamnya dengan perasaan dendam tak sudah mereka menyingkir ke arah Gunung Bungsu dengan persenjataan lengkap.
Besoknya Mardisun mendatangi pemuda pemuda pejuang tersebut ke Gunung Bungsu. mardisun datang sendiri tanpa membawa sepucuk senjatapun. Tujuan untuk membujuk dan menjelaskan bagaimana sitiuasi dan kondisi yang terjadi. “Copek Indak Buliah Daulu, lambek Indak Buliah Tingga” Cepat tidak boleh mendahului, lambat tidak boleh tertinggal, begitu pepatah Minang menggambarkan kondisi saat ini, kata Mardisun menjelaskan kepada teman teman pemuda pejuang tersebut. Sehingga mereka paham walau dengan berat hati menerima kematian dua teman mereka.
Mari kita menyerahkan semuanya kepada Penguasa Bumi dan Langit demi Negara Republik Indonesia. Sudah menjadi kenyataan sejarah pasukan gerilya Antara Koto Nan Gadang dalam perang kemerdekaan dimulai dengan pengorbanan dan diakhiri dengan pengorbanan.
Kita menyatakan perang habis habisan usai 3 orang teman, saudara, dunsanak kita ditangkap saat menjalankan ibadah solat Jumat dan dihabisi di simpang masjid tersebut, serta diakhiri dengan syahidnya dua teman kita yang sedang bertuga menjaga garis demarkasi ditangan tentara penjajah Belanda dalam kondisi mereka tidak bersenjata. Begitu Mardisun menjelaskan kepada rekan rekan pejuang yang masih menyimpan dendam atas kematian teman teman mereka.
Pada hari timbang terima Kota Payakumbuh Mardisun bersama Mayor A.Thalib dan salah seorang dari Corp Polisi Militer berpangkat Kapten memeriksa pos pos pengawalan yang ada di dalam kota. kesibukan membenahi pemerintahan baik sipil maupun militer terlihat disetiap sudut Kota Payakumbuh. Tidak ketinggalan juga dari partai politik maupun organisasi kemasyarakatan.
Ada peristiwa yang berkesan dalam diri seorang Mardisun dimasa 3 hari usai penyerahan kedaulatan atau timbang terima Kota Payakumbuh. Dalam tulisan Peristiwa Sejarah Pemuda gerilya Antara Koto Nan Gadang Payakumbuh, Mardisun menceritakan saat dirinya dipanggil Mayor A.Thalib ke markasnya di Rumah LAMID (Samping SMPN 1 Payakumbuh)
Dirumah tersebut sudah ramai menunggu. Ada yang dari sipil juga ada dari militer. Mereka duduk membentuk setengah lingkaran. Sementara Mardisun duduk menghadap mereka semua. Gelagat mereka seakan melihat seorang terdakwa saat memandang kita, tulis Mardisun dalam buku tersebut.
Mayor A Thalib memulai pembicaraan. Ia menerima informasi bahwa pasukan Gerilya yang kita pimpin akan melakukan aksi penyerangan terhadap pasukan NICA dan mereka yang berpihak kepada Belanda.
Mendengar tuduhan yang tidak pada tempatnya itu Mardisun minta Mayor A Thalib untuk membuktikan informasi yang dia dapat. Yang hadir di markas tersebut tidak ada yang bisa menjelaskan dan membuktikan tuduhan tentang pasukan Gerilya akan melakukan serangan terhadap tentara Belanda usai serah terima Kota Payakumbuh.
Mardisun langsung berdiri di tengah mereka. Dengan suara lantang Mardisun menjawab tuduhan tersebut ” Kalau saudara saudara tidak bisa memberikan tanda bukti, Tuduhan tidak dapat kami terima dan ini kami anggap sebagai sebua penghinaan.
Dan untuk saudara saudara ketahui kami berperang angkat senjata untuk agama dan negeri kami yang diinjak injak Belanda. Dan sampai saat ini orang tua dan adik saya masih ditawan Belanda, Cukup sudah rasanya pengorbanan kami para gerilyawan dalam berjuang. Puluhan pemuda pejuang meregang nyawa diujung senjata Belanda, Rumah rumah hancur terbakar, belum lagi harta benda berharga lainnya yang tidak ternilai harganya menjadi korban peperangan. Saudara jangan asal menuduh seenaknya saja, kata Mardisun dihadapan Mayor A.Thalib.
