27.3 C
Padang
Senin, Oktober 7, 2024
spot_imgspot_img
Beritasumbar.com

Bakajang, Tradisi Unik Nagari Gunuang Malintang
B

- Advertisement -

Limapuluh Kota BeritaSumbar.com,-Sebagian besar masyarakat Kabupaten Lima Puluh Kota mungkin sudah sering mendengar tentang salah satu tradisi unik yang dilakukan setiap memasuki hari Raya Fitri oleh masyarakat Nagari Gunuang Malintang, Kecamatan Pangkalan ini.

Menurut bahasa melayu kuno Kajang berarti perahu / sampan, dan Kajang ini digunakan sebagai alat transportasi atau jalang-manjalang mengarungi dan melintasi aliran Batang Maek. Teruta saat hari raya Idulfitri datang. Seiring kemajuan zaman pemakaian sampan atau perahu untuk transportasi di aliran Batang Maek sudah tidak begitu efektif lagi.
Walau demikian ada satu tradisi di Nagari Gunuang Malintang Kecamatan Pangkalan Limapuluh Kota setiap bulan Syawal atau lebaran Idulfitri datang yaitu BAKAJANG. Yang mana Sampan sampan dengan beragam hiasan hadir di Batang Maek. Sampan yang masyarakat daerah ini sebut Kajang dibuat oleh 4 suku besar yang ada di Kanagarian Gunuang Malintang ini. Adapun keempat suku tersebut sebagai berikut:
1. Suku Domo Jorong Koto Lamo : Datuak Bandaro
2. Suku Melayu Jorong Batu Balah : Datuak Sati
3. Suku Pagar Cancang Jorong Boncah : Datuak Paduko Rajo
4. Suku Piliang Jorong Koto Masjid : Datuak Gindo Simarajo, kemudian Kajang yang selanjutnya,
5. Petinggi adat Nagari (Tungku Tigo Sajarangan) serta bundo kanduang dengan Pemerintah Kabupaten di Istano (surau / balai) Nagari Gunuag Malintang.
Wakil Bupati Limapuluh Kota, Ferizal Ridwan, ketika menghadiri prosesi kegiatan Bakajang dan Manjalang Mamak di Gunuang Malintang, hari Selasa (19/06) kemarin mengatakan, tradisi Bakajang mempunyai nilai budaya yang tinggi, sehingga berpotensi dikembangkan untuk pariwisata budaya. “Bakajang harus tetap dilestarikan dan diwariskan ke setiap generasi, serta hal ini juga salah satu alasan menjadikan Harau Menuju Dunia yang memiliki 3 Konsep yaitu : Menjaga Tradisi, Menegakkan Syarak, dan Mambangkik Batang Tarandam ” sebutnya.
Jika ditelisik dari perjalanan sejarah serta bahasa, kata Ferizal, Bakajang memiliki dua pengertian, yakni perahu dan pembaharuan. Perahu, katanya, merupakan alat transportasi nenek moyang warga Gunuang Malintang yang tinggal di pinggiran Batang Maek, pada zaman dulu. Sedangkan, pembaharuan, diartikan sebagai kegiatan memperbaharui silaturrahmi antara mamak dengan kemenakan serta anak nagari, yang digelar setiap awal bulan Syawal atau setelah Hari Raya Idul Fitri.

Di aliran Batang Maek, sebanyak lima buah perahu sudah disulap para pemuda di empat Jorong menjadi kapal berkuran besar. Kapal-kapal tersebut dirancang berbagai bentuk, menyerupai kapal veri. Guna merangkai kapal-kapal itu, para pemuda menyebut, menghabiskan biaya hingga mencapai Rp12-15 juta perunitnya.
Acara alek Bakajang, merupakan warisan nenek moyang yang terus digalakkan masyarakat hingga sekarang, terutama anak muda.

Wali Nagari Gunuang Malintang, Wido Putra mengatakan, Tradisi Bakajang ala anak Nagari Gunuang Malintang ini, merupakan kegiatan menyambut bulan Syawal 1439 Hijriyah di kenagariannya. “Bakajang berarti ‘memperbaharui’. Dulu, pelaksanaan manjalang sanak saudaro ini, dilakukan memakai sampan atau perahu. Ini lah yang dilakukan para pendahulu, yang kini masih menjadi tradisi di nagari kami hingga Sabtu 23/6 esok” [a.Bst]

- Advertisement -
- Advertisement -

BERITA PILIHAN

- Advertisement -
- Advertisement -

Tulisan Terkait

- Advertisement -spot_img