Terhitung, tak kurang dari 89 ribu kilometer (setara dengan dua kali mengelilingi bumi) telah dilalui Tan Malaka dalam masa perantauannya baik sebagai pelajar di Belanda, mau pun sebagai orang buangan dan buronan politik pemerintah kolonialisme Belanda.
Sebelas negara telah ia datangi : Belanda, Jerman, Rusia, Filipina, Singapura, Thailand, Cina, Hongkong, Burma, Malaysia, dan Indonesia.
Demi menghindari penangkapan dan pembunuhan intel – Intel kolonialisme, Tan Malaka terpaksa memakai nama samaran. Dia mempunyai tak kurang dari 23 nama samaran.
Konseptor Republik Indonesia, yang digelari Profesor Mr. Muhammad Yamin : Bapak Republik Indonesia ini demi memperjuangkan Indonesia merdeka, merasakan 13 kali sel penjara.
Tan Malaka menguasai delapan bahasa: Minang, Indonesia, Belanda, Rusia, Jerman, Inggris, Mandarin, Tagalog / Philipina.
Dalam autobiografinya, Dari Penjara ke Penjara II (halaman 159) pada tanggal 14 Agustus, tiga hari sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945, Tan Malaka berada di Jakarta, di rumah Sukarni Kartodiwirjo.
Juli – Agustus 1945, Tan Malaka bolak balik Banten – Jakarta menghubungi para pemuda yang terlibat dalam “penculikan” Soekarno – Hatta yang dikenal dengan Peristiwa Rengasdengklok.
Tanggal 9 September 1945, Tan bertemu muka untuk pertama kali dengan Sukarno, dan pada saat inilah muncul testamen politik (Surat Wasiat) untuk Tan Malaka dari Presiden RI Soekarno dan Wapres Muhammad Hatta
Tan Malaka juga aktif di balik Rapat Raksasa 19 September 1945 di Lapangan Ikada (Lapangan Banteng). Rapat rakyat Jabodetabek dihadiri ratusan ribu massa rakyat untuk menyatakan pada dunia, penegasan sikap bangsa Indonesia atas Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pada kesempatan inilah, Presiden Soekarno pertama kalinya berjalan beriringan dengan Tan Malaka menuju podium acara.
Masa Kecil
Nama kecilnya Ibrahim.
Nama Tan Malaka didapat ketika telah dewasa oleh adat daerah tempat ia dilahirkan. Nama lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka. Dia memang Datuk, Kepala Adat, Kepala suku.
Tan Malaka dilahirkan di Suliki, Sumatera Barat. Di daerah ini Islam masih sangat kental terasa, dan Tan Malaka hidup ditengah kondisi seperti ini yang sangat mempengaruhi hidupnya hingga akhir hayat.
Tak ada catatan resmi dan meyakinkan ihwal tanggal lahir Tan Malaka. Satu-satunya penulis yang lengkap menyebut waktu kelahirannya, yakni 2 juni 1897, adalah Djamaluddin Tamim dalam bukunya Kematian Tan Malaka.
Adat Minang sangat dinamis yang menjadikan posisi rantau sebagai simbol dinamisnya kehidupan sangat penting.
Rantau adalah tanda seorang anak telah tumbuh dewasa dan telah mampu untuk ‘melihat’ dunia.
Selain itu, rantau juga bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak terpecahkan ketika seseorang masih berada di kampung halamannya.
Rantau dijadikan alat untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya, dan diharapkan masalah-masalah yang tidak terpecahkan sebelum merantau akan terpecahkan ketika seseorang kembali dan membawa ilmu dan pengalaman yang dapat membuat seseorang semakin bijak menghadapi masalah.
Ke Belanda
Dengan latar belakang tersebut, Tan akhirnya memutuskan untuk pergi merantau (melanjutkan sekolahnya) ke negeri Belanda.
Selain untuk merantau, kepergian ke Belanda juga untuk menyelesaikan pendidikan sebagai Hoofde Acte (guru kepala). Tan bisa ke Belanda berkat bantuan guru Belanda Horesma, gurunya waktu di Bukittinggi. Untuk memberangkatkan Tan ke Belanda, orang kampungnya sampai beriyur (saweran).
Semasa di Sekolah Guru Belanda, ia menonjol dalam ilmu pasti sehingga guru-gurunya kerap memberi pujian.
