Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
A. Riwayat Hidup
Haji Abdul Karim Amrullah merupakan pencetus pertama dari ide untuk mendirikan Perguruan Thawalib di Surau Jembatan Besi Padang Panjang. Pengajian surau pertama yang berubah menjadi madrasah dengan sistem persekolahan adalah Surau Jembatan Besi di Padang Panjang. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Karel A.Steenbrik yang meneliti tentang pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia, yaitu bahwa pembaharuan pendidikan Islam dimulai dari kota kecil, yakni Padang Panjang (Steenbrik, 1974: 40).
Haji Abdul Karim Amrullah, dilahirkan pada tanggal 17 Safar 1296 H, bertepatan dengan 10 Februari 1879 di Kepala Kebun, Jorong Betung, Negeri Sungai Batang Maninjau dalam Luhak Agam, Sumatera Barat. Ketika dilahirkan diberi nama oleh orang tuanya Muhammad Rasul. Dilihat dari silsilah keturunannya, Abdul Karim Amrullah merupakan keturunan kaum agama atau ulama besar Minangkabau ketika itu. Ayahnya bernama Syekh Muhammad Amrullah (gelar Tuanku Kissai), seorang ulama besar di Minangkabau saat itu. Sedangkan ibunya bernama Tarwasa (Hamka, 1967: 41).
Sebagai seorang keturunan ulama, Abdul Karim Amrullah sangat diharapkan oleh keluarganya untuk menjadi ulama, meneruskan tradisi keluarga dimasa yang akan datang. Semenjak kecil orang tuanya memberikan dasar-dasar agama Islam. Kemudian beliau belajar kepada ulama-ulama termasyhur pada waktu itu, seperti Tuanku H.Hud dan Tuanku Pakih Samun di Tarusan, Tuanku Muhammad Yusuf di Sungai Rotan Pariaman. Cita-cita ayahnya menjadikan Abdul Karim Amrullah sebagai seorang ulama seperti beliau tidak pernah surut. Untuk itu, setelah kembali dari menunut ilmu di Sungai Rotan, dalam usia 16 tahun, ayahnya menganjurkan Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) untuk pergi ke Mekkah guna belajar agama (Hamka, 1967: 233234).
Pada tahun 1312 H, bertepatan dengan tahun 1984 M, berangkatlah Haji Rasul ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji dan sekaligus belajar agama. Sesampai di Mekkah, beliau belajar agama kepada beberapa orang ulama besar, di antaranya Syekh. Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh.Taher Jalaluddin, Syekh.Abdullah Jamidin, Syekh.Usman Serawak, Syekh Umar Bajened, Syekh.Shalih Bafadhal, Syekh.Hamid Jeddah, Syekh.Said Yaman dan Syekh.Yusuf Nabhani. Dari sekian banyak gurunya itu, Syekh.Ahmad Khatib merupakan guru yang paling dihormati dan dikaguminya (Nazwar, 1983: 69).
Haji Rasul termasuk seorang murid yang cerdas. Beliau tidak pernah merasa puas dengan keterangan yang diberikan guru, sehingga beliau suka bertanya. Hal ini sebagaimana diceritakan Hamka.Dalam belajar, beliau suka hanya menekur saja. Beliau suka bertanya kep
ada guru dan kalau perlu, beliau suka membantah. Pada waktu itu hal yang demikian sangat pantang. Kalau bertanya atau membantah guru, dicap durhaka. Syekh Ahmad Khatib sangat sayang kepadanya, karena otaknya yang cemerlang, sekalipun kadangkadang beliau merasa tersinggung dengan pertanyaanpertanyaan yang diajukan beliau.
Selanjutnya Hamka mengatakan bahwa ayahnya becerita: pernah ayah belajar kepada seorang guru, di mana saat menerangkan pelajaran guru tersebut salah dalam menyampaikan, sebab kaji itu tidak ditelaahnya terlebih dahulu di rumah sebelum mengajar. Murid-murid yang lain hanya menekur, guru itu ayah bantah. Maka kawan-kawan ayah terkejut dan memandang ayah dengan mata berapi-api dan gurupun marah. Tetapi ayah tidak takut. Ayah persilahkan guru itu memeriksa kembali pelajaran. Kebetulan apa yang ayah kata benar, sehingga dengan perasaan yang agak malu, guru itu akhirnya membenarkan pendapatku (Hamka, 1967: 160).
