25 C
Padang
Sabtu, Juli 27, 2024
spot_imgspot_img
Beritasumbar.com

Tolak Kenaikan BBM, Realisasi “Pertaubatan Nasional” PKS
T

Kategori -
- Advertisement -

Oleh: Fitriyeni, S.H*)

BEBERAPA hari lalu, telah diputuskan dalam sidang paripurna DPR-RI bahwa DPR-RI menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) menjadi undang-undang, sehingga dengan kata lain akan terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Seperti biasanya, dalam proses sidang paripurna ini suara para anggota dewan yang terhormat ini menjadi terbagi, yakni yang mendukung R-APBN ini dan yang menentang rencana kenaikan BBM melalui R-APBN ini, dan kali ini tidak ada yang bersikap abstain.

Namun di balik itu semua, hal yang selalu menjadi perhatian belakangan ini adalah sikap politik yang ditunjukkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang pada awalnya merupakan partai koalisi pemerintah, namun pada saat ini begitu kerasnya melawan rencana kebijakan pemerintah tersebut.

Melihat kerasnya sikap penolakan dari PKS ini, memancing partai-partai lain yang sebelumnya bersama-sama PKS mengikatkan diri dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi pendukung pemerintah menjadi gerah dan berencana mendepak PKS dari komponen koalisi tersebut.

Muncul isu akan dilakukan reshuffle kabinet untuk para menteri yang berasal dari PKS. Fenomena ini jelas bukan kali yang pertama, dari awal kedurhakaan PKS kepada Setgab hingga sampai saat ini, Presiden dan partainya masih belum cukup sigap dan jantan menyatakan dikeluarkannya PKS dari koalisi maupun dari struktur Kabinet Indonesia Bersatu jilid II ini.

Keberadaan Setgab ditandai dengan ditandatanganinya Code of Conduct pembentukan Setgab oleh masing-masing ketua partai yang menyatakan menggabungkan diri ke dalam kesatuan tersebut. Sejak awal pembentukannya, saya sudah mengkhawatirkan apa yang hari ini terjadi dalam iklim politik di Indonesia.

Jika kita merujuk pada ketentuan perjanjian yang dibuat oleh parpol-parpol ini, maka jelas apa yang dilakukan oleh PKS saat ini telah menyalahi perjanjian yang dulu mereka sepakati bersama. Pada poin 2; “Keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh Presiden (yang dalam hal ini dibantu oleh Wakil Presiden) menyangkut kebijakan-kebijakan politik yang strategis dan posisi-posisi politik yang penting, setelah mempertimbangkan pandangan dan rekomendasi pimpinan partai koalisi pada rapat yang dipimpin oleh Ketua Setgab, wajib didukung dan diimplementasikan, baik di pemerintahan maupun melalui fraksi-fraksi di DPR”.

Kesepakatan ini kemudian diikuti dengan ancaman dikeluarkan dari koalisi dan reshuffle untuk menteri-menteri yang berasal dari parpol yang melanggar kesepakatan Setgab tersebut. Jika kita cermati klausula perjanjian yang mereka buat ini, maka jelas ini adalah suatu upaya “pengamanan” kekuasaan SBY ketika dihadapkan dengan fungsi pengawasan dan penganggaran yang dilakukan oleh parlemen.

Semua ini murni sebuah tak-tik politik untuk pengukuhan kekuasaan salah satu golongan, atau sebut saja SBY dengan parpol pendukungnya. Dan kondisi inipun sangat rentan dengan upaya “jual-beli kepentingan” para parpol Setgab tersebut, sehingga tidak aneh ketika kita melihat tersanderanya banyak kasus korupsi besar di kalangan penguasa ini seperti kasus skandal Bank Century, lumpur Lapindo, proyek Hambalang, tunggakan pajak pejabat, dan lain sebagainya.

Telepas dari materi substansial penolakan PKS terhadap rencana kenaikan harga BBM tersebut, pada tulisan ini saya memaparkan pandangan dari segi ketatanegaraan berikut mencermati pilihan sikap berpolitik PKS tersebut.

Jika kita menilik dari segi hukum ketatanegaraan, maka kita semua mengetahui sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia adalah Presidensial sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dengan adanya penguatan fungsi Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, serta pemisahan kekuasaan dengan DPR dalam fungsi check and balance atas proses menjalankan negara yang dilaksanakan oleh Presiden bersama pembantu-pembantunya.

Jelaslah bahwa pembentukan Setgab ini sejak awalnya mencederai amanat UUDNRI 1945, dengan melumpuhkan fungsi pengawasan yang seharusnya dapat dilakukan oleh sebuah lembaga tinggi negara yang bernama DPR-RI ini. Dalam perjalanannya terlihat jelas bagaimana parpol penguasa mencoba menakhodai Setgab ini, sehingga mau tidak mau kebijakan parlemen akan ikut tunduk pada keinginan parpol penguasa bersama “antek-anteknya”.

