Oleh Al Fikri
Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Imam Bonjol Padang
Penggiat Tradisi Lisan Alua Pasambahan
Hari ini sungguh melelahkan, setelah seharian penuh duduk di kursi kayu usang yang di pinggir dudukannya penuh anai-anai dan sandarannya dihiasi ukiran-ukiran hasil dari keelokan jemari tuan dan puannya.
Aku terbangun dari duduk semenjak Guruku mengakhiri pertemuan hari ini.
“Pantas saja, matahari sudah berangsur pulang.” Batinku
Telapak kakiku mulai bergegas melangkah menuju tempat yang tengah dirindukan saat merasa penat. Sesampainya di rumah, tanpa ba-bi-bu langsung berlarian menghempaskan diri ke sebatang kasur kapuk beralas kain berwarna biru tua. Beruntung kali ini tidak beralas rumus matematika, bisa pecah kepalaku sepertinya.
Aku terbangun ketika suara bising yang membuat gaduh tidurku. Kesal sekali rasanya, badanku lelah bak remuk dimaki panas aspal jalanan. Nyawaku baru hingga betis, harus melangkah mengintip sumber malapetaka itu dari celah pintu kamar.
Seketika bola mataku nyalang dibuatnya, telinga semakin peka menangkap gelombang pembicaraan kakekku “Zulbadri atau sering disapa ‘Angku Badri’
“Aneh, mereka sedang membicarakan apa ya? Kenapa tampak serius sekali.” ucapku yang menampakkan menatap tajam pemandangan tersebut.
“Kalilawa di pulau rimbang, anak ruso mati tadabiah, kok gawa mintak ditimbang. kok doso ampun nan labiah.” ucap kakek ku, sembari sesekali menghisap rokoknya.
“Kalimat apa itu? Baru kali aku ini mendengarnya.” ucapku pelan
Kalimat tersebut diulang-ulang oleh kakekku terus-menerus, sepertinya sudah puluhan kali. Rasa penasaranku sudah sampai ubun-ubun. Saking memikirkan arti kalimat itu, aku sampai tidak sadar ada yang mengetuk pintu kamarku.
“Ghafuur, bangun lagi, sejak pulang sekolah kerjaan kamu tidur saja, tapi mau pergi ke pasambahan!” lontar Amak[1] yang mengejutkan aku.
“Aish ternyata cuma mimpi! Jelas jelas angku sudah lama pulang kepangkuan nya.” Gunamku setelah teriakan amak dari balik pintu.
Aku lupa bahwa malam nanti akan ada kegiatan pasambahan atau persembahan.[2] Pasambahan ini merupakan tradisi bersilat lidah atau bermain kata sebagai salah satu bentuk warisan nenek moyang masyarakat Minangkabau, yang biasanya ditampilkan pada upacara adat seperti pernikahan, kematian, pengangkatan panghulu.
“Buruan mandi nak, nanti terlambat Tegur Amak. Aku bergegas menuju kamar mandi Tidak berselang lama, kumandang azan magrib menuntut lalu lalang jalan perkampungan menuju sunyi. Aku segera menunaikan salat magrib. Selepas menunaikan shalat magrib, Amak menyuruhku makan terlebih dahulu sebelum berangkat kerumah gadang” Makanlah dulu sebelum pergi.” Kata Amak yang tengah menyiapkan makan malam. “Siap Amak.” Jawabku.
Gulai kemumu tumbuhan semacam talas yang dicampur dengan telur rebus buatan Amak menemani makan malamku kali ini, begitu enaknya gulai ini sehingga makanku jadi nambah. “Makan secukupnya, terlalu kenyang akan membuatmu ngantuk nanti pas di rumah gadang.” Celetuk ayah. “Masakan Amak sampai membuat aku lupa sudah berapa piring habis nasi ini.” Gurauku pada ayah
“Biasanya kalau acara seperti itu sampai jam berapa yah?” Tanyaku disela sela kunyahan gulai kemumu.
“Selesainya menjelang subuh.” Kata ayah yang berhasil membuat kunyahanku berhenti.
“Kenapa bisa selama itu yah?” Tanyaku lagi.
“Liat saja nanti apa yang akan dibahas.” Tutup ayahku.
Kami pun selesai makan malam, aku segera menukar pakaian dan bergegas untuk bersiap pergi ke surau untuk menunaikan salat isya, karena acara di rumah gadang akan dilaksanakan setelah salat isya. sebelum ke surau aku menjemput Yogi, sahabat karibku. “Yogi, ayok kita ke surau.” Beruntung Yogi sudah menungguku di teras rumahnya. “Ayo” Ucapnya.
