Sedikitnya 800 kepala keluarga dari dua desa, Tanjuang Pauah dan Tanjuang Bolik, Kecamatan Pangkalan Limapuluh Kota mengaku kecewa. Pasalnya, setelah 20 tahun menempati tanah relokasi sebagai ganti tanah ulayat mereka yang ditenggelangkan menjadi waduk PLTA Koto Panjang, kini status tanah yang telah bersertifikat itu dinyatakan masuk kawasan hutan lindung.
“Padahal sebelumnya kami sebagai masyarakat sudah mengikhlaskan kampung halaman tempat kelahiran kami di genangi air dijadikan waduk PLTA Koto Panjang. Sekarang malah kami tidak memiliki tanah, karena tanah yang dilengkapi sertifikat itu katanya berada di kawasan hutan,” beber Wali Nagari Tanjuang Pauah, Taufit, yang merasa kecewa setelah mendengar kabar dari pihak kehutanan terkait status tanah yang kini mereka tempati itu kepada Padang Ekspres kemarin.
Sejak dibangunnya proyek PLTA Koto Panjang untuk pasokan energi listrik Provinsi Riau yang dibangun atas kerjasama PT.PLN dan konsultan Tokyo Electrict Power Service Co.Ltd (TEPSCO) Jepang tahun 1993, warga yang berada di aliran Batang Mahat di Nagari Tanjuang Pauah dan Tanjuang Bolik, Kecamatan Pangkalan harus dipindahkan. Proyek nasional pembangunan PLTA Koto Panjang di lahan seluas sekitar 12.900 hektare itu berada di pertemuan antara Batang Mahat dan anak sungai Kampar Kanan. Waduk yang dibangun menenggelamkan 2 perkampungan. Dari situlah proyek besar nasional tersebut akan memasok energi.
Sedikitnya 800 kepala keluarga dari dua desa, Tanjuang Pauah dan Tanjuang Bolik, Kecamatan Pangkalan, harus pindah sejak tahun 1993 silam. Masyarakat yang tidak bisa membantah apalagi membangkang pada saat itu, diberikan tanah relokasi oleh pemerintah lengkap dengan sertifikat kepemilikannya.
Namun ketika warga ingin memanfaatkan tanah relokasi yang diberikan pemerintah sebagai pengganti tanah leluhur mereka yang direndam untuk kepentingan waduk PLTA, tidak bisa dilakukan terkait izin yang tidak bisa dikeluarkan. Sebab informasi yang mereka terima dari Dinas Kehutanan Limapuluh Kota, sejumlah tanah berada di kawasan hutan lindung.
Sekitar 150 kepala keluarga lebih mengeluhkan persoalan yang sama terkait sertifikat tanah yang kini dinyatakan berada di kawasan hutan lindung. “Dulunya yang meminta warga pindah adalah pemerintah dengan tanah pengganti yang diberikan berikut sertifikat tanda keabsahannya dari Badan Pertanahan Negara (BPN),” keluh wali nagari.
Tentunya alas hak sebagai pemilik tanah dengan kepemilikan sertifikat yang ditandatangani oleh Kepala Kantor BPN Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh, Agus Maryunus dan Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah, Pujo Heroyo itu, sudah sah. “Sekarang kok disebut-sebut di kawasan hutan lindung,” kata wali nagari memperlihatkan sertifikat tertanggal 27 Februari 1995 miliknya.
Ketika warga ingin memanfaatkan tanah dan meminta izin, Dinas Kehutanan melalui Kepala Bidang Kehutanan, katanya tidak bisa menerbitkan izin. Sebab tanah bersertifikat milik warga itu, berada di koordinat yang termasuk ke dalam kawasan hutan.
“Sebab menurut informasinya ada perubahan kawasan hutan di tahun 1999. Sepertinya keberpihakan pemerintah kepada masyarakat belum sepenuhnya, karena sertifikat sudah ada 3 tahun sebelum perubahan kawasan hutan,”sebutnya.
