Oleh: Dr. Silvia Permata Sari, SP., MP.
Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Andalas
Sumberdaya hayati sering diartikan sebagai modal untuk menghasilkan produk dan jasa saja. Pada hal keanekaragaman hayati mestinya harus merujuk pada aspek keseluruhan dari sistem penopang kehidupan yaitu mencakup aspek sosial, ekonomi dan lingkungan serta aspek sistem pengetahuan dan etika, dan kaitan diantara berbagai aspek ini (IBSAB, 2003)
Keanekaragaman hayati (biological diversity) merupakan tumpuan hidup manusia, karena setiap orang membutuhkannya untuk menopang kehidupan, sebagai sumber pangan, pakan, bahan baku industri, farmasi maupun obat-obatan. Keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk diantaranya daratan, lautan dan ekosistem aquatic lain serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya, mencakup keanekaragaman di dalam spesies, antara spesies dan ekosistem.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati (baik flora maupun fauna) yang tinggi (megadiversity) dan setara dengan Brasil di Benua Amerika dan Zaire atau Republik Demokratik Kongo di Afrika. Menurut World Conservation Monitoring Comittee (1994) dalam Ramono (2004), kekayaan bumi Indonesia mencakup 27.500 (dua puluh tujuh ribu lima ratus) jenis tumbuhan berbunga atau sebesar 10 % (sepuluh persen) dari seluruh jenis tumbuhan di dunia, 515 (lima ratus lima belas) jenis mamalia atau sebesar 12 % (dua belas persen) jenis mamalia dunia, 1.539 (seribu lima ratus tiga puluh sembilan) sejenis burung atau sebesar 17% (tujuh belas persen) seluruh jenis burung di dunia dan 781 (tujuh ratis delapan puluh satu) jenis reptil dan amphibi atau sebesar 16 % (enam belas persen) dari seluruh reptil dan amphibi di dunia).2 Tingginya keragaman hayati ini salah satunya dikarenakan posisi Indonesia sebagai negarakepulauan dimana pulau-pulau tersebut tersebar di sepanjang garis khatulistiwa.
Beberapa contoh dibawah ini adalah jenis-jenis yang telah banyak dikenali masyarakat yang memiliki potensi dan keanekaragamannya terdapat di Indonesia.
Variasi kultivar yang dimiliki seiap jenis merupakan sumber plasma nutfah yang tidak ternilai harganya untuk kepentingan pengembangan sumber daya pangan lokal dan untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang pertanian.
a. Ubi-ubian
Tidak kurang dari 59 jenis Dioscorea yang telah diketahui distribusi, ekologi, serta potensi ekonominya. Dari jumlah tersebut 18 jenis diantaranya telah dibudidayakan dan diketahui nilai kegunaannya sebagai sumber karbohidrat, alkohol, tepung untuk pengobatan, racun ikan, insektisida. Umbinya mengandung tanin, saponin, alkaloid. (Burkill, I.H. 1951)
Selain Dioscorea, talas (Colocasia) juga kelompok ubi-ubian yang potensial untuk dikembangkan sebagai cadangan pangan. Mengingat sangat pentingnya talas bagi kehidupan masyarakat serinkali bahwa tanaman ini pemanfaatannya terkait dengan kebudayaan penduduk setempat. Diketahui ada 300 varietas talas budidaya yang dibedakan berdasarkan ukuran, bentuk, warna daun, batang, umbi, dan bunga. (Neal, M.C. 1965.)
b. Kacang-kacangan
Kecipir (Psopocarpus tetragonolobus), telah lama menjadi perhatian dunia karena bijinya diduga mempunyai potensi yang besar untuk menggantikan kedelai. Jenis ini memiliki kultivar yang cukup banyak. Setiap kultivar dibedakan berdasarkan bentuk buahnya dan masing-masing memiliki nama daerah yang berbeda-beda. Di Indonesia tanaman kecipir memiliki keanekaragaman yang tinggi, terutama di daerah Papua.( Khan, T.N. 1976.)
Pemuliaan tanaman dan produksi bahan perbanyakan (benih/non benih) tanaman pangan
a. Pemuliaan tanaman dan produksi bahan perbanyakan (benih/non benih) tanaman pangan
Tujuan utama dalam pemuliaan tanaman dalah guna mendaptkan varietas yang lebih baik. Kegiatan ini dibiayai oleh rakyat ( melalui pajak ), dengan harapan bahwa hasilnya akan meningkatkan pendapatan petani. Ini baru tercapai bila varietas baru dihasilkan pemuliaan tanaman. Itu betul dapat digunakan oleh petani dengan menguntungkan ( Makmur, 1992 ).