Ketika pecahnya Revolusi Rusia ( Oktober 1917), ia menjadi berminat terhadap buah pikiran Marx-Engels, sehingga sering mengikuti pembicaraan politik kaum kiri di Amsterdam. Selain itu, di negeri Belanda ini Tan juga mulai mempelajari filsafat Nietzsche.
Kehidupan politik Tan Malaka dimulai ketika dia gagal dua kali dalam menempuh ujian guru kepala.
Tan bertemu dengan tiga serangkai (Cipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat) yang ketika itu sedang menjalankan hukuman pembuangan.
Dengan melihat semangat menggelora plus kecerdasan intelektual dari Tan, tiga serangkai ini memutuskan untuk menjadikan dia sebagai perwakilan dalam National Indische Partij. Otomatis inilah momen pertama Tan mengawali sepak terjangnya di dunia politik.
Karena aktivitasnya yang (dianggap) menggangu keamanan, Tan dipindahkan oleh petinggi Belanda untuk mengurusi bidang pendidikan saja.
Tan dikirim kembali ke Indonesia untuk mengajar ‘anak-anak kontrak’ di perkebunan tembakau Sanembah Mij, Deli, Sumatera Timur.
Namun, seorang revolusioner dimanapun berada tidaklah mampu diberhentikan. Nyatanya, tetap saja di perusahaan ini Tan masih dianggap berbahaya. Pada Februari 1921 Tan dibuang ke pulau Jawa.
Di Yogya Tan mulai mengenal tokoh-tokoh pergerakan nasional macam HOS Tjokroaminoto, Semaun, hingga Darsono.
Melihat track record Tan Malaka, Semaun tertarik untuk menjadikan orang yang sewaktu kecilnya gemar mendengarkan musik cello dan bermain bola ini sebagai guru untuk anak-anak anggota Sarekat Islam (SI) Yogyakarta.
Pada waktu itu, SI Surabaya dibawah pimpinan Pak Tjokro dan SI Semarang di bawah komando Semaun sedang berada dalam konflik ideologis. Tan Malaka tampil kemuka untuk meredakan konflik tersebut.
Karena sebuah pidato yang dianggap melecehkan pemerintahan kolonial tahun 1922, Tan dibuang kembali ke negeri Belanda (atas pilihannya sendiri) dan baru kembali ke Indonesia tahun 1942 pada masa pemerintahan militer Jepang.
Zaman Jepang
Saat pemerintahan militer Jepang, Tan sama sekali tidak tampil kemuka dan melakukan bergerakan bawah tanah. Menurut Harry A. Poeze, Tan sibuk pada kegiatan di Bayah menjadi seorang mandor Romusha. Dia juga jadi Wakil Pemuda Banten menemui tokoh – tokoh pemuda Jakarta menjelang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Menjelang kemerdekaan RI pada Agustus 1945 , pemuda yang menggerakan Soekarno-Hatta adalah pemuda-pemuda radikal sayap kiri nasionalis banyak juga yang merupakan simpatisan aktif dari PARI Tan Malaka. Di Bangkok Juni 1927 bersama sahabatnya Jamaludin Tamin dan Dibakar mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI)
Pemuda disini Soekarni, Adam Malik, Chaerul Saleh, BM Diah, Djohan Sjahroezah, Wikana dll.
Berdasarkan keterangan Bung Hatta yang dikutip Ben Anderson, Tan Malaka pada pertengahan Agustus 1945 bertempat tinggal
dirumahnya Achmad Subardjo, Tan sudah mengenal Subardjo sejak 1920 sewaktu Subardjo sekolah di Leiden
Tan sempat mengkritik pidato Soekarno dalam Rapat Raksasa 19 September 1945 “seharusnya ia memberikan pidato tentang masa depan dan memberikan semangat perjuangan ke rakyat, berjanji untuk terus melakukan aksi rakyat dari rakyat untuk rakyat, tapi malah ia meminta massa untuk ‘setia’ dan mengikuti peraturan sebelum massa pulang ke masing-masing.
Sama seperti Sutan Sjahrir, menurut Hatta, Tan Malaka ditawari posisi dalam kabinet RI pertama , tapi dia menolak.
