Penulis: Muhammad Rayhan Akbar Suhada(Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN SMDD Bukittinggi)
Dalam pemilihan calon legislatif, pencitraan politik telah menjadi strategi sentral untuk menarik perhatian publik. Namun, terdapat dilemas inheren dalam penggunaan pencitraan sebagai alat kampanye politik. Di satu sisi, pencitraan dapat membantu kandidat untuk menyampaikan pesan yang jelas dan membangun koneksi emosional dengan pemilih. Di sisi lain, penggunaan pencitraan yang berlebihan dapat menciptakan masalah etis dan strategis yang signifikan.
Secara teoritis, pencitraan yang efektif haruslah bersifat autentik dan mencerminkan nilai-nilai inti kandidat. Menurut Teori Agenda Setting dari McCombs dan Shaw, media memainkan peran penting dalam membentuk opini publik melalui penonjolan isu-isu tertentu. Dalam konteks ini, pencitraan kandidat dapat dianggap sebagai upaya untuk memengaruhi agenda publik dan memperkuat persepsi tertentu tentang kompetensi atau integritas kandidat. Namun, jika pencitraan tersebut tidak didukung oleh bukti nyata dari kinerja dan komitmen kandidat, maka hal ini dapat dianggap sebagai manipulasi psikologis yang merugikan pemilih.
Di sisi praktis, pencitraan politik memerlukan investasi finansial yang tidak sedikit. Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa sekitar 40% dari total pengeluaran kampanye dialokasikan untuk strategi pencitraan. Anggaran ini sering kali digunakan untuk produksi konten visual, iklan digital, dan konsultasi komunikasi. Dalam hal ini, terdapat kesenjangan antara kandidat dengan sumber daya besar dan mereka yang memiliki keterbatasan anggaran. Ketimpangan ini dapat mempersempit peluang kandidat independen atau dari partai kecil untuk bersaing secara adil dalam arena politik.
Dampak sosial dari pencitraan yang berlebihan juga tidak dapat diabaikan. Penelitian yang dilakukan oleh Harvard Kennedy School (2021) mengindikasikan bahwa intensitas pencitraan yang tidak proporsional dapat memicu polarisasi masyarakat. Polarisasi ini tidak hanya membatasi ruang diskusi yang konstruktif, tetapi juga memperburuk fragmentasi sosial, terutama ketika perdebatan beralih dari substansi ke isu-isu personal atau simbolis.
Lebih jauh, fenomena ini juga berkontribusi pada meningkatnya sikap apatis di kalangan pemilih, terutama generasi muda. Ketika pemilih merasa bahwa pencitraan kandidat lebih dominan daripada substansi visi-misi mereka, minat untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi cenderung menurun. Data dari survei nasional menunjukkan bahwa kelompok usia muda, yang merupakan tulang punggung demokrasi masa depan, mengalami penurunan partisipasi sebesar 5% dalam pemilu terakhir. Hal ini menegaskan perlunya pendekatan yang lebih substantif dalam kampanye politik.
Fenomena pencitraan politik juga memiliki implikasi jangka panjang terhadap kualitas demokrasi. Ketika citra menjadi fokus utama, ada risiko bahwa kebijakan dan program nyata menjadi terabaikan. Kandidat yang terlalu berfokus pada penampilan sering kali mengabaikan pengembangan visi strategis yang dapat membawa perubahan nyata. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menurunkan kualitas kepemimpinan dan pemerintahan yang dihasilkan melalui proses pemilu. Sebuah demokrasi yang sehat memerlukan kandidat yang mampu menawarkan solusi konkret untuk tantangan yang dihadapi masyarakat, bukan sekadar janji manis yang divisualisasikan melalui media.
Penting pula untuk mencatat bahwa pencitraan yang berlebihan dapat menciptakan budaya politik yang tidak sehat. Ketika kandidat saling berlomba untuk memproyeksikan citra sempurna, fokus pada kolaborasi dan penyelesaian masalah bersama menjadi tergeser. Hal ini dapat menciptakan siklus kompetisi yang destruktif, di mana kandidat lebih sibuk menyerang citra lawan daripada mengadvokasi kebijakan yang bermanfaat.
Solusi untuk masalah ini memerlukan kesadaran dari kedua belah pihak kandidat dan masyarakat. Kandidat harus mengedepankan kejujuran dan transparansi dalam membangun citra politik mereka. Sementara itu, masyarakat perlu menjadi lebih kritis dan cerdas dalam menyikapi informasi yang mereka terima melalui media. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr. Yasraf Amir Piliang, pemilih harus mampu “membongkar” lapisan-lapisan pencitraan untuk mengevaluasi esensi sejati dari kandidat.
Pada akhirnya, pencitraan politik yang seimbang dan realistis dapat menjadi instrumen yang efektif untuk memperkuat hubungan antara kandidat dan pemilih. Namun, jika pencitraan digunakan secara berlebihan atau manipulatif, maka dampaknya tidak hanya merugikan kandidat, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap proses demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan integritas dan tanggung jawab bersama dalam membangun budaya politik yang sehat dan berkelanjutan.