32 C
Padang
Jumat, Maret 29, 2024
spot_imgspot_img
Beritasumbar.com

Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, Tokoh Pendidikan Islam
S

Kategori -
- Advertisement -

Oleh : Syaiful Anwar

Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh

A. Riwayat hidup Syaikh Ahmad Khatib Alminangkabawi

Syaikh Ahmad Khatib adalah seorang pelopor dari golongan pembaharuan di daerah Minangkabau (Sumatera Barat) yang menyebarkan pikiran-pikiran dari Mekkah pada masa dua puluh tahun terakhir dari abad yang lalu sampai 1015 tahun pertama dari abad ini (Hamka, : 28). Ia dilahirkan pada hari Senin tanggal 6 Zulhijjah 1276 H (1860 M) di Koto Tuo Balai Gurah, Kecamatan IV Angkat Candung. Beliau memulai dan mengakhiri karirnya sebagai ulama di Mekkah Al-Mukarramah, dan terkenal dengan panggilan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Kata Al-Minangkabawi‖ menunjukkan bahwa beliau berasal dari Minangkabau (Edwar, 1990: 15).

Syaikh Ahmad Khatib semenjak kecil mendapat pendidikan Barat (Belanda) dan pendidikan yang terakhir adalah Sekolah Raja tahun 1287 di Bukittinggi. Tamat dari sekolah tersebut pada usia 11 tahun ia berangkat ke Mekkah bersama ayahnya, kemudian menetap di sana untuk mempelajari agama Islam kepada Sayyid Zaini Dahlan. Guru ini sangat sayang kepadanya, karena ia seorang murid yang sangat berbakat dan amat pintar (Yulidesni, 1995: 39).

Semenjak berangkat pertama, tidak pernah pulang ke Minangkabau, sampai beliau berpulang ke alam baqa di kota tersebut. Beliau juga menikah dan berketurunan di sana. Isteri, anak-anak dan cucunya semuanya adalah orang Arab (Edwar, 1981: 15).

Ahmad Khatib adalah anak dari Khatib Nagari yang berasal dari Koto Gadang, hasil perkawinannya dengan Limbak Urai yang berasal dari Koto Tuo Balai Gurah. Beliau bersaudara sebanyak 5 orang yaitu beliau sendiri, H.Aisyah, H.Mahmud, H.Hafsah, dan H.Safiah, sedang dari ibu tirinya Kalsum di Koto Gadang, beliau mempunyai seorang saudara bernama Khailam Samsu. Dari pihak Bapak, beliau mempunyai hubungan dengan Agus Salim (saudara sepupu) dan dari pihak ibu, Syaikh Ahmad Khatib bersaudara ibu dengan H.Thaher Jalaluddin (Syamsu As, 1999: 145; Hamka: 134). Dengan demikian, Ahmad Khatib adalah keturunan dari golongan ulama dan adat, sedangkan akhirnya unsur ulama akan memainkan peranan lebih penting dalam hidupnya dan ia akan menantang beberapa unsur dan kedudukan golongan adat (Steenbrik, 1984: 139).

Pada tanggal 12 Rabiul Awwal 1296 H Syaikh Khatib menikah dengan Khadijah anak dari Saleh Kurdi, pemilik Toko Kitab di Babussalam, dekat Masjidil Haram. Saleh Kurdi mau menikahkan puterinya dengan Ahmad Khatib, karena tertarik dengan kesopana, kerajinan dan kelaimannya, yang diperhatikan setiap hari, sewaktu keluar Masjidil Haram melewati toko kitabnya. Rupanya, tidak cukup seorang puteri saja diamanahkan Saleh Kurdi untuk dinikahi Ahmad Khatib, bahkan puterinya yang kedua juga dikawinkan dengan Ahmad Khatib setelah puterinya yang pertama itu meninggal dunia. Dalam istilah Minangkabau hal semacam itu disebut mengganti tikar‖ (Edwar, 1990: 16). 

Dari isterinya yang pertama itu beliau mendapatkan putera bernama Abdul Karim dan dari isterinya yang kedua Ahmad Khatib dikaruniai tiga orang anak, yaitu Abdul Malik,