Setelah belajar selama 7 tahun di Mekkah, dalam tahun 1319 H/1901 M, tepat 100 tahun sesudah tiga orang haji, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik pulang dari Mekkah dengan mengembangkan paham Paderi, Haji Rasul pun pulang ke Minangkabau bersama kawan-kawannya Syekh Muhammad Djamil Djambek dan Abdullah Ahmad. Sesampai di Minangkabau, beliau tampil sebagai tokoh tiga serangkai pembaharuan Islam, melanjutkan gerakan pembaharuan Islam yang telah dirintis oleh kaum Paderi (Boechari, 1981: 55).
Setiba di kampung halaman, Haji Rasul disambut meriah oleh masyarakat dan handai taulannya. Antusiasme penyambutan seperti yang mereka lakukan pada waktu itu, merupakan satu hal yang jarang terjadi. Mengingat kedatangan Haji Rasul merupakan simbol kemenangan orang Minang yang begitu bangga dan menaruh hormat kepada mereka yang pulang dari kota suci Mekkah. Murid-muridnya pun segera berdatangan menuntut ilmu darinya (Majalah Da‘wah Islamiyah RISALAH No.8, 1989: 35). Tetapi ketika rasa haus murid-muridnya belajatr berbagai ilmu agama, Pada tahun 1904 Haji Rasul kembali di perintahkan untuk kembali ke Mekkah mengantarkan adik-adiknya yaitu Abdul Wahab, Mohammad Nor dan Mohammad Yusuf, untuk memperdalam ilmu agamanya. Akan tetapi ketika sampai di Mekkah, gurunya Syekh.Ahmad Khatib mengatakan kepadanya bahwa ilmunya telah cukup dan tidak perlu lagi belajar kepadanya. Sebaliknya, Syekh.Ahmad Khatib malah menyarankan Haji Rasul sebaiknya mengajar mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya. Apabila dalam proses pengajaran tersebut ia menemui soal-soal yang sulit dan rumit, maka ia disuruh datang bertanya kepadanya (Edwar, 1981: 125).
Haji Rasul mulai mengajar pada tahun 1906 tanpa membatasi dirinya pada suatu kampung atau kota tertentu, melainkan mengunjungi Padang Panjang, Matur dan Padang serta juga kampung-kampung yang terletak antara Maninjau dengan Padang Panjang. Pendekatan yang ia lakukan bersifat keras, tanpa maaf dan tanpa kompromi. Tabligh-tablighnya ditandai oleh kecaman dan serangan terhadap segala perbuatan yang tidak disetujuinya, sampai-sampai persoalan kecil tidak lepas dari perhatiannya. Iapun sangat keras terhadap keluarganya dalam melaksanakan pendapatnya. Sikap yang bermusuhan terhadap adat dan kepada ninik mamak pada waktu itu membedakan ia dari sahabat-sahabat yang lain, termasuk Syaikh Jamil Djambek dan Haji Abdullah Ahmad. Mungkin sekali kenyataan bahwa kedua ulama yang akhir ini mempunyai darah campuran (ibu mereka berasal dari luar Minangkabau), menyebabkan sikap yang lebih lunak ini, karena kalau tidak mungkin saja mereka tidak mendapat tempat dalam masyarakat yang banyak sedikitnya masih berpegang juga pada adat. Apalagi pendapat mereka terhadap adat sama seperti Haji Rasul.
Haji Rasul banyak mengadakan perjalanan di luar daerahnya. Yang terpenting antaranya ialah kepergiannya ke Malaya (1916) dan ke Jawa (1917). Dalam kunjungannya ke Jawa ini ia mengadakan hubungan dengan pemimpinpemimpin Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Dialah yang memperkenalkan Muhammadiyah di Minangkabau pada tahun 1925, yang segera meluas dengan cepat. Muhammadiyah memang memperoleh propagandis yang gigih dari daerah ini, yang dikirim ke pulau-pulau lain oleh pusat gerakan tersebut di Yogyakarta.
