Kegiatan Diskusi Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65 di rumah kediaman Ketua YPKP Sumbar di kawasan Bukik Cangang Bukittinggi, dibubarkan warga. Warga mengkhawatirkan kegiatan diskusi ini bisa memunculkan ideologi baru yang bertentangan Pancasila, undang-undang serta aturan lainnya.
Bukittinggi – Dicurigai terkait dengan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30 S PKI), sekitar seratusan warga Kelurahan Bukik Cangang Kayu Ramang Kecamatan Guguk Panjang Kota Bukittinggi membubarkan paksa kegiatan Diskusi Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65 di rumah kediaman Ketua YPKP Sumbar di kawasan Bukik Cangang Bukittinggi, Minggu (22/2).
Kecurigaan warga ini didasari hadirnya Ketua YPKP Bedjo Untung, yang diduga adalah anak dari Letkol Untung, Pimpinan Dewan Revolusi PKI. Padahal pihak YPKP telah menyebutkan bahwa Bedjo Untung tidak ada hubungan keluarga dengan Letkol Untung. Meski demikian, warga tidak mempercayainya begitu saja.
Kegiatan diskusi itu sebenarnya tidak hanya dihadiri oleh pihak YPKP dan korban kejahatan 65-66 saja, tapi juga menghadirkan sejumlah narasumber dari pusat, seperti dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan pengacara Komisi Pemberatantasan Korupsi (KPK), Nusyahbani.
Seharusnya, kegiatan tersebut dimulai pada pukul 10.00 WIB. Namun sebelum kegiatan dimulai, banyak warga berdatangan ke lokasi kegiatan dan berusaha untuk menghentikan kegiatan tersebut.
Kedatangan banyak warga ini membuat para peserta yang datang dari berbagai daerah di Sumbar jadi bingung. Bahkan peserta yang berjumlah sekitar seratusan orang yang didominasi oleh orang lanjut usia itu tampak pasrah ketika diusir oleh warga sekitar.
Untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan, sejumlah petugas kepolisian terpaksa mengamankan para narasumber dan peserta, agar tidak menjadi amukan warga.
Salah seorang warga Bukik Cangang, Yunaldi mengatakan, warga Bukik Cangang menolak adanya kegiatan yang diselenggarakan YPKP, karena dikhawatirkan bisa memunculkan ideologi baru yang bertentangan Pancasila, undang-undang serta aturan lainnya.
“Warga menolak kegiatan yang dapat merongrong ideologi Pancasila. Yayasan 65-66 ini notabenenya adalah PKI Bedjo Untung, kami tidak menerima,” ujar Yulandi.
Yulandi melanjutkan, pembubaran acara yang dilakukan YPKP murni kehendak masyarakat yang tidak menginginkan paham komunisme muncul di daerah mereka, karena sebelumnya beredar desas-desus Ketua YPKP Bedjo Untung akan menularkan ajaran PKI.
Kepada wartawan, Camat Guguk Panjang, Nofrianto CH juga mengatakan aksi penolakan warga terhadap pertemuan tersebut juga didasari tidak adanya izin akan adanya pertemuan di rumah tersebut.
“Warga dapat informasi bahwa akan ada pertemuan di rumah tersebut, sementara itu izinnya tak ada, baik kepada pihak RT, RW, kelurahan bahkan kecamatan tidak ada, makanya timbul pertanyaan dari warga pertemuan apa itu, dan kenyataannya terjadilah hal tersebut” terang Nofrianto.
Sementara itu, menurut Ketua YPKP Sumbar, Nadiani, sebelum melaksanakan kegiatan diskusi tersebut, pihaknya telah melayangkan surat pemberitahuan kepada kepolisian dan pemerintah Kota Bukittinggi.
Menurutnya, kegiatan diskusi itu dilakukan untuk membicarakan rehabilitasi para korban tragedi kemanusiaan 1965-1966 dan tidak berkaitan dengan paham atau ideologi PKI. Sasaran kegiatan itu menurutnya hanya untuk merehabilitasi korban, dan para korban yang telah lanjut usia akan diberi bantuan psikologi dan kesehatan.
“Saya sudah 60 tahun tinggal di Bukik Cangang Bukittinggi dan tidak pernah mengalami kejadian seperti ini. Saya sangat menyesalkan kejadian ini, padahal kami hanya ingin memberi bantuan kepada korban kejahatan 65-66,” tutur Nadiani yang kecewa dengan sikap masyarakat yang menggagalkan kegiatannya.
