Busthanul Arifin, Pendekar Hukum Islam dari Payakumbuh

Seorang muslim tentu merindukan berlakunya syariat Islam secara kaffah dalam kehidupannya. Mulai dari level individu, keluarga, masyarakat, hingga negara. Maka tak jarang terdengar, adanya berbagai tuntutan untuk menerapkan syariat Islam di Indonesia. Merealisasikan tuntutan itu tak cukup dengan hanya berteriak di jalanan saja. Tak putus pula hanya dibicarakan di seminar-seminar. Namun butuh perjuangan nyata dari dalam pemerintahan, bagaimana syariat Islam semakin masif menjadi sumber hukum positif di Indonesia.

Bung Karno pernah berkata, “Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula.”

Terkait dengan realisasi penerapan syariat Islam tersebut, penulis akan membahas sosok dan kiprah dari Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH. Salah satu tokoh muslim nasional dari Payakumbuh yang semasa hidupnya begitu gigih memperjuangkan syari’at agar masuk dalam sistem hukum nasional. Sedikit berbeda dengan pesan Bung Karno di atas agar memperjuangkan syariat Islam melalui jalur legislatif, Busthanul justru memperjuangkannya melalui jalur yudikatif.

Busthanul adalah seorang hakim yang pernah menjabat Ketua Muda Mahkamah Agung Indonesia pada 1982-1994. Beliau pakar dan praktisi hukum Islam yang menjadi inisiator dan mengarsiteki lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dipakai sebagai hukum materil di peradilan agama sampai sekarang. Lahirnya UU Peradilan Agama sendiri, juga tak lepas dari “kakok tangan” Pendekar Hukum Islam yang satu ini.

Busthanul Arifin lahir di Payakumbuh, 2 Juni 1929. Beliau anak bungsu dari enam bersaudara, putra pasangan Andaran Gelar Mahatajo Sutan-Kana. Laiknya anak-anak Minangkabau masa lalu, pendidikan surau begitu melekat ke dalam diri Busthanul kecil. Hari-hari Busthanul, habis untuk pergi ke sawah dan ladang, kemudian mengaji, belajar silat, dan membaca buku.

Busthanul belajar mengaji kepada pamannya Ibnu Abbas yang pada masanya adalah seorang qari ternama di Luak Limopuluah. Dia juga memperoleh pemahaman tauhid dari kakeknya, Tuanku Keramat. “Biasanya pada bulan Ramadhan saya tinggal di rumah kakek. Sesudah makan sahur sampai subuh saya mengaji kepada beliau. Seperti paman saya, datuk saya pun buta huruf latin,” ujarnya dalam buku Mutiara yang Tak Terlupakan.

Pada usia masih belasan tahun, Busthanul sudah jadi Ustadz yang sering diminta untuk berceramah. Karena itu pula, mau tidak mau dia harus menambah ilmu-ilmu keislaman, baik dari hasil bacaan, maupun dari pergaulan.

Agresi Belanda memanggil jiwa muda Busthanul untuk berjihad. Dia pun mencemplungkan diri ke kancah perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dia bergabung ke dalam Pasukan Mobil Teras “Gerilya Antara” Sektor II Front Utara Payakumbuh di bawah komando Mardisoen. Dalam pasukan itu, Bustanul menjadi anggota Brigade Pelajar pejuang.

Setelah penyerahan kedaulatan RI dan situasi keamanan sudah kondusif, Busthanul melanjutkan pendidikannya di Fakultas Hukum UGM. Sambil kuliah, dia aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta. Dia pernah menjadi Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta pada 1954-1955. Selain aktif di organisasi tersebut, Bustanul juga mengajar di salah satu SMA swasta.

Ayahnya pernah berkirim surat yang isinya antara lain, “kamu sekarang sudah sekolah tinggi hukum. Satu hal jangan pernah kamu lupakan: tidak bergerak selain di jalan Allah.” Tak lama sesudah berkirim surat tersebut, ayahnya wafat. Karena itu Busthanul menganggap surat itu sebagai wasiat yang begitu menghujam ke dalam sanubarinya.

Lulus kuliah 1955, Busthanul meniti karier sebagai hakim di Semarang. Pada tahun 1966, dia dipercaya menjabat Ketua Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan dan Tengah yang berkedudukan di Banjarmasin. Dua tahun kemudian karirnya melesat menjadi hakim MA dan pada 1982 menjabat Ketua Muda MA Urusan Lingkungan Peradilan Agama hingga pensiun 1994.

Busthanul dikenal sebagai hakim yang dekat dengan ulama. Dia menjalin komunikasi dengan para ulama dan tokoh-tokoh agama, tanpa memandang latar belakang politik atau pendirian tokoh yang bersangkutan. Dengan mantan Perdana Menteri RI dan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Mohammad Natsir, Bustanul pun menjalin hubungan yang cukup akrab. “Jangankan Pak Natsir, orang komunis pun kalau mereka meminta saya menerangkan soal agama, akan saya penuhi,” ucapnya bersemangat.