Haji Rasul memang sangat aktif dalam gerakan di daerah Minangkabau. Suraunya di Padang Panjang tumbuh menjadi Sumatera Thawalib yang melahirkan Persatuan Muslimin Indonesia, suatu partai politik pada permulaan tahun 1930-an. Ia juga menjadi penasehat Persatuan Guru-guru Agama Islam pada tahun 1920; ia memberikan bantuannya pada usaha mendirikan sekolah Normal Islam di Padang pada tahun 1931; ia menentang Komunisme dengan sangat gigih pada tahun 1920-an dan menyerang ordonansi guru pada tahun 1928 serta ordonansi ―sekolah liar‖ tahun 1932. Dari tahun 1929 sampai tahun 1939 ia sering bepergian ke seluruh daerah Sumatera untuk menyampaikan buah pikiran dan ajaran-ajarannya. Tahun 1941 ia ditahan oleh pemerintah Belanda dan dibuang ke Sukabumi dengan alasan bahwa kewibawaan dan kekuasaan pemerintah serta peraturan adat tidak dapat berfungsi bila ia masih tinggal di daerahnya (Noer: 167).
B. Konsep Abdul Karim Amrullah
1. Kurikulum
Pada awal abad Ke-20 sistem pendidikan Islam masih bersifat tradisional, yang berkisar pada Al-Quran dan pengajian kitab, yang meliputi Ilmu Nahwu, Sharaf, Fiqih, Tafsir dan lainnya, yang terpaku pada satu kitab saja (Ramayulis, 2005: 236).
Kurikulum pendidikan demikian dipandang kurang memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, sehingga tergerak hati Haji Rasul dan kawan-kawannya yang sepaham untuk mengadakan pembaharuan kurikulum pendidikan Islam. Ilmu-ilmu yang masuk ke dalam kurikulum pendidikannya lebih dikembangkan dan kitab-kitab yang digunakan juga tidak terpaku pada satu kitab saja. Ilmu-ilmu agama dan bahasa yang dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan Islam mencapai 12 (dua belas) mata pelajarab dan dengan menggunakan berbagai macam kitab. Mata pelajaran tersebut adalah:
- Ilmu Nahwu
- Ilmu Sharaf
- Ilmu Fiqih
- Ilmu Tafsir
- Ilmu Tauhid
- Ilmu Hadits
- Ilmu Musthalah Hadits
- Ilmu Mantiq (logika)
- Ilmu Ma‘ani
- Ilmu Bayan
- Ilmu Badi‘
- Ilmu Ushul Fiqih (Yunus: 54).
Haji Rasul menyusun kurikulum pendidikan Islam berdasarkan tingkat atau kelas. Sebab Haji Rasul telah menerapkan sistem klasikal dalam lembaga pendidikan Islam. Berbeda dengan keadaan sebelumnya, pendidikan yang diberikan di lembaga pendidikan Islam tidak dibedakan kelasnya antara yang sudah tinggi pelajarannya dengan yang masih permulaan. Kondisi ini menurut Haji Rasul tidak efektif. Sebab itu, beliau membagi murid-murid dalam kelaskelas tertentu, sesuai dengan tingkat pendidikannya.
Susunan kurikulum pendidikan Islam yang diterapkannya saat itu adalah:
- Pengajian Al-Quran
- Pengajian kitab, yang terdiri atas beberapa tingkat yaitu:
- Mengkaji Nahwu, Sharaf dan Fiqh, dengan memakai kitab-kitab: Ajrumiah, Matan Bina, Fathul Qarib dan sebagainya
- Mengkaji Tauhid, Nahwu, Sharaf dan Fiqih dengan memakai kitab Sanusi, Syekh Khalid (Azhari, ―Asymawi), Kailani, Fathul Mu‘in dan sebagainya.