Pada september 1945 Soekarno pernah memberikan surat wasiat yang mana disebutkan jika terjadi apa apa dengan Bung Karno, Tan Malaka-lah yang melanjutnya perjuangan sebagai pemimpin revolusi.
1 Oktober 1945, Tan Malaka pindah dari Jakarta ke Bogor dan dikunjungi Sjahrir, Adam Malik dan Soekarni.
Dalam buku ‘ Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia’ Karya Harry A Poeze dituliskan, masa lalu Tan Malaka yang panjang sebagai orang buangan dan terus menerus dalam bayang-bayang penangkapan polisi rahasia negara imperialis, membuatnya amat berhati-hati.
Tan tak mudah mempercayai orang karena mata-mata musuh yang mencarinya ada di mana-mana.
Apalagi saat itu fasis Jepang telah mendapat informasi soal keberadaan Tan Malaka di Jawa. Sementara, orang yang mengaku-ngaku sebagai Tan Malaka alias Tan Malaka palsu saat itu banyak beredar.
Hal itu semakin membuat Tan Malaka berhati-hati dan menutup rapat-rapat identitas aslinya.
Di Jakarta Tan Malaka mengenal dan bertemu dengan para tokoh pemuda radikal seperti Soekarni, Chaerul Saleh dan BM Diah.
Tan mempelajari semangat dan sifat para pemuda itu. Intinya para pemuda tak sepakat dengan golongan tua, yakni Soekarno-Moh Hatta dkk terkait kemerdekaan RI dengan campur tangan Jepang.
Bagi mereka, kemerdekaan Indonesia harus lepas dari bau Jepang. Dalam pertemuan dengan Soekarni dkk, Tan Malaka memaparkan soal ide-ide, wawasan dan pemikirannya.
Hal itu membuat para pemuda terkagum-kagum sekaligus bertanya-tanya siapa sebenarnya Ilyas Hussein itu. Tak mungkin seorang pekerja biasa di tambang romusha, Bayah, Banten, memiliki pengetahuan yang begitu luar biasa.
Soekarni yang sesungguhnya adalah pengemar Tan Malaka, bahkan menilai apa yang dibicarakan, pemikiran dan analisis politik Ilyas Hussein sama dengan semua isi buku Tan Malaka.
Karena itu dia ragu kepada Hussein. Soekarni takut kalau-kalau Hussein adalah adalah seorang agen atau mata-mata Jepang yang hendak merusak perjuangan kemerdekaan para pemuda.
Pada 14 Agustus 1945, Tan Malaka datang ke rumah Soekarni masih dengan menggunakan nama samaran Ilyas Husein. Saat itu Soekarni amat sibuk dan banyak pemuda yang keluar masuk rumahnya di Jalan Minangkabau, Manggarai dalam menyambut kemerdekaan Indonesia.
Rapat Raksasa Ikada
Peristiwa Lapangan Ikada 19 September 1945, bukan semata-mata sebuah demo biasa, atau sebuah acara kumpul bareng yang melibatkan ratusan ribu orang, sebuah gerakan terorganisir awal dalam sejarah Indonesia modern untuk membentuk jaringan perlawanan terhadap kemungkinan datangnya Belanda yang membonceng sekutu, sekaligus sebuah statemen kepada pihak luar bahwa Indonesia telah memiliki pemerintahannya sendiri.
Rapat Ikada 19 September 1945 ini bermula di Bogor, pada sebuah gang sempit di rumah Pak Karim, seorang penjahit dimana di belakang rumahnya itu ada seseorang paling legendaris dalam pergerakan perjuangan Indonesia di tahun 1920-an dan merupakan orang yang paling inspiratif bagi para pemuda agar mereka keluar dari rumah nyaman mereka lalu membentuk sebuah bangsa Merdeka.
Tan Malaka menulis dua buku yang amat berpengaruh kepada banyak para orang pergerakan : Massa Actie dan Naar de Republiek”.
Kemunculan Tan Malaka pertama kali ke permukaan publik banyak diragukan orang, selain itu Tan Malaka masih dihinggapi perasaan curiga kepada siapapun, sebagai akibat selama lebih dari 20 tahun dikejar-kejar untuk dibunuh oleh intel-intel Belanda dan Inggris.
Di dalam pertemuan Bogor itu pula Tan Malaka menguraikan efektifnya sebuah gerakan. Tan Malaka lalu menguraikan dengan detil konsep perjuangannya.
