Oleh: M. Fajar Rillah Vesky
Jurnalis dan Pencinta Cagar Budaya
Akhir Juli 2023, masyarakat ilmu pengetahuan, dikejutkan dengan kabar dilelangnya Gua Lida Ajer di kawasan perbukitan Kojai, Nagari Tungkar, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Gua ini diyakini ilmuwan dunia pernah dihuni Homo Sapiens atau manusia modern anatomi tertua di Asia Tenggara. Di gua ini pula, para peneliti tanah air, menemukan ratusan lukisan purba bermotif antropomorfik atau menyerupai figur manusia. Termasuk lukisan yang bentuknya menyerupai gerakan dasar silek (silat) Minangkabau.
Banyak yang bertanya, kenapa gua ini masuk objek lelang pengadilan, dengan nilai limit penawaran mencapai Rp4,5 miliar? Usut punya usut, Gua Lida Ajer berada dalam sengketa tanah dan pertambangan. Sengketa terjadi antara investor berkewarganegaraan Belanda bernama Ir. H. Matulessy, melawan PT Marmer Sumber Nur Agung. Pabrik tambang marmer yang dulu pernah beroperasi di Nagari Tungkar, tepatnya di Desa Sialang Taratak.
Berdasarkan data yang pernah dibuka Humas Pengadilan Negeri (PN) Payakumbuh perkara perdata antara warga Negara Belanda Ir. H. Matulessy melawan PT. Marmer Sumber Nur Agung, terjadi sejak 1998 silam. Dalam perkara ini, Ir. I. H. Matulessy sebagai penggugat. Sedangkan PT. Marmer Sumber Nur Agung sebagai tergugat. Perkara ini, mulai disidang dari Pengadilan Negeri (PN) Padang, Pengadilan Tinggi Padang, sampai tingkat Mahkamah Agung. Dimana, gugatan Matulessy dikabulkan dan sudah berkekuatan hukum tetap.
Mungkin karena itu, Matulesssy sejak tahun 2005 lalu, mengajukan permohonan eksekusi lelang ke PN Padang. Saat itu lelang sempat dilaksanakan untuk mesin bekas pabrik marmer. Sedangkan untuk empat bidang lahan tanah yang selama proses sidang berada dalam sitaan pengadilab, lelang tidak dapat dilakukan karena tidak ada peminat. Kemudian, pada tahun 2021 lalu, pihak Ir.H. Matulessy melalui kuasanya, mengajukan permohonan lelang eksekusi lanjutan ke PN Padang.
Mengingat objek lelang berada dalam wilayah yuridiksi PN Payakumbuh, maka PN Padang mendelegasikan pelaksanaan lelang ini kepada PN Payakumbuh. Setahun kemudian, PN melalui KPKNL Bukittinggi, mengajukan lelang eksekusi atas empat bidang lahan yang dahulu terdapat di Desa Sialang Taratak, Nagari Tungkar, Kecamatan Luhak, Perwakilan Situjuah, dan kini berada di Nagari Tungkar, Kecamatan Situjuah Limo Nagari. Dimana, dari empat bidang lahan itu, terdapat lahan bekas Gua Lida Ajer.
Permohonan lelang eksekusi yang diumumkan PN Payakumbuh melalui iklan di surat kabar dan website lelang.go.id pada tahun 2022 itu dibatalkan KPKNL Bukittinggi. Saat itu, lelang dibatalkan karena KPKNL tidak menerima salah satu syarat administrasi dari BPN (Badan Pertanahan Nasional). Yakni, SKT atau Surat Keterangan Tanah. BPN sudah mengeluarkan SKT. Tapi, menurut KPKNL, tidak memenuhi syarat administrasi.
Setelah lelang tahun 2022 itu dibatalkan, pihak yang menang dalam perkara, dalam hal ini warga Negara Belanda melalui kuasanya, kembali mengajukan permohonan lelang eksekusi pada tahun 2023. Namun, lelang eksekusi yang berakhir Jumat lalu (28/7/2023) itu tidak jadi terlaksana, karena tidak ada peserta lelang yang berminat. Sehingga sampai November 2023 ini, Gua Lida Ajer untuk sementara memang sudah selamat dari ancaman lelang eksekusi senilai Rp4,5 miliar lewat situs lelang.go.id. Namun, ke depan, permohonan melakukan lelang eksekusi masih berpeluang terjadi. Karena perkara ini sudah berkekuatan hukum tetap.
Dalam hal ini, kita perlu mengapresiasi sejumlah upaya yang dilakukan Balai Pelestarian Kebudayaan Sumbar, termasuk dengan menurunkan tim investigasi dan berkordinasi dengan Pemkab Limapuluh Kota serta stakeholders terkait. Namun, Balai Pelestarian Kebudayaan Sumbar tentu tidak bisa jalan sendiri. Semua stakeholders dan otoritas terkait, perlu tangan menyelamatkan Gua Lida Ajer. Karena keberadaan gua ini melampaui batas lokal.
