23 C
Padang
Sabtu, Juli 27, 2024
spot_imgspot_img
Beritasumbar.com

Era Digital kenapa Masih Perang Senjata
E

Kategori -
- Advertisement -

Oleh: Dhiki Hamdhany, S.I.Kom
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Fisip, Unand

Seolah-olah tidak ada pilihan lain ketika kita membaca, melihat dan mendengar informasi tentang perang yang terjadi Israel, Palestina, Rusia, Ukraina, Afganistan, Irak, Amerika, dan sebagainya.

Apakah rasa benci yang membuat mereka rela menghancurkan, menyakiti dan membunuh manusia?

Atau karena kekhawatiran pihak lain akan menguasai dan menjajah mereka sehingga menyerang untuk mempertahankan diri?

Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kita tidak tahu apa alasan mereka menggunakan senjata. Kita hanya tahu berdasarkan informasi yang kita dapatkan dari media.

Dulu saya sering mendengar orang-orang mengatakan bahwa “walaupun secara kasat mata kita tidak melihat ada penjajahan, sebenarnya ekonomi kita masih di jajah dan politik kita masih dikendalikan oleh pihak lain”. Sebagai masyarakat biasa tentu kita tidak bisa membuktikan apakah itu benar atau salah.

Jika itu benar, berarti sampai saat ini masih ada perang dong? Hanya saja tidak menggunakan senjata.

Di era digital saat ini yang saya tahu, ada yang namanya perang cyber. Perang cyber berbeda dengan perang konvensional yang melibatkan personil militer dan senjata-senjatanya. Walaupun sumber daya yang dikeluarkan sangat minim, namun dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh perang siber tidak jauh berbeda dengan perang konvensional. Dalam perang siber cukup dengan membobol sistem radar dan sistem informasi militer maka sebuah negara bisa dilemahkan. Selain itu pertumbuhan ekonomi, kegiatan politik dan sosial sebuah negara juga bisa dirusak.

Perang cyber bukan ilusi, perang siber sudah terjadi namun banyak yang tidak menyadari keberadaannya. Globalisasi online telah membawa dampak cyber-threats, cyber-crime, cyber-attack, cyber-war, cyber-terror, cyber-bully dan sebagainya. Metode yang biasa digunakan dalam perang cyber adalah serangan-serangan terhadap data, seperti spamming (sampah) yang dapat menyebabkan komputer terganggu dan mengalami error, melakukan pembobolan untuk mencuri informasi, dan serangan berupa software dan virus yang dapat merusak perangkat komputer.

Perang cyber juga dapat berupa proses menciptakan disinformasi atau penyesatan informasi. dengan tujuan dapat menyebabkan kekacauan karena perbedaan kepercayaan terhadap beragam informasi yang keliru. Kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin, tokoh masyarakat atau tokoh agama dapat dirusak oleh bombardir informasi yang tidak jelas dari para peretas. Rendahnya literasi digital masyarakat akan menjadi sasaran empuk bagi para penyerang untuk membom dengan informasi palsu yang dapat merusak stabilitas nasional.

Berbeda dengan perang konvensional, perang cyber tidak membutuhkan tempat, tapi membutuhkan ruang. Jaringan internet yang menghubungkan seluruh negara di dunia, membuat sang peretas tidak perlu melakukan perjalanan. Dari tempatnya dia bisa bergerilya kemana saja di ruang cyber untuk menjalankan misinya.

Komoditas digital yang semakin beragam tidak hanya dalam berbagi informasi, tetapi termasuk dalam bisnis ekonomi atau jual beli online, membuat jaringan internet menyediakan transaksi lintas negara bahkan lintas benua. Masyarakat pemegang gadget yang terhubung ke jaringan internet global akan rentan terhadap gangguan kejahatan cyber dan eksploitasi data pribadi. Mulai dari gangguan penawaran produk barang dan jasa, hingga ke informasi yang menipu, ataupun hilangnya hak privasi karena penyadapan, mata-mata, pengawasan dan sebagainya.

Semakin maraknya aplikasi yang berebut data pengguna dan mencatat semua data pribadi nomor telepon, membuat masyarakat tidak berdaya pada saat data pribadi tersebut digunakan untuk kepentingan bisnis dan dipindah tangankan entah kemana. Bahkan rekam jejak kegiatan sehari-hari pun disimpan oleh aplikasi tertentu sehingga hak pribadi penduduk menjadi hilang. Rekam jejak tersebut berguna untuk memprogram dan membaca kebiasaan individu yang nantinya akan dikonversi untuk memprediksi sesuatu yang menguntungkan baginya.

Dengan data, bisa diketahui hobi, hubungan saudara, lokasi tempat tinggal, daerah yang sering dikunjungi, barang dagangan, apa yang disukai, apa yang ingin dibeli, kebiasaan sehari-hari dan sebagainya. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah film dokumenter Netflix berjudul “The Social Dilemma”, dengan data dapat diketahui kekuatan suatu negara, baik ekonomi, politik dan militernya sebagai bahan untuk perang cyber di dunia maya.

Ketika perang, tentu ada serangan dan ada pertahanan. Bagaimana dengan Indonesia?

Pemerintah Indonesia telah menyadari ancaman yang datang dari media cyber. Untuk memaksimalkan pertahanan nasional di dunia maya telah dibentuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) melalui Peraturan Presiden nomor 53 tahun 2017. Dalam peraturan tersebut sangat jelas disebutkan bahwa fungsi dari BSSN adalah untuk mengantisipasi segala bentuk serangan yang berpotensi mengancam stabilitas nasional, identifikasi, deteksi, proteksi, penanggulangan, pemulihan, pemantauan, evaluasi, pengendalian proteksi e-commerce, persandian, penapisan, diplomasi siber, pusat manajemen krisis siber, pusat kontak siber, sentra informasi, dukungan mitigasi, pemulihan penanggulangan kerentanan, insiden dan/atau serangan siber.

Walaupun demikian, kita harus tetap hati-hati dalam menggunakan media cyber.

- Advertisement -
- Advertisement -

BERITA PILIHAN

- Advertisement -
- Advertisement -

Tulisan Terkait

- Advertisement -spot_img