“Saya ingin tahu kepada kalian apa tujuan kemerdekaan itu?” para pemuda diam saja, karena mereka tau ini pertanyaan retoris.
“Tujuan kemerdekaan itu adalah pembebasan, kesejahteraan dan total kita lepas dari kepentingan-kepentingan asing yang memperbudak bangsa ini. Di dalam memperdjoangkan kemerdekaan”
“Apa ada strategi ke depan dalam perdjoangan ini, kita harus berperang atau berunding dengan musuh?” kata seseorang yang kemudian disorakin temannya “kayak anak Prapatan 10 saja berunding” Seluruh ruangan tertawa. Namun selanjutnya ruangan menjadi sunyi ketika Tan Malaka berdehem.
“Kalahnya Djepang saat ini belum merupakan penyelesaian dari seluruh akhir perang. Perang besar akan diikuti perang-perang kecil. Banyak dari bangsa-bangsa di dunia ini akan menuntut kemerdekaan baru, mereka Atlantic Charter sebagai acuan kemerdekaan, tapi sayangnya negara-negara penjajah walaupun mereka teken Atlantic Charter, mereka tak mau buru-buru lepaskan negara jajahan, negara mereka sudah hancur akibat digempur Jerman, mereka akan memeras habis-habisan negara jajahan, mereka akan terus memperbudak rakyat di negara jajahan atas persoalan dimana negara jajahan itu tak mengerti”
Lalu Tan Malaka berdiam sejenak dan memandang lurus ke arah pintu. Ia berdiri dan masuk ke biliknya lalu keluar kembali membawa sebuah buku.
Entah apa maksudnya, buku itu ditaruh saja di meja kecil yang penuh dengan debu sisa rokok.
“Aku sudah mempelajari ini semua dalam perkiraan-perkiraan sejarahku, dalam pikiranku, semuanya…inilah masa depan itu sesungguhnya. Tapi masa depan itu tak mudah untuk kita begitu saja, masa depan itu harus direbut satu persatu. Melihat kejadian saat ini saya yakin Belanda akan masuk ke Indonesia, mereka akan mengincar kota-kota yang kaya, mereka akan masuk ke daerah yang banyak kilangnya, mereka masuk ke daerah perkebunan karena itu sumber logistik mereka, lalu mereka akan menggunakan kekuatannya untuk mempengaruhi banyak orang Indonesia untuk membatalkan kemerdekaan, mereka akan mengadu domba antar orang Indonesia sendiri. Mereka menggunakan orang-orang Indonesia yang pro Belanda untuk berunding sehingga mengesankan bahwa di dalam wilayah ini persoalannya bukan intervensi asing tapi sebuah konflik antar manusia di dalamnya, sebuah konflik internal bangsa, diatas itulah Belanda akan menguasai Indonesia kembali”.
“Lalu dengan apa kita harus melawan” tanya Sukarni dengan mata melotot.
“Caranya Belanda harus digempur terus menerus, jangan sampai mereka bisa mengekspor hasil-hasil perkebunan yang mereka kuasai. Kita mungkin kalah senjata tapi kita menang orang, orang kita banyak, semakin luas wilayah kita kuasai Belanda tidak akan mampu melawan, mereka habis berperang, sumber dana mereka tiris, mereka tidak punya dana besar untuk melakukan perlawanan amat luas ini, itulah kemenangan kita, kita harus melakukan perjuangan menyeluruh. Di dalam perjuangan itu harus juga ada langkah taktis, yaitu : pengakuan hukum dari negara lain. Bangsa-bangsa Kapitalis tak akan mungkin mau mengakui, kita butuh pengakuan negara-negara Islam dan negara-negara Sosialis. Sementara dengan kelompok Islam kalian jangan memusuhi, justru mereka amat penting terhadap pergerakan perjuangan ini, di Indonesia Islam itu ibarat darah dalam tubuh manusia, sekarang giliran kalian mampu tidak menggerakkan semua itu?….kalian harus melakukan krachtproef, suatu uji kekuatan. Bagaimanapun pemerintahan Indonesia memang sudah ada, tapi kenyataannya apa? Seluruh jajaran administrasi kenegaraan, kepolisian dan birocratie functie masih di tangan Djepang. Ini artinya bila tak ada gerakan dari kalian, maka Djepang akan segera menandatangani pengalihan inventaris Indonesia ini ke tangan sekutu sebagai bagian dari pampasan perang. Inikah yang kalian mau?”
