Oleh: Syaiful Anwar, S.E., M.Si
(Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Kampus II Payakumbuh)
Kondisi ekonomi Indonesia yang terus tumbuh dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu kekuatan baru dalam percaturan ekonomi dunia, terutama di Asia. Para pakar ekonomi dunia memprediksi Indonesia sebagai emerging market (pasar potensial), sehingga merubah struktur pasar potensial ekonomi dunia yang saat ini didominasi BRIC yakni Brasil, Rusia, India dan China, kini ditambah dengan Indonesia, Afrika Selatan, Meksiko dan Turki.
Berbagai indikator kemajuan ekonomi yang telah dicapai Indonesia sampai dengan awal 2011 meliputi:
- Pertumbuhan ekonomi tahun 2010 mencapai 6,1%, untuk triwulan I 2011 sebesar 6,5% dan rata-rata dari tahun 2005 – 2010 sebesar 5,7%;
- Produk Domestik Bruto (PDB) Rp 7.019 triliun;
- Nilai APBN 2011 mencapai Rp 1.229 triliun dengan nilai kurs Rp 8.904 per US dollar;
- Pendapatan Perkapita sekitar Rp 29,54 juta;
- Cadangan Devisa US$ 115,8 miliar;
- Investasi triwulan I tahun 2011 sebesar Rp 53,6 triliun;
- Angka kemiskinan 2010 tercatat 13,3%, sementara angka pengangguran Februari 2011 tercatat 6,8%;
- Subsidi tahun 2011 sebesar Rp 187,6 triliun, meliputi BBM Rp 95,9 triliun, listrik Rp 40,7 triliun, pangan Rp 15,3 triliun, pupuk Rp 16,4 triliun, PSO Rp 1,9 triliun, bunga kredit program Rp 2,6 triliun dan pajak Rp 14,8 triliun.
Saat ini, konsep SD yang menempatkan ekonomi dan lingkungan dalam posisi yang akomodatif ini menjadi salah satu model pembangunan yang sangat dianjurkan bagi negara-negara di dunia untuk memperhatikan aspek lingkungan dalam pembangunan. Hal ini disebabkan oleh keadaan dunia yang sedang mengalami permasalahan lingkungan yang cukup memprihatinkan. Namun, hasil penerapan SD di Indonesia yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan pada bidang pertanian dan lingkungan disebabkan oleh pemahaman pemerintah terhadap SD masih setengah-setengah.
Pelaksanaan tiga unsur dalam SD tidak dilakukan secara terintegrasi. Artinya ketiga unsur ini masih dilakukan sendiri-sendiri. Demikian disampaikan oleh Ermawanto, mahasiswa ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (HI UMY) dalam diskusi terbatas yang mengulas skripsinya mengenai lingkungan berjudul Kegagalan Pembangunan Berkelajutan di Indonesia, bertempat di Kampus Terpadu UMY, Selasa (11/5).
Menurutnya, penerapan SD di Indonesia tertera dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) yang diagendakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) sebagai pedoman pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Propenas diagendakan setiap lima tahun kali sejak tahun 1999, 2004, hingga 2009.
Dalam Propenas tersebut secara garis besar dijelaskan komitmen pemerintah terhadap kepedulian atas lingkungan. Pelaksaan Propenas menghasilkan peningkatan pada bidang industri dan pelayanan jasa, namun penurunan pada bidang pertanian dan lingkungan. Kerusakan hutan juga masih sangat memprihatinkan. Bahkan, menurut data WALHI setiap jam hutan Indonesia hilang seluas tiga kali lapangan bola.
Wanto mencontohkan, Menteri perekonomian mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa melihat kelestarian lingkungan. Begitu juga sebaliknya, Menteri lingkungan hidup terus melakukan perbaikan lingkungan tanpa melihat indikator pertumbuhan ekonomi di sana.
“Harusnya setiap agenda pembangunan yang dilakukan melihat ketiga unsur SD tersebut, bukan terpisah-pisah,” ungkapnya.
Selain pandangan pemerintah yang setengah-setengah dalam memahami SD, Wanto melihat kegagalan penerapan SD di Indonesia juga disebabkan oleh penetrasi pasar yang cukup kuat di Indonesia sehingga pertumbuhan ekonomi lebih diutamakan dibandingkan kelestarian lingkungan dan seringkali terjadi hubungan negatif antara kedua unsur tersebut. Contohnya apa yang terjadi di Lapindo. Menurut Wanto jelas terlihat kepentingan ekonomi yang sangat menonjol dalam kasus tersebut dan mengabaikan lingkungan. Pengeboran yang dilakukan di Sidoarjo tersebut memunculkan lumpur yang melumpuhkan sumber produksi masyarakat.
“Ujung-ujung berakibat pada penghambatan kesejahteraan sosial masyarakat,” urai mahasiswa asal Kalimatan Tengah ini.
Selain Lapindo ada juga PT. Freeport yang telah melakukan eksplorasi emas di Indonesia selama 43 tahun sejak 1967 telah membuang 300.000 ton limbah per hari yang menyebabkan tiga sungai di sekitar penambangan tercemar. Tidak ada ikan dan mahluk hidup lain di sungai tersebut karena pencemaran oleh pembuangan limbah tersebut. Selain itu ratusan kilometer hutan di sekitar freeport juga sudah gundul.
#SyaifulAnwar #Unand #Payakumbuh