Untuk memperoleh informasi mengenai kemajuan teknologi benih dan pengembangan ilmu pembenihan di negara-negara maju, serta mengetahui situasi indutri pembenihan tanaman dan kebutuhan benih di negara-negara Asia Pasifik, Indonesia bergabung ke dalam APSA ( The Asian an Pasifik Seed Association ), yaitu suatu organisasi yang dibentuk FAO pada tahun 1994 dengan tujuan meningkatkan bertumbuhkembangnya industri benih di negara-negara anggota. Anggota asosiasi ini terdiri atas institusi pemerintah dan swasta yang menangani atau mendukung usaha pembenihan tanaman. Dalam keanggotaan APSA ini pemerintah Indonesia diwakili oleh Direktorat Bina Perbenihan Tanaman Pangan dan Holtikultura ( Rasaha, dkk. 1999 ).
b. Perkembangan Industri Benih Di Indonesia
Di Indonesia, pada zaman Belanda tahun1920 telah mulai adanya perhatian terhadap soal perbenihan dan meningkatkan perbaikan dengan cara-cara bercocok tanam. Usaha-usahanya diarahkan kepada pengadaan benih yang kemudian dikuti dengan pendirian lumbung-lumbung benih untuk menyediakan benih bagi para petani. Padatahun 1930 kegiatannya meningkat yaitu dengan dibangunnya Balai Benih ( khususnya diJawa ). Balai Benih ini berfungsi sebagai sumber benih yang agak lebih baik mutunya dan secara terus menrus dapat memenuhi kebutuhan para petani. Suatu cara yang sangat disayangkan ketika itu adalah tentang pendistribusiannya tertuju pada basis yang tidak efisien, sehingga terjadi kontaminasi yang terasa kurang manfaatnya, sebab sebagianbesar petani yang produktif tidak memanfaatkannya ( Kartasaputra, 2003 ).
Untuk pengembangan industri benih nasional perlu terus dikembangkan kebijaksanaan operasional, terutama dengan optimalisasi fungsi dan pembinaan, pelayanan dan pengawasan dari pemerintah, serta meningkatkan peran swasta dalam industri benih. Upaya-upaya tersebut ditempuh antara lain melalui : peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang perbenihan, pembenahan kelembagaan perbenihan, peningkatan peran Indonesia dalam organisasi benih internasional serta penciptaan iklim yang kondusif untuk mengembangkan agribisnis dan industri benih ( Rasah dkk, 2003 ).
Teknik budidaya tanaman pangan dalam SPT
Sistem Pertanian Terpadu memiliki 4 sistem dalam penerapannya. Di kota Malang, Jawa Timur sendiri, sudah banyak petani maupun peternak yang menerapkan ke-4 sistem dalam Sistem Pertanian Terpadu tersebut. Sistem-sistem tersebut berupa Usaha Tani Campuran (Mixed Farming System), Sistem produksi Tanaman-Ternak (Crops-Livestock Production Systems), Model Pertanian Tekno- Ekologis (di Ekosistem Lahan Sawah), dan Model PertanianTekno-Ekologis (di Ekosistem Lahan Perkebunan-Ternak).
Model Usaha Tani Campuran (Mixed Farming System) adalah usaha tani yang dilakukan dengan penanaman lebih dari satu komoditas pada waktu bersamaan. Contohnya menanam cabai, terong, jeruk, rumput gajah dan lainnya dalam waktu bersamaan. Model Sistem produksi Tanaman-Ternak (Crops- Livestock Production Systems) adalah usaha tani yang melibatkan lebih dari satu komoditas dan terdapat interaksi saling menguntungkan antara system tanaman pangan, ternak dan tanaman pakan ternak.
Sistem Produksi Tanaman-Ternak ( Crop Livestock Cropping System)
Ciri utama dari pengintegrasian tanaman dengan ternak adalah terdapatnya keterkaitan yang saling menguntungkan antara tanaman dengan ternak. Keterkaitan tersebut terlihat dari pembagian lahan yang saling terpadu dan pemanfaatan limbah dari masing masing komponen. Saling keterkaitan berbagai komponen sistem integrasi merupakan faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan masyarakat tani dan pertumbuhan ekonomi wilayah yang berkelanjutan (Pasandaran, 2006).
Salah satu harapan dalam pengembangan pertanian (termasuk sistem integrasi tanaman ternak, produksi tanaman pangan dan daging) di Indonesia adalah meningkatkan kesejahteraan hidup petani dan mengurangi beban impor yang kian membengkak terutama sapi hidup dan daging. Sistem integrasi tanaman-ternak mengandung arti bahwa kedua usaha diharapkan berlangsung dalam satu sistem usaha agribisnis Crop-Livestock System (CLS) yang saling mengisi, yaitu tanaman tersedia input berupa pakan dan dari ternak termanfaatkan kogtoran ternak menjadi pupuk organik (Hau, 2005).
