23 C
Padang
Sabtu, Juli 27, 2024
spot_imgspot_img
Beritasumbar.com

Dicurigai ‘Bau PKI’, Ratusan Warga Bukittinggi Bubarkan Diskusi
D

Kategori -
- Advertisement -

Kegiatan Diskusi Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65 di rumah kediaman Ketua YPKP Sumbar di kawasan Bukik Cangang Bukittinggi, dibubarkan warga.  Warga mengkhawatirkan kegiatan diskusi ini bisa memunculkan ideologi baru yang bertentangan Pancasila, undang-undang serta aturan lainnya.

Bukittinggi – Dicurigai terkait dengan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30 S PKI), sekitar seratusan warga Kelurahan Bukik Cangang Kayu Ramang Keca­matan Guguk Panjang Kota Bu­kit­tinggi membubarkan paksa kegia­tan Diskusi Yayasan Pene­litian Korban Pembunuhan (YPKP) 65 di rumah kediaman Ketua YPKP Sumbar di kawasan Bu­kik Cangang Bukittinggi, Minggu (22/2).

Kecurigaan warga ini didasari hadirnya Ketua YPKP Bedjo Untung, yang diduga adalah anak dari Letkol Untung, Pimpinan Dewan Revolusi PKI. Padahal pihak YPKP telah menyebutkan bahwa Bedjo Untung tidak ada hubungan keluarga dengan Letkol Untung. Meski demikian, warga tidak mempercayainya begitu saja.

Kegiatan diskusi itu sebe­narnya tidak hanya dihadiri oleh pihak YPKP dan korban keja­hatan 65-66 saja, tapi juga meng­hadirkan sejumlah narasumber dari pusat, seperti dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tin­dak Kekerasan (Kontras) dan pengacara Komisi Pemberatantasan Korupsi (KPK), Nusyahbani.

Seharusnya, kegiatan tersebut dimulai pada pukul 10.00 WIB. Namun sebelum kegiatan dimulai, banyak warga berdatangan ke lokasi kegiatan dan berusaha untuk meng­hentikan kegiatan tersebut.

Kedatangan banyak warga ini membuat para peserta yang datang dari berbagai daerah di Sumbar jadi bingung. Bahkan peserta yang ber­jum­lah sekitar seratusan orang yang didominasi oleh orang lanjut usia itu tampak pasrah ketika diusir oleh warga sekitar.

Untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan, sejumlah petugas kepolisian terpaksa meng­amankan para narasumber dan pe­ser­­ta, agar tidak menjadi amukan warga.

Salah seorang warga Bukik Ca­ngang, Yunaldi mengatakan, warga Bukik Cangang menolak adanya ke­giatan yang diselenggarakan YPKP, karena dikhawatirkan bisa me­munculkan ideologi baru yang bertentangan Pancasila, undang-undang serta aturan lainnya.

“Warga menolak kegiatan yang dapat merongrong ideologi Pan­casila. Yayasan 65-66 ini nota­benenya adalah PKI Bedjo Untung, kami tidak menerima,” ujar Yulandi.

Yulandi melanjutkan, pembu­baran acara yang dilakukan YPKP murni kehendak masyarakat yang tidak menginginkan paham komu­nisme muncul di daerah mereka, karena sebelumnya beredar desas-desus Ketua YPKP Bedjo Untung akan menularkan ajaran PKI.

Kepada wartawan, Camat Gu­guk Panjang, Nofrianto CH juga mengatakan aksi penolakan warga terhadap pertemuan tersebut juga didasari tidak  adanya izin akan ada­nya pertemuan di rumah tersebut.

“Warga dapat informasi bahwa akan ada pertemuan di rumah terse­b­ut, sementara itu izinnya tak ada, baik kepada pihak RT, RW, kelu­rahan bahkan kecamatan tidak ada, makanya timbul pertanyaan dari warga pertemuan apa itu, dan kenya­taannya terjadilah hal tersebut” terang Nofrianto.

Sementara itu, menurut Ketua YPKP Sumbar, Nadiani, sebelum melaksanakan kegiatan diskusi terse­but, pihaknya telah melayang­kan surat pemberitahuan kepada kepolisian dan pemerintah Kota Bukittinggi.

Menurutnya, kegiatan diskusi itu dilakukan untuk membicarakan rehabilitasi para korban tragedi kemanusiaan 1965-1966 dan tidak berkaitan dengan paham atau ideo­logi PKI. Sasaran kegiatan itu menurutnya hanya untuk mere­habilitasi korban, dan para korban yang telah lanjut usia akan diberi bantuan psikologi dan kesehatan.

“Saya sudah 60 tahun tinggal di Bukik Cangang Bukittinggi dan tidak pernah mengalami kejadian seperti ini. Saya sangat menyesalkan kejadian ini, padahal kami hanya ingin mem­beri bantuan kepada korban keja­hatan 65-66,” tutur Nadiani yang kecewa dengan sikap masyarakat yang meng­gagalkan kegiatannya.