Kondisi itulah yang menjadi kekecewaan masyarakat. Karena sepertinya pemerintah tidak memperhitungkan keberadaan tanah milik masyarakat yang telah direlokasi dengan sertifikat yang dimiliki sejak tahun 1995 atau 4 tahun sebelumnya.
Mencuatnya kekhawatiran itu, kata wali nagari, ketika mencermati pelaksanaan program penanaman kebun rakyat oleh pemerintah tahun 2011. “Pada saat itu, kelompok masyarakat diajak untuk menanam 10 ribu lebih pohon dengan upah Rp500 perbatang. Sayangnya ketika hampir 10 ribu pohon tertanam ternyata tidak bisa dibayarkan, sebab dinilai berada di kawasan hutan,” ungkap wali nagari.
Sejak saat itulah masyarakat merasa terkejut dengan apa yang terjadi. Sebab rupanya sertifikat tanah yang mereka miliki berada dikawasan hutan lindung. Entah apa yang terjadi, masyarakat tidak bisa berbuat banyak, hingga warga khawatir, jika nanti mereka akan diusir pula dari kawasan relokasi yang berada tidak jauh dari jalan lintas Sumbar-Riau tepat di perbatasan tersebut.
Permasalahan itu sudah diadukan wali nagari kepada Bupati Limapuluh Kota, Alis Marajo, melalui surat secara resmi, begitu juga dengan pemerintah provinsi Sumatera Barat. Bahkan kepada anggota DPR RI, Taslim saat berkunjung ke Nagari Tanjuang Bolik, November tahun lalu juga sudah disampaikan, Taufit bersama tokoh masyarakat lainnya.
“Kita mendukung program pemerintah, namun jangan sengsarakan kami masyarakat. Warga butuh solusi cepat untuk persoalan ini. Sehingga tidak mengganggu masyarakat jika ingin memanfaatkan lahan yang sudah diperuntukkan pemerintah. Kami pindah atas kemauan pemerintah untuk program nasional PLTA, bukan pindah begitu saja atas kemauan sendiri atau akibat bencana, hingga memanfaatkan kawasan hutan,” sebut Taufit.
Wali nagari mengaku sedikit lega, jika sesuai dengan janji Wakil Bupati Limapuluh Kota, Asyrwan Yunus akan turun ke lapangan bersama Dinas Kehutan untuk melihat kondisinya secara langsung dan mencarikan solusi persoalan yang dihadapi masyarakat itu. “Selain usaha kami masyarakat dan pemerintah daerah, mediamassa yang bisa membantu kami,” tutup wali nagari penuh harapan.
Terpisah, salah seorang tokoh masyarakat Tanjuang Pauah, Irwan Hamid, kepada Padang Ekspres, mendesak agar Pemerintah Daerah Kabupaten Limapuluh Kota dan Provinsi Sumatera Barat ikut memperjuangkannya ke Kementrian Kehutanan. “Sehingga bisa dijelaskan mana kawasan hutan dan mana yang telah diperuntukkan bagi masyarakat,” harap Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Barat yang baru saja terpilih itu.
Untuk memastikan apakah benar yang disampaikan masyarakat terkait keluhan tersebut, Padang Ekspres coba menghubungi, Kepala Dinas Kehuatanan dan ESDM Limapuluh Kota, Khalid, untuk memastikan seberapa besar tanah bersertifikat warga relokasi yang termasuk dalam kawasan hutan.
Namun sayangnya, Kadishut mengaku juga belum mendalami sejauh manakah titik koordinat kawasan hutan. Sebab saat pelaksanaan proyek pembangunan PLTA dan relokasi warga sudah berjalan sekitar 20 tahun silam. Namun Khalid berjanji akan melakukan koordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan mempelajari titik koordinatnnya.
“Namun kita akan melihat dan mempelajarinya, serta akan dikoordinasikan dengan pihak BPN lebih dulu dan lihat secara jelas titik koordinat kawasan hutan saat ini,” ungkap Khalid saat dikonfirmasi Senin (6/1). (Padek)