Sesampainya kami di surau, ternyata orang-orang sudah tampak ramai, kami berdua bergabung bersama mereka untuk bercerita hingga bergurau di halaman surau sambil menunggu waktu isya masuk. Tak berselang lama waktu isya masuk dan kami menghentikan permainan untuk ikut salat berjemaah.
Setelah shalat isya, seluruh pemuda pemuda yang ada bergerak menuju rumah gadang yang tak jauh posisinya dari surau. Sesampainya kami di rumah gadang ternyata sudah banyak juga orang di sana, baik yang tua maupun yang muda. Mereka duduk melingkari rumah gadang yang luas itu.
“Kenapa orang-orang ini duduknya. seperti apa yang terjadi dalam mimpiku tadi siang ya?” Tanyaku pada kebingunganku sendiri.
Salah satu datuak yang hadir di rumah gadang tiba-tiba membuka pembicaraan malam itu dengan ucapan yang sama dalam mimpiku. “Kalilawa di pulau rimbang, anak ruso mati tadabiah, kok gawa mintak ditimbang, kok doso ampun nan labiah.” Ucap datuak tersebut. memulai pembicaraan.
“Kamanakan-kamanakan mamak yang hadir di ateh rumah gadang kini, malam kini awak akan mampalajari pasambahan adaiak Minangkabau, sebuah tradisi warisan niniak moyang kito yang patuik kito lestarikan.”
Apo mukasuik pasambahan adaiak Minangkabau ko nyiak,? Manari-nari pulo awak tu nyiak?” Tanya seorang temanku.
“Indak, pasambahan tu adolah seni basilek lidah (sastra lisan) yang wajib dikuasai oleh seluruh laki-laki Minangkabau, pasambahan barisi bahaso bahaso yang sarat akan makna dan pengetahuan yang dapek kito ambiak, seperti kato-kato kieh (kiasan), petatah petitih, sarato pantun.” Jelasnya kepada kami semua.
“Menyenangkan sekali sepertinya.” Batinku.
“Mari basamo samo kito lestarikan budaya kito yang alah diwariskan oleh nenek moyang kito, kalau indak awak siapo yang akan melestarikan budaya ko lai.” Ajaknya kepada kami semua.
“Untuak Pambukak Kato mamak cukuikkan, kamanakan kamanakan mamak sadonyo, mari kito mulai baraja pado malam ko, silahkan kamanakan cataik apo yang mamak sabuikkan, untuak mamudahkan kamanakan mamak menghafalnyo.” Pungkasnya.
Aku mencatat semua pantun pembuka yang disebutkan oleh mamak, sembari mengingat kembali mimpiku tadi siang, yang juga persis dengan apa yang aku rasakan malam ini.
Ternyata fungsi pantun yang diucapkan kakek dalam mimpiku adalah untuk pembuka kata ketika kegiatan adat akan berlangsung dengan tujuan meminta maaf kepada lawan berbicara seandainya terjadi kesalahan selama prosesi adat berlangsung.
Hari pun semakin larut malam, tak terasa pembelajaran pasambahan malam itu berjalan begitu khidmat sampai-sampai aku dijemput oleh ayah karena belum juga pulang. Begitupun teman-teman yang lain juga sudah dijemput oleh orang tuanya masing-masing
Akhirnya pembelajaran pada malam itu dicukupkan, kami pun akhimya pulang ke rumah masing-masing. Sepanjang perjalanan ke rumah, aku mengulang pantun yang diajarkan tadi. Aku lihat senyum tipis terpancar dari wajah ayah sepertinya senang anaknya dapat menerima pembelajaran tentang salah satu sastra lisan yang hampir punah seiring dengan perkembangan zaman,
Sorot mata ayahku juga memperlihatkan harapan tentang anaknya bisa menjadi anak yang mampu mengayomi keluarganya kelak, kakak yang mampu mengarahkan adiknya, serta mamak yang mampu membimbing kemenakannya. Pasambahan sudah mengikat batinku sepertinya, aku tidak ingin tradisi lisan ini punah begitu saja. ( Jalan dialiah dek urang lalu, cupak dipapek rang manggaleh ). lidahku selalu melontarkan konsonan kata-kata indahnya dengan menyematkan pesan-pesan yang dalam maknanya.
[1] Panggilan untuk seorang perempuan di Minangkabau yang sudah menjadi ibu
[2] salah satu jenis sastra lisan Minangkabau. Sastra lisan ini digunakan oleh masyarakat Minangkabau dalam acara perkawinan, kematian, dan acara adat lainnya.