Terkait kegiatan diskusi ini, pengacara KPK Nusyahbani meni­lai, kegiatan tersebut merupakan hak masyarakat untuk berkumpul dan mendiskusikan mengenai kondisi dirinya dalam rangka minta penje­lasan kepada lembaga resmi seperti Komnas Perempuan dan LPSK dan lembaga negara lainnya.

“Komnas Perempuan dan LPSK yang diundang dalam kegiatan itu sedang menunaikan tugas negara, bukan provokasi atau apa. Kalau Semendawai (Ketua LPSK) tidak bisa melaksanakan tugas-tugas seba­gai­mana yang dibebankan undang-un­dang, dia akan diminta pertang­gung­jawabkannya di Komisi III, karena ang­garannya kan dari Komisi III. Se­tiap tiga bulan sekali itu harus diper­tang­gungjawabkan,” ungkap Nusyahbani.

Nusyahbani juga mengaku mera­sa aneh dengan sikap pihak kea­manan kepolisian, yang dinilai tidak bisa menciptakan siatuasi yang kondusif. Menurutnya aparat negara dalam lembaga negara seperti LPSK dan Komnas Perempuan tidak bisa menjalankan tugas yang dibebankan oleh undang-undang, akibat dari sikap aparat keamanan itu.

“Terkait kejadian ini, saya sendiri akan menulis kronologinya, kemu­dian melaporkannya ke Mabes Polri dan cc kepada bapak Jokowi. Inikan terkait dengan aparat kepolisian disini yang tidak perform sebagai aparat keamanan, yang seharusnya memberikan perlindungan kepada masyarakat dari tindakan-tindakan yang bersifat kekerasan seperti yang tadi dilakukan,” tutur Nusyahbani.

Nusyahbani menjelaskan, me­mang tidak ada kekerasan fisik dalam kejadian itu, namun pe­ngusiran warga ditambah sikap aparat kepo­lisian itu menurutnya bisa dika­tegorikan sebagai ke­kerasan verbal.

“Undang-undang kita mengenali itu kekerasan verbal, bukan hanya kekerasan fisik saja. Saya diundang sebagai pembicara, yang biasanya saya menjelaskan mengenai hak-hak mereka itu. Saya sekarang Ketua Pembina Yayasan Lembaga Kon­sumen Indonesia dan juga Koor­dinator Nasional LBH APIK se-Indonesia, yang memberikan ban­tuan hukum, menjelaskan hak dan hukum mereka, apa yang bisa lem­baga hukum yang saya pimpin itu memberikan bantuan kepada me­reka kalau negara tidak men­jalankan kewajibannya kepada para korban,” terang Nusyahbani.

Ketua Komnas Perempuan Yu­ni­yanti Chuzaifah sangat menya­yangkan warga Bukittinggi atau Sumbar secara umum, yang me­nurutnya dikenal sebagai dapur yang melahirkan para pendiri nega­ra, dapur para ulama, dan sebagai daerah yang aman dan damai di Indonesia, menjadi daerah yang tidak aman saat ini.

“Saat ini, saya merasakan keti­dakamanan telah lahir di Kota Bukittinggi yang sebelumnya saya kira sebagai daerah teraman di Indonesia. Saya sudah sering ke Bukittinggi dan ini untuk yang keempat kalinya, tapi baru kali ini terjadi seperti ini,” jelasnya.

Terkait kejadian ini, Kapolres Bukittinggi AKBP Amirjan men­jelaskan, pihaknya mendatangi lokasi kejadian setelah mendapat informasi dari warga setempat atas kejadian tersebut. Menurutnya, dalam hal ini kepolisian hanya melakukan tindakan responsif un­tuk menghindari terjadinya gesekan antar dua pihak.

“Tidak ada yang ditangkap dalam kejadian ini. Kami hanya menga­mankan situasi dan kondisi. Pengu­siran yang dilakukan warga ini, karena warga dan tokoh masya­rakat setempat tidak menerima kegiatan tersebut dilakukan di daerah me­reka. Daripada anarkis dan kami tidak mau ambil resiko, makanya kami melakukan tindakan per­suasif,” jelas Kapolres.

Kapolres Amirjan menegaskan, belum ada pengajuan izin yang dilakukan pelaksana kegiatan, se­hingga Polres Bukittinggi tidak pernah menge­luarkan surat izin kegiatan tersebut.

Aksi seperti ini juga pernah terjadi Minggu, 16 Februari 2014. Pertemuan Korban Huru-hara 1965 di Jalan Potrosari Tengah, Ke­lurahan Srondol Kulon, Banyu­­manik, Semarang, Jawa Tengah, dibubarkan oleh Front Anti Ko­munis Indonesia (FAKI) dan aparat kepolisian.

 

Haluan/wan
- Advertisement -
- Advertisement -

BERITA PILIHAN

- Advertisement -
- Advertisement -

Tulisan Terkait

- Advertisement -spot_img