MEMBEDAH ARTI
KATA KESATRIA
DALAM PANDANGAN ISLAMI
by Pinto Janir
(Ketika Diksi Kesatria Salah Orang)
Terkadang, secara tak sengaja, sering kita keliru dalam menempatkan diksi atau kata yang tepat pada sebuah kalimat ataupun pada sebuah ucapan.
Contoh Satu
” Ia pukul orang itu. Ia ciderai bersijadi, kemudian dengan penuh ‘kesatria’ ia akui pula kesalahannya di hadapan orang banyak ”
Contoh Dua.
” Ia inap-inapkan kembali apa yang telah ia lakukan kemarin. Lama ia berpikir. Ia kaji segala baik dan buruknya. Ternyata, ia menyadari bahwa apa yang ia lakukan adalah salah dan keliru serta lebih banyak membawa fasad (kerusakan) dari maslahat—sesuatu yang mendatangkan kebaikan dan berguna serta berfaedah. Dan ia juga tak sepenuhnya yakin dengan kebenarannya. Dengan penuh ‘kesatria’, ia nyatakan kepada publik bahwa ia salah dan keliru”
Contoh Tiga
“Karena tak dapat menunjukkan bukti dan mempertahankan pendapatnya yang menguatkan kebenarannya, akhirnya di hadapan hakim dan jaksa, dengan penuh ‘kesatria’ dan bertanggung-jawab, terdakwa mengakui telah melakukan fitnah yang mengakibatkan tercemarnya nama korban”
Contoh Empat
” Ia sangat yakin dengan apa yang ia lakukan itu adalah untuk menyatakan kebenaran, keadilan dan membela kaum tertindas. Ia yakin apa yang ia lakukan lebih banyak manfaatnya ketimbang keburukannya. Sekalipun peluru menerjang, badai menerpa, ia dengan gagah berani dan penuh ‘kesatria’ tetap akan berjuang membela kebenaran dan keadilan itu sekalipun nyawa taruhannya.Dengan kesatria pula ia menyatakan diri siap bertanggung-jawab dan siap menerima apapun risikonya demi membela kaum yang lemah. ”
Sebelum menafsirkan empat contoh di atas, baiklah kita kaji dulu “kesatria” itu apa?
Sumber Wikipedia;
“Kesatria (sering juga ditulis ksatria atau satria) adalah kasta atau warna dalam agama Hindu. Kasta ksatria merupakan bangsawan dan tokoh masyarakat yang bertugas sebagai penegak keamanan, penegak keadilan, pemimpin masyarakat, pembela kaum tertindas atau kaum lemah karena ketidakadilan dan ketidakbenaran. Tugas utama seorang kesatria adalah menegakkan kebenaran, bertanggung jawab, lugas, cekatan, pelopor, memperhatikan keselamatan dan keamanan, adil, dan selalu siap berkorban untuk tegaknya kebenaran dan keadilan. Pada zaman dahulu, ksatria merujuk pada kasta bangsawan, tentara, hingga raja.
Pada zaman sekarang, kesatria merujuk pada profesi seseorang yang mengabdi pada penegakan hukum, kebenaran dan keadilan prajurit, bisa pula berarti perwira yang gagah berani atau pemberani. Kelompok ini termasuk pemimpin negara, pimpinan lembaga atau tokoh masyarakat yang tugasnya untuk menjamin terciptanya kebenaran, kebaikan, keadilan, dan keamanan masyarakat, bangsa, dan negara.”
Pertanyaan kita, apakah tepat menempatkan kata kesatria kepada seseorang yang tidak yakin dengan kebenarannya sendiri dan kemudian ia menyatakan bahwa dirinya keliru… Pernyataan kekeliruan itu, ia nyatakan di hadapan publik. Ia menyatakan kekeliruan itu dengan jelas, dan berani.Menyatakan kekeliruan dengan jelas, terang di hadapan orang, apakah layak disandangi gelar “kesatria?”
Ketika yang ia lakukan itu kemudian di belakang hari lebih banyak mendatangkan keburukan ketimbang kebaikan, dengan terusiknya kenyamanan sosial sebagian orang, apakah itu layak disebut sebuah sikap kesatria?