- Mengkaji Tauhid, Nahwu, Sharaf, Fiqih, Tafsir dan sebagainya dengan memakai kitab-kitab: Kifayatul ―Awam (Ummul-Barahin), Ibnu Aqil, Mahali,
Jalalain/Baidlawi dan lain-lain (Ramayulis dan Samsul Nizar, 2005:237-238)
Jika diperhatikan kurikulum pendididikan Islam yang diterapkan Haji Rasul di atas, ternyata sesuai dengan kemampuan dan perkembangan murid. Meskipun ilmu yang diajarkan sama, namun pada tingkat yang lebih tinggi dipergunakan pula kitab-kitab yang lebih sulit dan lebih tinggi, yang membutuhkan penelaahan lebih mendalam. Bahkan pada tingkat tinggi, diajarkan pula Ilmu Mantiq, ilmu Balaghah, ilmu Tasawuf dan sebagainya dengan memakai kitab-kitab seperti: Idlahul Mubham, Jauhar Maknun/Talkhish, Ihya Ulumuddin, dan lain-lain (Ramayulis dan Nizar, 2005: 238).
Di samping itu, Haji Rasul juga memakai kitab rujukan yang ditulisnya sendiri dan juga yang ditulis oleh Zainuddin Labay El-Yunusi, yang merupakan guru bantu ketika masih mengajar di surau Jembatan Besi. Dengan demikian, sekalipun kurikulum pendidikannya masih murni ilmu-ilmu agama Islam, namun ilmu-ilmu keislaman dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikannya telah berkembang, serta kitab-kitab yang dijadikan rujukan juga telah diperbaharui (Ramayulis dan Nizar, 2005: 238).
2. Sistem dan Metode Pembelajaran
Di samping memperbaharui kurikulum pendidikan Islam yang dipandang sudah ditinggalkan zaman, Haji Rasul juga memperbaiki sistem dan metode pembelajaran yang digunakan. Pembaharuan terpenting dalam bidang sistem dan metode pembelajaran yang digunakan. Pembaharuan terpenting dalam bidang sistem dan metode pembelajaran yang dibawa oleh Haji Rasul adalah mengembangkan sistem klasikal dan menggunakan metode diskusi dan tanya jawab. Kepada murid-murid ditanamkan semangat berdiskusi, berfikir bebas, membawa, memahami, berkelompok dan berorganisasi. Murid-murid dirangsang untuk bertanya dan berdebat dengan guru (Ramayulis dan Nizar, 2005: 238).
Sebagaimana diketahui bahwa sistem pembelajaran yang berkembang dalam sistem pendidikan Islam saat itu adalah sistem halaqah. Dengan sistem halaqah ini, murid-murid dan guru bersama-sama duduk di lantai membentuk lingkaran. Kemudian guru membacakan kitab dan menerangkan isinya, sementara murid-murid mendengarkan, memahami dan menghafal keterangan yang diberikan oleh guru (Ramayulis dan Nizar, 2005: 238).
Metode menghafal merupakan ciri umum dalam sistem pendidikan Islam pada masa itu. Metode ini mengutamakan agar murid dapat menghafal suatu pelajaran (verbolisme). Murid disuruh membaca berulang-ulang pada yang disampaikan oleh guru, sehingga pelajaran tersebut benarbenar melekat di kepala, walaupun tidak begitu dipahami (Ramayulis dan Nizar, 2005: 238).
Metode pembelajaran seperti ini menurut Haji Rasul tidak dapat membawa pada kemajuan murid. Dengan metode demikian, murid akan berfikir sempit, sehingga tidak dapat memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat yang terus berkembang, sehingga ilmu tidak dapat memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat yang terus berkembang. Ilmu hanya sekedar dihafal, tetapi kurang dipahami, sehingga ilmu tidak dapat memecahkan persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu, Haji Rasul berusaha memperbaharui metode pembelajaran yang dapat merangsang murid untuk berfikir bebas, berdiskusi, berdialog, berdebat dan berorganisasi. Murid tidak hanya dituntut menghafal ilmu yang diberikan, melainkan juga harus memahami, mengabstarksi, mengkontekstualisasikan dan mentransformasikan lebih jauh. Ini menunjukkan bahwa Haji Rasul mulai mengembangkan semangat ilmiah dalam proses pembelajaran yang dilaksanakannya (Ramayulis dan Nizar, 2005: 238).
