Oleh : Kurniawan (Politisi Partai GELORA Indonesia/ Ket. DPD GELORA Payakumbuh)
Manusia pada dasarnya adalah satu-satunya makhluk di muka bumi penyuka variasi. Apapun agamanya, apapun suku bangsanya, apapun warna kulitnya. Mereka semua, selagi masih Homo Sapiens mereka suka variasi dan anti kemandegan, monoton.
Manusia itu makhluk “politon”, penyuka banyak ton bukan makhluk monoton. Insting penyuka variatif inilah salah satu kunci kelestarian umat manusia sampai sekarang. Manusia membuat rumah dari di dasar tanah lembah, ditebing, puncak gunung, sampai di puncak pohon yang seharusnya menjadi rumah burung atau orang hutan.
Manusia pemakan semua, semua jenis burung. Dari burung Pipit yang terkecil, sampai burung Onta. Semua disikat manusia. Kecuali Islam yang membatasi yang menyambar dan berkuku tajam mencengkram. Tapi burung pemakan manusia, dinosaurus, sudah punah jutaan tahun yang lalu.
Manusia ingin terbang seperti burung, pada saatnya terpenuhi hasrat terbang itu. Ingin terbang seperti capung pun terpenuhi. Manusia ingin menyelam seperti ikan, pada saatnya hasrat menyelam bak ikan itu terpenuhi.
Selagi masih normal manusia selalu ingin kejutan-kejutan dalam hidupnya. Kejutan selalu menyegarkan elan vital poros kehidupannya. Setiap temuan baru seolah menjadi pemicu dan charge bagi inovasi berikutnya. Ini berlaku di semua bidang kehidupan, termasuk di dalamnya bidang kepemimpinan, sosial politik.
Manusia sudah bosan, anak raja ini pasti jadi raja. Anak raja ini menikah dengan anak raja itu, akan jadi kerajaan baru. Raja beristri banyak plus para selir untuk pelesiran, anak banyak cakak banyak, kerajaan jadi banyak terserak kecil-kecil. Sesuatu yang mudah ditebak itu membosankan, monoton. Sedangkan ini tidak perlu di tebak, lebih sangat membosankan.
Oleh karenanya manusia menciptakan sistem demokrasi. Agar pergantian kepemimpinan itu, sesuai dengan selera asal, fitrah manusia yang variatif tadi. Demokrasi memungkin semua kejutan itu terjadi. Sistem monarchi pun sekarang tidak rela jika tidak menggandeng demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya.
Agama pun mengingatkan perjalanan sejarah umat manusia, ketika mereka mulai keluar dari pakemnya. Ketika semua mengatakan pemimpin itu harus dari orang kaya mereka. Harus dari orang terpandang mereka. Harus dari orang kuat mereka. Harus dari keturunan terhormat mereka. Allah SWT tunjuk Tholut pria biasa dan Daud remaja.
Ketika Bangsa Yahudi mengunci kenabian harus lahir dari klan mereka. Allah SWT pilih dari rahim bangsa Arab yang terisolir. Semua kejutan ini, pelajaran berharga agar umat manusia menjaga fitrah kelestariannya di atas. Selera asalnya.
Lalu bagaimana jadinya jika Demokrasi itu sudah kehilangan unsur esensinya, kejutan kepemimpinan? Bahkan ironisnya kepemimpinan Legislatif terkooptasi dengan kepemimpinan eksekutif. Lihatlah Pileg di negara kita hari ini lebih beraroma Pilpres.
Nama-nama yang beredar di bursa Pileg dan apalagi Pilpres itu ke itu saja. Tidakkah ini membosankan? Merusak aroma dan aura demokrasi itu sendiri. Apakah ini ekses Pemilu serentak? Saya kita iya. Biarkan kembali terpisah. Ketika Pileg fokus menelurkan legislator handal. Ketika Pilpres fokus menelurkan presiden handal.
Bukan seperti sekarang, Parpol bergantung figur Capres. Capres berkantung menggantang Parpol.
Berlilit berkelindan, bergelumun, sulit terpisahkan. Kita hari ini kehilangan fokus dan selera asal. Mau jadi legislator mbonceng Capres, mau jadi Capres mbonceng Pileg. Makin ke sini makin keluar dari teori, makin asal-asalan.