BeritaSumbar.com,-Masih ingat dengan cuitan lulusan Universitas Indonesia yang nolak digaji Rp. 8 juta. Bukan soal UI-nya. Sombongnya, minta ampun! Berikut cuitannya. “Jadi tadi gue diundang interview kerja perusahaan lokal dan nawarin gaji kisaran Rp. 8 juta doang; Haloooo, meskipun gue fresh graduate, gue lulusan UI Pak, Universitas Indonesia; Jangan disamain sama fresh graduate kampus lain dong ah; lulusan UI mah udeh perusahaan luar negeri; Kalau lokal mah Oke aja, asal harganya cucok” ujar Twitter@Widyasatyo (TRIBUNNEWS.com, 8-8-2019). Kasus seperti ini serupa dengan kasus yang terjadi satu atau dua tahun yang lalu dimana seorang lulusan Sarjana Strata 2 UI lebih rela menganggur hanya demi mendapatkan pekerjaan dibelakang meja alias bagian administrasi daripada pekerjaan yang kasar-kasar dan berpanas-panasan! Entah bagaimana nasibnya sekarang!
Gaji Rp. 8 juta, Rp. 800 juta apalagi Rp. 800 Miliar itu kecil. Pertanyaannya adalah apakah gaji seseorang itu berasal dari nilai sekolah atau universitasnya? Cuitan diatas pasti bohong. Perusahaan macam apa yang sudi membayar Rp. 8 juta tanpa diketahui pekerjaan macam apa yang akan dilakoninya dan berapa nilai yang sesungguhnya dari pekerjaan tersebut?
DIGAJI BUKAN KARENA KERINGATAN ATAU 8 JAM SEHARI
Masuk jam 8 pulang jam 4 sore. Benar, jam 8 ngantor namun langsung sarapan dan ngobrol di dalam kantor dan didepan orang banyak, inilah yang saya jumpai di kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kota Tangerang. Kenapa tidak sarapan dirumah sendiri, kenapa harus saat jam kerja sudah dimulai, kenapa pula kurang ajarnya didepan umum! Inilah yang menjadi alasan saya tidak jadi ikut program BPJS karena merasa “mereka pada seenaknya dan ini berarti memperlakukan uang iuran kepesertaan sesukanya”. Inilah penyakit Badan Usaha Publik dan atau Badan Usaha Milik Negara di negara kita?
Sesungguhnya keliru, bila gaji datang karena bekerja hingga bercucuran keringat atau 8 jam sehari dan 40 jam seminggu. “Gaji tidak datang dari cucuran keringat atau 8 jam sehari”. Benar dalam Hukum Islam dikatakan bahwa “bayarlah gaji buruhmu sebelum keringatnya kering”. Tetapi siapa yang sudi membeli cucuran keringat atau waktu 8 jam sehari.
Uang yang bernama gaji tidak datang dari cucuran keringat atau waktu 8 jam namun dari “apa yang tercipta dari cucuran keringat atau waktu 8 jam kerja tersebut”. Tukang Bangunan, bisa dilihat dari berapa bata yang sudah bisa menjadi tembok, Tukang Sol sepatu, bisa dilihat dari kerapian jahitan sol sepatu yang dikerjakannya, bahkan seorang Pekerja Seks Komersial bisa mendapatkan bayaran yang lebih besar bila bisa memberikan pelayanan seks diatas standar biasanya! Tak, ada yang bisa dilihat, tak ada yang bisa dinikmati … siapa yang mau membeli pepesan kosong!
10% NILAIMU ADALAH GAJIMU
Gaji Rp 8 juta, Rp. 800 juta atau Rp. 800 miliar “sebenarnya adalah 10% dari nilai dirimu, diri kita. Artinya bila kita digaji Rp 800 miliar berarti nilai yang kita ciptakan adalah Rp. 8 triliun”. Sekalipun ini bukan rumusan yang menjadi Hukum Perburuhan yang positif dinegeri kita namun inilah yang biasanya diberlakukan di dunia usaha. Tidak percaya, tanya supir bus pariwisata. Crew bus Pariwisata biasanya mendapatkan komisi sebagai upah mereka sebesar 10% dari nilai sewa kendaraan setelah dipotong BBM dan uang jalan. Pendeknya, nilai diri kita adalah 10 kali gaji yang biasanya kita terima. Kalau merasa kurang, cari kerja ditempat lain.
Bagaimana bila perusahaan tempat kita bekerja sedang merugi atau tidak bisa lagi menciptakan keuntungan yang bisa dipakai untuk kelangsungan hidup perusahaan dan manusia-manusia yang hidup di sana, contohnya macam Garuda Indonesia Airways atau PT. Krakatau Steel? Ya, tahu dirilah! Jangan minta macam-macam. Tegakah kita terus menuntut gaji tepat waktu atau minta kenaikan gaji plus kenaikan tunjangan sementara utang perusahaan menumpuk terus. Gila, namanya!
Mereka-mereka yang hidup di perusahaan macam diatas dari jajaran management hingga karyawan seharusnya pada “puasa”. Puasa gaji, puasa tunjangan, puasa bonus dan puasa-puasa yang lainnya. Tidak perlu satu hari penuh, cukuplah setengah hari saja. Gaji dan tunjangan dikurangi sekian persen atau dikompensasikan ke saham (andil dalam perusahaan) yang nantinya bisa diuangkan saat pembagian deviden atau dijual ke orang atau pihak lain. Bonus ditiadakan, mobil dinas, mobil jabatan ditiadakan, Air Conditioner dikecilkan atau ditiadakan atau dikurangi pemakaiannya. Satu dan lain hal untuk mengurangi biaya hidup perusahaan dan manusia-manusianya.
Jangan merasa tidak pantas digaji Rp 8 juta lantaran lulusan UI atau Harvard. Dunia kerja atau dunia nyata tidak memandang kita atau anda lulusan apa dan dari mana. Dunia hanya melihat apa yang kita perlihatkan, nilai kerja kita, nilai diri kita. Jangan menipu dengan menjual pepesan kosong. Teringat saya akan cerita Edwin C. Barnes rekan bisnis Thomas Alva Edison si pemilik ratusan Hak Paten. Ketika itu banyak orang menemui Edison hanya untuk meminta pekerjaan tetapi tidak demikian dengan Barnes. Beliau tidak meminta pekerjaan namun kerjasama bisnis dengan Edison. Edison setuju dan Barnes diminta untuk menjual Mesin Dikte (sebuah mesin yang kala itu masih asing dan tidak tahu apa kegunaan). Setelah berpikir keras bagaimana mempublikasikan dan menjualnya, akhirnya Barnes mendapat untung besar dan bahkan diangkat sebagai mitra bisnis Edison dengan gaji besar karena penjualan mesin tersebut laku keras. Inilah awal pertama kali kita mengenal Gramafon.
Penulis: TEGUH ARIANTO