Minangkabau yang hingga saat ini masih mempraktekan matrilineal dianggap etnis yang menarik untuk dicermati. Kenyataan ini juga dijadikan asumsi bagi para pengkaji Minangkabau untuk mengatakan bahwa Minangkabau merupakan asal dari peradaban Melayu. Dari masa ke masa, Minangkabau tetap menjadi perhatian banyak peneliti bukan saja karena adat yang matrilineal, namun juga dari kiprah orang-orang yang mengaku berasal dari tanah itu.
Tentu saja orang Minangkabau merasa bangga dengan pandangan ini karena pujian itu tidak saja dibuktikan oleh anak-anak Minangkabau tetapi juga dinyatakan oleh ahli seperti Sir Richard Winstedt, Leonard Andaya, dan lain-lain. Namun, sebagai sebuah lokalitas tentu Minangkabau akan terus dipengaruhi oleh dunia luar sebagai dampak globalisasi. Hal ini mengakibatkan Minangkabau harus menunjukkan ketangguhannya dalam mengalami perubahan zaman, seperti kala dulu ketika banyak juga yang telah mempengaruhi ranah Minangkabau.
Minangkabau tentu harus beradaptasi namun tidak kehilangan jati dirinya seperti pepatah Adaik dipakai baru; kain dipakai usang.Adaptasi itu tentu lebih banyak pada cara-cara saja, namun hal-hal pokok tentu tidak akan berubah. Hal-hal pokok itu adalah serupa prinsip-prinsip yang dalam hal ini dinamai ajaran Minangkabau.
Tulisan ini mencoba mengungkap di mana ajaran Minangkabau itu terletak, bagaimana mewariskannya dan bagaimana memahaminya, karena itu lah salah satu hal yang dipuji Sir Richard Winstedt. Seperti banyak etnis lain di Nusantara, Minangkabau tentu diasosiasiakan kepada label tradisional.
Label tradisional ini menyatakan bahwa masyarakatnya berciri agrikultur dan tidak memiliki sistem tulisan tersendiri. Minangkabau hingga hari ini pun sangat kuat dengan tradisi oralnya sebagai salah satu penanda tradisionalitasnya. Ini tidak berarti bahwa orang Minangkabau tidak modern, namun praktek-praktek tradisi oral masih bagian yang sering terlihat di tengah-tengah masyarakat Minangkabau, terutama di Sumatera Barat.
Namun, jumlah orang Minangkabau yang secara konsisten dan terus menerus mempraktekkan tradisi oral seperti yang terlihat pada beragam prosesi adat atau seremoni adat, semakin berkurang. Ini bisa dianggap kealamiahan, tapi ada satu hal yang penting dari tradisi dan seremoni ini yaitu kata-kata yang diucapkan dalam setiap seremoni tersebut. Di sana lah ajaran-ajaran Minangkabau tersimpan dan bersanding dengan praktek-praktek kultural Minangkabau itu.
Ini terancam akan berkurang dipraktekan dengan asumsi bahwa akan terjadi pemutusan dalam pewarisan ajaran Minangkabau. Pengalaman berabad-abad orang Minangkabau dalam menata hidupnya dan berhadapan dengan alam tersimpan di dalam kata-kata. Sifat-sifat alam, gejala-gejala fisika, karakter binatang, serta orang yang berinteraksi baik sesama manusia ataupun dengan alam, didokumentasikan dalam peribahasa atau petatah-petitih.
Sistem sosial, ajaran adat, sistem kepemilikan tanah, dan aturan-aturan berinteraksi dalam masyarakat Minangakbau juga disimpan didalam petatah-petitih. Petatah berisi konsepsi dasar atau teori-teori, sedangkan petitih berisi bagaimana mempraktekan teori-teori tersebut. Jika kita bandingkan dengan cara-cara modern, semua teori dan praktek-praktek itu dituliskan dan disimpan dalam wujud buku yang dicetak.
Hari ini orang Minangkabau telah mempraktekan keduanya, ajaran-ajaran Minangkabau itu telah dicatat dan dibukukan dalam berbagai versi (manual ataupun digital). Jadi, salah satu media penyimpanan ajaran Minangkabau itu adalah peribahasa (proverbs). Peribahasa ini bisa juga diwujudkan dalam bentuk pantun, gurindam, atau pun dalam lirik lagu (dendang).
Peribahasa ini juga dipakai dalam pembicaraan sehari-hari, tanpa disadari, sebagai alat retoris. Seseorang memakai peribahasa secara otomatis untuk memberi argumen atas pendapatnya, atau pun dalam menilai suatu realitas. Peribahasa itu juga banyak muncul pada ujaran-ujaran yang terdapat pada seremoni adat seperti rundiang (panitahan, pasambahan, baalua). Suatu hari saya pernah bermasalah dengan soal warisan, lalu pergi berkonsultasi kepada seorang pengulu.
Datuak itu hanya memberi sebuah pantun, lalu solusi telah didapatkan. Memang kenyataannya begitu, semua kesimpulan-kesimpulan atau azaz-azaz yang didapatkan dan dipergunakan orang Minangkabau untuk menjalankan kehidupan tradisionalnya disimpan dalam bentuk ujaran-ujaran sastrawi.