Kami bersyukur Belanda sudah meninggalkan negeri kami ini, Sekarang saya balik bertanya kepada saudara saudara, dimana saudara selama Belanda Menduduki Kota Payakumbuh?
Kalau saudara tidak bisa membuktikan, kami beritahu saudara bahwa siapa saja yang akan mengadakan atau membuat kekacauan akan berhadapan dengan pasukan Gerilya Antara. Kata Mardisun seperti yang ditulisnya dalam catatan pemuda pejuang Koto Nan Gadang.
Disaat masa pemulihan pasca penyerahan kedaulatan Kota Payakumbuh, Nagari Koto Nan Gadang mengadakan pemilihan Wali Nagari. Ayah Mardisun Dt Toeah dan adiknya Marlioes sudah dibebaskan oleh Belanda di Kota Padang. Dt Toeah memberi perintah kepada Mardisun Untuk maju sebagai calon wali nagari Koto Nan Gadang pasca masa darurat tersebut.
Awalnya Mardisun menolak karena tidak siap secara ekonomi untuk menjadi Wali Nagari. Dengan apa anak istrinya akan dipenuhi kebutuhannya. Dt Toeah langsung memberi garansi, Untuk rumah tempati rumah kontrakan miliknya di Koto Baru Balai Janggo dekat Simpang Benteng. urusan belanja rumah tiap minggu jemput ke toko/percetakan. Perintah dari ayahandanya ini tidak bisa ditolak lagi oleh Mardisun. Apalagi kata kata Ayahandanya “Yang menghancurkan Nagari Koto Nan Gadang kamu, dan Kamu harus membangunnya kembali” begitu Titah Dt Toeah kepada anaknya Mardisun tersebut.
Dt Toeah dikenal sebagai pengusaha percetakan di Payakumbuh sejak sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Salah satu buku yang beliau tulis dan cetak sendiri yaitu Tambo Adat Alam Minangkabau.
Dalam pemilihan walinagari Mardisun menang telak. Namanya terpampang diatas dalam pemilihan tersebut. Langkah demi langkah dimulainya membangun nagari. Dari menggiatkan kembali bertani. Sawah sawah yang sudah tidak terurus selama perang diolah kembali.
Untuk mendanai kegiatan membangun nagari Mardisun meminta bantuan kepada para perantau Koto Nan Gadang yang terbilang sukses ditanah Rantau. Bahkan juga menyurati Presiden Sukarno untuk bisa menurunkan bantuan buat nagari Koto Nan Gadang. Alhamdulilah bak gayung bersambut, Presiden Sukarno menurunkan bantuan dalam betuk uang melalui CKC Padang (Kas Negeri)
Untuk bisa sampai Ke Nagari Koto Nan Gadang tentu tidaklah gampang masa itu. Gubernur yang masa itu berkedudukan di Bukittinggi mengabarkan adanya bantuan dari presiden untuk Nagari Koto Nan Gadang. mardisun menyiapkan delegasi yang terdiri dari Niniak Mamak dan Alim Ulama untuk menjemput bantuan tersebut ke kantor Gubernur.
Saat pertemuan berlangsung, tanpa basa basi Gubernur langsung mengatakan bahwa nagari Koto Nan Gadang “Indak Batanggo Naiak, Bajanjang Turun” artinya tidak mengikuti alur aturan yang ada. Para delegasi terdiam saat mendengar kata kata sambutan dari Gubernur Sumbar tersebut.
Tapi dengan lantang Mardisun menjawab kata kata Gubernur, “Bukan kami tidak tahu aturan, jauh sebelum ini kami sudah mengirimkan permohonan melalui camat, bupati dan langsung kepada gubernur. Mungkin sampai saat ini surat kami belum dibaca, kata Mardisun dihadapan Gubernur. Mardisun kemudian menceritakan bagaimana kondisi Nagari Koto Nan Gadang Saat perang dengan Belanda dan sengsaranya masyarakat kala perang usai.
Kalau semua yang kami lakukan ini menurut bapak sebuah kesalahan, Bagi Kami orang Minangkabau
“Tasorong Langkah diganjua Suruik,
Tasorong Kato Mooh Dimintak
Salah Ka Tuhan Mintak Ampun
Salah Ka manusia mintak mooh”
“Terlanjur melangkah dibawah surut
terlanjur berkata minta maaf
Salah ke Tuhan Minta Ampun
Salah ke sesama manusia Minta Maaf
Tapi menurut kami tidak ada yang terlangkahi tau ketinggalan dalam hal ini. Kalau sekiranya bapak tidak bisa memafkan kami, ya kami akan mengadukan nasib kami langsung ke Jakarta.