Ketika apa yang ia sampaikan ternyata tidak seperti apa yang ada dalam gambar, kemudian di belakang hari ia menyadari kekeliruannya dan kesalahannya, apakah juga layak ia menyandang gelar kesatria?
Lalu siapa yang berhak menyandang gelar kesatria dalam konteks terkini?
Menurut saya:
Adalah orang-orang yang benar-benar berjibaku membela kaum tertindas atau kaum lemah akibat dianiaya oleh orang kuat, kemudian ia dengan gagah dan berani tak takut sekalipun penjara hadangannya. ia tetap berjuang membela kebenaran, keadilan, yang ia yakini adalah benar dan bermanfaat bagi kehidupan orang banyak.
BAGAIMANA KAJIAN
ISLAM TENTANG SIKAP KESATRIA
Dalam Al Quran, istilah yang digunakan untuk para pendukung kebenaran, para kesatria atau pahlawan (dalam istilah sekarang) adalah rajul. Rajul berarti seorang laki-laki. Bentuk ganda (mutsanna) dari rajul adalah rajula-ni, sedang bentuk jamaknya adalah rija-l.
Para rijal ini ada pada setiap zaman, baik pada setelah Rasulullah Muhammad SAW diutus, maupun pada ummat-ummat terdahulu.
Karakter rijal dapat ditemukan pada beberapa surat dalam Al Quran. Ciri-ciri (karakteristik) para rijal yang disebutkan dalam Al Quran adalah:
1) Menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah (untuk berjihad di jalan Alloh).
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Artinya : Di antara orang-orang mukmin itu ada rijal, yaitu orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu(**) dan mereka tidak merobah (janjinya) (Al Quran surat Al Ahzab [33]: 23).
2) Mendukung kebenaran, dan berani mengingatkan penguasa tiran.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengisahkan rijal pada masa Firaun melalui firman-Nya:
Artinya: Dan seorang rajul yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir’aun yang menyembunyikan imannya berkata: “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena Dia menyatakan: “Tuhanku ialah Allah, padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu”. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta (Al quran surat Al Mu’min [40]: 28).
3) Takut kepada Alloh, dan mengingatkan kaumnya untuk berjihad di jalan Alloh. Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengisahkan rijal pada masa Bani Israil melalui firman-Nya:
Artinya: “berkatalah rajulani (dua rajul) diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman” (Al Quran surat Al Maidah [5]: 23).
4) Para rijal senantiasa mengingat Alloh, mendirikan shalat, mununaikan zakat, dan mereka tidak dilalaikan oleh perniagaan dunia.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Artinya: “ Rijal yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang” (Al Quran surat An Nur [24]: 37).
5) Mensucikan diri dan memakmurkan masjid.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Artinya: janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada rijal yang ingin membersihkan diri. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih” (Al Quran surat At Taubah [9]: 108).
6) Memberikan saran yang baik kepada utusan Alloh demi tegaknya agama Alloh. Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengisahkan kisah seorang rajul di kalangan ummat Nabi Musa melalui firman-Nya:
Dan datanglah seorang rajul dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata: “Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu” (Al Quran surat Al Qashash [28]: 20).
7) Mengingatkan kaumnya untuk menginkuti agama Alloh. Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengisahkan rijal pada masa Bani Israil melalui firman-Nya:
Artinya: “Dan datanglah dari ujung kota, seorang rajul dengan bergegas-gegas ia berkata: “Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu” (Al Quran surat Yasin [36]: 20).
Untuk itu, berpikir dan berhati-hatilah menyandangkan ‘gelar’ kesatria pada orang lain. Jangan kita sampai keliru….
Saya yakin, semua kita adalah insan-insan pintar bercakrwala…namun-setahu-tahunya kita, tentu ada juga satu atau dua yang tidak kita tahu, belum kita mengerti dan belum kita pahami…dan tempat cari tahu yang tepat…adalah bertanya…ada “alam” yang akan menjawabnya; yaitu alam kearifan dari berbagai lapisan pikiran..