Salah satu usaha sistem pertanian terpadu yaitu sistem integrasi tanaman ternak. Contohnya sistem integrasi tanaman semusim-ternak sapi potong yang merupakan intensifikasi sistem usaha tani melalui pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara terpadu dengan komponen ternak sapi potong sebagai 2 bagian kegiatan usaha (Zakariah, 2012).
Sistem integrasi tanaman semusim- ternak sapi potong sebagai salah satu upayah untuk meningkatkan produksi sapi potong yang merupakan penyumbang daging terbesar terhadap produksi daging nasional sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang menguntungkan dan meningkatkan pendapatan peternak (Syamsidar, 2012).
Sebanyak 85 % petani melakukan penanaman padi sawah dengan cara tanam pindah dengan umur benih lebih dari 21 hari setelah semai (HSS) dan sebanyak 15
% petani melakukan penanaman dengan cara tanam pindah dengan umur benih kurang dari 21 hari setelah semai (HSS). Sistem tanam pindah tidak mendukung sistem pertanian berkelanjutan pada budidaya padi sawah. Sistem tanam yang sesuai dengan pertanian tekno-ekologis adalah sistem tanam benih langsung (tabela) karena memiliki keunggulan antara lain lebih hemat waktu, lebih hemat air, produktivitas meningkat (rata-ratasekitar 16,4 %) dan lebih hemat tenaga karena tidak memerlukan tenaga untuk mencabut dan menanam bibit (Istiantoro, 2013).
Integrasi Tanaman Jagung dengan Ternak.
Tanaman jagung setelah produk utamanya dipanen, hasil ikutannya berupa daun, batang dan tongkol sebelum atau sesudah melalui proses pengolahan dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan pakan ternak alternatif. Jumlah produk ikutan jagung dapat dari satuan luas tanaman jagung antara 2,5-3,4 ton bahan kering per hektar yang mampu menyediakan bahan baku sumber serat/pengganti hijauan untuk satu satuan ternak (bobot hidup setara 250 kg dengan konsumsi pakan kering 3 % bobot hidup) bdalam setahun. Produk ikutan tanaman jagung sebelum digunakan sebagai bahan baku pakan dapat diolah menjadi silase baik dengan atau tanpa
proses fermentasi dan amoniasi. Pemberian dalam bentuk segar atau sudah diolah disarankan sebaiknya dipotong-potong atau dicacah terlebih daulu agar lebih memudahkan ternak untuk mengkonsumsi. Agar ternak lebih menyukai dapat ditambahkan molases atau air garam . Kotoran ternak yang telah diproses daqpat digunakan sebagai sumber energi (biogas) dan pupuk organik yang dapat digunakan untuk memperbaiki bstruktur tanah pada lahan tanaman jagung (Bagas, A, dkk, 2004)
DAFTAR PUSTAKA
Burkill, I.H. 1951. Dioscoreaceae. Flora Malesiana 43 (1): 293-335.
Hau,dkk. 2005.Prospek Pengembangan Sistem Integrasi Tanaman-Ternak di Nusa Tenggara Timur. Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit- Sapi
Ibnu Maryanto et.al., Bioresource untuk pembangunan ekonomi hijau (Jakarta : LIPI Press, 2013), hlm.1.
Kartasapoetra, A.G., 2003. Teknologi Benih, penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Khan, T.N. 1976. Papua New Guinea: A centre of Genetic diversity in winged bean (Psopocarpus tetragonolobus). Euphytica. 1976.
Malmur, A., 1992. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Rineka Cipta, Jakarta. Neal, M.C. 1965. In gardens of Hawai. Lancaster Press, Lancaster. 924 p.
Pasandaran, Effendi. Djayanegara, Andi. Kariyasa, Ketut. Kasryno. Faisal.2006. Integrasi Tanaman Ternak di Indonesia. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Rasaha, C.A., dkk., 1999. Refleksi Pertanian. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Syamsidar. 2012. Analisis Pendapatan Pada Sistem Integrasi Tanaman Semusim- Ternak Sapi Potong. Skripsi Fakultas Peternakan. Universitas Hasanuddin. Makassar
W.S. Ramono dalam Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (2004). Prosiding Workshop Nasional Konservasi, Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan, 8 Nopember 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Yogyakarta, hlm. 21-27
Zakariah,M Askari.2012.Sistem Produksi Ternak Potong Di Kolaka Sulawesi Tenggara.Yogyakarta:Universitas Gajah mada press.