Mendengar ucapan Mardisun Wali Nagari Koto Nan Gadang tersebut pertemuan diskor sekira satu jam. Setelah itu Gubernur Sumbar Roeslan Moeljohar Hardjo membubuhkan tanda tangan bahwasanya bantuan tersebut siap diserahkan kepada Nagari Koto Nan Gadang. Surat mandat dari presiden Sukarno untuk pengambilan bantuan dikantor Kas Negeri diserahkan kepada Mardisun dan rombongan. Tapi ditolak oleh Mardisun.
Dengan kesulitan yang diderita rakyat dan kemiskinan yang mendera kami, tentu dengan diri kami sendiri kami tidak bisa percaya bisa amanah memegang mandat ini. Kami serahkan mandat ini kepada bapak Gubernur kembali. Kami butuh beras 20 ton dan benih padi 2 ton, mohon sesegeranya bisa sampai di Nagari Koto Nan Gadang karena akan dibagikan kepada masyarakat. Kata Mardisun kepada Gubernur saat itu.
Diserahkannya mandat kembali kepada gubernur juga karena tidak mungkin bisa membawa beras keluar daerah masa itu. Aturan pemerintah melarang beras dibawa keluar daerah. Jika yang mengantar dari pihak gubernur tentu tidak akan ada halangan pemeriksaan dijalan.
Selama gerakan kembali turun kesawah, para orang tua diberi bantuan beras sehari satu gantang, sekira 1,6 kg, dan anak anak 2 cupak (0,8 kg). Anak anak yang diberi bantuan adalah mereka yang ikut membantu orang tua mereka turun ke sawah.
Kisah turun kesawah ini sangat membekas bagi masyarakat Koto Nan Gadang masa itu sehingga menjadi cerita turun temurun sampai ke anak cucu sekarang. “Dikakok Sawah Awak, Boreh Jopuk Ka Balai” Dikerjakan sawah kita beras untuk makan di jeput ke balai/kantor walinagari. Begitu orang tua tua di Koto Nan Gadang menggambarkan susahnya kehidupan usai masa darurat. Istilah darurat ini diambil dari Pemerintahan Darurat Republik indonesia (Darurat).
Ditahun 1980 Mardisun mengumpulkan tulang belulang teman temannya yang gugur dimasa perjuangan untuk dimakamkan di Makam Pahlawan di Balai jariang Kelurahan balai Tangah koto Payakumbuh Utara. Makam pahlawan yang diberi nama Makam Pahlawan Pejuang 45 tersebut sudah dirintis oleh H Mardisun semenjak pemerintahan orde lama. Baru pada tanggal 21 Februari 1980 rencana tersebut bisa terwujud.
Seluruh makam teman temannya yang bertebaran di beberapa kelurahan di Koto Nan Gadang dibongkar dan dipindahkan ke Makam Pahlawan Pejuang 45. Pemindahan makam tersebut ditandai dengan serah terima peti berselimut merah putih berisi tulang belulang pejuang yang syahid dalam mempertahankan kemerdekaan oleh Gubernur Sumbar Letjend H Azwar Anas di kantor KAN Balai Gadang koto Nan Gadang. Panglima Kodam 17 Agustus Mayjend Soelarso.
Pada tahun 1987 makam dipugar oleh H Marlius gelar Imam Pandito Ibrahim ex anggota Pasukan Gerilya Antara. H Marlius ini juga yang membangun tugu di Jembatan batang agam yang sampai sekarang dikenal dengan nama Tugu Ratapan Ibu. Tugu seorang perempuan yang menunjuk ke arah aliran batang agam disisi jembatan yang dibangun belanda pada tahun 1830an tersebut.
Tugu ini dibangun untuk mengenang para pemuda pejuang yang gugur dieksekusi Belanda tengah malam dan jasad mereka hanyut terbawa arus aliran Batang Agam.
Note: Tulisan ini dalam bagian mencari dan mengumpulkan data tentang H Mardisun untuk disusun menjadi sebuah buku. Bagi dunsanak atau pembaca yang bisa menambahkan informasi atau ada yang harus dikritisi dari tulisan diatas boleh menghubungi kita di nomor kontak 085356684109 (tlp/wa)