Dengan semangat dan etos kerja ilmiah yang dikembangkan Haji Rasul ini, maka menurut beliau sistem pembelajaran berhalaqah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Untuk itu pada tahun 1918 Haji Rasul menyelenggarakan pendidikan berkelas di surau Jembatan Besi yang dipimpinnya. Murid-murid dibagi menjadi tujuh kelas menurut umur dan tingkatan pendidikannya. Pada tingkat permulaan, murid-murid diajar oleh guru-guru bantu (asisten). Di antara asistennya yang terkenal adalah Zainuddin Labay El-Yunusi. Kitab-kitab yang diajarkan terbatas pada kitab-kitab yang dikarang oleh Zainuddin Labay El-Yunusi sendiri atau oleh guru-guru lain. Pada tingkatan tertinggi baru diajarkan kitab-kitab yang berasal dari Mesir dibawah asuhan Haji Rasul, sebagai guru besar (Yunus: 55).
Pada mulanya kelas yang akan ditetapkan hanya tiga kelas, yaitu kelas I, II, III. Akan tetapi setelah dicoba melaksanakannya, ternyata kelas I harus dipecah menjadi empat tingkat, yaitu 1A, 1B,1C, dan 1D. sementara itu, kelas II harus dibagi menjadi dua kelas, yaitu 2A dan 2B, kelas III dapat dipertajan menjadi satu kelas. Kemudian kelas 1A, 1B,1C dan 1D, menjelma menjadi kelas 1, 2, 3, dan kelas 4. Sedangkan kepada kelas 2A dan 2B menjelma menjadi kelas 5 dan 6. Seterusnya kelas 3 menjadi kelas 7.
Sistem dan metode pembelajaran baru dilaksanakan oleh Haji Rasul di lembaga pendidikan Islam yang bernama Perguruan Thawalib Padang Panjang, ternyata dapat membangkitkan motivasi yang kuat dari para muridnya untuk mencapai kemajuan. Dengan metode diskusi, tanya jawab dan berdebat yang dikembangkannya, timbul dari diri murid semangat untuk menggali ilmu sendiri (self activity) (Ramayulis dan Nizar, 2005: 239).
3. Organisasi Siswa
Haji Rasul memikirkan pula bagaimana supaya muridmurid terhimpun dalam organisasi. Beliau melihat bahwa organisasi itu adalah penting. Tanpa adanya organisasi yang rapi, penjajah mustahil dapat diusir. Semangat berorganisasi ini mulai muncul dari diri Haji Rasul ketika beliau menyaksikan organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta. Oleh sebab itu beliau menganjurkan kepada murid-muridnya untuk membentuk sebuah organisasi (Noer, 1999: 45-46).
Ketika Bagindo Jamaluddin Rasyad memberikan ceramah umum tahun 1915 di Padang Panjang, Haji Rasul menganjurkan kepada murid-muridnya untuk menghadiri dan mendengarkan ceramah umum tersebut. Sebab ceramah yang akan diberikan oleh Rasyad adalah berkaitan dengan pengalamannya ketika mengunjungi Erofa dan melihat kemajuan yang dicapai di sana. Dalam ceramahnya itu, Rasyad menjelaskan bahwa kemajuan yang dicapai oleh Erofa adalah karena kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan serta pentingnya berorganisasi. Menurutnya, Erofa telah mempunyai kesadaran yang tinggi dalam berorganisasi. Dengan berorganisasi, segala sesuatu akan mudah dicapai. Sebaliknya, usaha yang bersifat perseorangan, tidak terorganisir, pasti akan berkesudahan dengan kegagalan (Noer, 1999: 45-46).