Terkait kegiatan diskusi ini, pengacara KPK Nusyahbani menilai, kegiatan tersebut merupakan hak masyarakat untuk berkumpul dan mendiskusikan mengenai kondisi dirinya dalam rangka minta penjelasan kepada lembaga resmi seperti Komnas Perempuan dan LPSK dan lembaga negara lainnya.
“Komnas Perempuan dan LPSK yang diundang dalam kegiatan itu sedang menunaikan tugas negara, bukan provokasi atau apa. Kalau Semendawai (Ketua LPSK) tidak bisa melaksanakan tugas-tugas sebagaimana yang dibebankan undang-undang, dia akan diminta pertanggungjawabkannya di Komisi III, karena anggarannya kan dari Komisi III. Setiap tiga bulan sekali itu harus dipertanggungjawabkan,” ungkap Nusyahbani.
Nusyahbani juga mengaku merasa aneh dengan sikap pihak keamanan kepolisian, yang dinilai tidak bisa menciptakan siatuasi yang kondusif. Menurutnya aparat negara dalam lembaga negara seperti LPSK dan Komnas Perempuan tidak bisa menjalankan tugas yang dibebankan oleh undang-undang, akibat dari sikap aparat keamanan itu.
“Terkait kejadian ini, saya sendiri akan menulis kronologinya, kemudian melaporkannya ke Mabes Polri dan cc kepada bapak Jokowi. Inikan terkait dengan aparat kepolisian disini yang tidak perform sebagai aparat keamanan, yang seharusnya memberikan perlindungan kepada masyarakat dari tindakan-tindakan yang bersifat kekerasan seperti yang tadi dilakukan,” tutur Nusyahbani.
Nusyahbani menjelaskan, memang tidak ada kekerasan fisik dalam kejadian itu, namun pengusiran warga ditambah sikap aparat kepolisian itu menurutnya bisa dikategorikan sebagai kekerasan verbal.
“Undang-undang kita mengenali itu kekerasan verbal, bukan hanya kekerasan fisik saja. Saya diundang sebagai pembicara, yang biasanya saya menjelaskan mengenai hak-hak mereka itu. Saya sekarang Ketua Pembina Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan juga Koordinator Nasional LBH APIK se-Indonesia, yang memberikan bantuan hukum, menjelaskan hak dan hukum mereka, apa yang bisa lembaga hukum yang saya pimpin itu memberikan bantuan kepada mereka kalau negara tidak menjalankan kewajibannya kepada para korban,” terang Nusyahbani.
Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah sangat menyayangkan warga Bukittinggi atau Sumbar secara umum, yang menurutnya dikenal sebagai dapur yang melahirkan para pendiri negara, dapur para ulama, dan sebagai daerah yang aman dan damai di Indonesia, menjadi daerah yang tidak aman saat ini.
“Saat ini, saya merasakan ketidakamanan telah lahir di Kota Bukittinggi yang sebelumnya saya kira sebagai daerah teraman di Indonesia. Saya sudah sering ke Bukittinggi dan ini untuk yang keempat kalinya, tapi baru kali ini terjadi seperti ini,” jelasnya.
Terkait kejadian ini, Kapolres Bukittinggi AKBP Amirjan menjelaskan, pihaknya mendatangi lokasi kejadian setelah mendapat informasi dari warga setempat atas kejadian tersebut. Menurutnya, dalam hal ini kepolisian hanya melakukan tindakan responsif untuk menghindari terjadinya gesekan antar dua pihak.
“Tidak ada yang ditangkap dalam kejadian ini. Kami hanya mengamankan situasi dan kondisi. Pengusiran yang dilakukan warga ini, karena warga dan tokoh masyarakat setempat tidak menerima kegiatan tersebut dilakukan di daerah mereka. Daripada anarkis dan kami tidak mau ambil resiko, makanya kami melakukan tindakan persuasif,” jelas Kapolres.
Kapolres Amirjan menegaskan, belum ada pengajuan izin yang dilakukan pelaksana kegiatan, sehingga Polres Bukittinggi tidak pernah mengeluarkan surat izin kegiatan tersebut.
Aksi seperti ini juga pernah terjadi Minggu, 16 Februari 2014. Pertemuan Korban Huru-hara 1965 di Jalan Potrosari Tengah, Kelurahan Srondol Kulon, Banyumanik, Semarang, Jawa Tengah, dibubarkan oleh Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) dan aparat kepolisian.
Haluan/wan