Gua Lida Ajer tidak hanya menjadi kebanggaan Tungkar, kebanggaan Situjuah Limo Nagari, kebanggaan Limapuluh Kota, dan kebanggaan Sumatera Barat. Lebih dari itu, Gua Lida Ajer adalah warisan berharga untuk dunia ilmu pengetahuan dan pariwisata yang mendatangkan kesejahteraan rakyat dengan tetap mengedepankan kelestariannya. Cara paling ampuh menyelamatkan Gua Lida Ajer adalah dengan segera menetapkannya sebagai Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya. Sesuai UU 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan PP Nomor 1 Tahun 2022 tentang Register Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya.
Bukan Hanya Gua Lida Ajer
Gua Lida Ajer hanyalah satu dari begitu banyak cagar budaya ataupun diduga cagar budaya yang berada di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Kabupaten yang terkenal dengan adegium “aienyo janiah, ikannyo jinak, sayaknyo landai, buayo putiah daguak panjagonyo” ini, memang kaya akan benda-benda cagar budaya atau diduga cagar budaya. Hanya saja, keberadaan cagar budaya atau diduga cagar budaya ini belum seluruhnya teregistrasi atau ditetapkan sebagai situs cagar budaya, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 dan PP Nomor 1 Tahun 2022.
Berdasarkan tulisan “Cagar Budaya Mengalit Limapuluh Kota” yang ditulis ditulis Dodi Chandra S.Hum di website kebudayaan.kemdikbud.go.id, jumlah situs cagar budaya di Kabupaten Limapuluh Kota yang terdaftar dalam daftar inventarisasi cagar budaya BPCB atau BPK Sumbar adalah sebanyak 56 situs. Paling banyak terdapat di Kecamatan Bukit Barisan. Selain juga terdapat di Kecamatan Suliki, Kecamatan Gunuang Omeh, Kecamatan Guguak, Kecamatan Harau, Kecamatan Pangkalan Koto Baru, dan Kecamatan Kapur IX. Itu baru situs cagar budaya megalit. Belum lagi, “situs-situs” lain yang belum teregistrasi, tapi layak ditetapkan sebagai situs cagar budaya, bahkan layak ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya.
Diantara cagar budaya atau diduga cagar budaya yang layak ditetapkan sebagai situs cagar budaya atau kawasan cagar budaya, bukan hanya kawasan Gua Lida Ajer di Kecamatan Situjuah Limo Nagari saja. Tapi, juga ada banyak kawasan lain di Kabupaten Limapuluh Kota. Seperti, Surau Puncak Bakuang tempat Bung Karno pernah bertemu dengan Syekh Abbas dan Syekh Mustafa Abdullah di Padang Japang, sebelum Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Kemudian, ada pula surau-surau peninggalan ulama-ulama masa lalu yang terkenal di nusantara. Seperti, Surau Syekh Sa’ad Mungka yang berdebat secara intelektual dengan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Surau Dagang Batu Hampar yang pada masa jayanya bagaikan “Pusek Jalo Pumpunan Ikan” atau menjadi pusat pendidikan Islam di Luhak Limopuluah. Lalu, ada pula Rumah Gadang Koto Rajo dan situs Batu Sandaran Rajo di Situjuah Ladang Laweh yang menjadi saksi bisu peradaban Minangkabau tempo doeloe.
Selanjutnya, ada pula ada kawasan-kawasan yang terkait erat dengan sejarah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), seperti kawasan Halaban, Ampalu, Koto Tinggi, Suliki, Pandam Gadang, Situjuah Batua, Situjuah Gadang, Situjuah Banda Dalam. dan Koto Kociak Padang Jopang. Dimana, hampir semua kawasan yang terkait erat dengan semangat bela negara sebagai kawasan cagar budaya atau sejarah.
Tentu saja, bila dibentang, ini masih bisa panjang. Karena Kabupaten Limapuluh Kota, memang betul-betul kaya akan warisan sejarah. Betul-betul memiliki banyak cagar budaya atau diduga cagar budaya. Sehingga yang perlu dilakukan bersama seluruh stakeholders Limapuluh Kota adalah bagaimana cagar budaya yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, dapat dilestarikan dan dikelola secara tepat, melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan, dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Inilah yang menjadi tugas berat dan pekerjaan kita bersama. Tidak bisa diserahkan kepada satu pemangku kepentingan saja. Seperti Balai Pelestarian Kebudayaan Sumatera Barat atau Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Limapuluh Kota saja. Tapi mesti melibatkan semua pemangku kepentingan. Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota bersama DPRD-nya, harus berada pada garis terdepan, dalam upaya pelestarian, pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya atau diduga cagar budaya. Ini perlu dilakukan dengan komitmen dan political will yang jelas. Dengan kebijakan yang nyata.