Setelah mendengar ceramah yang disampaikan oleh Rasyad tersebut, timbullah keinginan dari murid-murid Haji Rasul untuk membentuk sebuah organisasi. Untuk itu, disepakatilah membentuk sebuah organisasi murid-murid dengan nama ‗Persaiyoan‘. Tujuan utama dari organisasi ini adalah untuk memudahkan murid dalam mendapatkan kebutuhan harian mereka dengan harga yang murah dan dengan pembayaran yang longgar. Sejak itu berdirilah sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang sosial ekonomi. Organisasi ini membentuk suatu badan usaha yang menyediakan bahan-bahan kebutuhan pokok para murid sehari-hari, seperti sabun mandi dan sabun cuci. Kemudian disediakan juga buku tulis dan pensil, sehingga akhirnya Persaiyoan populer dengan sebutan Perkumpulan Sabun.‖ (Ramayulis dan Samsul Nizar, 2005: 243)
Setelah perkumpulan ini berjalan, salah seorang murid Haji Rasul, yaitu Hasyim berusaha mengembangkannya. Atas usahanya, semua keperluan murid dilengkapi. Usaha ditambah dengan pelayanan gunting rambut, menjahit pakaian, mencuci, setrika dan keperluan harian lainnya. Menurut Datuk Palimo Kayo, tahun 1918, Perkumpulan Sabun tersebut kemudian berubah menjadi Thuwailib, yang kemudian menjadi nama sebuah perguruan termasyhur. Karena murid-murid Haji Rasul di Surau Jembatan Besi umumnya berasal dari luar Padang Panjang, bahkan banyak pula yang dari daerah lain di pulau Sumatera, maka Zainuddin Labay El-Yunusi menambah nama Thawalib dengan kata Sumatera, sehingga menjadi Sumatera Thawalib. Demikian juga pengajian di surau Jembatan Besi disesuaikan namanya dengan Sumatera Thawalib dan ditempatkan di bawah pengawasan satu pengurus sekolah yang anggotanya terdiri dari tamatan surau Jembatan Besi, guru-guru muda dan pedagang—pedagang di sekitar Padang Panjang (Datuk Palimo Kayo, 1970: 7).
4. Kitab Pegangan Guru dan Murid (Rujukan)
Pembaharuan dalam kurikulum membawa perubahan dalam kitab rujukan. Pada tahun 1920 Haji Rasul melakukan pembaharuan dalam kitab-kitab rujukan di Perguruan Sumatera Thawalib Padang Panjang. Haji Rasul mulai menukar kitab-kitab yang dipakai selama ini dengan kitabkitab baru, terutama bagi murid-murid kelas 7. di kelas 7 ini kitab Bidayat al-Mujtahid karangan Ibnu Rusyd mulai diajarkan, demikian juga kitab-kitab yang lain, seperti Ushul al-Ma‘mul, Al-Muhazzab, dan sebagainya.
Menurut Taufik Abdullah, pemakaian kitab-kitab baru ini, sudah mulai dilaksanakan pada pertengahan tahun 1920. Murid-murid kelas rendah, disamping masih mempelajari kitab-kitab lama, juga harus dilengkapinya dengan buku-buku karangan Haji Rasul dan kawan-kawannya. Murid-murid kelas 6 dan 7, mempelajari buku-buku karangan para ulama dan filosof Islam seperti: Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dan sebagainya. Untuk pelajarannya Tafsir, dipakai tafsir karangan Muhammad Abduh, Al-Manar, yang didatangkan dari Mesir. Mulai saat itu, Perguruan Thawalib Padang Panjang dianggap sudah menampilkan dirinya menjadi sekolah agama Islam modern (Mustafa, 1998: 72).
Suatu perubahan besar yang dilakukan Haji Rasul dalam bidang penyediaan sarana dan prasarana belajar adalah mengganti kitab Dhammun dan Al-‗Awamil yang ditulis tangan dengan kitab-kitab yang sudah dicetak (Mustafa, 1998: 72).
