27 C
Padang
Jumat, Oktober 11, 2024
spot_imgspot_img
Beritasumbar.com

Tanah Relokasi Masuk Hutan Lindung, Warga 2 Desa Ngaku Kecewa
T

Kategori -
- Advertisement -

Sedikitnya 800 kepala keluarga dari dua desa, Tanjuang Pauah dan Tanjuang Bolik, Kecamatan Pangkalan Limapuluh Kota me­nga­ku kecewa. Pasalnya, setelah 20 tahun menempati tanah relo­kasi sebagai ganti tanah ulayat mereka yang ditenggelangkan menjadi waduk PLTA Koto Pan­jang, kini status tanah yang telah bersertifikat itu dinyatakan masuk kawasan hutan lindung.

“Padahal sebelumnya kami sebagai masyarakat sudah me­ng­­ik­hlaskan kampung halaman tempat kelahiran kami di gena­ngi air dijadikan waduk PLTA Koto Panjang. Sekarang malah kami tidak memiliki tanah, kare­na tanah yang dilengkapi sertif­ikat itu katanya berada di kawa­san hutan,” beber Wali Nagari Tanjuang Pauah, Taufit, yang merasa kecewa setelah mende­ngar kabar dari pihak kehutanan terkait status tanah yang kini mereka tempati itu kepada Pa­dang Ekspres kemarin.

Sejak dibangunnya proyek PLTA Koto Panjang untuk paso­kan energi listrik Provinsi Riau yang dibangun atas kerjasama PT.PLN dan konsultan Tokyo Electrict Power Service Co.Ltd (TEPSCO) Jepang tahun 1993, warga yang berada di aliran Batang Mahat di Nagari Tan­juang Pauah dan Tanjuang Bo­lik, Kecamatan Pangkalan harus dipindahkan. Proyek nasional pembangunan PLTA Koto Pan­jang di lahan seluas sekitar 12.900 hektare itu berada di pertemuan antara Batang Mahat dan anak sungai Kampar Ka­nan. Waduk yang dibangun menenggelamkan 2 perkam­pungan. Dari situlah proyek besar nasional tersebut akan memasok energi.

Sedikitnya 800 kepala ke­luar­ga dari dua desa, Tanjuang Pauah dan Tanjuang Bolik, K­e­ca­ma­tan Pangkalan, harus pin­dah sejak tahun 1993 silam. Masyarakat yang tidak bisa membantah apalagi membang­kang pada saat itu, diberikan tanah relokasi oleh pemerintah lengkap dengan sertifikat kepe­mi­likannya.

Namun ketika warga ingin memanfaatkan tanah relokasi yang diberikan pemerintah se­ba­gai pengganti tanah leluhur mereka yang direndam untuk kepentingan waduk PLTA, tidak bisa dilakukan terkait izin yang tidak bisa dikeluarkan. Sebab informasi yang mereka terima dari Dinas Kehutanan Lima­puluh Kota, sejumlah tanah berada di kawasan hutan lin­dung.

Sekitar 150 kepala keluarga lebih mengeluhkan persoalan yang sama terkait sertifikat tanah yang kini dinyatakan bera­da di kawasan hutan lindung. “Dulunya yang meminta warga pindah adalah pemerintah de­ngan tanah pengganti yang dibe­ri­kan berikut sertifikat tanda keabsahannya dari Badan Perta­nahan Negara (BPN),” keluh wali nagari.

Tentunya alas hak sebagai pemilik tanah dengan kepemi­li­kan sertifikat yang ditan­da­tangani oleh Kepala Kantor BPN Limapuluh Kota dan Kota Paya­kum­buh, Agus Maryunus dan Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah, Pujo Hero­yo itu, sudah sah. “Sekarang kok disebut-sebut di kawasan hutan lin­dung,” kata wali nagari mem­per­­lihatkan sertifikat tertanggal 27 Februari 1995 miliknya.

Ketika warga ingin meman­fa­atkan tanah dan meminta izin, Din­as Kehutanan melalui Kepala Bidang Kehutanan, katanya tidak bisa menerbitkan izin. Se­bab tanah bersertifikat milik warga itu, berada di koordinat yang termasuk ke dalam kawa­san hutan.

“Sebab menurut informa­si­nya ada perubahan kawasan hutan di tahun 1999. Sepertinya ke­ber­pihakan pemerintah kepa­da masyarakat belum sepenuh­nya, karena sertifikat sudah ada 3 tahun sebelum perubahan kawasan hutan,”sebutnya.

