1 April selalu punya cap sebagai “April Mop” oleh masyarakat saat ini. Tanggal di mana kejadian-kejadian yang ternyata ‘hoax’ tersebar. Tapi lahirnya SRV (Solosche Radio Vereniging) pada 1 April 81 tahun silam bukan hoax, melainkan cikal bakal RRI (Radio Republik Indonesia) itu nyata sebagai corong proklamasi kemerdekaan Indonesia demi mendapat pengakuan dunia.
SRV memang bukan stasiun radio pertama yang ada di Indonesia. Tapi SRV yang lahir di Solo pada 1 April 1933, merupakan radio pribumi pertama di era kolonialisme Hindia-Belanda.
Tak seperti NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep Masstchapij) yang selalu menyuarakan propaganda Belanda, SRV justru menyiarkan kebalikannya dan terutama, sebagai corong untuk menyulut kemerdekaan Indonesia.
SRV didirikan Praja Mangkunegaran VII bersama Ir. Sarsito Mangunkusumo. Sedikit unik soal bagaimana SRV bisa berdiri, lantaran awalnya, mereka disubsidi NIROM. Tapi lantaran beberapa siaran yang bikin ‘gatal’ telinga orang Belanda, NIROM mencabut subsidi tersebut.
“Siaran Ketimuran seluruhnya akan dikuasai oleh NIROM sendiri,” bunyi berita dari NIROM pada 1936.
Ketika Perang Dunia II pecah, SRV direformasi oleh pemerintah pendudukan Jepang, menjadi Solo Hoso Kyoku dan diharuskan tunduk pada kebijakan serta propaganda Jepang.
Pun begitu, bukan berarti spirit mereka untuk terus mengobarkan rasa kebangsaan luntur. Di bawah pimpinan R. Maladi, mereka sering menyiarkan lagu-lagu bernuansa perjuangan, seperti “Ayak-ayakan Kaloran” dan gending “Puspawarna”.
Tapi kemudian, R. Maladi pun sering dipanggil pemerintah pendudukan Jepang akibat siaran-siaran SRV itu. Adapun pasca-pendudukan Jepang berakhir, SRV jadi corong penyiaran kemerdekaan Indonesia ke dunia luar.
Demi mencegah direbutnya SRV di Solo oleh sekutu dan Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia, SRV yang berganti nama menjadi RRI pada 11 September 1945, memindahkan sejumlah perangkat ke Desa Balong, Karanganyar, Jawa Tengah.
Dari situlah berita kemerdekaan ditransmisikan menuju Bukittinggi, Sumatera Barat dan kemudian ke Aceh. Dari negeri Serambi Mekah itu, berita kemerdekaan Indonesia bisa terdengar sampai ke Singapura, India dan kemudian PBB.
Berita-berita tentang perlawanan militer dan rakyat Indonesia terus bisa disiarkan, kendati terdapat beberapa upaya pembungkaman dari Belanda. Contohnya pada 25 November 1945, di mana sekutu mencoba membom markas RRI di Solo. Beruntung, saat itu R. Maladi sudah memindahkan markas RRI ke Tawangmangu.