Dengan demikian, dalam proses pembelajaran Haji Rasul tidak menggunakan kitab-kitab yang ditulis tangan, sebagaimana yang banyak digunakan dalam sistem tradisional melainkan kitab yang sudah dipelajari sudah dicetak. Pada mulanya, kitab-kitab yang dicetak itu dibeli dari orang-orang yang kembali dari Mekkah dan Singapura. Akan tetapi kemudian karena pemakaiannya sudah berkembang, maka toko kepunyaan Syekh.Ahmad Al-Khalidi di Bukittinggi memesan langsung kitab-kitab tersebut ke Mesir. Kemudian diikuti oleh toko-toko buku lainnya. Sejak itulah beredarlah kitab-kitab agama yang datang dari Mesir, demikian juga dengan majalah-majalah yang membawa aliran baru, seperti Al-Manar (Mustafa, 1998: 72).
Di antara kitab-kitab yang dipakai oleh Haji Rasul adalah:
- Darul Fiqiah
- Fiqhul Wadih
- Mu‘inul Mubin/Al-Muhazzab
- Bidayat al-Mujtahid
- Mabadi al-‗Arabiyyah
- Durus an-Nahwiyah
- Qawaid al-Lughah al-‗Arabiyah
- Nahwu Wadih
- Balaghah Al-Wadhihah/Jawahirul Balaghah
- Durus al-Lughah al-‗Arabiyah11.Muthalaah Haditsah
- Qiraatur Rasyidah
- Muhadatsah Arabiyyah
- Durusut Tauhid/Jawahirul Kalamiyah
- Husnul Hamidiyah
- Risalatut Taudhi
- Khazin
- Tafsir Muhammad Abduh
- Hadits Arbain/Jawahirul Bukhari
- Mutsthalah Hadits
- Mantiqul Hadits
- Muzakhirat Ushul Fiqh/As-Sullam
- Albayan/Husulul Nakmul (Daya, 1990: 114).
Memperhatikan kitab-kitab yang dipergunakan oleh Haji Rasul dalam mengajarkan kurikulum ilmu-ilmu agama kepada muridnya, jelaslah bahwa beliau telah berusaha memberikan ilmu yang dalam dan wawasan yang luas kepada muridnya. Dengan kurikulum dan kitab-kitab yang digunakan, terlihat betapa Haji Rasul berusaha menyebarkan paham-paham baru dalam bidang pendidikan Islam. Pemakaian kitab-kitab klasik dan modern ini memperlihatkan sasaran yang hendak dituju oleh Haji Rasul, yaitu pengembangan intelektual dengan memberikan kesempatan melakukan ijtihad serta membuka diri untuk menerima pemikiran baru dan perubahan sesuai dengan kemajuan zaman.
Disamping itu, Haji Rasul juga memakai kitab-kitab karangannya sendiri dan karangan asistennya. Kitab-kitab karangan beliau dan asistennya ini terutama dipakai untuk kelas permulaan. Di antara asistennya yang mengarang kitab adalah:
- Zainuddin Labay El-Yunusi, mengarang kitab Durusul Fihiyyah untuk menggantikan kitab Fathul Qarib, kitab Mabad‘i Arabiyyah, dan lain-lain
- Angku Mudo Abdul Hamid Hakim, mengarang kitab: Mu‘in Al-Mubin, As-Sullam, Al-Bayan, Tahdzibul Akhlaq, dan lain-lain.
- Abdurrahmim Al-Manafi, mengarang kitab: Mabadi‘ Ilmu Nahwi, Mabadi‘ Ilmu Sharaf, al-Tashil, LubabulFiqhi, Al-Huda, Asasul Adab, dan lain-lain (Yunus: 45).
Demikianlah beberapa pemikiran dalam sistem pendidikan Islam yang dibawa Haji Abdul Karim Amarullah, yang lebih dikenal dengan Haji Rasul. Dengan sistem pendidikan baru yang dikembangkannya, telah melahirkan suatu revolusi mental, kemerdekaan berfikir, wawasan yang luas, semangat kreativitas, dan sebagainya dari muridmuridnya, sehingga pada gilirannya terdorong untuk melawan penjajahan Belanda.