Tanah Datar,Beritasumbar.com – Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh penyidik unit reskrim Polsek Lima Kaum Polres Tanah Datar dinilai tidak sah,seorang wartawan media online nasional yang bertugas di wilayah Kabupaten Tanah Datar layangkan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Batusangkar.
Saat memberikan keterangan kepada Beritasumbar.com,”Joni Hermanto mengungkapkan, SP3 dengan No: SPP-
DIK/31/XII/2020/Reskrim, tanggal 31 Desember 2020 yang dikeluarkan oleh Polsek Lima Kaum itu tidak sah dikarenakan kasus yang ia laporkan dengan tanda bukti laporan polisi , No: LP/30/K/XII/Sek, tanggal 09 Desember 2020, diduga kuat merupakan tindak pidana.
“memang benar tindak pidana, buktinya sudah ada penetapan tersangka dan sudah dikeluarkannya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) sebagai bukti bahwa perkara dimaksud sudah memenuhi unsur dugaan tindak pidana penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 Ayat (1) dan (4) berdasarkan minimal 2 alat bukti yang sah,” katanya,Rabu (15/06).
Mahasiswa fakultas hukum Universitas Ekasakti Padang itu menambahkan, bahwa tidak ada alasan hukum bagi penyidik untuk menghentikan perkaranya, mengingat perkara yang ia laporkan bukan delik aduan, melainkan delik biasa yang tanpa adanya laporanpun polisi wajib menindaklanjutinya.
“Alasan yang dikemukakan penyidik menghentikan penyidikan karena adanya perdamaian, tidak ada satupun aturan hukum menyatakan bahwa alasan perdamaian bisa menggugurkan tindak pidana yang nyata-nyata sudah memenuhi unsur dan sudah ada penetapan tersangka”, terangnya
Dalam banyak doktrin dan putusan pengadilan, tambah Joni, “alasan demi hukm terbitnya SP3 didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu (1) nebis in idem atau orang tidak bisa dihukum dua kali untuk perkara hukum yang sama, (2) tersangka meninggal dunia, dan (3) perkara daluarsa.
“Joni juga mencoba menguatkan argumentasi hukumnya dengan menyebut Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum No :1691 DJU/SK/PS.00/12/2020 pada 22 Desember 2020, tentang konsep restorative justice hanya bisa diterapkan dalam kasus-kasus tindak pidana ringan dengan hukuman pidana penjara paling lama tiga bulan dan denda Rp 2.500.000 (Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 482). Selain itu, prinsip restorative justice juga digunakan terhadap anak atau perempuan yang berhadapan dengan hukum, anak yang menjadi korban atau saksi tindak pidana, hingga pecandu atau penyalahguna narkotika, sehingga tidak ada alasan hukum bagi polisi untuk menghentikan penyidikan perkara tindak pidana penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 Ayat (1) dan (4).
“Selain diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum No : 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020, internal Kepolisian sendiri juga mengatur Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, Pasal 2 Ayat (4) Peraturan Polri (Perpol) No. 8 Tahun 2021 yang berbunyi : “Penanganan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf a, dapat dilakukan penyelesaian Tindak Pidana Ringan”,” jelasnya.
Joni sudah mendaftarkan gugatan praperadilannya dan sudah di terima oleh Pengadilan Negeri Batusangkar dengan nomor perkara : 1/Pid.Pra/2022/PN.Bsk dan sedang menunggu hari penetapan sidang.
“Sebelumnya,berdasarkan penelusuran, “Joni melayangkan gugatan praperadilan berawal dari perkara penganiayaan yang dialaminya pada tanggal 8 Desember 2020 lalu, dimana tiba-tiba ia diserang secara membabi-buta oleh pelaku dengan inisial AA (46), dimana pada penyerangan itu Joni mengalami luka di kepala, tangan dan punggungnya hingga tak sadarkan diri dan menjalani perawatan beberapa hari di rumah sakit.
Polisi yang menangani penganiayaan itu lalu menetapkan AA menjadi tersangka, lalu dalam perjalan perkaranya Joni merasa ada tekanan yang mengharuskannya berdamai dengan pelaku ditambah lagi pelaku berjanji tidak akan mengurangi serta akan menjaga hubungan baik dengan Joni, atas dasar perdamaian itulah akhirnya polisi menghentikan penyidikan perkara penganiayaan yang menimpa Joni.
Namun, dalam perjalannnya pelaku tidak ada itikad baik untuk menjaga perdamaian, pelaku justru memanfaatkan perdamaian itu dengan melakukan dugaan penipuan dan penggelapan di perusahaan milik Joni.
Joni akhirnya melaporkan dugaan penipuan dan penggelapan itu, selain itu, Joni juga meminta polisi untuk membuka kembali perkara penganiayaan yang telah di SP3-kan polisi melalui proses ligitasi.
“Tolong digaris bawahi, upaya litigasi yang saya tempuh ini bukan menyalahkan polisi yang menangani perkara saya itu, secara profesional polisi adalah mitra strategis saya, pun secara emosional saya sangat berhubungan dekat dan baik sekali dengan penyidik yang menangani perkara itu juga dengan atasannya, ini lebih ke sosial kontrol terhadap kinerja polisi, pengadilanlah yang akan menjawab nanti sah atau tidaknya tindakan penyidik yang telah menerbitkan SP3 itu”, tutupnya.
Saat dikonfirmasi terhadap pihak Pengadilan Negeri Batusangkar, Erwin Radon Ardiyanto, S.H., M.H. Humas Pengadilan Negeri Batusangkar
menyampaikan,memang benar perihal guguatan tersebut dan pihak pemohon datang sendiri mengatarkan surat gugatan praperadilan yang dimaksud.
“Hal senada juga dibenarkan Kapolsek Lima Kaum melalui Kanit Reskrim Bripka Indra Fardi melalui pesan singkat media sosial.(*)