Tidak semuanya sempat dituliskan oleh beberapa peminat kajian sastra tradisional Minangkabu. Belum lagi variasi yang muncul dari masing-masing nagari di Minangkabau. Peribahasa yang memiliki makna dan maksud yang sama, bisa saja diwujudkan dengan kosa kata berbeda di beberapa nagari.Artinya, peribahasa itu ada di dalam kepala orang-orang Minangkabau dan sebahagiannya telah dituliskan.
Namun bagaimana memahaminya?Menurut Pierre Bourdieu, seorang ahli sosiologi Perancis, seremoni atau acara adat merupakan praktek pengajaran adat itu sendiri. Acara-acara itu berfungsi untuk menanamkan prinsip-prinsip adat dan memperkuat ajaran adat yang ada dalam masyarakat tersebut. Praktek dari ajaran Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah itu akan terlihat di dalam 3 seremoni, seperti contohnya pada acara menyambut kelahiran, pernikahan, dan ritual dalam acara kematian.
Hampir semua seremoni adat itu terdapat tuturan yang tentu melekat pada urutan kejadian dan fungsi dari acara tersebut. Pada saat itulah transformasi pengetahuan dan pemahaman adat dilangsungkan. Seorang akan memperlihatkan bagaimana melaksanakan sesuatu, dan jika ada yang kurang paham dia akan bertanya saat itu dan orang yang tahu akan menjelaskan saat itu juga. Pun jika ada hal yang tidak sesuai urutan atau aturan, maka orang yang tahu akan mengkritisi dan memberi tahu bagaimana yang seharusnya dilakukan.
Contohnya, soal pakaian, apa yang perlu dibawa, dan apa yang akan dikatakan anak muda ketika ketika mengantarkan tepak untuk menandakan bahwa keluarga anak darosudah siap menunggu kedatangan rombongan marapulai. Dengan prinsip bahwa tuturan itu adalah sebuah tindakan sosial seperti yang dikemukakan oleh Mikhail Bakhtin, seorang filusuf dari Rusia, maka tuturan adalah praktek dari adat itu sendiri. Untuk memahami isi dan maksud dari tuturan itu tentu tidak boleh memisahkannya dari konteks ritual atau seremoni tersebut.
Satu ujaran, seperti satu peribahasa yang dituturkan oleh seorang pangulu dalam acara mengantar marapulai di Minangkabau, harus dimaknai dengan konteks ketika tuturan itu diujarkan. Pada saat tuturan itu diujarkan maka pemaknaannya terkait dengan kodisi sosial atau suasana, tujuan kultural yang ingin dicapai, dan gaya bahasa yang dipakai. Gaya bahasa ini berkaitan dengan status seseorang dalam sistem organisasinya. Menurut Bakhtin, berkenaan dengan perdapat Bourdieu di atas, tuturan merupakan manifestasi dari bahasa suatu masyarakat yang menggambarkan pandangannya terhadap dunia serta menyiratkan ideologi dari masyarakat tersebut.
Menghindari kecacatan dalam pemaknaan suatu turuan dalam sebuah perayaan atau seremoni adat maka tuturan itu harus dipahami dari konteks dimana tuturan itu diujuarkan; tuturan itu bukan lah semata percakapan sederhana dari beberapa orang, tapi dia adalah cerminan hal yang lebih kompleks. Tentu itu akan sangat bermakna bagi mereka yang hidup dalam atmosfir budaya dimana tuturan itu asli diucapkan.
Pada acara mengantar marapulai, terlihat pengulu masing-masing pihak berdialog dengan memakai Bahasa Minang tinggi dan setelah itu mereka memakan sirih, atau manyantap hidangan, tapi bisa saja ada yang memaknai itu adalah acara makan yang ditunda-tunda. Lalu mereka menilai bahwa itu tidak efektif dan efisien serta menentang ajaran agama karena dianggap mubazir.
Pernyataan ini bukan saja dangkal tapi menunjukkan bahwa tidak mengertinya sama sekali tentang bagaimana Minangkabau membangun silaturahim bukan saja antar keluarga, namun juga antar kampung. Hubungan antara tuturan dan peristiwa tutur dipahami terpisah, sepertinya.
4 Ajaran-ajaran Minangkabau itu tersimpan di dalam kepala orang-orang Minangkabau yang mempraktekan adatnya. Wujud ajaran itu paling banyak berupa petatah-petitih yang kaya metafora dan juga sering muncul pada beberapa jenis sastra tradisional Minangkabau.
Petatah-petitih atau peribahasa itu dituturkan dalam prosesi, seremoni, dan ritual adat Minangkabau dan juga pada perbincangan keseharian orang Minangkabau yang tentunya dituturkan dalam bahasa Minangkabau. Seremoni-seremoni itu berfungsi sebagai media pembelajaran adat dan media transmisi untuk generasi penerus Minangkabau. Jika seremoni itu sudah jarang dipraktekan maka artinya transmisi ajaran adat yang kontekstual juga terhambat.
Cara memahami ajaran Minangkabau yang terangkum dalam peribahasa (petatah-petitih) dengan baik adalah dengan ikut mengalami peristiwanya sendiri. Pujian Sir Richard Winstedt itu tentu muncul setelah dia memahami sendiri beberapa peribahasa-peribahasa Minangkabau yang merupakan refleksi intelektualitas etnis tersebut.
Penulis : Nofel Nofiadri