Hal inilah yang dapat kita nilai sebagai bentuk kecacatan tata negara kita saat ini, ketika dominasi partai politik mengalahkan kepentingan-kepentingan rakyat melalui lembaga-lembaga negaranya, baik itu pada sisi Presiden sebagai kepala pemerintahan, begitu juga dengan parlemen sebagai lembaga tinggi negara yang pada dasarnya setiap individu anggota perlemen tersebut bertanggungjawab penuh pada rakyat yang memilihnya, bukan hanya pada parpol yang mengusungnya, atau bahkan pada parpol penguasa yang memberinya “porsi kekuasaan” di pemerintahan.

Dengan melihat kondisi ini kita sebut saja Indonesia sedang membuat sistem pemerintahan baru yakni “parpolementer”, ketika kepentingan-kepentingan pragmatis parpol mengalahkan kepentingan rakyat dan sifat kekuasaannya yang mengalahkan fungsi lembaga tinggi negara, baik di lembaga pemerintahan Presiden, DPR-RI, hingga sangat dapat juga berimbas pada upaya penegakan hukum di Indonesia.

Kemudian kita mencermati apa yang dilakukan oleh PKS dengan penolakan terhadap rencana kenaikan BBM ini. Belakangan PKS sangat menjadi sorotan dengan terjeratnya mantan presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaq (LHI) dalam kasus korupsi daging sapi. Masih dalam suasana yang hangat tentang kasus ini, PKS ramai lagi muncul di pemberitaan tentang sikap tegasnya menolak rencana kenaikan harga BBM ini.

Dalam penjelasan atas sikapnya tersebut, PKS mendasarkan sikap politiknya tersebut sebagai pembawa aspirasi rakyat yang tidak dapat ditekan atau diintervensi oleh kekuatan apapun. Ketika dihadapkan dengan rencana dan ancaman akan dikeluarkannya PKS dari Setgab dan koalisi, maka PKS pun malah menantang balik Setgab untuk bersikap tegas terhadap mereka.

Sungguh pentas drama politik yang menarik untuk kita saksikan, ketika para parpol yang dahulu begitu mesra dan penuh kesadaran pengikatkan diri dalam “kesesatan Setgab”, kini berubah menjadi semacam pertengkaran antara sepasang kekasih yang status percintaan mereka masih nge-gantung, yang satu minta “putus”, pihak yang satu laginya masih berharap-harap cemas.

Menilai sikap PKS yang belakangan terkesan membangun citra kembali setelah runtuh oleh kasus korupsi yang menyeret mantan presidennya tersebut, sebenarnya pilihan politik yang diambil oleh PKS ini seharusnya dapat menjadi pembelajaran tentang berdemokrasi yang baik.

Mengorbankan keharmonisannya dengan Setgab, dan bertaruh posisi menteri yang selama ini kita ketahui menjadi “pintu rezeki” utama bagi sebuah parpol, terlepas dari latar belakang PKS memilih sikap tersebut, apakah karena ingin mengembalikan simpati masyarakat kepada partai yang selama ini mencitrakan dirinya bersih, atau memang dengan penuh keyakinan menyadari kesesatan yang telah dilakukannya ketika ikut tunduk bersama Setgab Koalisi.

Seketika ditetapkannya LHI sebagai tersangka, maka struktur partai inipun telah menetapkan presiden baru PKS terpilih, yakni Anis Matta. Pidato pertamanya tersebut kemudian memunculkan pro-kontra, terkait istilah konspirasi dan perlawanan yang akan dilakukan atas suatu anggapan adanya gerakan yang mencoba menghancurkan PKS tersebut. Selanjutnya presiden baru PKS tersebut menyerukan gerakan “pertaubatan nasional” bagi seluruh pengurus dan kader-kader PKS.

Kondisi sekarang inilah yang dapat kita anggap sebagai salah satu bentuk “pertaubatan” PKS yang dulunya pernah ikut serta dalam “perjanjian haram” antara para parpol koalisi dalam bentuk Setgab, yang telah mengkhianati amanat UUD 1945 dan stabilitas serta kepentingan masyarakat.

Besar harapan kita agar langkah pembebasan diri dari kungkungan dominasi parpol penguasa yang dilakukan PKS saat ini dapat diikuti juga oleh parpol-parpol lain yang masih terlihat setia pada keseragaman yang dipaksakan oleh partai penguasa tersebut

 

*) Direktur Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Sumatera Barat

- Advertisement -
- Advertisement -

BERITA PILIHAN

- Advertisement -
- Advertisement -

Tulisan Terkait

- Advertisement -spot_img