Kualitas layanan kesehatan sangat bergantung pada profesionalisme dan keterampilan perawat. Salah satu faktor penting yang dapat meningkatkan kualitas tersebut adalah kemampuan berpikir kritis. Dalam dunia kesehatan yang dinamis dan penuh tantangan, kemampuan berpikir kritis menjadi keterampilan esensial yang harus dimiliki oleh perawat. Pelatihan berpikir kritis menggunakan model PAUL menjadi salah satu pendekatan efektif untuk meningkatkan sikap dan keterampilan perawat dalam menghadapi situasi yang kompleks dan membuat keputusan klinis yang tepat.
Model berpikir kritis PAUL dikembangkan oleh Dr. Richard Paul dan berfokus pada proses berpikir yang sistematis dan analitis. Model ini mendorong individu untuk mempertanyakan, menganalisis, serta mengevaluasi informasi dengan lebih mendalam, sebelum mengambil keputusan atau tindakan. Dalam konteks keperawatan, model ini membantu perawat dalam mengevaluasi informasi pasien, menganalisis masalah kesehatan, dan mengambil keputusan klinis yang berbasis bukti.
Salah satu penelitian terbaru yang menarik perhatian adalah penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Fakultas Keperawatan Universitas Andalas, yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh pelatihan berpikir kritis model Paul terhadap sikap dan keterampilan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan quasi-eksperimen dengan desain nonequivalent control group pre-test dan post-test. Sampel penelitian terdiri dari 33 orang perawat pada kelompok intervensi yang mengikuti pelatihan, dan 33 orang perawat pada kelompok kontrol yang hanya diberikan modul. Teknik purposive sampling digunakan untuk menentukan sampel, sementara analisis data dilakukan menggunakan uji statistik Wilcoxon dan Mann Whitney karena distribusi data tidak normal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan berpikir kritis model Paul memberikan dampak yang signifikan pada peningkatan sikap dan keterampilan perawat. Pada kelompok intervensi, rata-rata sikap meningkat sebesar 32%, dan keterampilan meningkat sebesar 48%. Sebaliknya, pada kelompok kontrol yang hanya menerima modul, sikap dan keterampilan hanya meningkat masing-masing sebesar 24%. Uji statistik menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok (p < 0,05).
Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa pelatihan langsung memberikan dampak yang lebih signifikan dalam meningkatkan sikap dan keterampilan perawat dibandingkan dengan penggunaan modul. Namun, modul tetap efektif dalam memberikan peningkatan, meskipun hasilnya tidak sebaik pelatihan langsung. Uji homogenitas juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan awal yang signifikan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p > 0,05), sehingga hasil peningkatan kompetensi pada kedua kelompok dapat dikaitkan secara langsung dengan intervensi yang diberikan.
Rekomendasi dari hasil penelitian ini pelatihan sebagai metode yang lebih efektif untuk meningkatkan kompetensi perawat. Namun, modul dapat menjadi alternatif bagi institusi yang memiliki keterbatasan dalam menyelenggarakan pelatihan tatap muka. Kombinasi antara pelatihan langsung dan penggunaan modul dapat menjadi strategi yang ideal untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Pelatihan ini terbukti efektif dalam meningkatkan mutu pelayanan, sehingga dapat dijadikan salah satu strategi utama dalam upaya perbaikan kualitas pelayanan keperawatan di Indonesia.
Artikel selengkapnya dapat diakses pada DOI: https://doi.org/10.35960/vm.v17i2.1526
Oleh: Ns. Yuanita Ananda, M.Kep
Fakultas Keperawatan Universitas Andalas