Pada artikel “Hukum Islam dalam Negara Pancasila” yang ditulis Fuad Nasar, begitu gamblang langkah dan kiprah Busthanul Arifin dalam “membumikan” Hukum Islam di Indonesia. Busthanul menjadi Ketua Tim Perancang RUU Peradilan Agama sehingga sejak awal terlibat langsung dalam proses penyusunan RUU PA. Dia sebagai Ketua Tim RUU selalu mendampingi Menteri Agama dan merupakan tangan kanan Menteri Agama sampai RUU PA diterima oleh DPR-RI.

Disahkannya UU-PA sebagai karya perjuangan Busthanul bersama umat Islam, mengakibatkan perubahan fundamental dalam sistem peradilan Indonesia. Putusan PA akhirnya dianggap final dan tidak perlu lagi dikukuhkan oleh Peradilan Umum.

Menurut Munawir Sjadzali, pada negara yang UUD-nya tegas menyatakan Islam sebagai agama negara, kedudukan mahkamah syariahnya tidaklah sekokoh dan seterhormat PA di Indonesia. Makanya, Munawir dalam bukunya secara khusus mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Busthanul Arifin terkait perjuangannya membentuk UU PA.

“Hukum itu dapat disamakan dengan udara bagi hidup manusia. Kalau udara tidak lancar dan tidak bersih, masyarakat akan merasakan tidak enak dan keresahan akan timbul,” ujar Busthanul. Dia pun getol agar hukum Islam menjadi penyumbang terbesar dalam pembentukan hukum nasional.

Busthanul meluruskan persepsi tentang syariah. Menurutnya, konstelasi pengertian syariah dan fiqih tidak lagi sebagaimana seharusnya, disebabkan faktor-faktor sejarah umat Islam. Terlebih lagi Indonesia telah melewati rekayasa politik hukum kolonial selama berabad-abad.

Pengertian syariah dan fiqih telah dikacaukan sehingga hukum Islam dipahami tidak mungkin menata dan mengatur hidup manusia dalam dunia yang penuh dengan gerak dinamika. Kalau kerancuan pemahaman tentang syariah tidak diluruskan, muslim Indonesia akan tetap hidup dalam dunia yang terbelah antara tuntutan keimanan dan tuntutan zaman yang selalu berubah.

Selain berprofesi sebagai hakim, Busthanul juga merupakan seorang akademisi. Dia pendiri dan sekaligus rektor pertama Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Jawa Tengah. Kapasitasnya sebagai akademisi melahirkan buku- buku seperti Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya, serta Transformasi Hukum Islam ke Hukum Nasional: Bertenun dengan Benang-benang Kusut.

Busthanul punya ide untuk mengaktualisasikan dan menemukan relevansi hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Dia pun menggariskan tiga langkah. Pertama, merapikan jajaran hakim PA dalam arti menjadikan para hakim PA benar-benar menjadi hakim dalam arti yang sesungguhnya. Kedua, mengakrabkan umat Islam terutama ulama dan sarjana hukum Islam dengan yurisprudensi. Ketiga, mengadakan Kompilasi Hukum Islam.

Berbeda dengan akademisi lain pada umumnya yang hanya bisa menawarkan gagasan ataupun ide, Busthanul langsung bisa mengesekusi ide-ide akademiknya tersebut. Dia tak sekedar akademisi, namun juga praktisi. Proyek pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pun bergulir pada Maret 1985. Busthanul langsung menjadi ketua proyek tersebut.

Pada 15 April 1985 di Gedung Mahkamah Agung, Busthanul memberi pengarahan pertama tentang gagasan KHI. Kerja keras Busthanul dengan timnya menghasilkan rancangan kompilasi pada akhir 1987. KHI terdiri dari tiga buku, yaitu Buku I mengenai Hukum Perkawinan, Buku II mengenai Hukum Kewarisan,  dan Buku III. Pada akhirnya, KHI itu disahkan oleh Presiden Soeharto melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.

Di hari tuanya, Busthanul hidup dalam kesederhanaan, meskipun sudah sekian lama menduduki jabatan tinggi di Mahkamah Agung. Predikat hakim yang jujur dan pejuang hukum Islam yang tangguh patut diberikan kepadanya.

Ketika Busthanul wafat di Jakarta pada 22 April 2015 dalam usia 85 tahun, umat Islam dan bangsa Indonesia merasakan kehilangan penegak hukum yang idealis. Seorang hakim di mata hukum sekaligus ulama di mata masyarakat. Dia meninggalkan 8 orang anak, di antaranya M. Adil dan Zul Irfan. Pada zaman sekarang, diharapkan muncul Busthanul-busthanul lainnya yang berjuang membumikan hukum Islam dalam kerangka sistem hukum nasional. Meminjam istilah Kuntowijoyo, objektivikasi Islam.

Oleh : Arie Alfikri, Wartawan Luak Limopuluah
Sumber foto: Goggle/net