“Jadi kita harus perang?” tanya Sukarni lagi.
“Itulah jalan satu-satunya, dan kamu buktikan dulu apakah massa rakyat mau ikut kalian hei pemuda? Kalian harus bakar itu massa rakyat, buat mereka berkumpul, dengan begini kalian akan mengukur kekuatan kalian, dan ketaatan itu akan dibuktikan di depan banyak orang asing di Indonesia sehingga mereka akan paham siapa yang memerintah rakyat sesungguhnya”.
Pertemuan itu berlangsung berjam-jam sampai akhirnya rombongan Menteng 31 pulang dengan membawa kesepakatan akan diadakan rapat besar.
Persatuan Perjuangan
Setelah mempelajari situasi dan melihat kesiapan republik menghadapi revolusi, Tan mendirikan Persatuan Perjuangan di Surakarta pada 15-16 Januari 1946. Persatuan Perjuangan ini diikuti 142 organisasi dan laskar-laskar dan didukung Panglima Besar TKR Jenderal Sudirman.
Agenda dari Persatuan Perjuangan ini adalah mendesak pemerintah -yang ketika itu perdana menterinya Sutan Sjahrir- untuk melaksanakan minimun program yang terdiri dari 7 pasal. Berunding atas pengakuan kemerdekaan Indonesia 100% oleh Belanda.
Dalam hal berpolitik, Tan Malaka adalah salah seorang penganut paham kemerdekaan 100% (yang se-visi, diantaranya oleh Jenderal Sudirman) dan samasekali tidak menyetujui apapun bentuk politik diplomasi.
Padahal, ketika itu pemegang pucuk pemerintahan adalah orang-orang yang mengetengahkan politik diplomasi ketimbang perang terbuka. Praktis, Tan melawan empat singa sekaligus: Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Amir Syarifuddin.
Tiga nama yang disebutkan pertama adalah penganut paham diplomasi, sedangkan Amir (selain juga diplomasi) adalah musuh Tan semenjak pecahnya perjanjian Prambanan yang membuat Tan dicap pemberontak oleh PKI hingga Komitern.
Tanggal 17 Maret, Tan bersama 46 tokoh Persatuan Perjuangan ditangkap pemerintahan Amir-Sjahrir. Menurut Moh. Yamin, penangkapan tersebut karena Persatuan Perjuangan dianggap sangat radikal dan dianggap kaum ekstrim.
Tan baru keluar penjara pada 16 September 1948. Setelah keluar, Tan diminta rehat sejenak dari percaturan politik karena alasan keamanan oleh Laskar Jawa Barat.
Namun, karena desakan berbagai pihak pula, Tan kembali ‘bermain’ dalam panggung politik dan mendirikan Partai Murba pada 7 November 1948 di Yogyakarta. Keluarnya Tan dan pendirian partai Murba ini membuat petinggi Republik merasa terancam.
Di tengah kondisi dalam negeri yang masih semrawut, ingatan rakyat teringat kembali pada sosok satu ini. Tan untuk pertama kalinya berpidato di depan corong RRI setelah ditahan dan menyerukan rakyat semesta untuk tidak mempercayai semua bentuk perundingan/diplomasi.
Sontak pidato Tan di RRI itu membuat dirinya dicap sebagai perebut kekuasaan oleh para oposisinya.
Tindakan tegas mulai dilakukan untuk membendung pergerakan Tan Malaka. 1 Desember 1948 Hatta memberangus koran partai Murba di Solo dan menghentikan izin mengudara radio Partai Murba.
15 Desember 1948, Nasution atas komando dari Hatta mulai melucuti senjata kelompok militer yang loyal terhadap Tan (kelompok militer non-reguler yang dibentuk atas inisiatif rakyat).
Menurut Sekretariat Urusan Agitasi-Propaganda Dewan Partai Murba tanggal 19 Februari 1957, pasukan Tan ditipu habis-habisan.
Berita dari tentara resmi, Belanda akan menyerang besar-besaran ke daerah Mrican dan Glogol, sontak mendengar berita itu tentara non-reguler yang berada di sekeliling Tan langsung berangkat sebanyak 3 batalyon, otomatis mereka meninggalkan Tan dan satu batalyon tentara dengan sedikit senjata.
