23 C
Padang
Sabtu, Juli 27, 2024
spot_imgspot_img
Beritasumbar.com

Suara-suara Kecil Menjelang Helat Orang-orang Besar
S

Kategori -
- Advertisement -

Oleh : Randi Reimena *


Dari sekian banyak tawaran pemikiran dari orang-orang terhormat dan penting dalam masyarakat Payakumbuh menjelang Pilkada Kota Payakumbuh 2017 nanti, saya mencoba mengumpulkan pandangan serta harapan-harapan yang tercecer di pinggir-pinggir arus besar yang menguasai media, yang luput dari keseharian kita di dunia maya sebab mereka tidak memiliki akses untuk itu. Dari pedagang kaki lima, tukang sol sepatu hingga petani.

Tak sulit menemukan pedagang kaki lima di kawasan pasar kota Payukumbuh, Aminah (48) adalah salah satunya, pedagang kaki lima di kawasan terminal sago Payakumbuh ini bertutur mengenai pendapat, pandangan serta harapannya akan Pilkada mendatang.

Sambil sesekali menawari para pengunjung pasar yang lewat di depan lapaknya ia bercerita kalau ia tidak mempunyai pandangan ataupun pendapat terkait Pilkada, namun ia bersyukur, kalau dulu pasar terminal sago sangat sembraut dan kotor sekarang sudah rapi dan bersih. Tentang visi dan misi calon walikota dan wakilnya ia mengaku tak tahu menahu, ia Cuma tahu gambar-gambar para calon walikota dan wakilnya dari baliho-baliho di jalan atau stiker di mobil sago, namun tak kenal persis siapa mereka.

“Kalau ada bantuan-bantuan modal, kasih tau Ibu, itu saja harapan Ibu” katanya, sambil menutup piring berisi prekedel dingin dengan sehelai koran dan obrolan kami.

Beranjak sekira tiga puluh langkah dari lapak Ibu Aminah, berbelok sedikit di bawah jenjang menuju lantai atas pasar Payakumbuh bagian Timur yang bau pesing, saya mendapati seorang agak tua berkacamata yang meringkuk dibalik meja kecilnya yang sesak oleh onggokan sepatu butut, tengah menjahit sebentuk sepatu.

Adalah Harismon (53) seorang tukang sol sepatu di kawasan terminal sago kota Payakumbuh, dia berbicara begini tentang Pilkada: saya tidak mengerti tentang Pilkada, saya bosan dengan janji-janji calon walikota dan wakilnya.

Saat saya tanyai tentang apakah beliau kenal dengan para calon Walikota dan Waki Walikota Payakumbuh beserta visi dan misinya beliau menjawab singkat: “ntah sia inyo ntah sia awak” (mereka entah siapa bagaimana saya kenal). Saya tertegun juga mendengar jawabannya yang saya kira agak filosofis itu. “Nampak di oto sago se nyo, ma jaleh dek aden” (cuma lihat wajah mereka di [stiker] angkutan umum, mana jelas mereka bagi saya) lanjutnya, melanjutkan jahitan pada sebentuk sepatu tanpa tapak dengan jemarinya yang gemetaran.

Merasa cukup di pasar yang hiruk oleh tipu daya, saya terpikir untuk melihat ke luar pasar. Saya menuju pesawahan.

Faisal, adalah salah seorang petani yang saya temui di area persawahan di daerah Kelurahan Sicincin Mudiak, petani yang berusia 50 tahun tersebut bercerita bagaimana pandangannya mengenai Pilkada, serta harapannya dengan gaya bahasanya sendiri. Kami duduk di pematang di bawah posoh pisang, mengobrol.

“Ambo kalau soal pilkada tu yo ndak mangarati do,nan ambo tahu pas hari H, ambo sato mamiliah itu sajo nyo. Kalau Visi jo Misi calon walikota jo wakilnyo darima lo ambo kan tau, kenal sajo indak ambo jo apak-apak tu, ambo tau calon walikota jo wakilnyo tu dari gambar-gambar nan tampak di jalan se nyo ,kalau kenal lansuang jo inyo yo ndak kenal bagai ambo do”.

“Harapan ambo, sia banalah nan ka tapiliah bisuakko, supayo labiah mamparatian kami urang-urang nan batani ko, tu cek lai harago pupuak tolong jan maha jo lai, alah maha mandapekkan nyo payah pulo, antah lah barakali ambo sato mamiliah namun iduik ambo bantuak-bantuak iko juo nyo”

Sepenangkapan saya, saya bisa menyimpulkan apa yang hendak disampaikan Faisal: dia tidak mengerti benar sistem demokrasi, termasuk kampanyenya, dia hanya ikut-ikutan memilih. Dia, senada dengan Aminah dan Harismon, tidak kenal sama sekali dengan para calon Walikota, tahu wajah mereka hanya dalam gambar, dan berharap agar petani lebih diperhatikan dengan menurunkan harga jual pupuk serta mempermudah distribusi pupuk.

Salah satu pertanyaan yang menyesak bagi Faisal adalah, kenapa dia yang selama ini ikut memilih tidak pernah medapat kehidupan yang lebih baik setelahnya. Dengan kata lain, Faisal kecewa.

Jika saya boleh menarik benang merahnya, mereka semua, sura-suara kecil itu, memang hanyalah suara-suara kecil. Suara-suara besar akan menghimpit mereka setiap kali. Ketika suara remeh hendak berkata tentang penurunan pupuk, maka suara-suara orang besar akan mengambil alih lidah mereka, membicarakan pupuk dalam bingkai konsitusi dalam forum-forum besar tapi ekslusif. Hasil forum kemudian di lempar lagi ke tengah-tengah khalayak jelata bersuara kecil, sebagai janji dari para orang besar.

Dimanakah sejatinya persinggungan antara rakyat jelata dengan para elit politik? Pada bayangan, citraaan semu di baliho semata? Bisa jadi.

Tiga suara kecil belumlah mewakili kesemua suara kecil yang memang hendak berbicara maupun saya pancing untuk berbicara untuk kemudian saya tafsirkan dalam bentuk tulisan macam ini, mesti ada yang tercecer, tafsiran tak akan penuh. Tapi, begitulah, yang tercecer dan berserak bisa menjadi suara juga, karena saya, yang punya akses ke ruang publik.

 

*) Penulis adalah Kandidat Master Ilmu Sejarah Univ Andalas dan Manajer Riset di Ruang Kreatif La Paloma

- Advertisement -
- Advertisement -

BERITA PILIHAN

- Advertisement -
- Advertisement -

Tulisan Terkait

- Advertisement -spot_img