Abdul Hamid, dan Siti Khadijah. Dengan demikian, Ahmad Khatib mempunyai tiga orang putera dan satu orang puteri. Ahmad Khatib tidak pernah berpoligami, dan tidak pernah kawin lagi. Amatlah disayangkan, tidak ada puteri Minang yang sempat menjadi teman hidup Syaikh Ahmad Khatib, sehingga juga tidak ada yang sempat menjadi teman hidup Syaikh Ahmad Khatib, sehingga juga tidak ada anak Minang yang ber-ayah kepada beliau. Menurut keterangan seorang cucu beliau yang bernama Zakiyah Tamin di Koto Tuo Balai Gurah, salah seorang putera Syaikh yang bernama Abdul Hamid (anggota parlemen dan kemudian menjadi Duta Arab Saudi di Karachi) pernah datang ke Indonesia pada tahun 1938 dan berkunjung ke rumah bakonya di Koto Tuo. Terkandung maksud bagi Abdul Hamid untuk menggaet salah seorang puteri di kalangan bakonya itu, yang akan dipersuntingnya sebagai isteri, dengan tujuan agar pertalian kekeluargaan antara keturunan Ahmad Khatib di Mekkah dengan keluarga Syaikh Khatib di Minangkabau selalu terjalin erat dan bersambung erat. Tetapi apa hendak dikata, semua wanita dikalangan bakonya sudah berkeluarga. Dan untuk menunggu yang baru atau yang akan lahir, rasanya usianya sudah terlalu tua. Maka niatnya itu tidak terkabul. Namun demikian, hubungan surat menyurat masih berjalan terus antara keturunan Ahmad Khatib  di Mekkah dengan keluarga beliau yang masih ada di Indonesia. Apalagi Syaikh Ahmad Khatib dulu pernah memanggil beberapa kemenakannya untuk datang menetap di Mekkah mereka inipun sudah mempunyai keturunan di sana (Edwar, 1990: 16).

Perkampungan keluarga Syaikh tersebut di Mekkah bernama Garara Kampung Syamsiah. Banyak di antara mereka yang menjadi Syaikh Haji dan memberikan banyak pertolongannya kepada jamaah haji asal Minangkabau apalagi yang punya hubungan dengan Syaikh Ahmad Khatib (Edwar, 1990: 16).

Dari keterangan atau informasi tersebut dapat diketahui bahwa sebahagian keluarga besar Syaikh Ahmad Khatib bermukim di Mekkah dan menjadi warga negara Arab Saudi. Dengan perkataan lain, Syaikh Ahmad Khatib mempunyai saham yang besar dalam menambah kwantitas penduduk Mekkah khususnya dan warga Arab umumnya.

Ahmad Khatib dikenal sebagai murid yang rajin, tekun dan cerdas dalam menuntut pelajaran, baik sewaktu belajar dikampung halamannya, maupun setelah berada di Mekkah. Kerajinan dan kecerdasannya itulah beliau dapat menimba ilmu yang banyak dalam waktu yang relatif singkat, khususnya dalam bidang Hukum Islam. Dengan usaha dan jasa mertuanya, ia dapat diterima menjadi guru di Masjidil Haram, membuka pengajian serta menjadi Khatib dan Imam (Hamka, 1979: 134). Dengan memegang tiga jabatan penting di Masjidil Haram ini beliau amat terkenal di kalangan orang Indonesia, Malaya dan Minangkabau khususnya, sehingga banyaklah pemuda belajar ke Mekkah untuk menuntut ilmu kepadanya di antaranya yang disebutkan oleh Sidi Ibrahim Boechari adalah:

Abdul Karim Amrullah (mengajar di surau Jembatan Besi Padang Panjang), Syaikh Ibrahim Musa (mengajar di surau Parabek Bukittinggi), Syaikh Muhammad Jamil Jambek (mengajar di surau Tangah Sawah Bukittinggi), Dr.Abdullah Ahmad (pendiri Adabiyah School), Syaikh Abbas Abdullah (mengajar di Surau Padang Japang Payakumbuh), Syaikh Muhammad Zein Lantai Batu, Syaikh Abdul Lathif Panambatan. Semuanya adalah berjuang di Minangkabau (Sumatera Barat) (Boechari, 1981: 79).

Semua murid beliau ini terkenal sebagai ulama, guru, pendiri perserikatan dan organisasi Islam dan Pejuang Kemerdekan Nasional, bahkan adapula diantaranya yang mendapat bintang jasa, sebagai penghargaan dari Pemerintah Indonesia.

Secara langsung, gerak dan perjuangan Ahmad Khatib di Tanah Air Indonesia umumnya dan Minangkabau khususnya memang tidak ada, namun fikiran-fikiran beliau tentang kemajuan, pembaharuan serta semangat juang menentang penjajahan untuk memperoleh kemerdekaan, dilakukannya melalui murid-muridnya di atas.  Ahmad Khatib dipanggil Allah pada hari Senin bulan Jumadil Akhir 1334 H (1915 M) dalam usia 63 tahun dengan membawa sejuta keharuman nama.

B. Pemikiran Pendidikan Syaikh Ahmad Khatib Alminangkabawi

Dari sekian banyak jasa Ahmad Khatib dalam mengembangkan pendidikan Islam dan banyak pula murid yang telah dijaranya, maka pantaslah beliau diberi gelar Reformator Islam sebagaimana yang dikatakan oleh Sidi Ibrahim Boechari dalam bukunya sebagai berikut:

Sebelum Ahmad Khatib mengadakan pembaharuan sistem pendidikan Islam yang disebut sistem peralihan atau dinamakan juga sistem halaqah, pendidikan Islam memakai sistem lama yaitu sistem perorangan, oleh Sutejo Braja disebut sistem hoofdelijk‖ atau individueel‖ (Boechari, 1981: 79). Pendidikan Islam dengan sistem lam mula-mula dilaksanakan secara perorangan yaitu para guru mengajarkan kepada orang yang dikehendakinya, tentunya orang yang erat hubungannya dengan mereka, seperti hubungan dalam pergaulan perdagangan dan lain-lainnya. Sistem semacam ini adalah sistem yang lebih tua dan dilakukan tanpa terikat pada waktu, artinya dilakukan di mana seja kesempatan itu ada. Sesudah agama Islam agak meluas, sistem perorangan dirubah dengan sistem rumah tangga, mereka memilih salah seorang anggota keluarganya yang agak mengetahui seluk beluk Islam sebagai guru untuk mengajar keluraga mereka. Rumah yang anggota keluarganya belum ada yang mengetahui tentang agama Islam tersebut, biasanya menggabungkan diri saja pada rumah tangga yang ada pengajarnya. Lama kelamaan pendidikan semacam itu berubah sifatnya yaitu pendidikan itu lebih diutamakan kepada anak-anak atau para pemuda yang belum dewasa. Guru memberikan pelajaran agama dengan jalan bercerita dan murid-muridnya mendengarkan (Boechari, 1981: 79).

Isi pelajaran di waktu itu lebih mengutamakan pelajaran praktis, misalnya tentang ketuhanan, keimanan dan soal-soal yang berhubungan dengan ibadah. Pemisahan mata pelajaran tertentu belum ada dan pelajaran yang diberikan belum lagi secara sistematis (Boechari, 1981: 79).

Kemudian cara lain dari sistem lama adalah pendidikan secara surau. Pada setiap kampung di Minangkabau didirikan surau, surau tersebut dipergunakan anak-anak muda sebagai tempat mengaji, bermacam-macam pengetahuan praktis dan kebudayaan seperti belajar taktik berniaga, pencak silat, taritarian, ilmu musik dan lain-lain. Di tiap-tiap kampung yang ada guru-guru (orang) yang mengetahui sedikit tentang hukum agama, guru tersebut berusaha mengambil muridnya dan memberikan pelajaran agama dengan cara sederhana sekali (Boechari, 1981: 71).

Pendidikan Islam secara surau ini, mempunyai dua tingkatan, yakni pengajian Al-Quran dan pengajian Kitab. Seorang pelajar surau sebelum meningkat ke pengajian kitab terlebih dahulu harus menyelesaikan pelajarannya pada pengajian Al-Quran (Boechari, 1981: 72).

Di atas telah diterangkan, bahwa Syaikh Ahmad Khatib sebagai pelopor dari sistem pendidikan Islam cara peralihan, yaitu suatu sistem campuran dari sistem lama dan sistem baru, yang dikenal dengan sistem halaqah, yakni guru mengajar muridnya secara kolektif dan para murid mengelilingi pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Cara pengajaran dan pendidikan Islam mendapat bentuk baru, pelajar-pelajar surau tidak lagi memakai kitab-kitab berbahasa Indonesia, akan tetapi telah menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab. Pelajarpelajar mulai mengenal kitab-kitab seperti: Sharaf, Nahwu, Fiqh, Tafsir, Ushul, Mantiq, Bayan, Ma‘ani, Badi, Balaghah, Tauhid, Tarikh dan lain-lain (Boechari, 1981: 79).

Untuk menutup cerita tentang Syaikh Ahmad Khatib yang menjadi urat nadi modernisasi Islam di Minangkabau, ada satu hal yang harus diingat, bahwa beliau seorang ulama intelek sangat benci kepada Tarekat, sebagaimana ditulis oleh Sidi Ibrahim Boechari berikut ini:

Untuk menentang tarekat-tarekat itu Syaikh Ahmad Khatib, salah seorang keturunan Indonesia berasal dari Minangkabau, Ulama terbesar dan Mufti Syafi‘i di Mekkah, merasa perlu mengarang sebuah kitab yang tidak tipis, guna menyerang tarekat-tarekat yang dilakukan orang di Indonesia. Isinya terutama mengemukakan bahwa tarekat-tarekat itu sebenarnya tidak berasal dari Nabi. Terutama Tarekat Naqsabandiyah sangat menjadi pokok perhatian dan pembicaraannya, sehingga kitab itu disusul pula dengan beberapa risalah-risalah yang lain, yang berisi jawabanjawaban atas kitab-kitab yang ditulis orang untuk mempertahankan tarekat-tarekat itu ((Boechari, 1981: 72).

Demikianlah profil Syaikh Ahmad Khatib alMinangkabawi, seorang ulama dan tokoh pendidikan yang sangat mempengaruhi dan mengilhami Haji Rasul. Sehingga, Haji Rasul tergerak untuk mengadakan pembaharuan beberapa sistem pendidikan yang telah diperoleh dari gurunya, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dari sistem halaqah kepada sistem klasikal. Hal ini mengingat murid semakin banyak dan zaman semakin berkembang.

- Advertisement -
- Advertisement -

BERITA PILIHAN

- Advertisement -
- Advertisement -

Tulisan Terkait

- Advertisement -spot_img