Misalnya, dari sisi anggaran. Bila Pemkab Limapuluh Kota sudah membentuk Tim Ahli Cagar Budaya di tingkat kabupaten, tentu tim ini perlu ditopang dengan anggaran yang memadai, sehingga bisa bekerja secara maksimal. Selain ditopang dengan anggaran yang memadai, Tim Ahli Cagar Budaya ini mestinya juga betul-betul punya perhatian dan tanggungjawab luar biasa, terhadap cagar budaya atau diduga cagar budaya. Termasuk, terhadap informasi-informasi yang berkembang di tengah masyarakat. Jangan dibiarkan informasinya viral dulu di lini masa atau media sosial, baru tim ahli turun tangan. Tim mesti jemput bola. Memverifikasi cagar budaya atau diduga cagar budaya, untuk kemudian diregistrasi sebagai situs cagar budaya kabupaten, provinsi, atau nasional.
Sebenarnya, Pemkab dan DPRD Limapuluh Kota, sudah punya payung hukum, untuk melaksanakan program-program dan kegiatan yang terkait erat dengan pelindungan, pelestarian, dan pemanfaataan cagar budaya. Payung hukum tersebut, selain Undang-Undang Cagar Budaya dan PP Tentang Registrasi Cagar Budaya, juga ada Peraturan Bupati Limapuluh Kota Nomor 48 Tahun 2017 Tentang Pelindungan, Pengembangan dan Pemanfaatan Cagar Budaya dan Situs Kabupaten Limapuluh Kota. Ini jauh mendahului Kota Payakumbuh yang baru memiliki Peraturan Wali Kota Tentang Pengelolaan Cagar Budaya dan Peninggalan Sejarah pada tahun 2019 lalu.
Artinya, Pemkab Limapuluh Kota, sudah berbuat, sebelum yang lain memikirkan. Hanya saja, kita lemah ditingkatan komitmen dan eksekusi. Payung hukum sudah ada, namun saat dituangkan dalam bentuk rencana program dan kegiatan kerap terpental saat pembahasan anggaran. Diduga karena adanya benturan kepentingaan. Nah, karena sekarang momentum Pemilu. Sudah saatnya, kita memperbanyak wakil kita di parlemen yang punya kesadaran untuk membangun kebudayaan. Membangun dulu jiwanya, baru bangun badannya.
Kemudiann, selain perlu mengalokasikan anggaran buat Tim Ahli Cagar Budaya dan Bidang Kebudayaan itu sendiri, Pemkab dan DPRD Limapuluh Kota, perlu mengalokasikan anggaran untuk upaya perawatan, perlindungan, dan pengembangan situs-situs cagar budaya yang sudah ditetapkan. Situs-situs yang terdapat di Kecamatan Bukit Barisan, Kecamatan Guguak, Kecamatan Suliki, Kecamatan Gunuang Omeh, Kecamatan Harau, Kecamatan Akabiluru, Kecamatan Pangkalan Koto Baru dan Kecamatan Kapur IX, jangan hanya dipandang sebagai artetak masa lalu. Tapi harus dimaknai sebagai sebuah warisan ilmu pengetahuan. Warisan yang jika dikelola dengan tepat dan benar, juga bisa mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran yang seluas-luasnya bagi masyarakat dan pemerintah daerah. Bahkan bisa menjadi ikon baru sebuah daerah.
Tidak hanya dari sisi anggaran, Pemkab Limapuluh Kota juga perlu memperbanyak jaringan, koordinasi, dan sinkronisasi, terkait pelestarian, pelindungan, dan pemanfaatan cagar budaya atau diduga cagar budaya. Ini bisa dilakukan dengan merangkul Perguruan Tinggi, masyarakat ilmu pengetahuan dan pecinta alam atau NGO lainnya yang berkepentingan terhadap kebudayaan, termasuk juga melibatkan media-massa. Kemudian, terhadap mereka yang secara nyata, sudah bekerja, menjaga, merawat, dan melindungi cagar budaya atau diduga cagar budaya, perlulah kiranya, pemerintah daerah member reward, sebagai bentuk apresiasi dan perhatian. Tentu saja, masih banyak hal-hal lain, yang perlu dilakukan, untuk membangun kesadaran bersama, bahwa cagar budaya atau warisan budaya, penting untuk dijaga dan dilestarikan. (*)
*Disampaikan dalam Edukasi Perlindungan Cagar Budaya yang Digelar Balai Pelestarian Kebudayaan Sumbar di Hotel Mangkuto Payakumbuh, 23 November 2023.