Kondisi itulah yang menjadi kekecewaan masyarakat. Karena sepertinya pemerintah tidak memperhitungkan keberadaan tanah milik masyarakat yang telah direlokasi dengan sertifikat yang dimiliki sejak tahun 1995 atau 4 tahun sebelumnya.

Mencuatnya kekhawatiran itu, kata wali nagari, ketika mencermati pelaksanaan program penanaman ke­bun rakyat oleh pe­me­rintah tahun 2011. “Pada saat itu, kelom­pok masya­rakat diajak un­tuk menanam 10 ribu lebih pohon dengan upah Rp500 perbatang. Sayangnya keti­ka hampir 10 ribu pohon terta­nam ternyata tidak bisa diba­yarkan, sebab dinilai berada di ka­wasan hutan,” ungkap wali nagari.

Sejak saat itulah masyarakat merasa terkejut dengan apa yang terjadi. Sebab rupanya sertifikat tanah yang mereka miliki berada dikawasan hutan lindung. Entah apa yang terjadi, masyarakat tidak bisa berbuat banyak, hingga warga khawatir, jika nanti mereka akan diusir pula dari kawasan relokasi yang berada tidak jauh dari jalan lintas Sumbar-Riau tepat di perbatasan tersebut.

Permasalahan itu sudah dia­du­kan wali nagari kepada Bupati Limapuluh Kota, Alis Marajo, melalui surat secara resmi, begi­tu juga dengan pemerintah pro­vin­si Sumatera Barat. Bahkan kepada anggota DPR RI, Taslim saat berkunjung ke Nagari Tan­juang Bolik, November tahun lalu juga sudah disampaikan, Taufit bersama tokoh masya­rakat lainnya.

“Kita mendukung program pe­merintah, namun jangan seng­­sa­rakan kami masyarakat. War­ga butuh solusi cepat untuk per­soalan ini. Sehingga tidak mengganggu masyarakat jika ingin memanfaatkan lahan yang sudah diperuntukkan pemerin­tah. Kami pindah atas kemauan pemerintah untuk program na­si­o­nal PLTA, bukan pindah begi­tu saja atas kemauan sendiri atau akibat bencana, hingga me­man­faatkan kawasan hutan,” sebut Taufit.

Wali nagari mengaku sedikit lega, jika sesuai dengan janji Wakil Bupati Limapuluh Kota, Asyrwan Yunus akan turun ke lapangan bersama Dinas Kehu­tan untuk melihat kondisinya secara langsung dan mencarikan solusi persoalan yang dihadapi masyarakat itu. “Selain usaha kami masyarakat dan pemerin­tah daerah, mediamassa yang bisa membantu kami,” tutup wali nagari penuh harapan.

Terpisah, salah seorang to­koh masyarakat Tanjuang Pa­uah, Irwan Hamid, kepada Pa­dang Ekspres, mendesak agar Pe­me­rintah Daerah Kabupaten Limapuluh Kota dan Provinsi Sumatera Barat ikut mem­per­juang­kannya ke Kementrian Ke­hu­tanan. “Sehingga bisa dijelas­kan mana kawasan hutan dan mana yang telah diperuntukkan bagi masyarakat,” harap Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Barat yang baru saja terpilih itu.

Untuk memastikan apakah benar yang disampaikan masya­rakat terkait keluhan tersebut, Padang Ekspres coba menghu­bungi, Kepala Dinas Kehuatanan dan ESDM Limapuluh Kota, Khalid, untuk memastikan sebe­rapa besar tanah bersertifikat warga relokasi yang termasuk dalam kawasan hutan.

Namun sayangnya, Kadishut mengaku juga belum menda­lami sejauh manakah titik koor­di­nat kawasan hutan. Sebab saat pelaksanaan proyek pemba­ngunan PLTA dan relokasi war­ga sudah berjalan sekitar 20 tahun silam. Namun Khalid berjanji akan melakukan koordi­nasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan mem­pelaja­ri titik koordinatnnya.

“Namun kita akan melihat dan mempelajarinya, serta akan dikoordinasikan dengan pihak BPN lebih dulu dan lihat secara jelas titik koordinat kawasan hutan saat ini,” ungkap Khalid saat dikonfirmasi Senin (6/1). (Padek)

- Advertisement -
- Advertisement -

BERITA PILIHAN

- Advertisement -
- Advertisement -

Tulisan Terkait

- Advertisement -spot_img