Yang terjadi adalah, mereka yang bertahan di tempat malah dilucuti oleh tentara resmi dan disekap dalam sebuah rumah dekat sungai Brantas.
Menurut Djamaluddin Tamim, Tan ditembak mati pada 19 Februari 1949 di pinggir sungai Brantas, desa Mojo, 10 KM selatan kota Kediri oleh dan atas perintah Letkol Surachmat (Kepala Staf) dan Kolonel Sungkono (Panglima dan Gubernur Jawa Timur).
Lebih jauh, dia menjelaskan bahwa Mohammad Hatta-lah yang mengatur insiden berdarah ini. Mudahnya seperti ini: Pemerintah Sukarno-Hatta mengintruksikan Nasution melucuti senjata Tan – Nasution memerintahkan otoritas Jatim, kolonel Sungkono untuk membereskan Tan Malaka – Sungkono menunjuk Letkol Surachman sebagai pengeksekusi – Acara pun selesai dengan terbuangnya nafas Tan Malaka. Pernyataan Tamin ini dibenarkan juga oleh Manuel Kaisepo dan Leslie Palmer.
Beberapa Karya
Tan Malaka adalah seorang pemikir besar. Bahkan Tan Malaka telah menggagas sebuah pemikiran tentang bentuk negara republik jauh sebelum tokoh nasional lain sempat memikirkannya.
Hal ini tertuang dalam buah pikirnya Naar de Republiek Indonesia (1924). Selain itu, tercatat ada 26 karya yang menjadi buah pikir Tan Malaka, diantaranya Dari Penjara ke Penjara (yang terdiri dari 3 jilid), Massa Aksi (1926), Gerpolek (1948), hingga karya terbesarnya Madilog (1943).
Madilog: Warisan Terbesar
Di desa Rawaajati, daerah Kalibata, Jakarta, dalam sepetak ruang seluas 15 meter persegi terciptalah sebuah mahakarya peninggalan Tan Malaka yang dibuat ketika Tan dalam persembunyian dari Kempetai atau polisi rahasia Jepang yang sangat mahsyur dan orisinil, Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika).
Mahakarya yang diciptakan sejak 15 Juli 1942 dan rampung pada 30 Maret 1943 atau selama delapan bulan dengan rata rata penulisan tiga jam setiap hari ini menurut sejarawan Belanda, Harry Albert Poeze, merupakan bentuk pikiran yang telah mengendap bertahun-tahun dalam diri Tan Malaka. Tan merangkum pemikirannya dari hasil bacaan selama pengembaraan di Belanda, Cina, hingga Singapura.
Tidak seperti buku lainnya, Tan tidak mencantumkan sumber rujukan dalam Madilog. Jilid pertama seluruhnya dituliskan berdasarkan ingatannya. “Tan ingin menunjukkan kesan bahwa Madilog sepenuhnya buah pemikirannya” kata Poeze.
Istilah Madilog sendiri merujuk pada cara berpikir, bukan pandangan hidup. Inti dari Madilog adalah penglihatan masa depan Indonesia yang merdeka dan sosialis.
Tan membawa naskah Madilog ke Bayah, Banten Selatan ketika dia menyamar menjadi seorang romusha. Madilog juga dibawanya berpetualang ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tan baru memperkenalkan Madilog setelah tiga tahun kemunculannya. Tan menulis “Kepada mereka yang sudi menerimanya. Mereka yang sudah mendapat minimum latihan otak, berhati lapang dan saksama serta akhirnya berkemauan keras buat memahamkannya”
Buku ini menguraikan tiga hal yang menjadi pokok persoalan, yaitu tentang Materialisme, Dialektika, dan Logika. Materialisme diperkenalkannya sebagai paham tentang materi sebagai dasar terakhir alam semesta. Logika dibutuhkan untuk menetapkan sifat-sifat materi berdasarkan prinsip identitas atau prinsip nonkontradiksi.
Prinsip logika berbunyi: A tidak mungkin sama dengan yang bukan A. Sebaliknya, dialektika menunjukkan peralihan dari satu identitas ke identitas lain. Air adalah air dan bukan uap. Tapi dialektika menunjukkan perubahan air menjadi uap setelah dipanaskan hingga 100 derajat Celcius.
Dalam pandangan Marx-Engels, bukan ide yang menetukan keadaan masyarakat dan kedudukan seseorang dalam masyarakat, melainkan sebaliknya, keadaan masyarakatlah yang menentukan ide.
Dengan pemikiran ini jelaslah mengapa Tan mencoba merekonstruksi keadaan masyarakat agar tidak lagi terjerat akan ide-ide mitos yang sangat tidak memberikan perkembangan kearah sintesisnya.
Salah satu caranya tentunya membuat Madilog ini sendiri dan merevolusionerkan rakyat Murba (atau dalam termilogi Marx disebut kaum Proletar dan Sukarno menyebutnya kaum Marhaen).
Tan menginginkan Madilog sebagai panduan cara berpikir yang realistis, pragmatis, dan fleksibel. Sebuah pemikiran hasil Barat yang mencoba mengikis nilai-nilai feodalisme, mental budak, dan kultur tahayul yang diidap rakyat Indonesia ketika itu. Namun, selain dari pemikiran Barat sendiri, Madilog adalah sebuah sintesa dari seseorang berlatar belakang budaya Minangkabau. Ini terlihat dari pemikiran Madilog yang mencoba ‘membumi’ dengan alam Indonesia.
Madilog lahir melalui sintesa antara dua kutub filsafat yang sangat bertentangan yaitu aliran Hegel dan Marx-Engels. Hegel dengan filsafat dialektis (thesa, antitesa, dan sintesa) dengan kebenaran yang menyeluruh (absolute idea) hanya dapat tercapai melalui perkembangan dinamis. Hegel berpendapat bahwa bahwa untuk mencapai kebenaran mutlak, pemikiran lebih penting daripada materi.
Sementara itu, bagi Marx-Engels, proses dialektika ini lebih cocok diterapkan dalam ranah materi melalui revolusi perpindahan kelas mayoritas menjadi kelas yang sesungguhnya, yaitu masyarakat tanpa kelas. Jadi, materi menurut Marx-Engels lebih penting daripada ide atau pemikiran.
Nah, melalui Madilog inilah Tan mencoba mensintetiskan kedua pemikiran ini untuk mengubah budaya masyarakat yang berlandaskan mitos menjadi masyarakat yang berdasarkan sains –sebuah beban dari alam pemikiran mistis-.
Melalui sains, mindset masyarakat Indonesia harus dirubah, logika ilmiah dikedepankan, pikiran kreatif dieksplorasi sehingga tercipta susunan masyarakat baru berlandaskan Madilog. Sebuah masyarakat baru yang terbebas dari mitos-mitos kuno.
Sebagai sintesa hasil perantauannya, madilog merupakan manifestasi simbol kebebasan berpikir Tan malaka. Ia bukan dogma yang biasa ditelan begitu saja.
Menurut dia, justru kaum dogmatis yang cenderung mengkaji hafalan sebagai kaum yang bermental budak/pasif yang sebenarnya. Disinilah filsafat Idealisme dan Materialisme ala barat dan konsep rantau disintesiskan Tan Malaka.
Lembar demi lebar ditulisnya di dalam suasana kemiskinan, menjadi buron, penderitaan, dan kesepian yang begitu ekstrim.
Namun, Madilog-lah yang menjadi puncak kualitas orisinal pemikiran terbaik Tan Malaka yang dikumpulkannya dalam Haarlem, Nederland (1913-1919), sampai kelahiran buah pikirnya itu di Rajawati (1943).
Hari ini Rakyat Indonesia merayakannya kemerdekaan yang ke 71 Tan. Adakah kau menyaksikan semua ini di alam sana?
Masih jauh memang dari cita-cita mu Merdeka 100%.
Catatan: Ben Ibratama Tanur
Tan Malaka Institute
DAFTAR PUSTAKA
Hery, Yunior Hafidh. 2007. Tan Malaka Dibunuh!: Meneropong Krisis Politik 1945- 1949.Yogyakarta: Resist Book
“Macan dari Lembah Suliki”. [Artikel]. Tempo, Edisi 11-17 Agustus 2008, h. 77
“Naskah dari Rawajati”. [Artikel]. Tempo, Edisi 11-17 Agustus 2008, h. 50